Selasa, 03 November 2015

Filsafat Ilmu Review Jurnal Pemikiran Mistisisme Annemarie Schimmel





(Ansari, S.H.I)
Pada dasarnya tasawuf adalah ekspresi seseorang dalam aktifitas keberagamaan. Ketika ”ajaran” fiqh, kalam dan filsafat dirasa tak lagi mampu membawa manusia ke dalam tujuan hakiki beragama, maka tidak pelak lagi, tasawuf dengan jalan ”pencarian” yang mengedepankan dimensi batin dan spiritual, mulai banyak diliri.

Tasawuf mengajarkan bahwa realitas Tuhan tidak dapat diketahui oleh metode-metode logis atau rasionalis yang cenderung eksoteris. Reallitas Tuhan harus didekati melalui cinta, karena cinta membawa pada penghayatan keagungan dan rahmat Ilahi. Dari perspektif kaum sufi, sepanjang ”engkau” masih ”dirimu sendiri”, engkau tidak akan pernah mengenal Tuhan, karena selubung terbesar yang menghalangi engkau dengan realitas Tuhan adalah ”dirimu”. Hanya api cinta ilahi yang dapat membakar egosentrisitas.
Pada saat cinta ilahi menguasai alam pikiran, seolah terbuka secara terang benderang semua hakikat kebenaran yang dulunya semu. karena yang terpenting baginya adalah Sang Kekasih, cinta keabadian, cinta tidak pernah berubah, dan bila dicaci maki pun tidak pernah berubah, karena semuanya hanyalah untuk Allah. Bahkan menurut M. Amin Syukur, Rabiah Adawiyah, yang masyhur dengan pengalaman cinta kepada Tuhan, mampu memalingkan diri dari segala sesuatu selain Tuhan.
Cinta yang mewarnai seluruh alam pikir dan tindakan, membuat sufi selalu memikirkan-Nya, hingga keluarlah prosa-prosa puitis yang indah dan narasi-narasi bersajak yang menunjukkan indikasi bahwa hatinya sedang diselimuti suatu rasa yang ”irrasional” kepada-Nya.
Bagi para penerus sufi, cinta ilahi yang tersirat dalam sajak-sajak puitis tersebut merupakan ajaran dari sang guru yang patut diikuti, sedangkan bagi para pengkaji yang bukan pelaku tasawuf, ajaran cinta ilahi tersebut harus disampaikan ke publik yang merasa kehausan terhadap nilai-nilai spiritual yang mungkin tergerus semangat modernitas. Para pengkaji outsider Tasawuf ini ada yang dari Timur (muslim) dan juga dari Barat (orientalis). diantaranya Annemarie Schimmel, Bruce B. Lawrence, Herbert Mason, Gerhard Bowering, William C. Chittick, John Cooper, Carl W. Ernest dan beberapa orientalis lain, meski dia seorang orientalis, bahkan Protestan, Schimmel lebih familiar di tengah-tengah literatur tasawuf muslim kekinian, bahkan tidak jarang Annemarie Schimmel diminta untuk memberikan ”Kata Pengantar” dalam beberapa buku tasawuf yang bahkan disusun oleh muslim.
Menurut Schimmel, tasawuf yang mengajarkan cinta ilahi, merupakan media aktualisasi manusia yang paling ideal. Keberhasilannya membangun kepribadian manusia serta ide-idenya tentang cinta kasih, perdamaian, kesederhanaan, penyucian jiwa dan solidaritas memberi andil yang tidak sedikit dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Konsep cinta dalam hal ini merupakan unsur penting dalam perjalanan pencarian kesejatian manusia melalui jalan tasawuf.
Orang yang benar-benar mencintai Tuhan mengetahui bahwa dalam penderitaan, ada tangan Tuhan yang dia rasakan, dan dia yakin bahwa apapun yang menimpadirinya adalah yang terbaik baginya, karena Tuhan Maha Tahu atas apa yang terbaik bagi pertumbuhan jiwa dan penucian ruh

Biografi Annemarie Schimmel
Annemarie Schimmel lahir pada tanggal 7 April 1922 di Erfurt, Jerman, sebagai anak tunggal dari orang tua dengan berbudaya kelas menengah, studinya di Universitas Berlin pada musim gugur tahun 1939 pada usia tujuh belas tahun.
Pada bulan Oktober 1941, ketika berusia 19 tahun, dia meraih gelar doktor dalam bidang Bahasa dan Peradaban Islam dengan disertasi tentang Mesir abad pertengahan. Tak lama kemudian, ia diterima oleh Departemen Luar Negeri pada unit decoding. Dia terus bekerja pada proyek-proyek ilmiah dalam waktu luangnya.
Schimmel hidup pada saat Jerman sedang dalam penjajahan dan suatu ketika Schimmel tertangkap dan digiring ke Marburg. Pada tanggal 8 Mei 1945 hari perang berakhir dan mereka segera mendirikan sebuah «kamp universitas,» dan memberikan ceramah pertamanya pada hal hal Islam. Pada tanggal 12 Januari 1946, ia memberikan kuliah perdananya tentang Perwakilan Utama Tasawuf Islam pada usianya yang ke dua puluh tiga. Pada tahun 1951, ia meraih gelar doktor yang kedua dalam Sejarah Agama-Agama yang diberikan oleh Fakultas Teologi Protestan di Marburg, dengan judul penelitian tentang cinta mistis dalam Islam.
Schimmel sangat mengapresiasi Fakultas Teologi Islam tersebut yang hendak menjadikannya sebagai pengajar, lantas dia bertanya, seolah menantang, apakah ada sebuah fakultas teologi Protestan Jerman yang berani menunjuk seorang wanita muslim untuk guru besar? Bahkan dalam sambutannya pada Kongres Internasional tentang Sejarah Agama di Roma pada Agustus 1990, Annemarie Schimmel menyampaikan kekecewaannya terhadap kajian tentang Sejarah Agama yang selalu dikaji dari sudut pandang yang menguntungkan Barat. Namun sayang, sikap para sarjana Barat tampaknya masih banyak dipengaruhi oleh latar belakang ”biblikal” dan pendekatan ”klasik” terhadap keilmuan.
Schimmel tinggal di Turki selama lima tahun (1954-1959) dan membuatnya ”terobsesi” dengan Rumi. Melalui bukunya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Dunia Rumi: Hidup dan Karya Besar Penyair Sufi.
Selain Rumi, tokoh favorit Schimmel yang lain adalah Muhammad Iqbal, yang merupakan pemikir Indo-muslim dan penyair, yang juga mewarnai tulisan-tulisannya selama ini. Hal ini menyebabkan dirinya pada tahun 1958 mengunjungi Pakistan yang merupakan titik tolak dari suatu kepentingan penelitian baru yang akhirnya membawanya ke Universitas Harvard.
Pada kunjungan pertamanya ke Amerika Serikat untuk menghadiri Kongres ke-11 Asosiasi Internasional untuk Sejarah Agama di Claremont, California, Schimmel didekati oleh Harvard Wilfred Cantwell Smith, yang mengatakan bahwa terdapat dana besar yang telah diberikan kepada Universitas Harvard untuk mengkaji dua penyair besar Urdu, Mir dan Ghalib, dan menyuruh menerjemahkan karya mereka ke dalam bahasa Inggris dengan gaya bahasa puitis.
Ia sebagai Dosen pada bidang Budaya Indo-Muslim, dan pada tahun 1970 ia diangkat sebagai profesor penuh. Annemarie Schimmel mengajar hanya pada musim semi saja dan hampir setiap tahun ia pergi ke Pakistan di musim gugur. Schimmel merupakan dosen yang banyak dicari, dengan gaya penyampaiannya yang khas, yaitu menggenggam tasnya dengan kedua tangan, menutup matanya, dan berbicara untuk persis jumlah waktu yang diberikan padanya.
Ia pensiun dari Harvard pada tahun 1992 dan kembali ke Bonn. Dalam kesehariannya, dia menghabiskan hidupnya dengan kegiatan perkuliahan dan menulis. Ia menerima Hadiah Perdamaian bergengsi dari Asosiasi pada tanggal 15 Oktober 1995.
Schimmel meninggal dunia pada tanggal 26 Januari 2003 karena komplikasi setelah operasi. Schimmel meninggalkan seorang anak yang sangat dicintai, sepupu dan keluarganya, yang sekarang tinggal di California dan New Jersey.

Karir Akademik
Schimmel selalu mengenang ayahnya sebagai ”teman bermain indah penuh menyenangkan”. Ibunya membuatnya merasa dia adalah anak dari impian dan rumahnya penuh dengan puisi dan sastra, meskipun keluarganya bukanlah lulusan sastra.
Titik balik dalam hidupnya datang pada 1954 ketika dia diangkat menjadi Profesor Sejarah Agama di Universitas Ankara (Turki). Di sana ia menghabiskan lima tahun mengajar di Turki dan membenamkan dirinya dalam tradisi budaya dan mistis Negara.
Berkat karyanya tentang Islam, tasawuf atau mistisisme dan Muhammad Iqbal, pemerintah Pakistan akhirnya memberikan penghargaan sipil tertinggi kepadanya yang dikenal dengan Sitara e Imtiaz (Star of Excellence) dan Hilal e Imtiaz
Adapun di antara karya-karya Schimmel adalah As Through A Veil: Mystical Poetry in Islam, New York: Columbia University Press, 1982; And Muhammad Is His Messenger: The Veneration of the Prophet in Islamic Piety, The University of North Carolina Press, 1985; Anvari’s Divan: A Pocket Book for Akbar, 1994; A Dance of Sparks: Imagery of Fire in Ghalib’s Poetry; A Two-Colored Brocade: The Imagery of Persian Poetry, University of North Carolina Press, 1992; Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam, Gifford Lectures, 1992; Gabriel’s Wing: Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal; Mystical Dimensions of Islam, North Carolina Univ. Press, 1975; Introducción al Sufismo, 2007; Rumi’s World : The Life and Works of the Greatest Sufi Poet; Im Reich der Grossmoguls: Geschichte, Kunst, Kultur, 2000; The Empire of the Great Mughals: History, Art and Culture, Ed. Reaktion books Ltd, London, 2004; The Triumphal Sun: A Study of the Works of Jalaloddinn Rumi, London: East-West Pub., 1980; Islamic literatures of India, Wiesbaden : O. Harrassowitz, 1973; Mohammad Iqbal, poet and philosopher: a collection of translations, essays and other articles, Karachi, Pakistan-German Forum, 1960; Classical Urdu literature from the beginning to Iqbal, Wiesbaden : O. Harrassowitz, 1975; Islam: An Introduction, Albany: State University of New York Press, 1992; We believe in one god: the experience of God in Christianity and Islam, 1979; Calligraphy and Islamic Culture, New York University Press, (1990); Islamic Names: An Introduction (Islamic Surveys), Edinburgh University Press, England, 1990; My Soul is a Woman, The Feminine in Islam, 1997; Make A Shield From Wisdom : Selected Verses from Nasir-i Khusraw’s Divan, 2001; Das Mysterium der Zhal, ed. Eugen Diederichs Verlag, Munich, (1983)

Konsep Tasawuf Menurut Annemarie Schimmel
Sebelum masuk pada pembahasan bagaimana Schimmel (outsider) menggambarkan tasawuf, penyusun akan menggambarkan bagaimana tasawuf berkembang dalam pikiran para sufi dan pengamat insider tasawuf terlebih dahulu.
Kata tasawuf berasal dari bahasa Arab, yaitu tashawwuf. Kata tashawwuf merupakan ism mashdar dari fi’il فوصتي-فوصت menjadi افوصت. Kata فوصتي-فوصت merupakan ينفرحب ديزم لعف yaitu ”tâ’” dan ”mudhâ’af,” yang sebenarnya berasal dari يثلاث درجم لعف yaitu فوصي - فاص menjadi افوص yang berarti menjadi berbulu yang banyak.
Sebenarnya para pengkaji berbeda pendapat tentang asal kata tasawuf, disamping ada yang berpendapat seperti penjelasan di atas, ada juga yang mengatakan berasal dari kata al shuffah, al shaff, al shufanah dan al shuf:
Tasawuf adalah ajarannya, sementara pelakunya disebut mutashawwif  yang dalam bahasa Indonesia disebut sufi, sebagai sifat bagi orang yang biasa menggunakan kain shuf.
Menurut Sahal Ibnu Abdillah, sebagaimana dikutip Rosihon Anwar, tasawuf adalah menyedikitkan makan, sungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah, dan lari dari manusia. Melalui perspektif yang lebih inklusif dan sosialis, Haidar Bagir dengan konsep tasawuf positifnya mengatakan bahwa sufi yang baik adalah sufi yang mementingkan amal amal sholeh untuk memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Ia adalah orang yang sehat, giat bekerja, mencari nafkah bagi kehidupan dunianya.
Tasawuf adalah ajaran Islam yang membina akhlak manusia di atas bumi ini, agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan hidup lahir dan bathin, dunia dan akhirat.
Sufi adalah orang yang memiliki sikap-sikap mulia dan menghindari sikap-sikap tercela, sanggup menderita lapar dan dahaga, tetapi bila memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya (zuhud).
Zuhud dapat dibagi menjadi dua, sebagai maqam dan akhlaq.
1.   Maqam, zuhud berarti hilangnya kehendak, kecuali berkehendak untuk bertemu dengan Tuhan. Dunia dianggap penghalang (hijab) bertemunya seseorang dengan Tuhan dan karena itu ia dianggap sesuatu yang berlawanan arah (dikotomi) dengan-Nya.
2.   Akhlaq, zuhud dapat diwujudkan dalam kehidupan yang sederhana, wajar, integratif, inklusif dan aktif dalam berbagai kehidupan di dunia ini, sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah saw. dan shahabat-shahabatnya
Ihsan meliputi semua tingkah laku muslim, baik tindakan lahir maupun tindakan batin, dalam ibadah maupun muamalah, sebab ihsan adalah jiwa dari iman dan islam. Îmân sebagai pondasi yang ada pada jiwa seseorang dari hasil perpaduan antara ilmu dan keyakinan, penjelmaannya berupa tindakan badaniyah (ibadah lahiriyah) disebut Islam. Perpaduan antara iman dan islam pada diri seseorang akan menjelma sebagai pribadi dalam bentuk akhlaq al karimah atau disebut ihsan.
Syekh Fadhlalla Haeri mengatakan bahwa tasawuf harus dimulai dari praktek-praktek lahir. Artinya, tidak benar jika dikatakan bahwa tasawuf harus menghindari urusan dunia dengan sangat fokus pada urusan akhirat saja.
Menurut Schimmel, tasawuf sama dengan mistik. Hal itu terlihat dari tulisan-tulisan tasawufnya yang selalu menggunakan terma mistisisme, bukan terma sufisme, apalagi terma tashawwuf, meski dia mengakui ada beberapa orang yang menggunakan terma sufisme untuk menjelaskan tasawuf.
Munculnya kata mistik diambil dari kata Yunani myein yang berarti ”menutup mata.” Mistik adalah sesuatu yang mengandung kemisteriusan yang tidak bisa dicapai dengan cara-cara biasa atau usaha intelektual. Mistik disebut ”arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama.” Dalam artinya yang paling luas, mistik bisa didefinisikan sebagai kesadaran terhadap Kenyataan Tunggal, yang mungkin disebut kearifan, Cahaya, dan Cinta.
Diantara para orientalis, ada yang menyebut istilah tasawuf dengan sufisme dan mistisisme dalam konsep Wilayah dalam Sufisme Awa, Sedangkan yang menggunakan istilah mistisisme adalah Leonard Lewisohn dalam Pencarian Pembinasaan.
Istilah sufisme merupakan terma yang lebih tepat dibanding dengan penggunaan istilah mistisisme, karena tasawuf sesungguhnya tidak hanya berisi tentang perilaku-perilaku mistik saja, seperti cerita Nabi Yunus dengan ikan paus atau al Hallaj yang bisa menyatu dengan Tuhan, melainkan juga anjuran untuk hidup bersama, berbagi dan saling menghormati, sebagaimana tasawuf akhlaqi al Ghazali. Dalam konteks tasawuf, al Ghazali menganut tasawuf yang bercorak psiko-moral, yang mengutamakan pendidikan moral sesuai dengan naluri alamiah Islam. Al Ghazali mengusung konsep ma’rifah dalam batas pendekatan diri kepada Allah (taqarrub bi Allah).
Menurut hemat penyusun, ini adalah jawaban kenapa Schimmel tidak pindah keyakinan menjadi Muslim, melainkan tetap sebagai penganut Protestan yang setia meski telah lama mengkaji bahasa dan peradaban Islam, mengajar tasawuf di berbagai universitas, bahkan telah lama meneliti tentang kajian tasawuf. Bagi Schimmel, semua agama mengajarkan kemistikan, dalam arti kesadaran terhadap Kenyataan Tunggal, yang mungkin disebut kearifan, Cahaya, dan. Jika semua agama memiliki ajaran kemistikan, maka semua agama memiliki ajaran tasawuf.
Namun pendapat ini ditolak oleh Abu Husein an-Nuri yang menganggap tasawuf hanya ada pada ajaran Islam karena tasawuf adalah ajaran untuk pasrah kepada Tuhan, yaitu Allah, bukan Tuhan yang lain.
Al Ghazali melarang seseorang untuk menjadi kafir, karena kufr menurut al Ghazali adalah penyakit hati yang harus dibersihkan karena dapat membuat hati seseorang menjadi mati. Selain kufr, penyakit hati yang lain adalah munafik, fasik, kema’siatan, dan bid’ah.
Kufr harus dihilangkan (takhallî) dari manusia, karena penyakit hati itu akan menghalangi manusia untuk menyucikan jiwa (tazkiyah al nafs). Kufr merupakan perbuatan melanggar syari’at yang sudah sangat jelas dan akan menggugurkan kalimat syahadat yang telah diucapkan, karena kufr merupakan kegelapan yang menyebabkan setiap perbuatan tidak bermanfaat.
Secara definitif, al Ghazali menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kufr adalah pengingkaran terhadap Rasulullah SAW. dan ajaran-ajaran yang dibawanya, sedangkan iman (lawan kufr) adalah mempercayai segala bentuk ajaran yang dibawanya.
Jika dihubungkan dengan konsep tasawuf Schimmel yang mengatakan bahwa semua orang yang mengerti dan mengajarkan tentang kesadaran terhadap Kenyataan Tunggal, kearifan, Cahaya, dan Cinta, dapat dianggap sebagai sufi, maka ini harus dikritisi kembali. Karena tasawuf bukan hanya sekedar ajaran mistik saja, melainkan juga metode penyucian jiwa agar tercapai kondisi taqarrub bi Allah.
Ini menunjukkan bahwa yang disebut sufi bukanlah seseorang yang sekedar hidup sederhana, berbaju compang-camping, kumuh, lusuh, miskin, dan memiliki kesadaran terhadap Kenyataan Tunggal, kearifan, Cahaya, dan Cinta saja, melainkan dia juga harus seorang muslim, karena tasawuf memiliki konsepsi tersendiri, setidaknya seperti yang disampaikan al Ghazali dan Abu Husein an-Nuri.
Menurut Amin Syukur, ”kajian Schimmel tentang tasawuf hanya sebatas historisitas, mengulas aspek luarnya saja” Mungkin hal itu disebabkan oleh basic pendidikan Sejarah Agama - Agamanya yang juga mewarnai alur berpikirnya ketika melihat tasawuf salah satu kelemahan kajian yang dilakukan outsider adalah keterbatasan informasi yang dimiliki. Pembahasan Schimmel tentang konsep sholat dan doa menjadi tumpang tindih, seolah sama, tetapi juga terkesan berbeda.
Sementara pendapat berlawanan justru menganggap kajian tasawuf Schimmel telah berjasa membuat pemahaman madzhab-madzhab sufi menjadi tidak bisa. Wahid Bakhsh Rabbani juga menganggap sang orientalis protestan ini pantas mendapatkan penghargaan karena kedalaman pengetahuannya tentang doktrin-doktrin sufi.
Sejalan dengan pendapat Wahid Bakhsh Rabbani, berdasarkan pengetahuan penyusun dan sejauh beberapa literatur yang pernah dibaca, penyusun berkesimpulan bahwa kajian ketimuran yang dilakukan Schimmel cenderung obyektif. Orientalis yang tidak utuh melihat keislaman (ketimuran) itu dipengaruhi oleh latar belakang ”biblikal” dan pendekatan ”klasik” terhadap keilmuan.
Meskipun Schimmel pernah menulis buku yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul ”Definisi Tasawuf, Manusia dan Kesempurnaanya, Tharîqah, dan Tasawuf Teosofis,” Artinya, apa yang tertuang dalam tulisan tasawuf Schimmel adalah rangkuman atau tulisan ulang terhadap konsep tasawuf beberapa sufi besar, seperti al Rumi. Tentunya hal ini berbeda dengan al Ghazali yang memiliki rumusan tersendiri tentang tasawauf yang bisa jadi berbeda dengan konsep tasawuf gurunya, Yusuf al Nassaj dan Afdhal bin Muhammad (Dunia, 1971: 18).

Simpulan
Schimmel hanya melihat tasawuf dari sisi luarnya saja, oleh karenanya dia menganggap tidak perlu masuk Islam meski telah berpuluh-puluh tahun bergelut dengan dunia tasawuf. Baginya yang terpenting adalah bisa melaksanakan ajaran yang disampaikan tasawuf (mistik), yaitu kesadaran terhadap Kenyataan Tunggal, Kearifan, Cahaya, dan Cinta, tanpa harus pindah keyakinan teologis menjadi muslim.
Meski Schimmel seorang outsider orientalis, namun jasa-jasanya yang tertuang dalam tulisan tentang tasawuf dapat dijadikan sebagai salah satu referensi yang cukup representatif tentang ketasawufan, karena kajiannya yang mendalam dan cenderung objektif.


Daftar Pustaka

Ahmad, Zainal Abidin. 1975. Riwayat Hidup al Ghazali. Jakarta: Bulan Bintang.
Anwar, Rosihon. 2009. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia Arberry A. J. 2005. Pasang Surut Aliran Tasawuf. Bandung: Mizan.
Arifin, Samsul, dkk. 1996. Spiritualitas Islam dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: Sippress.
Bagir, Haidar, 2002. Manusia Modern Mendamba Allah. Dalam Ahmad Najib Burhani (ed.), Manusia Modern Mendamba allah: Renungan Tasawuf Positif.
Jakarta: Mizan Media Utama.
Baldick, Julian. 2002. Islam Mistik; Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf. Jakarta: Serambi.
Burhani, Ahmad Naji. 2002. Pengantar Editor. Dalam Ahmad Najib Burhani (Ed.), Manusia Modern Mendamba Allah: Renungan Tasawuf Positif. Jakarta: Iman dan Hkmah.
Dunia, Sulaiman. 1971. al Haqiqah fi Nazhr al Ghazali. Kairo: Dar al Ma’arif.
Ghazali Al . 1998. Al Munqîdh min al Dhalâl. Trjemahan oleh Achmad Khudori Soleh. Bandung: Pustaka Hidayah.
Ghazali Al . tt. Ihyâ’ Ulûm al dîn, Jilid III, Beirut: Dar Al Fikr.
Ghazali Al . 1997. Kaidah-Kaidah Sufistik; Keluar dari Kemelut Tipudaya.
Terjemahan oleh Mohammad Luqman Hakiem dan Ahmad Najieh. Surabaya: Risalah Gusti.
Ghazali Al . 1996. Majmû’ah Rasâil al Imâm al Ghazâlî. Beirut: Dâr al Fikr.
Haeri, Syekh Fadhlalla. 2003. Dasar-Dasar Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka
Sufi.
Haskins, Charles Homer. 1993. A Life of Annemarie Schimmel. Williamsburg:
ACLS.
Hawwa, Sa’id. 2007. Tazkiyatun Nafs; Intisari Ihya’ Ulumuddin. Terjemahan oleh Abdul Amin, dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
Husainî al , Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad. tt. Kifâyah al ahyâr fi Halli Ghâyah al Ikhtishâr, Surabaya: Dâr al Kitâb al Islâmî.
Khan, Hazrat Inayat. 2002. The Heart of sufism, alih bahasa Andi Haryadi, Bandung: PT. Rosdakary.
M., Saini K. 2005. Mengapa Puisi Sufi? Dalam Annemarie Schimmel, Menyingkap yang Tersembunyi: Misteri Tuhan dalam Puisi-Puisi Mistis Islam. Bandung: Mizan.
Mason, Herbert. 2002. Hallaj dan Madzhab Sufisme Baghdad. Dalam Leonard Lewisohn, Warisan Sufi: Sufisme Persia Klasik, dari Permulaan hingga Rumi. Terjemahan oleh Gafna Raizha Wahyudi. Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Musthofa, H.A. 2002. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Lewisohn, Leonard. 2002. Warisan sufi: Sufisme Persia Klasik, dari Permulaan hingga Rumi Terjemahan oleh Gafna Raizha Wahyudi. Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Rabbani, Wahid Bakhsh. 1995. Islamic Sufism: The Science of Flight in God, with God, by God and Union and Communion with God also Showing the Tremendeous Sufi Influence on Christian and Hindu Mystics and Mysticism.
Kuala Lumpur: Zafar.
Schimmel, Annemarie. 1997. Islam & World Peace; Explanation of A Sufi, alih bahasa Su’aidi Asy’ari. Bandung: Pustaka hidayah.
Schimmel, Annemarie. 1996. Kata Pengantar. Dalam Sachiko Murata, The Tao of Islam: A Source Book on Gender Relationship in Islamic Thought. Terjemahan oleh Rahmani Astuti dan M. S. Nasrullah. Bandung: Mizan.
Schimmel, Annemarie. 2000. Dimensi Mistik dalam Islam. Terjemahan oleh Sapardi Djoko. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Schimmel, Annemarie. 2002. Dunia Rumi: Hidup dan Karya Besar Penyair Sufi, alih bahasa Saut Pasaribu. Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Schimmel, Annemarie. 2005. Menyingkap yang Tersembunyi: Misteri Tuhan dalam Puisi-Puisi Mistis Islam. Bandung: Mizan.
Syukur, M. Amin. 2012. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syukur, M. Amin. 2004. Tasawuf sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syukur, M. Amin. 1997. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar