Jumat, 13 November 2015

Pengangkatan Anak Dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Akibat Hukumnya


(Oleh Ansari, S.H.I)

Tradisi memelihara atau mengasuh anak saudara dekat atau jauh atau anak orang lain, biasanya dari orang tua yang tidak mampu, sudah sering dilakukan di Indonesia dengan berbagai sebutan. Sungguhpun demikian, pengangkatan anak seperti yang berlaku dalam
tradisi Barat di mana status anak berubah menjadi seperti anak kandung dan mendapat hak dan kewajiban yang sama seperti anak kandung, dan bahkan melebihi anak kandung, tidak dibenarkan menurut hukum Islam yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia.
Terjadinya pengangkatan anak di kalangan warga beragama Islam disebabkan karena berbagai faktor. Selain pengetahuan yang awam tentang hukum Islam, maka faktor utama adalah kebolehan pengangkatan anak melalui peraturan perundang-undangan yang ada. Pengangkatan secara resmi dilakukan melalui Pengadilan Negeri berdasarkan tradisi hukum Barat atau Belanda.
Sekarang dalam rangka reformasi hukum dan memenuhi kebutuhan masyarakat, pembuat undang-undang Republik Indonesia memberi peluang pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama. Berbagai persoalan timbul, antara lain tentang bentuk-bentuk pengangkatan anak yang dibolehkan dalam hukum Islam, akibat hukum pengangkatan anak tersebut kepada anak, ayah, ibu dan saudara angkat, dan hal-hal lain yang berhubungan.
2. Perintah UU No. 3/2006
Pasal 49 UU No. 3/2006 menyatakan: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan . . .“ Penjelasan Huruf a Pasal 49 ini, antara lain, menyatakan: “Yang dimaksud dengan ‘perkawinan’ adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-udang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari‘ah, antara lain: . . . penetapan asal usul anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam; . . . “
Dalam UU ini dan juga dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang lain, istilah “syari‘ah” atau “syari‘ah Islam” dipakai silih berganti (interchangable) dengan istilah “hukum Islam” dan keduanya mempunyai pengertian yang sama. Dalam perkembangan terakhir sejarah hukum Islam, syari‘ah yang dimaksud adalah fiqh para fuqaha’ atau hukum Islam seperti diformulasikan oleh para para fuqaha’ dari ketentuan Qur’an dan Sunnah serta hasil ijtihad mereka, dan di Indonesia termasuk Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari hukum Islam.

3. Istilah Anak Angkat
Anak angkat adalah “anak orang lain yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri.” Pengangkatan anak disebut juga adopsi, yaitu “penciptaan hubungan orang tua-anak oleh perintah pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak mempunyai hubungan (keluarga).” Anak yang tadinya tidak mempunyai hubungan darah dengan ayah atau ibu angkatnya setelah adopsi dianggap sebagai anak sendiri.
Ketentuan adopsi di Indonesia berdasarkan Staatblaad 1917 No. 129 yang hanya mungkin dilakukan untuk anak laki-laki dan itu harus dengan Akte Notaris. Staatblaad ini lahir pada mulanya dalam rangka menjawab kebutuhan masyarakat Cina yang sangat mengandalkan anak laki-laki. Anak laki-laki diharapkan dapat meneruskan bisnis keluarga dan mewarisi kekayaan yang ditinggalkan bila ayah sudah meninggal dunia, dan bila tidak mempunyai anak laki-laki, maka menurut tradisi Cina, keluarga tersebut dapat mengangkat seorang anak laki-laki.
Yurisprudensi (Putusan Pengadilan Jakarta Istimewa) tanggal 29 Mei 1963 menyempurnakan staatblaad di atas dengan juga membolehkan adopsi anak perempuan. Sementara itu Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 mengatur tentang pengangkatan anak antar warga negara Indonesia. Surat edaran ini selain menetapkan adopsi langsung antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga menetapkan adopsi oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Dengan yurisprudensi dan surat edaran di atas, maka adopsi yang tadinya untuk menjawab kebutuhan khusus masyarakat Cina dikembangkan sehingga juga mencakup warga Indonesia lain yang bukan keturunan Cina dan semua jenis kelamin. Selanjutnya anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah juga mendapat status anak sah melalui proses adopsi.
            Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak selanjutnya diatur berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984. Antara lain dicantumkan tentang syarat-syarat untuk mendapatkan izin.

Pengangkatan anak antar warga negara Indonesia:
Calon orang tua angkat:
a. berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun atau maksimal 45 tahun;
b. pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak sekurang-kurangnya sudah kawin 5 tahun dengan mengutamakan yang keadaannya sebagai berikut:
1. tidak mungkin mempunyai anak (dengan surat keterangan dokter kebidanan/dokter ahli), atau
2. belum mempunyai anak, atau
3. mempunyai anak kandung seorang, atau
4. mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung.
c. dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan dari pejabat yang berwenang, serendah-rendahnya lurah/kepala desa setempat;
d. berkelakuan baik berdasarkan surat keterangan dari Kepolisian RI;
e. dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dokter Pemerintah;
f. mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan anak.
2. Calon anak angkat:
a. berumur kurang dari 5 (lima) tahun;
b. persetujuan dari orang tua/wali (apabila diketahui ada)
c. berada dalam asuhan organisasi sosial.

Pengangkatan anak warga negara Indonesia oleh warga negara asing:
Calon orang tua angkat:
a. berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun atau maksimal 45 tahun;
b. pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak sekurang-kurangnya sudah kawin 5 tahun dengan mengutamakan yang keadaannya sebagai berikut:
1. tidak mungkin mempunyai anak (dengan surat keterangan dokter kebidanan/dokter ahli), atau
2. belum mempunyai anak, atau
3. mempunyai anak kandung seorang, atau
4. mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung.
c. dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan dari negara asal pemohon;
d. persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal pemohon;
e. berkelakuan baik berdasarkan surat keterangan dari Kepolisian RI;
f. dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dokter Pemerintah;
g. mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan anak.
2. Calon anak angkat:
d. berumur kurang dari 5 (lima) tahun;
e. persetujuan tertulis dari Pemerintah Negara asal calon anak angkat.
f. berada dalam asuhan organisasi sosial.
            Selanjutnya, pengangkatan anak diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Bab VIII, Bagian Kedua:
Pasal 39
(1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
(3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.
(4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Pasal 40
(1) Orang tua angkat wajib membe­ritahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.
(2) (Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.
Pasal 41
(1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.
(2) Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. 

Pengangkatan Anak Indonesia oleh Orang Asing:
Calon Orang Tua Angkat:
a. berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun, maksimal 45 tahun.
b. pada saat mengajukan permohonanpengangkatan anak sekurang-kurangnya sudah kawin 5 (lima) tahun dengan mengutamakan yang keadaannya sebagai berikut:
1. tidak mungkin mempunyai anak (dengan surat keterangan dokter kebidanan/dokter ahli), atau
2. belum mempunyai anak, atau
3. mempunyai anak kandung seorang, atau
4. mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung.
c. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial berdasarkan surat ketarangan dari negara asal pemohon;
d. persetujuan tertulis dari Pemerintah Negara asal pemohon;
e. berkelakuan baik berdasarkan surat keterangan dari Kepolisian RI;
f. dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dari dokter Pemerintah RI;
g. telah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia sekuarang-kurangnya 3 (tiga) tahun berdasarkan surat keterangan dari pejabat yang berwenang serendah-rendahnya Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II setempat;
h. telah memelihara dan merawat anak yang bersangkutan sekurang-kurangnya:
1. 6 (enam) bulan untuk di bawah umur 3 (tiga) tahun.
2. 1 (satu) tahun untuk anak umur 3 (iga) tahun sampai 5 (lima) tahun.
i. mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan anak.
Calon Anak Angkat:
a. berumur kurang dari 5 (lima) tahun.
b. berada dalam asuhan organisasi sosial.
c. Persetujuan dari orang tua/wali (apabila diketahui ada).
Ayat (40 Pasal 39 UU No. 23/2002 seperti dikutip di atas menyatakan: “Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.” Tampak di sini, bahwa walaupun pada dasarnya pengangkatan anak oleh orang asing dibolehkan, tetapi sebenarnya hanya dibolehkan atas dasar darurat dengan melihat kepentingan anak itu sendiri. 

4. Pengangkatan Anak Melalui Peradilan Umum
            Untuk melihat praktek pengangkat anak melalui Peradilan Umum, di sini sebagai contoh disimpulkan dua penetapan Pengadilan Negeri.
Kasus I : Penetapan No. 45/Pdt.P/2005/PN.JKT.PST oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Pasangan suami-isteri Suprayitno dan Suryani, melangsungkan pernikahan pada tanggal 2 Maret 1997 berdasarkan kutipan Akta Nikah No. 1167/10/III/1997 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Tanah Abang, Jakarta. Sampai permohonan diajukan (24 Maret 2005), pasangan ini belum dikarunia keturunan. Penyebabnya menurut keterangan dokter adalah karena indung telur kiri Suryani telah diangkat sehingga mempengaruhi kesuburan rahim. Pasangan ini berkeinginan mengangkat seorang anak perempuan bernama Rizka Amelia Putri, lahir di Jakarta pada tanggal 15 Desember 2004, anak keempat dari saudara sepupu pemohon (isteri) bernama Jayadi dengan Neneng Zulfahnur.
Setelah memeriksa buti-bukti berupa Kartu Keluarga Pemohon, Kartu Penduduk,Akta Nikah, Surat Keterangan Berbadan Sehat atas nama Para Pemohon, Akte Kelahiran Para Pemohon, Surat Keterangan Catatan Kepolisian atas nama Para Pemohon, slip gaji atas nama Suryani, Surat Hasil Kunjungan Rumah oleh Kantor Dinas Bina Mental Spritual Dan Kesejahteraan Sosial Propinsi DKI, Surat Pernyataan atas nama Para Pemohon, dan Kutipan Akte Nikah atas nama Rizki Amelia Putri, serta keterangan saksi-saksi, maka pengadilan mengabulkan permohonan Para Pemohon. Dalam penetapan antara lain diperintahkan kepada Kantor Catatan Sipil DKI untuk menerbitkan akte kelahiran baru/membuat catatan pinggir atas nama Rizki Amalia Putri, lahir di Jakarta tanggal 15 Desember 2004 sesuai dengan Akte Kelahiran No. 34.367/U/JT/2004 tanggal 30 Desember 2004.
Kasus 2: Penetapan No. 119/PDT.P/2002/PN.JKT.PST oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Pemohon Dewi Kristie Eriksson pada mulanya adalah warga negara Indonsia, lahir di Jakarta pada tanggal 22 Mei 1964 dari pasangan N. Suparman dan Mamah Maryamah. Pemohon melanjutkan pelajaran dan bekerja di Swedia dan menikah dengan seorang warga negara Swedia bernama Goran Eriksson, tetapi kemudian menjadi warga negara Swedia. Pemohon telah bercerai dengan suaminya dan tidak dikarunia anak karena kedua indung telur Pemohon sudah diangkat.
Pemohon berkeinginan mengangkat anak bernama Ebba Kristie Yamin, lahir di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 1993, anak keempat dari kakak kandung Pemohon bernama Cucu Suwarsih dengan M. Yamin Kemal. Upaya pengangkatan anak ini telah dibicarakan oleh Pemohon dengan ayah dan ibu kandung anak tersebut sejak ia berumur 3 (tiga) tahun. Orang tua anak tersebut telah menandatangani persetujuan pengangkatan anak pada tanggal 7 Agustus 1996, tetapi permohonan baru diajukan ke pengadilan setelah ia berumur 9 tahun. Ebba Kristie Yamin sendiri telah mengetahui sejak lama bahwa ia akan dijadikan anak angkat.
Setelah mengajukan bukti-bukti berupa foto kopi paspor atas nama Pemohon, foto copy formulir permohonan menetap di Swedia, foto copy pernyataan dari Pemerintah Swedia bahwa Pemohon adalah warga negaranya, foto copy Putusan Pengadilan Swedia bahwa Pemohon telah bercerai dengan suaminya, foto copy keterangan medis bahwa Pemohon tidak mungkin mempunyai anak, foto copy Akte Kelahiran atas nama Ebba Kristie Yamin, foto copy Akta Nikah atas nama M. Yamin Kemal, foto copy Kartu Keluarga M. Yamin Kemal, foto copy pernyataan Cucu Suwarsih, foto copy surat pernyataan dari perusahaan tempat Pemohon bekerja di Swedia bahwa Pemohon bergaji 17.000 kronor (mata uang Swedia) setiap bulan, foto copy Surat Keterangan Pendapatan dan Pajak tahun 2002, surat keterangan dari Pemerintah Kota Stockholm bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengangkatan anak, Surat Keterangan Kepala Desa Bayongbong, Kabupaten Garut, dan foto copy Surat Keterangan dari Kantor Pajak Pemerintah Stockholm 2, serta keterangan saksi-saksi, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menetapkan :
· Mengabulkan permohonan Pemohon ;
· Menetapkan anak perempuan bernama Ebba Kristie Yamin, tanggal lahir 7 Agustus 1993 di Jakarta, sebagai anak angkat dari Dewi Kristie Eriksson, No. Pribadi 640522-2800, alamat di Domargrand 7, 7tr 129 47 Hagersten Swedia, warga negara Swedia.
· Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara yang ditetapkan sebesar Rp 119.000,- (seratus sembilan belas ribu rupiah).

5. Pengangkatan Anak Berdasarkan Hukum Islam
Pengangkatan anak dalam istilah Arab disebut tabanni atau tabanni ath-thifl, yaitu menjadikan seseorang sebagai anak. Qur’an menyebutnya da‘iyyun, yaitu “menghubungkan asal usul kepada seseorang yang bukan ayah kandungnya.” Menurut Qur’an, da‘iyyun adalah klaim yang tidak benar terhadap asal usul karena seseorang telah menghubungkan keturunan kepada yang bukan keturunannya. Karena itu, Qur’an melarang pengangkatan anak dengan menyatakan: “ . . . Allah tidaklah menjadikan anak angkat sebagai anak kalian sendiri. Itu hanya ucapan mulut kalian semata, sedangkan Allah mengatakan kebenaran dan Ia menunjuki kepada jalan yang lurus.” Ayat ini didahului dengan pernyataan bahwa Allah tidak menciptakan dua hati dalam rongga dada manusia, seperti diterangkan oleh Ibnu Katsir, bahwa seseorang tidak mungkin menyamakan antara seorang ibu dan seorang isteri bagaimana pun mirip keduanya, seperti juga tidak mungkin menyamakan antara anak kandung dan anak angkat bagaimana pun keduanya dianggap sama. Larangan ini berhubungan dengan kasus pengangkatan Zayid bin Haritsah, seorang budak, menjadi anak Nabi Muhammad s.a.w.
Implikasi dari kasus ini, Zayid yang tadinya dipanggil dengan nama Zayid bin Muhammad, kemudian diganti dengan Zayid bin Haritsah sesuai nama ayah kandungnya, mengikuti ketentuan ayat 5 surah al-Ahzab. Sungguhpun demikian, Zayid tetap berada di bawah tanggungan Nabi Muhammad, tetapi sebagai anak asuh dalam istilah masa sekarang, tidak dipandang mempunyai hubungan darah dengan Muhammad, tidak pula saling mewarisi, dan tetap berstatus sebagai orang lain (ajnabiy) yang tinggal mendapat perlindungan di rumah Nabi Muhammad s.a.w. Karena anak angkat model ini tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayah angkat, maka setelah Zayid bin Haritsah bercerai dengan isterinya, janda Zayid bin Haritsah kemudian menjadi isteri sah Nabi Muhammad, seperti ditegaskan oleh ayat 37 surah al-Ahzab. Jadi, “pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam” seperti yang disebut oleh UU No. 3/2006 tidak boleh bertentangan dengan kasus Zayid bin Haritsah.
Pasal 171 (h) KHI mengatur pengangkatan anak menurut hukum Islam. Disebutkan: “Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.” Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Agama. Pasal 209 (2) KHI menyatakan bahwa anak angkat hanya berhak mendapat washiah wajibah, sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan, bila almarhum tidak meninggalkan wasiat untuk anak angkatnya, tetapi tidak mendapatkan hak waris.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penetapan anak angkat tersebut. Pertama, anak angkat tidak dapat menggunakan nama ayah angkatnya, seperti dijelaskan oleh ayat 5 surah al-Ahzab di atas. Kedua, antara ayah angkat dengan anak angkat, ibu angkat dan saudara angkat tidak mempunyai hubungan darah. Mereka dapat tinggal serumah, tetapi harus menjaga ketentuan mahram dalam hukum Islam, antara lain tidak dibolehkan melihat ‘awrat, berkhalwat, ayah atau saudara angkat tidak menjadi wali perkawinan untuk anak angkat perempuan, dan lain-lain. Salah satu jalan keluar yang dapat diusulkan untuk pemecahan hubungan mahram adalah dengan tindakan ibu angkat menyusukan anak angkat di masa menyusui. Dengan tindakan ini. maka antara anak angkat dan keluarga angkat terbentuk hubungan sepersusuan yang berakibat hukum menurut ketentuan syariat Islam. Ketiga, di antara mereka tidak saling mewarisi. Jadi, pengangkatan anak yang dimaksud mirip dengan pewalian harta benda untuk anak yang belum dewasa atau anak asuh seperti yang banyak berkembang dalam masyarakat Indonesia dewasa ini. Dengan demikian, pengangkatan anak model ini sejalan dengan semangat Undang-Undang Perlindungan Anak dan Keputusan Menteri Sosial yang bertujuan untuk memelihara kepentingan anak dan bukan kepentingan orang tua atau keluarga angkat seperti pada peraturan perundang-undangan yang diwarisi dari zaman pemerintahan Belanda.

6. Penentapan Anak oleh Peradilan Agama
Sebelum lahirnya UU No. 3/2006, beberapa Pengadilan Agama di beberapa daerah telah membuat penetapan pengangkatan anak versi hukum Islam. Di sini disebutkan dua kasus sebagai contoh.
Kasus 1: Penetapan No. 011/Pdt.P/2001/PA.Bn oleh Pengadilan Agama Bengkulu
Pasangan suami-isteri K.M. Lutfi Akib bin Akib (41 tahun) dan Istiabudiati Cinti M. Ali (37 tahun), mempunyai seorang anak laki-laki bernama M. Dhito Putra Utama. Ketiganya bergama Islam. Mereka sepakat dengan pihak Rumah Bersalin Tiarra Sella berdasarkan Surat Perjanjian Penyerahan Anak tanggal 1 April 2000 untuk mengangkat seorang anak bernama M. Huda Putra Nugraha yang tidak disebutkan tanggal lahirnya dan dirahasiakan kedua orang tuanya. Dalam permohonan, mereka meminta Pengadilan untuk menetapkan anak tersebut sebagai anak angkat mereka. Permohonan tersebut dikabulkan.
Dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim antara lain dinyatakan bahwa “para Pemohon telah memenuhi maksud dan unsur-unsur Pasal 49 ayat (1) huruf b UU No. 7 Tahun 1989, Pasal 171 huruf (h), dan Pasal 209 KHI; Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987, serta fatwa MUI No. U-335/MUI/VI/82/tanggal 18 Sya‘ban 1402 H/10 Juni 1982, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan para Pemohon untuk mengangkat anak/bayi yang kemudian diberi nama M. Huda Putra Nugraha dapat dikabulkan;”
Sebelum itu, dalam pertimbangan hukum telah ditegaskan bahwa:
· Islam membolehkan pengangkatan anak dengan tujuan memelihara kepentingan anak;
· Pengangkatan anak dalam Islam sebenarnya hanya peralihan tanggungjawab pemeliharaan biaya hidup, pendidikan, bimbingan agama dan lain-lain dari orang tua asal kepada orang tua angkat, tetapi tidak memutus hubungan hukum/nasab dengan orang tua asalnya.
· Antara anak angkat dan orang tua angkat terdapat hubungan keperdataan washiah wajibah;
· Untuk pengangkatan anak diperlukan persetujuan orang tua asal, wali, atau badan hukum yang menguasai anak yang akan diangkat;
· Pengangkatan anak yang tuanya beragama Islam hanya dapat dilakukan oleh orang yang beragama Islam.
Dalam penetapan ini tidak disinggung masalah mahram menyangkut hubungan antara angkat dengan ayah, ibu dan saudara angkatnya di mana angkat tersebut dalam pandangan hukum Islam masih tetap sebagai ‘orang asing’ dalam keluarga tersebut. Juga tidak diberikan pertimbangan hukum Islam yang lebih jelas tentang kebolehan mengangkat anak dengan tujuan pemeliharaan kepentingan anak. Selain itu, orang tua anak juga dirahasiakan, dan ini akan berdampak besar di kemudian hari menyangkut masalah hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua dan keluarga asalnya. Dalam penetapan ini juga tidak terdapat perintah kepada Kantor Catatan Sipil untuk membuat catatan pinggir di akta kelahiran anak angkat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum Islam.
Kasus 2: Penetapan No. 06/Pdt.P/2006/PA.Btl oleh Pengadilan Agama Bantul
Pasangan suami isteri Dr. Mochammad Any Ashari bin Charil Anam (51 tahun) dan Diyah Ekowati Ratnasari Cinti R. Sumarjono (40 tahun) telah menikah tanggal 7 Juni 2002, tetapi sampai tanggal 4 Januari 2006 belum dikaruniai anak. Pada tanggal 21 November 2005, mereka telah mengangkat seorang anak perempuan bernama Aulia Khoirunnsa, lahir 11 November 2005, dari seorang ibu bernama Ny. Mustofainah binti Mardlillah. Semua pihak yang terkait beragama Islam. Mereka mengajukan permohonan kepada PA Bantul untuk mendapatkan penetapan anak tersebut sebagai anak angkat mereka. Permohonan ini dikabulkan oleh PA dengan menyatakan sah pengangkatan anak tersebut.
Pertimbangan majelis hakim menerima permohonan ini karena terbukti di persidangan berdasarkan saksi-saksi dan bukti-butki bahwa (1) kedua orang pemohon adalah suami-isteri yang kawin secara sah dan (2) termasuk orang yang mampu secara ekonomi dan pendidikan, (3) bahwa anak tersebut lahir di luar perkawinan yang sah dan ayah biologisnya tidak bertanggungjawab, (4) ibu kandung anak tersebut termasuk orang yang tidak mampu secara ekonomi, (5) ibu kandung dan adik kandung dari ibu sang anak merelakan anak tersebut diasuh oleh para pemohon, dan (6) sampai permohonan ini dipertimbangkan, sang anak dalam keadaan sehat walafiat di bawah perawatan seorang ayah angkat yang dokter dan ibu angkat yang PNS.
Selanjutnya disebutkan dalam pertimbangan hukumnya “bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan atau merubah nasab antara anak angkat dengan orang tua asal sehingga karenanya anak tersebut tetap dinasabkan kepada orang tua kandungnya, berdasarkan Pasal 43 (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo Pasal 100 KHI Tahun 1991 serta petunjuk Allah dalam al-Qur’an surah al-Ahzab ayat 5 . . .”
Dalam pertimbangan hukum penetapan ini sepatutnya anak kalimat “tidak memutuskan atau merubah nasab antara anak angkat dengan orang tua asal” seharusnya diganti dengan “tidak memutuskan atau merubah nasab antara anak angkat dengan ibu kandungnya”. Hal itu karena hubungan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah hanya kepada ibunya (Pasal 100, Pasal 171 h KHI). Juga tidak disinggung tentang ketentuan mahram, karena anak yang hidup di rumah orang tua angkat tersebut, bila telah dewasa tidak dapat berkhalwat dengan ayah angkatnya, yang sebenarnya adalah seorang yang asing (ajnabiy) baginya. Juga tidak ada perintah kepada Kantor Catatan Sipil untuk membuat catatan pinggir di akte kelahiran anak angkat yang memenuhi ketentuan hukum Islam.
7. Akibat Hukum
Pengangkatan anak berdasarkan tradisi hukum Barat/Belanda melalui Pengadilan Negeri mempunyai akibat hukum hukum yang berbeda dengan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama.
Pengangkatan anak versi hukum Islam sebenarnya merupakan hukum hadhnah yang diperluas dan sama sekali tidak merubah hubungan hukum, nasab dan mahram antara anak angkat dengan orang tua dan keluarga asalnya. Perubahan yang terjadi hanya perpindahan tanggungjawab pemeliharaan, pengawasan dan pendidikan dari orang tua asli kepada orang tua angkat.
Pengangkatan anak versi hukum Islam tidak merubah status anak angkat menjadi anak kandung dan status orang tua angkat menjadi status orang tua kandung, yang dapat saling mewarisi, mempunyai hubungan keluarga seperti keluarga kandung, kecuali hubungan keluarga persusuan bila ibu angkat berhasil menyusukan anak angkat sewaktu masih dalam masa menyusui, dan lain-lain.
Demi kepentingan hukum anak angkat dan pihak-pihak yang terkait, maka perbedaan yang esensial antara kedua tradisi hukum di atas harus dicantumkan dalam setiap Penetapan Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama, pencatatan di Kantor Catatan Sipil, Departemen Sosial dan lembaga-lembaga lainnya yang berhubungan.

8. Penutup
          Dengan kewenangan baru Peradilan Agama menetapkan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam sesuai UU No. 3/2006, maka diperlukan beberapa kejelasan.
            Pertama menyangkut kewenangan pengangkatan anak bagi warga beragama Islam. Dengan ketentuan ini, apakah Peradilan Umum masih berwenang menetapkan pengangkatan anak untuk warga beragama Islam? Misalnya, salah satu kewenangan Peradilan Agama adalah memutus sengketa kewarisan bagi warga yang beragama Islam, tetapi dalam praktek yang berlaku beberapa Pengadilan Negeri masih mengadili perkara kewarisan ummat Islam. Apakah hal yang sama juga akan terjadi terhadap pengangkatan anak bagi ummat Islam?
            Kedua adalah pengangkatan anak untuk warga muslim yang sudah dewasa dalam perkara pembagian waris. Apakah untuk kasus seperti ini diperlukan itsbat pengangkatan anak seperti halnya istbat nikah dalam perkara perceraian, harta bersama dan kewarisan?
            Ketiga, untuk memudahkan proses pencatatan diperlukan kerjasama dan kesepahaman tentang anak angkat versi hukum Islam antara Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, Kantor Catatan Sipil, Departemen Sosial dan lembaga-lembaga lain yang terkait.



Ò Makalah dikembangkan dari Diskusi Berkala III di Bidang Pencatatan Sipil antara Para Ahli Hukum Islam dan Hukum Sekuler, diselenggarakan oleh GTZ (Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit), Senin 10 Juli 2006, di Hotel Le Meredien Jakarta.



[1][1] Rifyal Ka‘bah, The Jakarta Charter and the Dynamic of Islamic Shariah in the History of Indonesian Law (Jakarta: University of Indonesia, School of Law, Post Graduate Studies, 2006), hal. 9-10, 31.
[2][2] Tim Penyususn Kamus Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1886), hal. 36.
[3][3] “The creation of a parent child relationship by judicial order between two parties who usually are unrelated.” Bryan A. Garner (Ed. In Chief), Black’s Law Dictionary (St Paul, Minn,, 2001, hal. 20.
[4][4] “Pengangkatan seorang anak sebagai anak kandungnya.” R. Subekti & Tirtosoedibio, Kamus Hukum (Jakarta: PT Pradnya Paramita. 1996), hal. 6.
[5][5] http://www.lbh-apik.or.id/adpsi,htm, 7/03/2006.
[6][6] Ahmad Mukhtar ‘Umar (ed.), al-Mu‘jam al-‘Arabi al-Asasi (Tunisia: Larose, t.t.), hal. 178.
[7][7] Ibid., hal. 453.
[8][8] CD-ROM al-Qur’an al-Karim. Sakhar 1991-1997. Tafsir oleh Ibnu Katsir terhadap ayat 4 surah al-Azhzab:
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمْ اللَّائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ
“Allah tidak menjadikan dua hati dalam rongka dada seseorang. Allah tidak menjadikan isteri-isteri yang kalian miripkan dengan ibu-ibu kalian sebagai ibu kalian sendiri, dan Ia tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kalian sendiri. Itu hanya ucpan mulut kalian belaka, sedangkan Allah mengatakan kebenaran dan Ia menunjuki kepada jalan yang lurus.”
[9][9] Ini berdasarkan ayat 32 surah an-Nisa’ tentang wanita yang tidak boleh dinikahi, antara lain ibu susuan. Dengan penyusuan, maka terbentuk hubungan kekeluargaan khusus antara ibu susuan serta keluarga yang dihasilkan oleh tali perkawinan (suami, anak, mertua, cucu) dan anak susuan. Anak susuan menjadi mahram bagi keluarga yang menyusuinya, tetapi tidak mendapatkan hak waris. Untuk mendapatkan status hukum ibu susuan, penyusuan tersebut harus dilakan dalam masa menyusui dan menurut pendapat terkuat para fuqaha’ tidak boleh kurang dari lima kali menyusui. ‘Abd al-‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz et.el., Fatawa al-Mar‘ah (Riyadh: Dar al-Wathan li an-Nasyr, 1414 H). hal. 134-135; lihat juga keterangan Ibnu Katsir tentang tafsir ayat tersebut serta berbagai riwayat Hadits yang dikutip.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar