Selasa, 03 November 2015

Studi Hadist 2



The  Origins  Of  Muhammadan  Jurisprudence

Makalah Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Study Hadist


Dosen Matakuliah :
Dr. Hj. Umi Sumbulah, MAg


Disusun Oleh:
ANSARI
NIM: 14781010








PROGRAM PASCASARJANA
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN AJARAN 2015





KATA PENGANTAR



Assalamu’alaikum Wr.Wb
           Puji syukur penulis panjatkan kehadirat-Mu ya Allah. Berkat rahmat dan hidayah-Nya serta bimbingan-Nya semata-mata, akhirnya penulisan makalah ini dapat selesai. Sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan ke pangkuan Nabiyullah Muhammad, SAW.
            Makalah ini penulis susun guna memenuhi tugas mata kuliah Pendekatan Study Islam. Dan dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas, maka makalah yang berjudul The Origins Of Muhammadan Jurisprudence , ini masih jauh dari kata sempurna.
Dan dalam penulisan makalah ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1.      Dr. Hj. Umi Sumbulah, MAg Selaku dosen pengampu mata kuliah Pendekatan Study Islam. Uneversitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
2.      Segenap sahabat-sahabat.
3.      Semua pihak yang telah memberikan motivasi kepada penulis.
Penulis berharap dari makalah yang penulis susun ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi penulis maupun pembaca. Demikianlah makalah ini penulis susun, kritik serta saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk melengkapi makalah ini.       
Wallahul Muwafiq Ila Aqwametthoriq
Wasalamu'alaikum Wr.Wb

Malang, 20 April 2015

Penulis 


 

BAB I
PENDAHULUAN

Sudah menjadi sebuah aksioma bahwa orientalisme[1] memiliki dampak yang cukup massif - baik di Barat maupun di Timur (Islam)-, meskipun keduanya memiliki perbedaan dalam menyikapinya.” Edward Sa’id[2]
“Teori (Projecting Back) yang dikembangkan oleh Joseph Schacht, suatu saat akan menjadi rujukan atas kajian-kajian keislaman di seluruh dunia, setidaknya di dunia Barat.” H.A.R.Gibb[3]
Suatu hal yang lumrah dan wajar jika dipostulasikan bahwa kebudayaan yang mundur akan belajar dari kebudayaan yang maju. Dan adalah alami jika suatu kebudayaan yang terbelakang meminjam (mengadopsi) konsep-konsep dari kebudayaan yang lebih maju. Sebab tidak ada kebudayaan di dunia ini yang berkembang tanpa proses interaksi dengan kebudayaan asing. Ketika peradaban Islam unggul dari bangsa-bangsa lain, misalnya Eropa yang meminjam konsep-konsep pentingnya. Akan tetapi postulat ini tidak berarti bahwa semua kebudayaan dapat mengambil semua konsep dari kebudayaan lain. Postulat ini lebih menunjukkan bahwa setiap kebudayaan memiliki identitas, nilai, konsep dan ideologinya sendiri-sendiri yang disebut dengan pandangan hidup (worldview). Suatu kebudayaan dapat meminjam konsep-konsep dari kebudayaan lain karena memiliki worldview. Namun suatu kebudayaan tidak dapat meminjam sepenuhnya (mengadopsi) konsep-konsep kebudayaan lain, sebab dengan begitu ia akan kehilangan identitasnya. Peminjaman konsep dari suatu kebudayaan mengharuskan adanya proses integrasi dan internalisasi konseptual, suatu proses dimana unsur-unsur pokoknya berperan sebagai filter yang menentukan diterima tidaknya suatu konsep.
Ketika istilah orientalisme mulai menjamur, maka begitu beragam tanggapan dan opini publik tentang orientalisme. Ada yang mamandangnya secara bijak, ada yang mengambil mamfaat darinya, ada juga yang cuek, ada yang anti, ada yang kritis dan bahkan ada juga yang mengadopsinya secara keseluruhan. Terlepas dari opini dan tanggapan publik. Disebabkan karena merasa penting dan urgennya kajian Islam di zaman kontemporer ini, penulis merasa perlu untuk mengkaji salah seorang tokoh dari orientalisme, dengan harapan adanya suatu orientasi intelektual dan akademik guna mengenal, mengetahui dan belajar dari orang lain (others) tentang diri kita (Islam).
Islam sebagai agama (din), yang muncul di jazirah Arab yang tentunya berbeda dengan sosio-kultural masyarakat daerah lainnya dan sosio-kultural sekarang, dan Islam datang ke suatu daerah yang tentunya bukan pada daerah yang kosong dan hampa tradisi, sejarah dan kultural. Sebagai sebuah agama yang memiliki aturan-aturan dan ajaran-ajaran, tentunya akan timbul pertanyaan, apakah hukum yang dulu sama dengan hukum yang sekarang, padahal ‘ilat, sebab dan realitasnya sekarang sudah berbeda?
Menarik memang, Islam yang di dalamnya terkandung banyak hukum, tentunya memungkinkan akan terjadinya perbedaan pandangan dari para kalangan ahli hukum zaman dahulu dan sekarang. Apalagi permasalahan hukum-hukum ini sangat sensitif sekali, yang pada realitasnya banyak menimbulkan berbagai konflik, bahkan menyulut korban. Dan karena hukum dalam Islam merupakan sesuatu yang fundamental dan tidak bisa dilepaskan dari Islam itu sendiri, sehingga menimbulkan keresahan dan kegelisahan penulis untuk membahas tentang kajian ini menurut others. Dan pada kesempatan ini, penulis akan membahas tokoh yang cukup terkenal dan populer dalam permasalahan hukum Islam di Barat, yaitu Joseph Schacht, yang memilki kualitas intelektual yang tinggi, dan karya-karyanya menjadi referensi dan rujukan dalam permasalahan hukum Islam, bahkan dikaji dan dipelajari di negeri-negeri Islam sendiri. Karena tesis Schacht sempat mengejutkan para intelektual Barat maupun Timur, sehingga menjadikan penulis ingin membahas sekilas tentang Schacht.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan pokok yang hendak dikaji dalam tulisan ini adalah : Siapakah seorang Joseph Schacht, dan bagaimakah pemikiran dan metodologinya dalam mengkaji hukum Islam. Dan terakhir adalah, apakah yang bisa diambil pelajaran dan nilai dari seorang Schacht.
Dengan berbagai kekurangan dan kelemahan disana sini, penulis akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengkaji dan mengulas tentang Joseph Schacht, pemikiran dan metodologinya dengan sistematis dan menjelaskan dengan sebaik-baiknya.






BAB II
BIOGRAFI JOSEPH SCHACHT

A.    Biografi Joseph Scahcht
Joseph Schacht lahir pada tanggal 15 Mei 1902, di Ratibor, Silesia yang dahulu berada di wilayah Jerman, dan sekarang masuk Polandia. Di kota ini ia tumbuh berkembang dan tinggal selama delapan belas tahun pertama dari kehidupannya. Ia berasal dari keluarga yang relatif agamis dan terdidik. Ayahnya, Eduard Schacth adalah seorang penganut agama Katolik Roma, dan Ia adalah guru anak-anak bisu dan tuli. Ia memiliki jiwa religi dan sosial yang tinggi. Sedangkan Ibunya bernama Maria Mohr. Pada tahun 1945.
Ia menikah dengan wanita Inggris yang bernama Louise Isabel Dorothy, anak perempuan Joseph Coleman. Iklim agamis dan pendidikan kelurganya memberikan kepadanya kesempatan untuk akrab dengan ajaran-ajaran agama Kristen dan juga dengan bahasa Yahudi. Dan hal-itu terjadi mulai sejak Ia anak-anak, hingga tumbuh besar dan berkembang. Dan hal ini sangat penting selanjutnya bagi pemahamannya atas agama-agama besar di Timur Tengah.
B.     Latar Belakang Pendidikan dan Karir Intelektual Joseph Schacht
Schacht adalah orang yang cerdas, pintar dan tekun. Ia berhasil memperoleh pendidikan tinggi, setelah Ia terlebih dahulu mempelajari bahasa Yahudi dari seorng Rabbi, dan setelah menerima gymnasium klasikal pada tahun 1911-1920. Ia melanjutkan studinya ke Universitas Breslau dan Leipzig, dimana pertama kali ia mengkaji filologi klasik, semitik dan juga teologi.
Tahun 1922, Ia memenangkan medali Universitas dengan satu risalah tentang perjanjian lama. Dan memperoleh gelar D. Phill dengan predikat summa cumlaude dari Universitas Breslau pada tahun 1923. Kemudian Ia juga mendapatkan gelar M.A pada tahun 1947 dan gelar D. Litt pada tahun 1952. Kedua gelar tesebut ia dapatkan dari Universitas Oxport. Dan Schacth menulis disertasi doktornya yang terdiri dari sebuah edisi, dengan terjemahan dan komentar atas sebagian kitab al-hiyal wa al-makharij karya Khassaf, yaitu sebuah teks arab tentang perlengkapan hukum.
Dan Schacht juga menerima pemilihan akademis pertama kali di Universitas Freiburg di Breisgan pada tahun 1925. Sedangkan pada tahun 1927 dia dipilih sebagai asisten professor ketika berusia dua puluh lima tahun. Dari perjalanan karirnya ini, kelihatanlah akan kecerdasan dan tingginya nilai intelektual Schacht.
Bahkan pada tahun 1929 dia dipromosikan menjadi professor penuh di bidang bahasa-bahasa ketimuran. Schacht juga sangat memehami dunia barat (Kristen-pen) dan dunia timur (Islam-pen) dengan baik. Selama tahun 1926 hingga 1933, Ia melakukan pengembaraan secara luas ke Timur Tengah dan Afrika Utara.
Pada tahun 1930, Schacht menjadi visiting Professor di bidang bahasa-bahasa semit dan hukum Islam di Cairo University. Tahun, 1939, Schacth pindah ke Inggris dan bekerja sebagai seorang ahli dan peneliti masalah-masalah ketimuran di Departemen Penerangan Inggris. Penelitiannya di Afrika memberinya kesempatan kontak dengan kehidupan nyata masyarakat muslim, yang pada implikasinya menjadikannya jauh lebih akrab dengan problematika penerapan hukum Islam dalam konteks sosial.
C.    Pemikiran Joseph Schacht
Pemikiran Joseph Schacht mempunyai kepercayaan Tradisional mengenai Hukum Islam yang telah mapan, sejak abad ke 19 ia dihadapkan oleh berbagai tantangan serius. Mulai dari kolonialisasi dan Imperialisme pengaruh barat terhadap dunia Islam yang sangat dominan, sehingga berakibat beberapa aspek ajaran Islam dipertanyakan dan di gugat. Salah satunya ditujukan terhadap doktrin-doktrin sumber Hukum Islam. Hal tersebut berbeda dengan pemahaman Tradisional, kajiannya tidak bersifat Teologis maupun Yuridis, akan tetapi lebih bersifat Historis dan Sosiologis. Ia menawarkan Islam bukan sebagai seperangkat norma yang diwahyukan Tuhan, akan tetapi sebagai fenomena Historis yang berhubungan erat dengan seting sosial dalam artian ia meneliti keaslian sumber Hukum Islam melalui proses sejarah. Oleh sebab itu bagaimanapun masa lalu yang mempengaruhi masa kini, dan masa kini mempengaruhi masa yang akan datang. Sehingga tidak di herankan apabila sebagian besar Hukum Islam, termasuk sumber-sumbernya merupakan akibat dari sebuah proses perkembangan sejarah.
Salah satu kementarnya sangat kontracesial dan menggugat keimanan seorang muslim yang saleh ialah pertanyaan bahwa rujukan hadis-hadis dari para sahabat nabi merupakan prosedur yang lubih tua, dan teori tentang otoritas hadis-hadis nabi yang lebih berkuasa ialah inovasi. Dan untuk membuktikan gagasan ini ia menguji evolusi istilah sunnah sebagaimana telah di pakai pada masa Arab pra Islam dalam tradisi Lisan. Aliran fikih klasih dari para sahabat nabi sampai pembukuan hadis pada masa Umar Ibn Abdul Aziz dari dinasti Umayyah, oleh ahli hukum yang terkenal seprti Syafi’i. Syafi’I sendiri berhasil membuat gagasan freksibel sunnah sebagai kumpulan praktik yang telah diterima dalam Madzhab-madzhab awal yang disebut sebagai “Tradisi Hidup” Madzhab-madzhab.[4]
Kemudian ia merumuskan teori Yurisprudensi hukum Islam dengan Empat sumber Hukum. Pertama : Al-Qur’an yang dijelskan didalamnya dan diterima. Kedua : As-Sunnah atau praktik Nabi Muhammad yang dikisahkan Hadis Shahih. Nah kedua sumber hukum ini tidak seluruhnya bisa menjawab semua persoalan Masyarakat, oleh sebab itu harus ditambahkan dua sumber Hukum yang lain. Salah satu diantaranya ialah Qiyas, Analogi atau penalaran Analogi, yaitu persoalan-persoalan yang tidak ditemukan dalam praktik Nabi Muhammad atau sahabat diselesaikan dengan menggunakan Analogi. Dan yang terakhir ialah Ijma’ atau Konsesus. Khususnya bagaimana istilah itu berkembang. Akan tetapi Syafi’i juga sempat terlibat polemik mengenai masalah ini dan identifikasi ekslusif sunnah dengan spesifik Nabi Muhammad SAW atau sifat kewahyuan sunnah yang memberikan bukti untuk memadai akan keberadaan spektrum pendekatan terhadap sunnah sebelum dan sepanjang karirnya.
Kemudian ia berpendapat sendiri dari istilah sunnah yang berarti kebiasaan masyarakat yang diriwayatkan oleh peristiwa lisan dan digunakan pada masa Pra Islam. Adapun sunnah tersendiri atas praktek kebiasaan prosedur atau tindakan Adat, Norma, Standar atau cara yang didukung oleh hadis. Al-Qur’an memberikan bukti bahwa prinsip pembimbing kehidupan moral Pra Islam adalah sunnah Masyarakat Arab yang diriwayatkan secara lisan dari Nenek moyang mereka. Adapun yang secara kebiasaan itu benar dan pantas dan telah dilakukan oleh nenek moyang, maka hal itu patut ditiru. Sehingga ia berkesimpulan bahwa hukum islam memiliki akar-akar dalam Masyarakat Pra Islam.[5]
Joseph Schacht termasuk Orientalis yang cukup produktif. Meskipun ia dikenal dengan kecenderungannya dalam mengkaji dan mendalami fikih, ia juga banyak menulis karya dalam bidang-bidang yang lain.
Proyek ktitiknya terhadap Hukum Islam telah meragugan peran penting dari kontribusi Al-Qur’an terhadap perkembangan Hukum Islam. Bahkan ia secara khusus berpendapat bahwa Al-Qur’an pada esensinya hanya berisikan hal-hal yang bersifat etis dan hanya sedikit yang bersifat hukum. Ia juga mengingkari adanya peran penting Al-Qur’an terhadap perkembangan Hukum Islam yang penting. Ia juga berkesimpulan bahwa hukum Islam (Muhammadan Law, istilah yang digunakannya sebagai ganti dari Islamic Law), tidak secara langsung bersumber dari Al-Qur’an, akan tetapi ia mengembangkan sebuah tradisi umum dan tersusun di bawah pemerintahan dinasti Umayyah.[6]
Pendapat yang senada dapat ditemukan dalam karyanya yang lain, yaitu Origins Of Muhammadan Jurisprudence, sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr. Musthafa Azami bahwa Joseph menuturkan bukti adanya hadis-hadis hukum yang membawa kemunduran sekitar tahun 100 H. Pada saat itu pemikiran hukum islam berawal dari akhir pemerintahan dan praktek popular dari dinasti Umayyah, yang masih direfleksikan dalam sebuah hadis.[7]
Kritikanya terhadap hadis-hadis Hukum Islam disebabkan oleh kelangkaan ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an, serta kebermulaan hukum islam mendapat hujan kritik yang cukup deras, baik dari orientalis maupun dari sarjana muslim.[8] Sejumlah orientalis seperti Goitein, Coulson, dan Powers menghujat kritikan terhadap kesimpulan Joseph Schacht. Goitein merasa bahwa sekian banyak bukti yang ada sangatlah jelas bahwa persoalan hukum yang telah dihadapkan kepada Nabi Muhammad saw diputuskan oleh beliau. Dan Prof. Dr. Musthafa Azami Menambah pendapat Joseph Schacht dengan memaparkan beberapa hal, sebagai berikut :
1.      Aktifitas Yudisial nabi Muhammad saw, sebagai seorang utusan sekaligus penjelasan atas Al-Qur’an, menjelaskan mengenai perintah-perintah Allah dalam Al-Qur’an yang masih bersifat Universal. Hal ini merupakan sebuah data yang akurat dan mematahkan tesis kebermulaan hukum islam pasca abad pertama hijriah.
2.      Catatan hukum dan keputusan yang didasarkan pada keputusan atau contoh Nabi Muhammad saw.
3.      Literature hukum abad pertama. Ada beberapa data yang dapat menguatkan alasan bahwa literatur hukum yang dicetuskan pada abad pertama hijriah, sebagaimana keputusan Mu’adz 18 H di baca dan diriwayatkan oleh Thawus 23-101 H di Yaman.
4.      Disamping pembukuan keputusan Mu’adz, atau hasil Ijtihad yang dilakukan oleh Umar bin Khathab, ibn Mas’ud, Urwah ibn Zubair, Zaid ibn Tsabit telah dikonfirmasikan dengan baik.


D.    Karya-karya Joseph Schacht
Joseph Schacht sebagai seorang professor di bidang bahasa ketimuran dan penziarahan intelektualnya ke dunia timur dan barat, telah berhasil menelurkan karya-karya yang diperhitungan di kalangan intelektual.[9] Baik dari dunia Timur maupun dari dunia Barat. Sebagai seorang yang melakukan observasi langsung menuju lapangan penelitian, Schacht mampu melahirkan karya-karyanya yang berdasarkan pengalaman, bukti dan data-data yang bisa dipertanggungjawabkan. Namun, terlepas dari sikap pro dan kontra terhadap tesis dan karya-karya Schacth. Namun pada kenyataan dan bukti riilnya, karya-karya Schacth telah mampu membangun paradigma, memunculkan jiwa kritis dan akademis, bahkan dijadikan referensi dan pegangan dalam studi-studi hukum Islam.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdurrahman badawi bahwa karya-karya Joseph Schacht terdiri dari beberapa disiplin ilmu antara lain ialah:
1.      Kajian Mengenai Ilmu Kalam.
2.      Tahqiq (Menyunting dan Mengedit) atas dasar menuskrip-manuskrip Kitab Fikih.
3.      Kajian mengenai Fikih.
4.      Kajian mengenai Sejarah, Ilmu Pengetahuan, dan Filsafat Islam.
5.      Kajian-kajian keislaman lainnya.
Diantara karya-karya Schacht yang sangat berpengaruh dan populer adalah:
1.      Origins of Muhammadan Jurisprodence.
2.      An Introduction to Islamic Law.

E.     Kajian Sanad Hadis Joseph Schacht
Dalam mengkaji hadis Nabi ia lebih banyak menyoroti aspek sanad (transmini, silsilah keguruan) dari pada aspek matan (materi hadis). Sementara kitab-kitab yang dipakai dalam penelitiannya ialah kitab Al-Muwaththa’ (Karya Imam Malik), Al-Muwaththa’ (Karya Imam Muhammad Al-Syaibani), dan kitab Al-Umm dan Al-Risalah (Karya Imam Al-Syafi’i).[10] Akan tetapi menurut Prof. Dr. M. M Azami kitab tersebut lebih layak disebut dengan kitab-kitab Fikih dari pada kitab-kitab Hadis. Sebab kedua jenis kitab tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu dalam meneliti hadis-hadis yang terdapat pada kitab-kitab fikih hasilnya tidak akan tepat, sebab penelitian hadis diharuskan dengan kitab-kitab hadis.
Joseph juga berpendapat bahwa Hukum Islam belum eksis pada masa Al-Sya’bi (w. 110. H). penegasan tersebut memberikan pengertian bahwa apabila ditemukannya hadis-hadis yang berkaitan dengan hukum islam, maka hadis tersebut merupakan buatan orang-orang yang hidup sesuadah Al-Sya’bi.
Sebuah keputusan hukum yang diberikan oleh Qadhi memerlukan legitimasi dari orang yang memiliki otoritas lebih tinggi, sebab mereka tidak menisbahkan keputusan itu kepada diri sendiri, melainkan menisbahkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya. Misalnya orang Iraq yang menisbahkan pendapat meraka kepada Ibrahim Al-Nakha’I (95 H). kemudian dalam perkembangan berikutnya pendapat para Qadhi tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih dulu, misalnya Masruq. Langkah selanjutnya untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat lagi, pendapat tersebut dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas paling tinggi, misalnya Abdullah ibn Mas’ud, kemudian pendapat mereka dinisbahkan kepada nabi Muhammad saw. Nah Rekonstruksi Sanad Hadis menurut Joseph, yaitu dengan memproyeksikan pendapat tersebut kepada tokoh-tokoh yang legitimit yang ada di belakang mereka, dan disebut teori Projecting Back. Kemudian muncul aliran-aliran fikih klasik yang membawa konsekuensi Logis, yaitu bermulannya kelompok oposisi yang terdiri dari Ahli hadis. Pemikiran dasar kelompok ahli hadis ialah hadis yang berasal dari nabi Muhammad saw. Dan harus mengalahkan aturan yang dibuat oleh kelompok aliran fikih. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan ini, kelompok ahli hadis membuat penjelasan dan hadis, seraya mengatakan bahwa hal itu pernah dikerjakan atau diucapkan oleh nabi Muhammad saw. Mereka juga mengatakan bahwa hal tersebut diterima secara lisan berdasarkan sanad yang bersambung dari para periwayat hadis yang dapat dipercaya.
Joseph Schacht berpendapat bahwa kelompok aliran fikih klasik dan ahli hadis adalah pemalsu Hadis, sebab sebagaimana yang dikutip oleh Mustafa Yaqub,[11] Joseph Schacht mengetakan “kita tidak akan dapat menemukan satupun hadis nabi yang berkaitan dengan hukum yang dapat dipertimbangkan sebagai hadis saheh”. Dan untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis, khsusunya Joseph Schacht yang telah meneliti aspek sejarah, M Azami membantah teori Joseph Schaht, khususnya mengenai sejarah hadis. Azami melakukan penelitian khusus mengenai hadis nabi yang terdapat dalam naskah klasik, diantanya ialah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w/138 H). Abu Shaleh (ayah suhail) ialah murid Abu Hurairah sahabat nabi Muhammad saw.
Adapun naskah Suhail berisi 49 hadis. Sementara Azami meneliti perawi hadis tersebut sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-Thabaqah Al-tsalitsah), termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membutikan bahwa pada jenjang ketiga jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antaranya india sampai maroko, antara turki sampai yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama. Azami berkesimpulan bahwa sangat mustahil meneurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadis palsu sehingga redaksinya sama. Dan sengat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat hadis, kemudian oleh generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat itu sama. Artinya Azami bertolak belakang dengan kesimpulan Joseph Schacht, baik mengenai rekontruksi terbentuknya sanad hadis, maupun bunyi teks (matan) hadis.
Azami mengemukakan hadis dengan contoh hadis nabi yang artinya:
Nabi Muhammad bersabda : “Apabila salah seorang di antra kalian bagun dari tidurnya, maka hendaknya ia mencuci tangannya, karena ia tidak tahu semalam tangannya berada dimana”.
Hadis ini dalam sebuah naskah Suhail bin abi Shaleh berada pada urutan nomor 7, dan pada jenjang pertama (generasi sahabat) diriwayatkan oleh lima orang, yaitu Abu Hurairah, ibn Umar, Jabir, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib. Abu Hurairah sendiri kemudian meriwayatkan hadis ini kepada 13 orang Tabi’in (generasi kedua). 13 Tabi’in ini meyebar ke berbagai penjuru negeri Islam. 8 orang menetap di Madinah, seorang tinggal di Kufah, 2 orang tinggal di Basharah, 1 orang tinggal di Yaman, dan 1 orang lagi tinggal di Syam.
Kemudian 13 Tabi’in tersebut meriwayatkan lagi kepada generasi berikutnya (Tabi’it Tabi’in), sehingga jumlah mereka menjadi 16 orang. 6 orang tinggal di Madinah, 4 orang tinggal di Kufah, 2 orang tinggal di Mekah, 1 orang tinggal di Yaman, 1 orang tinggal di Khurasa, 1 orang tinggal di Syam. Maka mustahil apabila 16 orang yang domisilinya terpecah-pecah di tujuh kota yang berjauhan pernah berkumpul pada satu saat untuk bersama-sama membuat hadis palsu yang redaksinya sama, atau lebih mustahil pula jika mereka secara sendiri-sendiri di kediaman masing-masing membuat hadis, dan kemudian diketahui bahwa redaksi hadis tersebut secara kebetulan sama. 16 perawi di atas hanya dari jalur Abu Hurairah. Dan apabila jumlah perawi ditambah dengan perawi dari jalur lainnya, yaitu Ibn Umar, Jubir, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib, maka jumlah perawi akan menjadi banyak. Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Joseph Schacht dengan teori Projecting Back, yang mengemukakan  bahwa sanad hadis tersebut baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para Qadhi dalam menetapkan suatu hukum ialah tidak benar, hal ini sudah dibuktikan oleh persepsi Azami dengan penelitiannya bahwa sanad hadis itu memang mustahil sampai kepada Rasulullah saw melalui jalur yang disebutkan di atas, akan tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari nabi Muhammad saw.


BAB III
KONSEP PEMIKIRAN DAN METODOLOGI

A.    Konsep Pemikiran Joseph Schacht
Persoalan yang tetap hangat didiskusikan di kalangan para ahli keislaman, terutama ahli hukum Islam di Barat, adalah mengenai eksistensi hukum Islam pada permulaan abad ke-1 H. Siapa yang bertanggung jawab sebagai agen yang memformulasikan hukum Islam tersebut ke dalam bentuk buku yang teraplikasikan dalam interaksi sosial yang bersifat mengikat.
Snouck Hurgronje, yang terkenal sebagai pendiri pengakajian masalah-masalah hukum Islam di Barat, merupakan orang pertama yang mempertanyakan eksistensi hukum Islam dan meragukan peranan Muhammad sebagai orang yang paling bertanggungjawab terhadap formulasi hukum Islam tersebut.[12]
Ignaz Goldziher, melalui bukunya yang terkenal Muslim Studies, meragukan keaslian hadits Nabi dan mengkalaim bahwa hadits-hadits tersebut merupakan produk abad ke-2 H.
Berdasarkan kajian yang dikembangkan oleh kedua ahli tersebut, Joseph Schacth , yang terkenal dengan kedua karya monumentalnya dalam hukum Islam, The Origins of Muhammadan Jurisprudence dan An Introduction to Islamic Law. Sehingga pada akhirnya Schacth mengajukan tesisnya bahwa Hukum Islam mulai Eksis pada abad ke-2 H.[13] Sedangkan orang yang paling berjasa terhadap perkembangan hukum Islam itu, menurut Schacth bukan Muhammad melainkan para Qadi yang ditunjuk oleh para gubernur pada masa pemerintahan Umayyah. Para Qadi tersebutlah yang mentrasformasikan praktik-praktik administrasi yang populer pada masa Umayyah tersebut ke dalam hukum Islam. Namun tesis ini, tentunya mendapatkan tantangan yang cukup serius dari kalangan ahli hukum Islam lainnya, baik dari para orientalis maupun Islam. Seperti SD. Goitein, MM. Al-A’zami, dan Wael B. Hallaq.
Berbekal dengan sedikit gambaran di atas, maka disini akan dijelaskan sedikit tentang konsep pemikiran Joseph Schacht tentang hukum Islam yang pada akhirnya akan diupayakan untuk mengangkat masalah orisinalitas hukum Islam, yang akan dibatasi pada timing lahirnya dan peranan Muhammad dalam pembentukannya.
Salah satu kesimpulan yang paling penting adalah pernyataan bahwa rujukan kepada hadits dari para sahabat merupakan prosedur yang lebih tua dan teori tentang otoritas hadits dari Nabi yang lebih berkuasa adalah sebuah inovasi (dari penulis). Dalam kenyataannya adalah benar bahwa istilah sunnah yang berarti kebiasaan masyarakat yang diriwayatkan oleh periwayatan lisan berupa praktik kebiasaan, prosedur atau tindakan adat, norma, standar atau cara yang kesemuanya itu didukung oleh hadits pada masa pra-Islam. Poligami, yang disetujui oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi adalah paktik umum orang-orang Arab pra-Islam. Seperti seorang hakam, orang yang kualifikasi utamanya adalah sifat-siftat pribadinya, pengetahuannya, kebijaksanaannya, integritasnya, reputasinya dan kekuatan supranaturalnya, seperti dalam tradisi. Arab pra-Islam, diminta memberikan saran atau memutuskan perselisihan diantara masyarakat. Berdasarkan bukti di atas menurut Schacht, Muhammad memelihara tradisi Arab pra-Islam. Sebagai akibatnya ada kontak nyata antara Islam dan budaya wilayah-wilayah taklukan. Dimana terdapat beberapa aspek kehidupan yang belum dihadapi oleh orang-orang muslim di daerah jazirah Arab. Disini Islam terbukti menjadi agama yang fleksibel.
Schacht juga berpendapat bahwa Syafi’i adalah orang yang bertang gung jawab atas perkembangan teori tentang empat sumber pokok hukum Islam: al-Qur’an, as-Sunnah, Ima’ dan Qiyas. Dia juga mempertahankan bahwa Syafi’i adalah orng yang pertama menyusun buku tentang teori hukum Islam. Walaupun Schacht mengakui bahwa berbagai persoalan hukum orang-orang muslim dipecahkan dengan bantuan sumber-sumber ini secara berurutan, ia mejelaskan bahwa fakta-fakta historis menunjukkan bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan unsur otoritatif terakhir dalam perumusan hukum Islam dan bukannya yang pertama.
Tahapan selanjutnya dari perkembangan hukum Islam terjadi selama periode Umayyah. Khalifah memilih qudat di masing-masing propinsi untuk memecahkan berbagai permasalahan hukum. Hukum adat masing-masing propinsi dan praktek populer serta aturan-aturan administrasi rezim Umayyah yang ditafsirkan para qudat melalui ra’yu mereka dianggap sebagai sumber-sumber utama yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum. Pada tahap perkembangan berikutnya bersama dengan para spesialis agama, mereka memunculkan apa yang kemudian disebut madzhab. Karakteristik geografis aliran-aliran hukum Islam mentransformasikan diri ke dalam tipe aliran sebelumnya berdasarkan kesetiaan kepada guru pribadi melalui berbagai perkembangan . Aliran kuffah klasik misalnya mentrasformasikan diri ke dalam aliran Hanafiyah, dan aliran Madinah klasik mentransformasikan diri ke dalam aliran Malikiyah. Keterlibatan Syafi’i dalam proses sistematisasi dan islamisasi hukum membantu doktrin-doktrinya menjadi dikenal sebagai aliran Syafi’i.[14] Pada tingkat tertentu doktrin Syafi’i tidak memuaskan kelompok tertentu, khususnya para ahli hadits, mereka bersikap memusuhi semua pemikiran dan mencoba mempercayai hadits semata-mata, serta mereka lebih suka kepada hadits dhoi’f dari pada analogi (qiyas) yang kuat. Para ahli hadits mendasarkan doktrin mereka kepada seorang ahli hadits terkemuka, Ibnu Hambal yang kemudian diakui sebagai pendiri aliran Hambali.


B.     Metodologi Joseph Schacth
Dalam persepsi muslim tradisional, hukum Islam menyajikan sebuah sistem yang ditakdirkan Tuhan, yang tidak ada kaitannya dengan berbagai perkembangan historis. Dalam persepsi mereka, Al-Qur’an dan Sunnah Nabi telah memberikan uraian rinci tentang segala sesuatu. Menurut mereka, hanya ada satu sumber yang darinyalah berasal aturan-aturan hukum dapat dikembalikan. Dan itulah wahyu Tuhan.[15]
Namun, seorang Schacth merupakan orang yang berani meruntuhkan pemahaman tradisional tentang hukum Islam. Kajian Schacth tentang hal ini tidak bersifat teologis maupun yuristik. Tetapi lebih kepada bersifat historis dan sosiologis. Ia menyajikan hukum Islam bukan sebagai seperangkat norma yang diwahyukan, tetapi sebagai fenomena historis yang berhubungan erat dengan realitas sosial.




BAB IV
ANALISIS

Suatu hal yang lumrah dan wajar jika dipostulasikan bahwa kebudayaan yang mundur akan belajar dari kebudayaan yang maju. Dan adalah alami jika suatu kebudayaan yang terbelakang meminjam (mengadopsi) konsep-konsep dari kebudayaan yang lebih maju. Sebab tidak ada kebudayaan di dunia ini yang berkembang tanpa proses interaksi dengan kebudayaan asing. Ketika peradaban Islam unggul dari bangsa-bangsa lain, misalnya Eropa yang meminjam konsep-konsep pentingnya. Akan tetapi postulat ini tidak berarti bahwa semua kebudayaan dapat mengambil semua konsep dari kebudayaan lain. Postulat ini lebih menunjukkan bahwa setiap kebudayaan memiliki identitas, nilai, konsep dan ideologinya sendiri-sendiri yang disebut dengan pandangan hidup (worldview). Suatu kebudayaan dapat meminjam konsep-konsep dari kebudayaan lain karena memiliki worldview. Namun suatu kebudayaan tidak dapat meminjam sepenuhnya (mengadopsi) konsep-konsep kebudayaan lain, sebab dengan begitu ia akan kehilangan identitasnya. Peminjaman konsep dari suatu kebudayaan mengharuskan adanya proses integrasi dan internalisasi konseptual, suatu proses dimana unsur-unsur pokoknya berperan sebagai filter yang menentukan diterima tidaknya suatu konsep.
Postulat di atas juga berlaku dalam sejarah pemikiran Islam, yaitu ketika Islam meminjam khazanah pemikiran Yunani, India, Persia dan lain-lain. Pelajaran yang penting dicatat dalam hal ini adalah bahwa ketika para ulama meminjam konsep-konsep asing, mereka berusaha mengintegrasikan konsep-konsep asing ke dalam pandangan hidup Islam dengan asas pandangan hidup Islam. Meskipun harus diakui bahwa proses ini tidak bisa berlangsung sekali jadi, ia memerlukan proses koreksi mengoreksi dan itu berlangsung dari generasi ke generasi.
Dalam era modern dan post-modern, dimana pemikiran dan kebudayaan Barat mengungguli kebudayaan-kebudayaan lain, termasuk peradaban Islam. Tradisi pinjam meminjam dalam peradaban Islam telah bergeser menjadi proses adopsi yakni mengambil penuh konsep-konsep asing, khususnya Barat. Tanpa proses adapsi atau integrasi. Apa yang dimaksud dengan konsep disini bukan dalam kaitannya dengan sains dan teknologi yang bersifat eksak. Konsep yang dimaksud disini lebih berkaitan dengan konsep keilmuan, kebudayaan, sosial, bahkan keagamaan.
Dalam konteks pembangunan peradaban Islam di zaman sekarang ini, proses adopsi pemikiran merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Namun sebelum melakukan hal itu diperlukan suatu kemampuan untuk meguasai pandangan hidup Islam dan sekaligus Barat. Esensi peradaban Islam dan kebudayaan Barat. Dengan demikian seorang cendikiawan dapat berlaku adil terhadap keduanya. Adil dalam artian meletakkan sesuatu pada tempatnya atau dalam hal ini didahului dengan mengambil sesuatu dari tempat asalnya. Jika ini didasarkn pada asumsi bahwa konsep-konsep dalam peradaban asing (baca Barat) adalah hikmah Islam yang hilang, maka seseorang pemikir Muslim harus terlebih dahulu mengetahui tempat asal hikmah tersebut dan tempat dimana hikmah itu hilang, sebelum mengambilnya kembali.
Begitu jugalah halnya dengan permasalahan pemikiran dan tesis Schacht di dalam memandang hukum Islam. Diharuskan adanya sikap bijak dan proporsional dalam memandang, menilai, menimbang dan menerima pemikiran tersebut. Karena suatu fakta atau realitas itu hanya bisa diterima jika memiliki bukti pengalaman yang nyata, data-data yang kongkrit dan bisa dipertanggung jawabkan, argumen-argumen yang ilmiah dan akademik, serta terlepas dari subyektifitas dan kepentingan-kepentingan.
Sebagaimana pendapat Schacht yang memandang bahwa rujukan kepada hadits Nabi dari para sahabat merupakan prosedur yang lebih tua dan teori tentang otoritas hadits dari Nabi yang lebih berkuasa adalah sebuah inovasi belaka dari penulis. Seandainya kita ingin berkaca dan kembali berziarah imajinasi ke alam historis, maka kita akan mendapatkan memang banyak terjadinya pemalsuan dan pembuatan hadits dengan tendensi-tendensi dan kepentingan-kepentingan tertentu. Dan hal ini memang sudah masyhur di dalam kitab-kitab sejarah. Namun, walaupun demikian hal itu tidak berarti semua hadits Nabi itu palsu dan dibuat-buat oleh penulis hadits. Karena hal itu bisa dibuktikan dengan ilmiah dan akademik melalui mata rantai kualitas sanad dan matan hadits. Dan di dalam sejarah, bahkan telah ditemukannya bukti bahwa beberapa orang sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amru bin Ash dan Anas bin Malik telah menulis hadits pada zamannya. Di dalam buku The History of The Qur’anic Text from Revalation to Compalation A Comparative Study with the Old and New Testaments, MM Al-A’zami mengatakan bahwa menurut pakar kritik hadits, penerimaan terakhir suatu riwayat hanya berpijak semata-mata pada keasliannya, bahkan ketelitian dan keaslian, menurut para muhadditsin, dirasa belum cukup karena itu, mereka menghendaki tiga syarat tambahan:
1.      Semua perawi dalam jaringan riwayat mesti dikenal tsiqah. (terpercaya).
2.      Jaringan riwayat yang utuh (tidak pernah putus).
3.      Dorongan positif pernyataan dari semua bukti yang ada adalah suatu kemestian.
Kemudian yang perlu digaris bawahi dari tesis Schacht yang lainnya, bahwa hukum Islam bukan berasal dari adat Arab pra-Islam, melainkan hukum Islam menyetujui kebiasaan masyarakat Arab, yang oleh syari’ah tidak menyimpang dari ketentuan syara’. Kemudian Syafi’i bukanlah orang yang pertama membuat hukum Islam, akan tetapi hukum Islam telah ada sejak zaman Nabi, namun berdasarkan perkembangan zaman, untuk menjawab segala persoalan hukum yang terus berkembang, maka muncullah apa yang disebut dengan ijma’ dan qiyas.
Memang menarik, karena tesis yang dikembangkangkan oleh Schacht cukup mengagetkan para ahli hukum Islam, baik di Barat mupun di Timur. Hal ini dapat dipahami karena tesis ini baru terdengar pada abad ke-19. Sebelumnya, sudah baku dan mapan dikalangan umat Islam bahwa sejak zaman Nabi diutus, saat itu juga hukum Islam sebagai hukum yang berasal dari Allah- telah diturunkan dan sudah mulai diterapkan secara perlahan-lahan dan bertahap, baik yang bersifat ritual maupun sosial, seperti hukum pidana dan perdata. Keyakinan tersebut tentu saja berdasarkan pada fakta-fakta yang termaktub dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Mengapa Joseph Schacht mencapai kesimpulan yang sangat bertentangan dengan pandangan umum di kalangan umat muslim? Jawabnya tidak lain adalah karena Schacht melepaskan dirinya dari kajian yang bersifat teologis maupun juristik, dan menggantinya dengan kajian yang bersifat historis dan sosiologis. Ia Schacht memperlakukan hukum Islam, kata Layish, bukan sebagai kesatuan perangkat norma-norma hukum, tetapi sebagai fenomena sejarah yang berhubungan erat dengan kenyataan sosial. Ia juga menekankan bahwa hukum Islam, termasuk sumber-sumbernya, adalah merupakan hasil dari proses perkembangan sejarah.
Sehingga tesis yang dikembangkan oleh Schacht ini tidak dapat bertahan lama, karena para sarjana yang melakukan penelitian –baik yang secara langsung maupun tidak- menemukan banyak kelemahan pada tesis tersebut. Kesalahan metodologi yang sangat fundamental yang dilakukan Schacht dalam memformulasikan tesisnya, menurut MM. Al-A’zami adalah ketidak peduliannya terhadap bukti-bukti yang ada dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan ajaran-ajaran hukum. Padahal bukti-bukti menunjukkan bahwa para juris dalam mengatasi sejumlah besar pertanyaan yang muncul selalu bertumpu pada ketentuan-ketentuan al-Qur’an, dan berangkat dari stimulasi yang ada pada ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Berdasarkan bukti-bukti tersebut Zafar Ishaq Ansari mengklaim bahwa al-Qur’an sebagai sumber hukum yang mengikat telah mapan sejak semula.
Terlepas dari kritik pro kontra terhadap tesis Schacht, sebenarnya banyak hal yang dapat diambil pelajaran dan hikmah dari kajian dan studi Schacht, diantaranya:
1.      Bahwa pentingnya melakukan kajian-kajian ilmiah dalam persoalan agama, terlebih permasalahan hukum Islam, karena tuntutan dari perkemabangan zaman dan berbedanya makaan/ tepat.
2.      Perlunya melihat dari aspek historis dan sosiologis dalam kajian hukum, bahkan sebaiknya dilakukan studi komparatif, integratif dan interkonektif.
3.      Melakukan kajian dan penelitian dengan bukti dan metodologi yang jelas dan ilmiah.
4.      Bahwa dalam melakukan penelitian perlunya sang peneliti turun langsung ke objek yang diteliti sehingga datanya akurat dan valid.
5.      Bahwa ilmu sebenarnya hanyalah pengembangan dari ilmu-ilmu sebelumnya yang telah ada.
Dari penjabaran dan penggambaran diatas, maka dapatlah kita mengetahui akan penting dan urgennya suatu kajian dan penelitian. Walaupun itu dari seorang orientalis. Bahkan ketika kita harus bersikap apresiatif dan bahkan memamfaatkan hasil karya-karya mereka yang sangat menarik dan bagus. Namun kita juga harus merespon mereka secara akademis dengan sikap kritis dan mengembangkan framework kita sendiri.
Oleh karena itu, untuk mengkaji Islam tidak hanya cukup dengan artikel-artikel, wacana-wacana lepas di mass media, dialog-dialog, seminar-seminar yang hanya bersifat gagasan awal yang belum siap secara konseptual. Ia memerlukan suatu kerja ilmiah yang serius dalam suatu lembaga kajian yang professional akademis, yang di dalamnya dikaji esensi pandangan hidup Islam, tradisi-trsdisi intelektualnya yang telah berkembang puluhan abad lamanya, konsep-konsep pemikiran ulama dalam berbagai bidang yang telah berhasil membentuk bangunan peradaban yang kokoh. Dari situ dengan sikap kreatif dan progressif dapat dikembangkan framework pemikiran Islam yang sarat dengan konsep-konsep baru dalam berbagai bidang yang diinginkan umat Islam. Sehingga jika framework ini bisa dikembangkan di kalangan cendikiawan Muslim, maka tidak perlu lagi bersikap anti pemikiran Barat pada dataran emosi, tapi lebih cendrung kritis pada level intelektual.






BAB V
PENUTUPAN

A.    KESIMPULAN
Berangkat dari ulasan dan pembahasan di atas, maka disini dapat ditarik beberapa kesimpulan:
1.      Bahwa pentingnya melakukan kajian-kajian ilmiah dalam persoalan agama, terlebih permasalahan hukum Islam, karena tuntutan dari perkembangan zaman dan berbedanya makaan/ tempat.
2.      Bahwa pentingnya memililki kejelasan metodologi dalam suatu kajian, karena metodologi sangat berpengaruh terhadap hasil kajian.
3.      Bahwa hukum Islam sudah ada sejak zaman Nabi, dan tradisi arab yang masih ada, merupakan tradisi yang tidak bertentang dengan syara’.
4.      Bahwa semakin banyak pengalaman melihat dunia, semakin tinggi kesadaran membuka pikiran dan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka akan semakin komprehensif dia melihat suatu masalah dan menyelesaikannya.
5.      Janganlah kita anti Barat hanya karena kebencian, karena kebencian hanya akan merusak kehidupan. Padahal nilai-nilai al-Qur’an adalah perintah bersikap adil walaupun kepada musuh sendiri.
6.      Suatu pemikiran itu sangat berpengaruh terhadap kultural, lingkungan, pendidikan, dan metodologi
7.      Perlunya melihat dari aspek historis dan sosiologis dalam kajian hukum, bahkan sebaiknya dilakukan studi komparatif, integratif dan interkonektif.
8.      Melakukan kajian dan penelitian dengan bukti dan metodologi yang jelas dan ilmiah.
9.      Bahwa dalam melakukan penelitian perlunya sang peneliti turun langsung ke objek yang diteliti sehingga datanya akurat dan valid.
10.  Bahwa ilmu sebenarnya hanyalah pengembangan dari ilmu-ilmu sebelumnya yang telah ada



DAFTAR PUSTAKA

Analisis Rahman mengenai Evolusi Historis Sunnah terdapat pada Islamic Metodologi in History, (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965)
Charles C. Adams, “Islam” dalam A Reader’s Guide Tothe Great Religion, ed. Charles C. Adam, (New York: The Free Press, 1965)
Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998).
Imam Syafi’i, Ar-Risalah, terj: Ahmadie Thoha, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus dan Universitas Islam As-Syafi’iyyah, 1992)
Irwand.i Dekonstruksi Pemikiran Islam (Identitas Nilai dan Realitas Empiris), Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Press, 2003
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence, edisi Indonesia (Yogyakarta: Insan Madani, 2010). 
Rasyid, Daud, Islam dalam Berbagai Dimensi, Jakarta: Gema Insani Press, 1998
M.M. Azami, Menguji Keaslian Hadits-Hadits Hukum, Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht, terj: Asrofi Shodri, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004)
Prof. Ali Musthafa Yaqub, MA, Kritik Hadis (Jakarta ; Pustaka Firdaus, 2004) cet.4
Orientalisme adalah kajian  tentang  ketimuran atau dunia Timur, sedangkan orientalis adalah para sarjana barat yang “concern” dalam mengkaji tentang peradaban, agama, sastra, dan ilmu-ilmu ketimuran lainnya. Lihat Muhamad Hamdi Zaqzuq dalam al-Isytisraq wa al-Khalfiyyah al-Fikriyyah Li al-Sharra’ al-Hadhari (Qatar : al-Ummah, 1990) cet: I
Edwar Sa’id, Orientalism, dikutip oleh Muhammad Hamdi Zaqzuq dalam al-Isytisraq.
H.A.R.Gibb, Journal Of Comparative Legislation and International Law, dikutip dari Yahya Murad dalam,  Rudud ‘Ala Syubhah al-Mustasyriin,






















[1] Orientalisme adalah kajian  tentang  ketimuran atau dunia Timur, sedangkan orientalis adalah para sarjana barat yang “concern” dalam mengkaji tentang peradaban, agama, sastra, dan ilmu-ilmu ketimuran lainnya. Lihat Muhamad Hamdi Zaqzuq dalam al-Isytisraq wa al-Khalfiyyah al-Fikriyyah Li al-Sharra’ al-Hadhari (Qatar : al-Ummah, 1990) cet: I hal. 18
[2] Edwar Sa’id, Orientalism, dikutip oleh Muhammad Hamdi Zaqzuq dalam al-Isytisraq. hal. 13
[3] H.A.R.Gibb, Journal Of Comparative Legislation and International Law, dikutip dari Yahya Murad dalam,  Rudud ‘Ala Syubhah al-Mustasyriin, hal. 192
[4] Irwand.i Dekonstruksi Pemikiran Islam (Identitas Nilai dan Realitas Empiris), Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Press, 2003, hal 7-8.
[5] Irwandi. Dekonstruksi Pemikiran Islam…hal. 7-8
[6] Irwandi. Dekonstruksi Pemikiran Islam…hal. 6-8
[7] Edwar Sa’id, Orientalism, dikutip oleh Muhammad Hamdi Zaqzuq dalam al-Isytisraq.
[8] Rasyid, Daud, Islam dalam Berbagai Dimensi, Jakarta: Gema Insani Press, 1998, hal 33
[9] Charles C. Adams, “Islam” dalam A Reader’s Guide Tothe Great Religion, ed. Charles C. Adam, (New York: The Free Press, 1965), h. 317 
[10] Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 19
[11] Prof. Ali Musthafa Yaqub, MA, Kritik Hadis (Jakarta ; Pustaka Firdaus, 2004) cet.4 hal.23
[12] Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), h. 6 
[13] M.M. Azami, Menguji Keaslian Hadits-Hadits Hukum, Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht, terj: Asrofi Shodri, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hal. 17
[14] Imam Syafi’i, Ar-Risalah, terj: Ahmadie Thoha, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus dan Universitas Islam As-Syafi’iyyah, 1992), h. 128 
[15] Analisis Rahman mengenai Evolusi Historis Sunnah terdapat pada Islamic Metodologi in History, (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965), h. 173

Tidak ada komentar:

Posting Komentar