Rabu, 04 November 2015

Pendekatan Studi Islam



PENDEKATAN KIRI ISLAM HASAN HANAFI




Makalah Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Study Pendekatan Islam


Dosen Matakuliah :
DR. BADRUDDIN, M.HI.



Disusun Oleh:
ANSARI
NIM: 14781010










PROGRAM PASCASARJANA
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN AJARAN 2015




KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr.Wb
           Puji syukur penulis panjatkan kehadirat-Mu ya Allah. Berkat rahmat dan hidayah-Nya serta bimbingan-Nya semata-mata, akhirnya penulisan makalah ini dapat selesai. Sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan ke pangkuan Nabiyullah Muhammad, SAW.
            Makalah ini penulis susun guna memenuhi tugas mata kuliah Pendekatan Study Islam. Dan dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas, maka makalah yang berjudul Pendekatan Kiri Islam Hasan Hanafi, ini masih jauh dari kata sempurna.
Dan dalam penulisan makalah ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
      1.      Dr. Badruddin, M.H.I. Selaku dosen pengampu mata kuliah Study Pendekatan Islam. Uneversitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
     2.      Segenap sahabat-sahabat.
     3.      Semua pihak yang telah memberikan motivasi kepada penulis.
Penulis berharap dari makalah yang penulis susun ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi penulis maupun pembaca. Demikianlah makalah ini penulis susun, kritik serta saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk melengkapi makalah ini.       
Wallahul Muwafiq Ila Aqwametthoriq
Wasalamu'alaikum Wr.Wb

Malang, 9 April 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Ketika mendengar kata kiri, di dalam benak kita akan segera muncul lawan dari kata itu yakni kanan. Kiri dan kanan di berbagai lapangan kehidupan merupakan kenyataan yang tidak bisa dinafikan. Di arena politik misalnya, dua kata itu selalu mengemuka menjadi dua kutub yang berseberangan. Di bidang ilmu sosial maupun kehidupan keseharian, dua kata itu sering tampil sebagai dua kekuatan yang berlawanan. Tidak terlalu sulit menemukan kiri dan kanan di kehidupan kita, yakni kiri dan kanan dalam pengertian dua haluan atau front kekuataan yang saling bergumul atau berhubungan secara dialektis.
Dalam dunia barat, istilah kiri Sebagaimana banyak diketahui bahwa sejak revolusi Prancis, kelompok radikal, kelompok Jakobin, mengambil sisi kiri dari kursi Ketua Kongres Nasional. Sejak itu, istilah Kanan dan Kiri sering digunakan dalam terminologi politik.
Ketika kata kiri digandengkan dengan kata Islam, muncul sejumlah pertanyaan. Apakah yang dimaksud dengan pengertian kiri Islam itu? Makna apa yang ditonjolkan dalam kata kiri di istilah tersebut?. Dan, Islam apa yang dimaksud di dalamnya. Islam sebagai ajaran kemanusiaan-universal ataukah pemikiran Islam?. Sebelum mencoba menjawab pertanyaan itu, terlebih dahulu perlu ditegaskan bahwa ajaran Islam, sejak ajaran Islam yang dibawa Adam hingga Islam pamungkas yang dibawa Muhammad adalah “ajaran kiri”. Dalam arti, Islam adalah ajaran praksis yang selalu memberontak terhadap tatanan-tatanan sosial yang menindas dan diskriminatif. Para nabi pembawa Islam adalah hamba-hamba kebenaran yang berjuang dengan sepenuh jiwa demi membela kesetaraan sosial. Inti Islam yang diserukan Musa, Isa dan Muhammad adalah sama, meskipun masyarakat lingkungan hidup mereka berbeda-beda.
Jika demikian halnya, dapatlah kita katakan bahwa Islam sejak Islam Adam hingga Islam Muhammad adalah “kiri” yang artinya melawan penindasan serta menjunjung tinggi penegakan kesetaraan dan keadilan. Mengapa harus muncul istilah “Kiri Islam”?. adakah sisi kanan dalam Islam?. Jawabnya, tidak ada. Sebab Islam tidak pernah membiarkan kezaliman. Bila kekuatan kezaliman berkuasa, Islam selalu tampil melawan dan menumbangkannya.
Dengan demikian, maka kiri dan kanan selalu ada dalam lingkungan pemikiran Islam dan terjadi pada perilaku orang atau kelompok yang mengusung nama Islam. Jadi, yang dimaksud dengan Kiri Islam adalah kiri dalam pemikiran Islam berikut produk-produknya, termasuk produk pemikiran klasik yang biasa disebut turats, dan dalam perilaku umat Islam penguasa, rakyat, dan kaum intelektualnya sepanjang sejarah mereka.
Kanan dan kiri dalam pemikiran Islam pada dasarnya adalah cerminan dari dua kondisi sosial yang menunjukkan adanya dua kelas sosial. Masing-masing kelas berupaya untuk mempertahankan haknya dengan membangun kerangka teoritis yang diambil dari tradisi-tradisi yang ada di dalam masyarakat dengan wujud ajaran-ajaran keagamaan. Salah satu kelas, yaitu kelas elite yang menguasai sarana produksi dan perangkat kekuasaan politik, berupaya mengeksploitasi kelas lain yang mayoritas. Salah satu cara eksploitasi itu adalah lewat pemikiran keagamaan yaitu dengan menafsirkan agama sejalan dengan kepentingan kelas elit-minoritas. Di pihak lain, kelas mayoritas yang dieksploitasi juga berupaya melakukan reinterpretasi terhadap agama demi kepentingan mereka, yaitu mengalahkan kelas miniritas yang berkuasa dengan senjata yang sama, yakni penafsiran agama. Agama ibarat pisau bermata dua, masing-masing kelompok dapat menggunakannya (menafsirkannya) sesuai keinginannya.
Dalam makalah ini, penulis mencoba menguraikan pemikiran Hassan Hanafi dalam tema “Kiri Islam” nya.

B.     RUMUSAN MASALAH
      1.      Bagaimanakah biografi Hassan Hanafi ?
      2.      Bagaimana posisi pemikiran Hassan Hanafi ?
      3.      Bagaimana perkembangan pemikiran Hassan Hanafi dilihat dari karya-karyanya?
      4.      Bagaimanakah Pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi dalam kiri islamnya ?


BAB II
PEMBAHASAN


A.    BIOGRAFI HASSAN HANAFI
Hassan Hanafi lahir di Kairo, ibu kota Republik Arab Mesir, pada tanggal 13 Februari 1935. Keluarganya berasal dari propinsi Banu Swaif, salah satu propinsi di Mesir bagian selatan. Namun kemudian mereka pindah ke Kairo. Kakek Hassan Hanafi berasal dari Al-Maghrib (Maroko), sedangkan neneknya berasal dari kabilah Bani Mur. Gamal Abdel Nasser, presiden Mesir sebelum Anwar Sadt, berasal dari kabilah itu.[1]
Pada usia sekitar lima tahun, Hanafi mulai menghafal Al-qur’an di bawah bimbingan Syaikh Sayyid. Gelar kesarjanaannya ia raih pada tanggal 11 Oktober 1956 dari Kulliyat al-Adab (Fakultas Sastra) Jurusan Filsafat Universitas Kairo.  Setealh itu, Hanafi pergi ke Perancis untuk memperdalam filsafat di Universitas Sorbone, dengan spesialisasi Filsafat Barat Modern dan Pra-Modern. Selama kurang lebih sepuluh tahun Hanafi tinggal di Perancis, salah satu negara tempat para orientalis berada. Dalam rentang waktu tersebut, tradisi, pemikiran, dan keilmuan Barat dikuasainya. Ia sempat mengajar Bahasa Arab di Ecole des Langues Orientales di Paris.
Hanafi menyusun disertasi yang berjudul Essai sur la methode d’Exegese (Esei Tentang Metode Penafsiran). Disertasi setebal 900 halaman tersebut memperoleh penghargaan untuk penulisan karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961. Karya yang tebal dan monumental tersebut merupakan upaya Hanafi dalam menghadapkan Ilmu Ushul Fiqh (Filsafat Hukum Islam) kepada suatu madzab filsafat modern, yaitu fenomenologi yang dirintis Edmund Husserl.
Setelah meraih gelar doktor, Hnafi kembali ke almamaternya, Universitas Kairo, Mesir, dan mengajar di Fakultas Sastra, Jurusan Filsafat. Ia mengajar mata kuliah Pemikiran Kristen Abad Pertengahan dan Filsafat Islam.
Reputasi internasionalnya sebagai pemikir ternama mangantarkan Hanafi untuk merengkuh bebrapa jabatan guru besar luar biasa di berbagai perguruan tinggi di luar Mesir.[2] Pada tahun 1969, Hanafi menjadi profesor tamu di Perancis,  Hanafi pernah mengajar di Belgia (1970), Amerika Serikat (1971-1975), Kuwait (1979), Maroko (1982-1984), Jepang (1984-1985) dan Uni Emirat Arab (1985).[3]
Hanafi juga melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai negara. Kunjungan-kunjungan itu digunakan Hanafi untuk mengamati secara langsung berbagai kontradiksi dan penderitaan kaum lemah yang terjadi di berbagai belahan dunia. Hanafi sempat menyaksikan agama revolisioner di Amerika Serikat. Di Amerika Latin, ia menyaksikan berkembangnya gerakan teologi pembebasan,  yang kemudian membuka pikiran Hanafi bahwa Islam sudah saatnya dikembalikan kepada hakikat yang sebenarnya, yaitu sebagai agama pembebasan,  agama yang sangat peduli pada persoalan-persoalan kemanusiaan. Teologi Islam harus segera direkonstruksi dari bentuk lamanya yang bersifat teosentris menjadi suatu kerangka ilmu yang dapat memajukan umat Islam, membela kaum lemah, dan berdiri tegak melawan kekuatan apapun yang mempertahankan rezim tirani dan status quo yang merampas hak hidup dan kebebasan hakiki karunia Tuhan. Teologi Islam harus berbicara tentang manusia dengan sejumlah persoalan sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan.
Kepergiannya ke Amerika untuk mengajar di Universitas Temple (1971-1975) sebenarnya merupakan pilihan Hanafi ketika pemerintah Mesir memberikan pilihan kepadanya antara tetap tinggal di Mesir dengan syarat menghentikan aktivitas intelektual dan gerak-geriknya yang membuat gerah dan merah kuping pemerintah, atau pergi ke luar negeri. Pada tahun 1975 Hanafi kembali ke Mesir dengan membawa obsesi lamanya, yaitu membangun kesadaran diri (al-wa’y) lewat penelusuran dan penkajian serta penafsiran ulang atas tradisi klasik (turats) di satu sisi, dan menjadikan Barat sebagai objek kajian sejaligus mitra sejajar dalam hubungan Timur (Islam)- Barat. Ia pun mulai menulis buku Al-Turats al-Tajdid. Namun, naskah buku tersebut belum sempat selesai ditulis, karena ia kemudian ikut aktif dalam gerakan anti-pemerintahan Presiden Anwar Sadat yang dinilainya pro Barat dan bersedia untuk berdamai dengan Israel, musuh bebuyutan bangsa Arab.
Bagi Hanafi, di Mesir tidak ada gerakan-gerakan politik yang revolusioner dan mempunyai koordinasi organisasi yang baik dan murni. Umumnya organisasi-organisasi itu dihuni oleh orang-orang munafik dan oportunis belaka. Satu-satunya organisasi yang masih ia nilai baik dan bersih adalah Al-Ikhwan al- Muslimun (Ikhwan). Selain Ikhwan, di Mesir saat itu ada partai Hay’ah al-Tharir (Gerakan Pembebasan), Partai Wafd dan partai yang berhaluan Sosialis-Marxis.
Pada periode yang terakhir (tahun 80-an sampai 90-an), karya-karya Hanafi memiliki latar belakang politik yang relatif lebih stabil dibanding masa-masa sebelumnya. Pada periode tersebut Hanafi menulis Al-Turats wa al-Tajdid, yang memuat landasan teoritis bagi dasar-dasar pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudaian ia menulis Al-Yassar al-Islami, semacam manifesto politik dan seruan ideologis. Al-Yassar al-Islami bisa jadi juga merupakan refleksi atas karya-karya yang telah diselesaikannya. Kecuali itu semua, Al-Yassar al-Islami merupakan manifesto Hanafi yang paling utuh, karena embrio gagasannya telah ia semaikan sejak pergumulan Hanafi dengan suasana sosial-politik yang penuh gejolak selama hampir 35 tahun, yaitu sejak tahun 1946 hungga tahun 1981.[4]

B.     POSISI PEMIKIRAN HASSAN HANAFI
Hassan hanafi adalah seorang pemikir Islam yang mengkonsentrasikan diri pada kajian pemikiran Barat pra-modern dan modern. Meskipun ia menolak dan mengkritik Barat, tak pelak lagi, ide-ide liberalisme Barat, demokrasi,  rasionalisme, dan pencerahan telah mempengaruhi pemikirannya.[5] Oleh karena itu, Hassan hanafi tergolong seorang modernis-liberal, seperti Luthfi As-sayyid, Taha Husain, dan Al- Aqqad. Salah satu keprihatinan Hassan hanafi adalah bagaimana melanjutkan proyek yang didesain untuk membuat dunia Islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Kita dapat menengarai tiga wajah dalam rangka memantapkan posisi pemikirannya dalam dunia Islam, terutama dalam kaitannya dengan kiri Islam yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini, yaitu:
      1.      Wajah pertama adalah peranannya sebagai seorang pemikir revolusioner.
Hal ini dipengaruhi setelah revolusi Iran yang menang. Hassan hanafi meluncurkan Kiri Islam. Menurut dia, salah satu tugasnya adalah untuk mencapai revolusi Tauhid (keesaan, pengesaan konsep inti Islam pandangan dunia Islam).[6]  Dalam hal ini Hassan hanafi, dapat dikategorikan sebagai pemikir Islam revolusioner, seperti Ali syari’ati,[7] pemikir yang menjadi tulang punggung revolusi Islam Iran, dan Imam Khomeini yang memimpin revolusi dengan sukses.
     2.      Wajah kedua adalah sebagai reformis (pembaharu) tradisi intelektual Islam klasik.
Dalam hal ini, Hassan hanafi mirip posisi Muhammad Abduh (seorang pemikir Mesir terkemuka, 1849-1905), yang pemikirannya digolongkan sebagai seorang nasionalis. Selain itu, Hassan hanafi juga mengunggulkan satu bagian dari khazanah Islam yang berbasis pada rasionalisme, dan ini tidak kompatibel dengan posmodernisme. Ini menjadi problem yang cukup serius dalam pemikiran Hassan hanafi.
     3.      Wajah ketiga adalah penerus gerakan al-Afghani (1838-1896)
Dalam hal ini, Hassan Hanafi adalah sebagai penerus gerakan al- Afghani (1838-1896), yang mana al-Afghani adalah pendiri gerakan Islam modern, yang disebut sebagai suatu perjuangan melawan imperialisme Barat dan untuk mempersatukan dunia Islam.[8] Hassan hanafi, di dalam Islam kiri juga menyebut hal yang sama, perjuangan melawan imperialism kultural Barat dan penyatuan dunia Islam.

C.    PERKEMBANGAN PEMIKIRAN HASSAN HANAFI DILIHAT DARI KARYA-KARYANYA
Analisis tentang perkembangan pemikiran Hanafi akan di dasarkan perkembangan periode dari karya karyanya. Yaitu dibagi menjadi tiga periode, sebagai berikut :
    1.      Periode pertama tahun 60-an
Pada awal dasawarsa 1960-an pemikiran Hanafi dipengaruhi oleh faham-faham dominan yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik-sosialistik populistik yang juga dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme,[9] dan oleh situasi nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada tahun 1967. Usahanya untuk melakukan rekonstruksi pemikiran Islam, ketika ia berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, metode interpretasi sebagai upaya pembaharuan bidang ushul, dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk memahami agama dalam konteks realitas kontemporer. Ketiga, usaha untuk menginterprestasikan realitas umat islam dalam kerangka baru. Penelitian itu sekaligus merupakan upayanya untuk meraih gelar doktor pada Universitas Sorbonne, dan ia berhasil menulis disertasi tentang Metode Penafsiran yang mendapat penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961.

     2.      Periodekedua tahun 70-an
Awal periode 1970-an, sebagai seseorang yang mempunyai ideologi cemerlang. Hanafi juga memberikan perhatian utamanya untuk mencari penyebab kekalahan umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena itu, tulisan-tulisannya lebih bersifat populis. Di awal periode 1970-an, ia banyak menulis artikel di berbagai media massa, seperti Al Katib, Al-Adab, Al-Fikr al-Mu’ashir, dan Mimbar Al-Islam. Pada tahun 1976, tulisan-tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina al-Mu’ashir.
Kemudian, pada tahun 1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu `ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat untuk melihat bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan pembaharuan.
Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap ilmu-ilmu keislaman klasik, seperti ushul fikih, ilmu-ilmu ushuluddin, dan filsafat. Dimulai dengan pendekatan historis untuk melihat perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk disesuaikan dengan realitas kontemporer.

     3.      Periode ketiga tahun 80-an sampai 90-an
Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai dengan awal 1990-an, dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya. Hassan Hanafi berposisi sebagai seorang pemikir yang tegar.
Dalam periode ini, Hanafi mulai menulis Al-Turats wa al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini merupakan landasan teoretis yang memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al- Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih merupakan sebuah "manifesto politik" yang berbau ideologis.[10] Buku Min Al-Aqidah ila Al-Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang terdahulu.  Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai karya Hassan Hanafi yang monumental.         
 Selanjutnya, pada tahun-tahun 1985-1987, Hanafi menulis banyak artikel yang ia presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Perancis, Belanda, Timor Tengah, Jepang, termasuk Indonesia.  Kumpulan tulisan itu kemudian disusun menjadi sebuah buku yang berjudul Religion, Ideology, and Development yang terbit pada tahun 1993. Beberapa artikel lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern World (2 jilid).

D.    PEMIKIRAN HASAN HANAFI DALAM KIRI ISLAM-NYA
Di dalam esainya, Madza Ya’ni al-Yassar al-Islami, Hanafi menyatakan bahwa Kiri Islam tidak tumbuh dan berangkat dari nol. Dalam pergerakan Islam, Kiri Islam bukanlah suatu bid’ah, walaupun untuk pertama mungkin tampak asing setelah agenda dan gagasan-gagasan revolusioner yang pernah dikumandangkan oleh al-Afghani di dalam Al- Urwah al-Wutsqa tidak lagi terdengar. Bahkan penerus Al- Urwah al-Wutsqa, yaitu al-Manar, cenderung menjadi jurnal dakwah yang berisi nasihat dan bimbingan mental. Kiri Islam dikatakan Hanafi, adalah penerus gagasan dan ide yang tertuang di dalam majalah Al- Urwah al-Wutsqa yang isinya antara lain seruan untuk melawan penjajahan, keterbelakangan, dan seruan untuk menegakkan kebebasan, keadilan sosial, serta mempersatukan umat Islam dalam suatu kesatuan yang dinamai dengan Al-Jami’ah al-Islamiyah (Pan Islamisme) atau Al-Jami’ah al-syarqiyah (kesatuan Bangsa-bangsa Timur).[11]  Dengan demikian, menurut Hanafi, Kiri Islam merupakan penyempurnaan atas agenda pembaharuan yang muncul kali pertama di dalam sejarah Islam modern. Agenda tersebut sebelumnya pernah didengungkan oleh al-Afghani, yang berupaya menyingkap realita umat Islam serta masalah-masalah sosial dan politik yang mereka hadapi.
Hanafi menegaskan bahwa sejak zaman al-Afghani hingga kini, umat Islam terdiri dari dua kelompok yaitu, para penguasa dan yang dikuasai,  pemimpin dan rakyat, elit dan jelata. Lalu dalam kenyataannya, kelompok pertamalah yang dominan dan diperhitungkan keberadaannya, sementara kelompok kedua seakan tidak. Selain itu pihak pertama bersikap dan bertindak eksploitatif terhadap kelompok kedua. Kiri Islam muncul untuk memfokuskan perhatiannya kepada kelompok kedua. Kiri Islam lahir untuk menyuarakan jeritan dan kepentingan serta hak-hak mereka yang secara kuantitas adalah mayoritas umat. Kiri Islam tampil untuk membela kepentingan umat yang mayoritas itu,  untuk mengambil hak-hak kaum miskin dari kaum kaya, membela kaum lemah dalam menghadapi kaum kuat, serta menjadikan umat manusia seluruhnya sejajar seumpama sisir. Kemunculan Kiri Islam bukan untuk menjadikan orang Arab lebih unggul dari bangsa ‘Ajam (non-Arab), maupun sebaliknya. Keutamaan dan keunggulan semata-mata diukur berdasarkan ketakwaan dan amal saleh.
Sebelum menjadi pemikiran yang seolah menjadi trade mark nya Hanafi, Kiri Islam adalah nama sebuah Jurnal berkala yang diluncurkan oleh Hanafi pada tahun 1981. Nama lengkap jurnal itu adalah Al-Yasar al-Islami: Kitabat fi al-Nahdhah al-Islamiyah yang berisi sejumlah esai tentang kebangkitan Islam. Di dalam esai pertama jurnal itu, yang berjudul “Apa Arti Kiri Islam?”, Hanafi mendiskusikan beberapa isu penting berkaitan dengan kebangkitan Islam. Kiri Islam secara singkat bertopang pada tiga pilar dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi tauhid), dan kesatuan umat. Ketiga pilar itu adalah:[12]
    1.      Revitalisasi khazanah Islam
Kiri Islam berupaya merekonstruksi khazanak klasik Islam.Tujuannya adalah untuk membangun kembali paradigma ilmu pengetahuan Islam setelah sekian waktu luput dari agenda kehidupan umat Islam. Upaya ke arah itu dinamai Tadjid Turats (Reaktualisasi Khazanah Keilmuan Islam). Salah satu dengan upaya “logika tafsir” (Mantiq al-Tafsir). Metode tersebut dapat juga dinamai dengan metode Hermeunetik. Hermeunetics has its origin in breaches in intersubjectivity.  Its field of aplplication is comprised of all those situations in which we encounter meanings that are not immediately understandable but require interpretive effort.[13]
Menurut Kiri Islam khazanah lama atau klasik itu terdiri dari tiga macam ilmu pengetahuan, yaitu pertama ilmu-ilmu normatif rasional (al-‘ulum an-naqliyah al-‘aqliyah), yang semisal adalah Ilmu usuluddin, Ilmu Tasawuf, Ilmu Filsafat. Kedua, adalah ilmu-ilmu rasional semata (al-‘aqliyah) semisal matematika, astronomi, fisika kimia, dan farmasi. Ketiga adalah ilmu-ilmu normatif-tradisional (an-naqliyah) semisal yaitu Ilmu Hadist, Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqih.
Reaktualisasi tradisi keilmuan Islam berarti mengaktualkan (menghidupkan) kembali tradisi keilmuan Islam. Dengan mengaktualkannya,  berarti kita selama ini tidak aktual atau tidak sejalan dengan kenyataan yang ada sehingga diperlukan upaya untuk menjadikannya real melalui modifikasi atau reformasi. Selain itu, ia dapat pula dipahami bahwa ajarannya yang riil, atau hakikat, tidak lagi berjalan dalam masyarakat, dan dengan demikian, ia perlu disingkapkan kembali untuk kebutuhan hidup sekarang. Usaha mengaktualkan tersebut barangkali dilakukan dengan pemahaman dan penghayatan tradisi keilmuan Islam melalui reinterpretasi.
    2.      Menantang peradaban Barat
“Islam and the west” is a connection between a religion and a geograpihic region. Any comparison is between two entities from the same kind. Islam is seen as a religion not as a culture while the West is seen as a culture not as a religion.”[14]
Kiri Islam hadir untuk menantang dan menggantikan kedudukan peradaban Barat. Jika al-Afghani memperingatkan tentang imperialisme militer,  maka Kiri Islam pada awal abad ini telah menghadapi ancaman imperialisme ekonomi berupa korporasi multi nasional, sekaligus mengingatkan akan ancaman imperialisme kebudayaan. Imperialisme kebudayaan dilakukan dengan cara menyerang kebudayaan dari dalam, dan melepas afiliasi umat atas kebudayaannya sendiri, sehingga umat tercabut dari akarnya. Kiri Islam memperkuat umat Islam dari dalam, dan tradisinya sendiri berdiri melawan pembaratan yang pada dasarnya bertujuan melenyapkan kebudayaan nasional dan memperkokoh hegemoni kebudayaan Barat.[15] Meskipun dilihat dari standart Barat, rakyat kita terbelakang, namun sebenarnya masih menyimpan unsur-unsur kekuatan dengan standar budaya khas milik sendiri.
Seruan untuk menantang dan menggantikan peradaban Barat, kemudian ditindak lanjuti Hanafi dengan mengemukakan bahwa kita harus mengembangkan Oksidentalisme (al-istighrab) yang merupakan tandingan lawan bagi Oreintalisme (al-istisyraq). Untuk itu ia menerbitkan sebuah buku yang cukup tebal yaitu Muqaddimah fi ‘ilm al-Istighrab (Pengantar Ilmu Oksidentalisme).
Ajakan Hanafi untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu Oksidentalisme seperti itu merupakan ajakan untuk menyikapi Barat sebagai objek studi, ajakan untuk mengubah sikap dan kedudukan dari objek pasif menjadi subjek aktif, ajakan untuk menghilangkan mental penakut dan “pantas dijajah” untuk diganti dengan mental pemberani, percaya diri dan selanjutnya perasaan punya harga diri, ajakan untuk memperkecil dan mempersempit lahan dominasi Barat, untuk selanjutnya menghilangkannya sama sekali. Ajakan-ajakn tersebut merupakan ajakan pembebasan dari hegemoni kultural dan superioritas Barat.
Oksidentalisme Hanafi adalah penyadaran dan penegasa bahwasanya Barat termasuk sejarah dan peradabannya bukanlah peradaban dunia. Tidak ada alasan untuk menyatakan hal itu, apalagi memeaksakan nilai-nilai peradaban Barat.  Oksidentalisme merupakan penyadaran bahwa Barat tidak lain hanyalah fenomena khusus, dalam kondisi khusus dan cakupan wilayah yang khusus pula. Peradaban Barat adalah regional Eropa yang secara gencar dan pongah menyatakan diri sebagai peradaban mondial.
Tugas kiri Islam adalah mendorong peradaban Barat kembali ke Barat, menjadikan Barat sebagai tema studi khusus bagi peradaban non-Barat. Lebih jauh, Kiri Islam akan melahirkan suatu disiplin ilmu baru, yakni “Oksidentalisme”,  sebagai tandingan terhadap “Orientalisme”. Orientalism as a field of research emerged in thewest in modern times, since the renaissance.[16] Orientalisme sendiri lebih menghadirkan alam pikiran, pandangan dunia dan kepentingan Barat yang terselubung ketimbang studi objektif tentang dunia non-Barat. Karena pengaruh para orientalis, maka kita telah mengabaikan keaslian diri kita sendiri.
Kiri Islam ingin memulai hidup baru yang berintikan wacana reformasi, vitalisasi, pencerahan, kebangkitan, transformasi sosial, dan revolusi. Dan secara praktis, Kiri Islam akan selalu memperjuangkan kemerdekaan tanah air (Arab) dan kedaulatan bangsa-bangsa. Kiri Islam akan mengemas ideologi-ideologi pembebasan untuk penguatan tiga perempat warga umat manusia. Jika kesadaran Eropa telah mendominasi selama lima abad terakhir ini, maka Islam sesungguhnya telah mendominasi lima abad sebelumnya. Dan sebagaimana peradaban pada masa lalu yang dimulai dari Timur,  yakni Cina, India, Persia, dan Mesir, dan kemudian berpindah ke Yunani, Romawi dan Eropa, maka pada era kita sekarang ini peradaban kembali berpindah ke Timur. Peradaban Islam pun membuka risalahnya menuju Timur, sebagaimana Islam dahulu menyebar ke Timur di pantai-pantai utara sampai ke tengah gurun-gurun Asia.
Dengan demikian, Kiri Islam tidaklah semata-mata berupa perspektif politik terhadap realitas, juga bukan perspektif kultural terhadap masa lampau, tetapi merupakan pandangan kebudayaan terhadap sejarah bangsa-bangsa.Dia tidak bertumpu pada retorika belaka tetapi bertumpu pada analisis ilmiah akademis yang canggih, dan mendiagnosa kultul Barat dalam rangka membebaskan umat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama salaf dahulu terhadap kebudayaan-kebudayaan destruktif.[17]
    3.      Analisis terhadap realitas dunia Islam
Sejak era Al-Afghani, terlebih selam masa perang salib, sampai saat ini, imperialisme tetap merupakan isu terpenting yang dihadapi oleh dunia Islam.Di bidang ekonomi, imperialisme saat ini muncul dalam bentuk korporasi multinasional.Sementara di sektor budaya, munculnya dalam bentuk pem-barat-an yang merupakan upaya pembunuhan terhadap semangat kreatifitas bangsa dan mencabut mereka dari akar-akar kesejarahan. Secara militer, imperialisme mewujudkan diri dalam bentuk pangkalan militer asing yang hadir di seluruh dunia Arab, dari Maroko sampai tanah Arab bagian timur. Tugas Kiri Islam adalah memberikan peringatan secara terus menerus dan membongkar model-model imperialisme baru, rasisme Barat, dan salibisme historis yang terselubung.
Zionisme juga masih banyak menjadi ancaman laten bagi Islam dan kaum Muslimin. Akar-akarnya ada pada skuisme Ibrani kuno sampai zionisme politik di abad kita ini. Ambisinya bukan saja penaklukan bumi Palestina, tetapi telah merambah ke negeri-negeri sekitarnya, Libanon, Mesir dan bahkan lebih luas lagi sehingga hampir-hampir menguasai seluruh bumi. Lebih dari itu, zionisme juga berupaya menyebarkan pemikiran-pemikirannya kepada intelektual Arab-Islam hingga terlena. Kaum zionis mempunyai kemampuan rasio dan kesadaran, sedangkan pada kita hanya ada buruh yang murah melimpah. Zionisme tidak hanya menguasai sumber-sumber kekayaan kita sebagaimana ulah imperialisme konvensional, tetapi juga menguasai spiiritualitas kita, hingga akhirna zionisasi dunia Arab sebagai jantung dan pusat dunia Islam. Zionisme kemudian menggantikan nasionalisme dan persatuan Arab, dengan kebudayaan Yahudi sebagai induk, dan kebudayaan Arab-Islam menjadi derivasinya. Zionisme menjadi pancang kebudayaan Semit, baik klasik maupun modern. Ancaman terhadap dunia Islam lainnya adalah kapitalisme yang dibangun di atas landasan perilaku ekonomi bebas, dan diikuti dengan persaingan bebas. Bentuk kongkritnya adalah laba, rente dan riba. Kapitalisme, selain mendatangkan dampak penindasan juga turut andil dalam menumbuhkan nilai-nilai destruktif dan hedonisme utilitarian. Hal itu berujung pada penciptaan kelas-kelas sosial dan kesenjangan kesempatan, yang pada gilirannya mengakibatkan pemusatan otoritas di tangan pemilik modal.
Kiri Islam menuntut hak-hak kaum miskin di dalam harta orang-orang kaya, lalu melakukan pengembagan masyarkat berdasarkan nilai-nilai persamaan dan keadilan sosial. Bagi Hanafi, sosialisme merupakan prinsip universal dan abadi, bukan sebagai sistem sosial yang mudah berubah oleh perubahan rezim.[18]
Kiri Islam memperjuangkan kebebasan dengan sehala dimensinya, menegakkan pemerintahan demokratis, dan mengajarkan bahwa semua manusia mempunyai hak untuk berperan dalam menentukan corak negerinya, tidak perlu ada tuduhan subvensi, tidak ada tuduhan pengkhianat. Semua adalah anak negeri yang mendambakan kebaikan. Kiri Islam mengupayakan amar ma’ruf nahy munkar demi menjadikan kita umat terbaik yang dilahirkan untuk umat manusia. Adapun misi Kiri Islam pada awal-awal abad ke 15 H ini adalah sebagai berikut :
     a.  Mewujudkan keadilan sosial di kalangan umat Islam, dan menciptakan masyarakat tanpa kelas agar jurang yang menganga di antara kaum miskin dengan orang kaya dapat terhapus, sejalan dengan petunjuk Al-Qur’an.
   b. Menegakkan masyarakat yang bebas dan demokratis, di mana seriap individu berhak mengungkapkan pendapat, menyuarakan kritik dan melakukan amar ma’ruf nahy munkar.
     c. Membebaskan tanah-tanah kaum Muslim dari kolonialisme di Palestina, menghapus pakta-pakta militer di dunia Islam dan mengembalikan kekayaan kaum muslimin setelah sekian lama sumber daya alam yang dimilikinya dihisap oleh imperialisme.[19]
d.      Membangun kesatuan Islam yang menyeluruh, yang dimulai dari kesatuan umat di Mesir, kemudian lembah Nil, Mesir dan Suriah, Mesir-Maroko, kemudian kesatuan dunia Arab dan akhirnya dunia Islam
e.       Merumuskan sistem politik nasional yang bebas dari pengaruh super power, yaitu kebijakan bukan Barat dan bukan Timur, sealur dengan nas Al-Qur’an, serta mempererat jalinan persahabatan dengan bangsa-bangsa Asia-Afrika yang merupakan bangsa-bangsa Islam dan Dunia Ketiga.
f.       Mendukung gerakan revolusioner kaum terjajah dan tertindas karena sesungguhnya Islam hadir untuk mereka. Revolusi mereka adalah revolusi Islam. Bukan salah mereka kalau mereka tak terjangkau oleh risalah Islam, tapi salah kita yang tidak berusaha untuk menyampaikan kepada mereka.


E.     REFLEKSI
Pemikiran Hassan hanafi telah memberi kesan lebih kurang modernis, namun sebagai layaknya sebuah definisi ia tidak seluruhnya benar, terutama karena Hassan hanafi menggunakan pisau analisis fenomenologi yang muncul di barat untuk melawan modernisme. Kendatipun ia menyerap modernitas dan praposmodernitas, ia belum merambah pada gerakan pemikiran paling baru di barat, yaitu posmodernisme[20] secara tuntas dan menyeluruh. Sebagai seorang reformis (pembaharu) pemikiran Islam, Hanafi menguggulkan satu bagian dari khazanah Islam yang berbasis pada rasionalisme, dan ini tidak kompatibel dengan posmodernisme. Problem inilah yang patut di diskusikan ulang dan dikaji kembali.

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dari berbagai uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa menurut Hassan Hanafi, saat ini umat Islam mengalami tiga masalah yang sangat krusial yang harus segera ditindak lanjuti sebagai upaya membangkitkan kembali semangat kemajuan Islam tanpa harus dipengaruhi oleh Barat. Masalah-masalah yang dihadapi umat Islam sekarang adalah keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan. Hassan hanafi hadir dengan pemikiran-pemikiran pembaharuannya dengan cara merevitalisasi khazanah Islam klasik, menantang peradaban barat (salah satunya dengan konsep “oksidentalisme”nya), dan melakukan analisis terhadap realitas dunia Islam.

B.     SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis dapat memberikan sedikit saran bahwa kondisi umat Islam pada saat ini memang mengalami keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan.Hal itu semakin bertambah parah dengan adanya campur tangan pihak Barat yang selalu berupaya memanipulasi ajaran-ajaran Islam, mengadu domba dan lain sebagainya. Akan tetapi menurut hemat penulis, yang perlu diadakan rekontruksi adalah umat Islam itu sendiri, terutama rekonstruksi terhadap pola pikir umat Islam agar tidak terpaku pada dogma-dogma normatif yang hanya dianggap sebagai sebuah teori dari Tuhan yang harus dijalankan, sebagai wujud pengabdian yang sempurna terhadap Tuhan. Teori-teori dogmatis tersebut menjadi belenggu umat Islam, yang seharusnya teori-teori tersebut menjadi sebuah ghiroh untuk dikaji seluas-luasnya demi kemajuan umat Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Badruzaman, Abad. Kiri Islam Hassan Hanafi : Menggugat Kemapanan Agama dan Politik. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2005. hlm. 41
Ismail Thoib, Wacana Baru Pendidikan, Alam Tara, Yogyakarta, 2008, hlm. 23
Shimogaki, Kazuo.  Kiri Islam :Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Antara Modernisme dan Posmodernisme. hlm. 3
Hanafi, Hasan, Oposisi Pasca Tradisi, penerjemah Nahdiyyin, Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2003. Hal. 102
Eko Supriyadi, sosialisme Islam: pemikiran Ali Syari’ati, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) h. 6
Hasan Hanafi, Melawan tekstualisasi Tradisi Klasik dan Tekstualisasi Modernistas, Tashwirul Afkar, edisi no: 8, 2000. hal. 47
Taufik, Ahmad M.Pd. Huda, Dimyati M.Ag. Maunah Binti M.Ag, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2005
Briyan S. Tumer, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994) h. 331-332
Hasan Hanafi, Tashwirul Afkar, (Yogyakarta, LKiS, edisi 8, 2000) h. 89
Badruzaman, Abad. Kiri Islam Hassan Hanafi... hlm. 61
Georg Gadamer, Hans. Philosopical Hermeunetics. (London : university of california press, 1977). hlm. 12
Hanafi, Hassan. Cultures and Civilizations ‘conflict or dialogue’. 2006. Cairo. Hlm.61
Hanafi, Hassan. Islam in The Modern Word. (Cairo : 10 Kamel Sidki St. Faggala  2000). hlm. 395
Badruzaman, Abad. Kiri Islam Hassan Hanafi ... hlm. 41
Adnan, Islam Sosialis...hal..55
Kazuo Shimogaki, Kiri Islam…hal.103
Ahmad Taufiq, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam.... hal.201





[1]Badruzaman, Abad. Kiri Islam Hassan Hanafi : Menggugat Kemapanan Agama dan Politik. (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2005. hlm. 41
[2] Ismail Thoib, Wacana Baru Pendidikan, Alam Tara, Yogyakarta, 2008, hlm. 23
[3] Ibid, hlm. 43
[4] Ibid, hlm. 56
[5] Shimogaki, Kazuo.  Kiri Islam :Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi, Antara Modernisme danPosmodernisme. hlm. 3
[6] Hanafi, Hasan, Oposisi Pasca Tradisi, penerjemah Nahdiyyin, Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2003. Hal. 102
[7] Eko Supriyadi, sosialisme Islam: pemikiran Ali Syari’ati, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) h. 6
[8] Hasan Hanafi, Melawan tekstualisasi Tradisi Klasik dan Tekstualisasi Modernistas, Tashwirul Afkar, edisi no: 8, 2000. hal. 47
[9] Taufik, Ahmad M.Pd. Huda, Dimyati M.Ag. Maunah Binti M.Ag, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2005
[10] Briyan S. Tumer, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994) h. 331-332
[11] Hasan Hanafi, Tashwirul Afkar, (Yogyakarta, LKiS, edisi 8, 2000) h. 89
[12]Badruzaman, Abad. Kiri Islam Hassan Hanafi... hlm. 61
[13]Georg Gadamer, Hans. Philosopical Hermeunetics. (London : university of california press, 1977). hlm. 12
[14] Hanafi, Hassan. Cultures and Civilizations ‘conflict or dialogue’. 2006. Cairo. Hlm.61
[16] Hanafi, Hassan. Islam in The Modern Word. (Cairo : 10 Kamel Sidki St. Faggala  2000). hlm. 395
[17] Badruzaman, Abad. Kiri Islam Hassan Hanafi ... hlm. 41
[18] Adnan, Islam Sosialis...hal..55
[19] Kazuo Shimogaki, Kiri Islam…hal.103
[20] Ahmad Taufiq, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam.... hal.201

Tidak ada komentar:

Posting Komentar