Senin, 02 November 2015

Macam Macam Akad Perjanjian



                                                          MACAM MACAM AKAD 






Makalah Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Hukum Perikatan dan Perbandingan





Dosen Matakuliah :

Dr. Suwandi, M.H







Disusun Oleh:

ANSARI

NIM: 14781019













MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

TAHUN AJARAN 2015



KATA PENGANTAR





Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Allah SWT, karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini yang berjudul “MACAM-MACAM AKAD” tepat pada waktunya. Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Allah SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Dan Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.




Hormat Kami


   Ansari, S.H.I











PENDAHULUAN


  1. Latar Belakang
Perjanjian merupakan salah satu cara yang membantu manusia agar dapat berinteraksi dengan yang lainnya dengan baik. Dalam perjanjian terdapat suatu kesepakatan antara kedua belah pihak yang telah mengikat keduanya. Maka dari itu, suatu perjanjian itu suatu kesepakatan yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mencapai tujuan bersama. Dan dari sinilah akan timbul rasa kebersamaan antara manusia.
Permasalahan hukum akan timbul manakala ketika masih dalam proses perundingan sebelum perjanjian tersebut sah, salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum seperti meminjam uang, membeli tanah padahal belum tercapai kesepakatan final antara mereka mengenai kontrak bisnis yang dirundingkan.
Perikatan atau perjanjian, ataupun transaksi-transaksi lainya dalam konteks fiqih muamalah dapat disebut dengan akad. Kata akad berasal dari bahasa arab al-‘aqd bentuk jamaknya al-‘uqud yang mempunyai arti perjanjian, persetujuan kedua belah pihak atau lebih dan perikatan.
  1. Rumusan masalah
1.      Apa definisi hukum dan dalil perjanjian syariah?
2.      Bagaimana keabsahan hukum perjanjian syari’ah dan perbedaan akad & perjanjian ?
3.      Apa saja rukun dan syarat akad dan syarat sahnya hukum perjanjian syari’ah?
4.      Apa saja ruang lingkup akad hukum perjanjian syariah ?
  1. Tujuan
1.      Mahasiswa mampu memahami pengertian hukum perjanjian syariah beserta dalilnya
2.      Mahasisiwa mengetahui keabsahan hukum perjanjian syari’ah serta perbadaan akad
3.      Mahasiswa mengetahui apa saja rukun dan syarat akad dan syarat sahnya perjanjian syari’ah
4.      Memahami ruang lingkup akad hukum perjanjian syariah
BAB II
PEMBAHASAN

  1. Definisi Hukum Perjanjian Syariah
Di dalam menjelaskan pengertian hukum perjanjian syariah terdapat 2 arti, baik secara etimologi maupun secara istilah. Dalam bahasa Arab perjanjian itu diartikan sebagai Mu’ahadah Ittifa’.[1] Akan tetapi di dalam Bahasa Indonesia, perjanjian itu dikenal sebagai kontrak. Yang mana dengan hal ini, perjanjian merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok dengan yang lainnya sehingga untuk mengikat antar keduanya baik dirinya sendiri maupun orang lain.[2]
Istilah itu dalam al-Quran terdapat 2 macam yang berhubungan dengan perjanjian yaitu akad dan ‘ahdu (al-‘ahdu). Akad itu hubungannya dengan perjanjian. Sedangkan ‘ahdu merupakan pesan, masa, penyempurnaan dan janji. Dalam hal ini, akad itu disamakan dengan seperti halnya perikatan, sedangkan kata Al-‘Ahdu disamakan dengan perjanjian. Maka dari itu, perjanjian juga dapat diartikan yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan ataupun tidak melakukan apa- apa dan tidak berkaitan dengan kemauan orang lain.[3]
Sedangkan dalam KUHPerdata pasal 1313 yang berbunyi:
“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
Dalam pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. [4]
Di dalam melakukan suatu perjanjian itu harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Yang mana terdapat ijab qabul. Agar perjanjian yang telah disepakati dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan tujuan. Dengan adanya ijab qabul ini, suatu perjanjian dapat dinyatakan sebagai perjanjian yang sah sesuai dengan syariat islam. Yang mana terjadi pemindahan suatu kepemilikan antara orang yang satu kepada orang yang lain yang manfaatnya bisa dirasakan oleh kedua belah pihak yang melakukan suatu perjanjian.
Terdapat beberapa pendapat antara lain, menurut Ahmad Azhar Basyir, dia mengatakan akad merupakan perikatan antara ijab dan qabul, yang mana keduanya dapat menetapkan adanya akibat- akibat hukum yang ada yang mengacu kepada obyeknya. Di dalam Peraturan Indonesia Nomor 7/ 46/ PBI/ 2005 yang di dalamnya menetapkan dalam hal Akan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah[5].
Dalam hal ini setelah pemaparan di atas, maka dapat dikatakan bahwasannya akad adalah suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban untuk berprestasi antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, yang mana antara keduanya terdapat hubungan timbal balik.
Adapun secara terminology ulama fiqh melihat akad dari dua sisi yakni secara umum dan secara khusus.
1.      Secara umum
Pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama SAyafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah, yaitu :

كُلُّ مَا عَزَمَ المَرْءُ عَلَى فِعْلِهِ سَوَاءٌ صَدَرَ بِاِرَادَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كَالْوَقْفِ وَاْلإِبْرَاءِ وَالطَّلاَقِ واليَمِيْنِ أَمْ اِحْتَاجَ إِلَى إِرَادَتَيْنِ فِي إِنْشَائِهِ كَلْبَيْعِ وَالْاِيْجَارِوَالتَّوْكِيْلِ وَالرَّهْنِ .
Artinya : “segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti waqaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai.”[6]
Selain itu ada juga yang mengatakan bahwa akad adalah “Setiap yang diinginkan manusia untuk mengerjakanya, baik keinginan tersebut berasal dari kehendaknya sendiri, misalnya daam hal wakaf, atau kehendak tersebut timbul dari dua orang misalnya dalam hal jual beli atau ijaroh.”[7]
Sehingga secara umum akad adalah segala yang diinginkan dan dilakukan oleh kehendak sendiri, atau kehendak dua orang atau lebih yang mengakibatkan berubahnya status hukum objek akad (maqud alaih).
2.      Pengertian akad secara khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan oleh ulama fiqh adalah

إِرْتَبَاطُ إِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ عَلىَ وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ يَثْبُتُ أَثَرُهُ فِى مَحَلِهِ.
Artinya: “Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.”[8]
 Selain itu juga ada Definisi lain tentang akad yaitu “Suatu perikatan Antara ijab dan Kabul dengan cara yang dibenarkan syarak dengan menetapkan akibat-akibat hukum pada objeknya.”
Melihat dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa kesepakatan antara kedua belah pihak ditandai dengan sebuah ijab dan qobul yang melahirkan akibat hukum baru. Dengan demikian ijab dan qobul adalah sutu bentuk kerelaan untuk melakukan akad tersebut. Ijab qobul adalah tindakan hukum yang dilakukan kedua belah pihak, yang dapat dikatakan sah apabila sudah sesuai dengan syara’. Oleh karena itu dalam islam tidak semua ikatan perjanjian atau kesepakatan dapat dikategorikan sebagai akad, terlebih utama akad yang tidak berdasarkan kepada keridloan dan syariat islam. Sementara itu dilihat dari tujuanya, akad bertujuan untuk mencapai kesepakatan untuk melahirkan akibat hukum baru.
Sehingga akad dikatakan sah apabila memenuhi semua syarat dan rukunya. Yang akibatnya transaksi dan objek transaksi yang dilakukan menjadi halal hukumnya.

B.     Dalil tentang perjanjian
1.   Al-quran
بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
Artinya : (Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.(Q.S. Ali ‘Imran: 76)
Sabda Rasulullah SWT. “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
Adapun dasar hukum dilakukannya akad berdasarkan Al-quran adalah surat Al-Maidah ayat 1 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. …..”[9]
Berdasarkan ayat diatas dapat disimpulkan bahwa memenuhi akad yang pernah dilakukan atau disepakati adalah wajib hukumnya.
2.   As-sunnah
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Abu Hurairah menyampaikan bahwa rasulullah SAW. Berkata bahwa Allah SWT. Berfirman: “aku anggota ketiga dari dua orang yang bersyarikah selama keduanya tetap berlaku jujur. Apabila salah seorang anggota syirkah itu mengkhianati temannya, maka aku keluar dari syirkah itu”.

C.    Rukun dan Syarat Akad
Untuk sahnya suatu akad harus memenuhi hukum akad yang merupakan unsur asasi dari akad. Rukun akad tersebut adalah :
1.   Aqid adalah orang yang berakad.
2.   Mauqud alaih adalah benda-benda yang diakadkan seperti benda-benda yang dijual.
3.   Maudhu’ al ‘aqd adalah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.
4.   Shighat al ‘aqd adalah ijab dan qobul, hal-hal yang harus diperhatikan dalam shighat al ‘aqd (shighat akad adalah dengan cara bagaimana ijab dan kabul yang merupakan rukun akad dinyatakan) adalah sebagai berikut:
a.       Harus jelas pengertiannya.
b.      Harus bersesuaian antara ijab dan qobul.
c.       Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa dan tidak karena diancam atau ditakut-takuti oleh orang lain, karena dalam tijarah harus saling meridhoi.
d.      Beberapa cara untuk menggambarkan kehendak akad:
1.   Secara tulisan (kitabah), “tulisan itu sama dengan ucapan”
2.   Isyarat. Bagi oramg-orang tertentu akad atau ijab dan qobul tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan , contoh orang yang bisu, Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah.
3.   Ta”athi (saling memberi).[10]
Disamping rukun, syarat akad juga harus terpenuhi  agar akad itu sah. Adapun ayarat-syarat itu adalah :

   1.      Syarat Adanya Sebuah Akad (Syarth Al-In-Iqod)
Syarat adanya akad adalah sesuatu yang mesti ada agar keberadaan suatu akad diakui syara’. Syarat umum ini ada 3, yaitu : 
1)      Syarat-syarat yang harus dipenuhi pada empat rukun
2)      Akad itu bukan akad yang terlarang
3)      akad itu harus bermanfaat.

   2.      Syarat Sah Akad
Secara umum para fukaha menyatakan bahwa syarat sahnya akad adalah tidak terdapatnya lima hal perusak sahnya dalam akad, yaitu :
1)      ketidakjelasan jenis yang menyebabkan pertengkaran (al-jilalah)
2)      untuk adanya paksaan (ikrah)
3)      membatasi kepemilikan terhadap suatu barang (taufiq)
4)      terdapat unsur tipuan (gharar)
5)      terdapat bahaya dalam pelaksanaanakad (dharar)

   3.      Syarat Berlakunya Akad
Syarat ini bermaksud berlangsungnya akad tidak tergantung pada izin orang lain. Syarat berlakunya sebuah akad yaitu :
1)   Adanya kepemilikan terhadap barang atau adanya otoritas (AL-Wilayah) untuk mengadakan akad, baik secara langsung atau pun perwakilan.
2)   Pada barang atau jasa tersebut tidak terdapat hak orang.
3)   Syarat adanya kekuatan hukum (Luzum Abad)
Suatu akad baru bersifat mengikat apabila ia terbebas dari segala macam hak khiyar (hak untuk meneruskan atau membatalkan transaksi).[11]

D.    Pembagian Akad
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat banyak akad yang kemudian dapat dikelompokkan dalam berbagai variasi jenis-jenis akad. Mengenai pengelompokan jenis-jenis akad ini pun terdapat banyak variasi penggolongan-Nya. Secara garis besar ada pengelompokan jenis-jenis akad, anrata lain :
1.   Akad ditinjau dari tujuannya terbagi atas dua jenis :
a.    Akad tabarru yaitu akad yang dimaksud untuk menolong dan murni semata-mata karena mengharapkan ridlo dan pahala dari Allah SWT. Seperti wakaf, wasiat, wakalah dll.
b.   Akad tijari  yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat telah dipenuhi semuanya. Seperti murabahah, istishna’, dan ijarah.[12]
2.   Berdasarkan sifatnya akad terbagi menjadi dua yakni shahih dan ghair shahih.
a.    Shahih, yaitu akad yang semua rukun dan syaratnya terpenuhi sehingga menimbulkan dampak hukum. Shahih dibagi menjadi dua, yaitu: Nafidh dan Mauquf.
b.   Nafidh, yaitu  akad yang tidak tergantung kepada keizinan orang lain seperti akadnya orang yang akil, balig, dan mumayyiz; Nafidh ada dua yaitu:
a)      Lazim, yaitu akad yang tidak bisa dibatalkan tanpa kerelaan pihak lain, seperti jual beli dan sewa.
b)      Ghair lazim, seperti wakalah dan pinjaman.
3.   Mauquf, yaitu yang tergantung, seperti akadnya fudhuli.
Ghair shahih, yaitu yang tidak terpenuhi rukun atau syaratnya sehingga tidak menimbulkan menimbulkan dampak hukum. Menurut hanafiyah ada dua:
a.    Batil, yang ada kecacatan pada rukunya, seperti qobul tidak sesuai dengan ijab.
b.   Fasid, yang ada kecacatan pada syarat atau sifatnya, seperti jual beli sesuatu yang tidak diketahui sifat-sifatnya.
Kedua-duanya tidak menimbulkan dampak hukum. Batil dan Fasid sama saja bagi jumhur ulama, keduanya tidak menimbulkan dampak hukum.
Berdasarkan hubungan dampak hukum dengan sighatnya: munjiz,mudhof ilal mustaqbal dan mua’allaq. Berikut ini akan diuraikan satu per satu.
1.   Munjiz, yaitu akad yang sighatnya untuk cukup membuatnya terjadi dan dampak hukumnya ada seketika (seperti jual beli).
2.   Mudhof ilal mustaqbal sighatnya menunjukkan akad, namun dampak hukumnya terjadi pada waktu akan datang yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak (saya sewakan rumah saya kepada anda seharga 20 dinar perbulan mulai depan).
3.   Mu’allaq, yaitu akad yang kewujudannya digantungkan kepada kewujudan sesuatu lainnya (seperti, kalau saya pergi ke irak, maka kamu jadi wakilku dalam perjualan rumahku).[13]

E.     Keabsahan Hukum Perjanjian Syariah Dan Perbedaan Antara Akad Dan Perjanjian
     1.      Keabsahan Hukum Perjanjian Syariah
Di dalam melakukan suatu perjanjian harusnya terdapat rukun dan syaratdari suatu akad. Agar perjanjian tersebut dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah. Syarat merupakan salah satu unsur yang harus ada dalam berbagai hal, baik peristiwa maupun tindakan.
a.    Rukun akad  merupakan di dalamnya terdapat ijab dan qobul. Dan rukun tersebut menyangkut dengan adanya subyek dan obyek
b.   Syarat yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian itu disepakati oleh kedua belah pihak yang mana akan mempunyai akibat hukum :
c.    Ijab Qabul itu harus dinyatakan atau dilakukan oleh orang yang mencapai umur tamyiz atau bbisa dikatakan sebagai orang yang cakap. Karena bila orang tersebut tidak cakap, maka orang tersebut tidak dapat melakukan suatu perjanjian maupun perikatan dengan orang lain.
d.   Ijab qabul harus merujuk kepada obyek perjanjian tersebut.
e.    Ijab qabul harus ada hubungannya dengan majelis, bila kedua belah pihak sama- sama hadir.
f.    Jumhur ulama mengatakan bahwa ijab dan qabul merupakan salah satu unsur penting suatu perjanjian atau akad.[14]

     2.      Perbedaan Antara Akad Dan Perjanjian
Dalam perspektif hukum positif (legal level), akad sama dengan perjanjian. Namun, hal ini berbeda dengan perspektif syari’ah. Pada sharia level, akad tidak selalu berarti perjanjian. Suatu akad baru dapat dikatakan sebagai perjanjian jika dan hanya jika kesepakatan antara bank syari’ah dan nasabah terjadi ketika kualitas, kuantitas, dan harga objek transaksi serta waktu penyerahan telah diketahui. Sementara itu, dalam pembiayaan yang berbentuk line facility, syari’ah memandang perjanjian tersebut bukan termasuk akad, melainkan hanya berbentuk wa’ad (promise). Dalam konteks ini, akad baru akan terjadi pada saat dropping pembiayaan yang diwujudkan dalam bentuk SPRP (surat permohonan realisasi pembiayaan) dari nasabah dan dijawab oleh bank dalam bentuk surat persetujuan pencairan pembiayaan.
Dengan kata lain, dalam sharia level, akad tidak selalu berwujud surat perjanjian, melainkan juga bisa berbentuk surat dokumen pencairan. Begitu pula halnya dengan surat perjanjian, ia bisa mencerminkan suatu akad , bisa pula hanya mencerminkan sebuah wa’ad (promise). Istilah hukum yang sama dapat mempunyai dua arti yang berbeda, tergantung dari perspektif level apa yang digunakan.[15]

     3.      Hukum Akad dan Contoh Kasus
Dalam menghukumi suatu akad, maka sesuatu yang harus diperiksa terlebih dahulu adalah rukun akadnya karena apabila salah satu rukunya tidak terpenuhi maka akad yang dilakukan dapat dikategorikan tidak sah. Selain melihat dari sisi akad syarat-syarat dalam akad juga harus dilihat dan diperhatikan karena apabila syarat akad tidak terpenuhi maka tidak menutup kamungkinan akad yan dilakukan tidak sah.
Untuk memperjelas maksut penulis, penulis mencoba mengilustrasikan dalam contoh kasus berikut:
Disuatu daerah ada sebuah industry yang mana industry tersebut mengolah dan memanfaatkan kotoran hewan ternak, seperti sapi, kambing ataupun kerbau. Mereka memanfaatkan kotoran hewan tersebut untuk dijadikan dan dimanfaatkan sebagai pupuk, yang mana pupuk kompos (pupuk dari kotoran hewan) sangat berguna dalam membantu kesuburan tanaman.
Setelah mereka mengumpulkan kotoran hewan ternak tadi, mereka mengolah kotoran tersebut dan dijadikan menjadi pupuk. Setelah pupuk jadi mereka menjualnya kepada para petani untuk dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman mereka.
Melihat dari contoh kasus tersebut. Islam memandang kasus tersebut melalui kaca mata fiqh muamalah, yang mana salah satu babnya menerangkan mengenai permasalahan itu.
Dilihat dari transaksinya kegiatan tersebut menggunakan akad jual beli, yang mana hukum asal jual beli adalah boleh, seperti yang termuat dalam al-quran surat ( Al-Baqoroh ayat 275).
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ….. ٢٧٥
Artinya: “…Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba… “
Melihat dari transaksi yang dilakukan adalah boleh, namun kebolehan dari akad jual beli harus memenuhi semua persyaatan dan rukun yang menyertainya. Sementara itu dilihat dari objek yang dijual-belikan yakni kotoran hewan ternak, yang berdasarkan perspektif fiqh adalah barang najis.
Suatu akad dapat dikatakan sah apabila dalam pelakasanaan akad tersebut sudah sesuai dengan syariat islam. Yakni memenuhi rukun dan syarat sahnya akad. Yang mana syarat sahnya akad seperti dijelaskan diatas. Dimana kalau ditinjau dari yang melakukan transaksi sudah dapat dikatakan sah, karena keduanya sudah rela dalam menjual dan membeli barang tersebut. Sementara itu jika ditinjau dari shigoh yang dilakukan tidak ada kecacatan sama sekali, sehingga dapat juga dikatakan sah. Namun jika ditinjau dari aspek barang yang diperjual belikan yang mana barang yang diperjualbelikan adalah kotoran hewan ternak, yang mana jika ditinjau dari perspektif fiqh kotoran ternak adalah najis. Walaupun jika dilihat dari sisi manfaat sudah memenuhi, yakni barang yang diperjual belikan bermanfaat untuk kesuburan tanaman.
Namun jual beli yang dilakukan menjadi tidak sah karena barang yang diperjual belikan tergolong benda naijs, dan benda yang najis haram untuk diperjual beikan. Sehingga dapat dikatakan transaksi yang dilakukan tidak sah.
Melihat dari permasalahan diatas sangat disayangkan jika jual-beli yang dilakukan dihukumi haram, karena seperti yang diketahui bersama pupuk memilki banyak sekali manfaat untuk kesuburan tanaman. Terus bagaimana solusi agar akad tersebut menjadi sah, dan dalam memanfaatkan kotoran hewan menjadi halal?
Menurut pandangan kelompok kami, kami mencoba untuk berfikir diluar kotak, maksudnya kami mencoba berfikir dengan tidak terfokus pada objek akad tersebut, yang mana seperti yang kita ketahui bersama kotoran hewan ternak adalah najis dan tidak sah jika diperjualbelikan. Karena jual-beli pada akad tersebut juga dihukumi tidak sah, maka kami juga mencoba untuk tidak terfokus pada akad jual beli.
Dan solusi yang kami tawarkan adalah dengan merubah akad yang semula jual beli mejadi akad ijaroh, atau upah mengupah,, sehingga yang diperjual belikan bukan kotoranya tapi tenaga yang digunakan dalam mengolah tersebut, atau dalam bahasa lain upah mengupah jasa. Sehingga kotoran hewan masih bisa dimanfaatkan dan mempunyai hukum yg halal.

     4.      Syarat Sah dan Batalnya Suatu Hukum Perjanjian Syariah
Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam suatu akad perjanjian syariah agar perjanjian tersebut menjadi sebuah perjanjian yang sah, diantaranya yaitu:
1.   Tidak menyalahi hukum syariah yang telah disepakati
Bahwasannya suatu perjanjian yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak tersebut tidak boleh bertentangan maupun melawan  hukum syariah. Dikarenakan apabila suatu perjanjian dilakukan dengan menimbulkan adanya suatu pertentangan dengan hukum, maka perjanjian tersebut dikatakan suatu perjanjian yang tidak sah. Dalam hadis Rasulullah mengatakan :
2.   Harus sama ridha dan ada pilihan
Dalam melakukan suatu perjanjian, antara kedua belah pihak harus sama- sma ridha dan tidak ada paksaan dari pihak yang lainnya. Karena dalam hal itu sebuah perjanjian akan menimbulkan akibat hukum dan mempunyai kekuatan hukum. Apabila terdapat paksaan dari orang lain, maka perjanjian tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
3.   Harus jelas
Perjanjian yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak harus jelas apa adanya yang telah tercantum dalam perjanjian. Agar apabila terjadi suatu kesalahan suatu saat, antara kedua belah pihak sudah mendapatkan dan mengerti tentang apa yang mereka buat dalam sebuah perjanjian tersebut. Yang mana dengan hal ini, kedua belah pihak mempunyai hasil dari tujuan perjanjian yang telah mereka sepakati.
Sedangkan dalam sebuah akad bisa terjadi adanya suatu kebatalan atau terputusnya akad perjanjian, adapun factor-faktor yang menyebabkan batalnya suatu perjanjian diantaranya yaitu:
1)      Jangka waktu telah berakhir
Dalam melakukan suatu perjanjian harus ditentukan jangka waktunya. Agar di dalam melakukan suatu perjanjian, salah satu pihak tidak menyalahgunakan waktu yang telah ditentukan. Maka dari itu, suatu perjanjian juga mempunyai jangka waktu yang terbatas dalam melaksanakannya. Apabila jangka waktu yang telah disepakati kedua belah pihak telah habis maka perjanjian tersebut dapat dikatakan batal.
2)      Adanya penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu pihak
Apabila antara kedua belah pihak, yang mana salah satu pihak melakukan penyimpangan dalam sebuah perjanjian, maka perjanjian dapat dibatalkan. Akan tetapi, dalam membatalkan sebuah perjanjian harus ada aturannya. Seperti halnya bila diketahui ada salah satu pihak yang melakukan penyimpangan maka pihak yang lain diperbolehkan membatalkan perjanjian tersebut dengan baik sesuai dengan apa yang telah disepakati sebelumnya.
3)      Terdapat atau ditemukannya penipuan dalam perjanjian
Di dalam suatu perjanjian telah ditemukan penipuan yang dilakukan oleh salah satu pihak, maka pihak yang lain dapat membatalkan perjanjiannya sesuai dengan perjanjian yang mengikat sebelumnya. Seperti halnya yang telah tercantum dalam Al-Quran surat Al- Anfal 58 yang berbunyi :
“ Dan jika kamu khawatir akan ada penghianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang yang berkhianat.” (Dewan Penyelenggara Penterjemah / Penafsir Al- Quran, 1990 : 270).
Adapun prosedur dari perjanjian syariah:
     a)      Memberi lebih dulu kepada pihak yang melakukan perjanjian, bahwasannya perjanjian yang telah disepakati akan dihentikan. Dengan memberitahukan alasan- alasan dibatalkannya perjanjian tersebut.
    b)      Setelah pihak yang diberitahu tersebut telah mempunyai waktu untuk menyiapkan   perjanjian, maka terlaksanakanlah pembatalan perjanjian tersebut.[16]

  1. Ruang Lingkup Hukum Perjanjian Syari’ah
Menurut pernyataan Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH. Tentang hukum perikatan islam  dapat disimpulkan bahwa adanya kaitan erat antara hukum perikatan (yang bersifat hubungan perdata) dengan prinsip kepatuhan dalam menjalankan ajaran agama islam yang ketentuannya terdapat dalam sumber-sumber hukum islam tersebut. Hal ini menunjukkan sifat “religious transendental” yang terkandung pada aturan-aturan yang melingkupi hukum perikatan islam itu sendiri yang mencerminkan otoritas Allah SWT. Tuhan yang maha mengetahui segala tindak tanduk manusia dalam hubungan antar sesamanya.[17]
Dapat disimpulkan bahwa subtansi dari hukum perikatan islam lebih luas dari materi yang terdapat pada hukum perikatan perdata barat. Hal ini dapat dilihat dari keterkaitan antara hukum perikatan itu sendiri dengan hukum islam yang melingkupinya yang tidak semata-mata mengatur hubungan antara manusia dengan manusia saja, tapi juga hubungan antara dengan sang pencipta (Allah SWT.) dan dengan alam lingkungannya. Sehingga hubungan tersebut merupakan hubungan vertical dan horizontal.[18]




BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Dari pemaparan atau penjelasan materi diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
    1.      Pengertian hukum perjanjian syariah terdapat 2 arti, baik secara etimologi maupun secara istilah. Dalam bahasa Arab perjanjian itu diartikan sebagai Mu’ahadah Ittifa’. Akan tetapi di dalam Bahasa Indonesia, perjanjian itu dikenal sebagai kontrak. Yang mana dengan hal ini, perjanjian merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok dengan yang lainnya sehingga untuk mengikat antar keduanya baik dirinya sendiri maupun orang lain.
    2.      Dalil dari perjanjian syaiah yaitu Al-Qur’an surat Al-Imran ayat 76 dan hadis nabi yang berbunyi “aku anggota ketiga dari dua orang yang bersyarikah selama keduanya tetap berlaku jujur. Apabila salah seorang anggota syirkah itu mengkhianati temannya, maka aku keluar dari syirkah itu”.
    3.      Di dalam melakukan suatu perjanjian harusnya terdapat rukun dan syaratdari suatu akad. Agar perjanjian tersebut dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah. Syarat merupakan salah satu unsur yang harus ada dalam berbagai hal, baik peristiwa maupun tindakan.
    4.      Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam suatu akad perjanjian syariah agar perjanjian tersebut menjadi sebuah perjanjian yang sah, diantaranya yaitu:
Rukun akad tersebut adalah :
1)      Aqid adalah orang yang berakad.
2)      Mauqud alaih adalah benda-benda yang diakadkan seperti benda-benda yang dijual.
3)      Maudhu’ al ‘aqd adalah tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.
4)      Shighat al ‘aqd adalah ijab dan qobul, hal-hal yang harus diperhatikan dalam shighat al ‘aqd (shighat akad adalah dengan cara bagaimana ijab dan kabul yang merupakan rukun akad dinyatakan)

a.    Tidak menyalahi hukum syariah yang telah disepakati
b.   Adanya penyimpangan yang dilakukan oleh salah satu pihak
c.    Harus jelas
a)      ketidakjelasan jenis yang menyebabkan pertengkaran (al-jilalah)
b)      untuk adanya paksaan (ikrah)
c)      membatasi kepemilikan terhadap suatu barang (taufiq)
d)     terdapat unsur tipuan (gharar)
e)      terdapat bahaya dalam pelaksanaanakad (dharar)

  1. Saran
            Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dengan adanya makalah ini bisa sedikit banyak memberikan wacana kepada para pembaca tentang zakat perdagangan ini dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Disamping itu, kami juga mengharapakan kritik dan saran dari pembaca, yang mungkin dalam penjelasan dan pembahasan di atas masih memiliki banyak kekurangan, guna dijadikan acuan dalam penulisan atau pembahasan selanjutnya. Demikian akhir kata kami, semoga makalah ini bermanfaat bagi semua, khususnya bagi pembaca dan penulis. Amin. 






DAFTAR PUSTAKA


Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syari’ah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009).
Adiwarman, A. Karim, Bank Islam; Analisis Fiqih Dan Keuangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo,2006).
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta: sinar grafika, 2004).
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006). Rafmad Syafe’i. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia Bandung.2001.hal. 44
Gemala Dewi, Wirdyaningsih Dan Yeni Salma Barlianti, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia,(Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2006).
Prof. Dr. H. rachmat Syafei, MA.Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustak Setia, 2001).
Prof. Dr. H. Veithzal Rivai, M.B.A. dan Ir H. Andi Buchari, M.M., Islamic economis,.
Mardani. Fiqih Ekonomi Syariah. Kencana Jakarta.2013
Prof. Dr. H. Veithzal Rivai, M.B.A. dan Ir H. Andi Buchari, M.M., Islamic economis,Jakarta: Bumi aksara
M. Tahir Azhari, Bahan Kuliah Perikatan Islam Di Fakultas Hokum Universitas Indonesia Tanggal 16 Februari 1998;Barlianti, Hukum.


[1] Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta: sinar grafika, 2004), h. 1.
[2] Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syari’ah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009), h. 51
[3] Anshori, Perbankan, h. 51
[4] Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 13.
[5] Anshori, Perbankan,h. 52-53
[6] Rafmad Syafe’i. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia Bandung.2001.hal. 44
[7] Prof. Dr. H. rachmat Syafei, MA.Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustak Setia, 2001), hal. 43
[8] Qomarul Huda, M.Ag, Fiqh Muamalah, Op. Cit. hal. 27
[9] QS. Al-Maidah ayat, h. 3
[10]Prof. Dr. H. Veithzal Rivai, M.B.A. dan Ir H. Andi Buchari, M.M., Islamic economis, , hal 345
[11]Mardani. Fiqih Ekonomi Syariah. Kencana Jakarta.2013.hal 75
[12]Mardani. Fiqih Ekonomi Syariah. Kencana Jakarta.2013.hal 77
[13]Prof. Dr. H. Veithzal Rivai, M.B.A. dan Ir H. Andi Buchari, M.M., Islamic economis,Jakarta: Bumi aksara, hal 350
[14] Ibid. h. 53
[15] Adiwarman, A. Karim, Bank Islam; Analisis Fiqih Dan Keuangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo,2006), h. 362-363
[16] Pasaribu dan Lubis, Hukum, h. 7
[17]Gemala Dewi, Wirdyaningsih Dan Yeni Salma Barlianti, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia,(Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 3-4.

[18] M. Tahir Azhari, Bahan Kuliah Perikatan Islam Di Fakultas Hokum Universitas Indonesia Tanggal 16 Februari 1998;Barlianti, Hukum, h. 3-4





 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar