Rabu, 04 November 2015

Studi Peradaban Islam


 
Perkembangan Politik, Ekonomi,

Administrasi Pemerintahan, Pendidikan
Era Bani Abbasiyah


Makalah Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Study Peradaban Islam


Dosen Matakuliah :
Dr. Fadil SJ, MAg


Disusun Oleh:
ANSARI
NIM: 14781010





PROGRAM PASCASARJANA
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN AJARAN 2015







KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb
           Puji syukur penulis panjatkan kehadirat-Mu ya Allah. Berkat rahmat dan hidayah-Nya serta bimbingan-Nya semata-mata, akhirnya penulisan makalah ini dapat selesai. Sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan ke pangkuan Nabiyullah Muhammad, SAW.
            Makalah ini penulis susun guna memenuhi tugas mata kuliah Pendekatan Study Islam. Dan dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang terbatas, maka makalah yang berjudul Perkembangan Politik, Ekonomi, Administrasi Pemerintahan, Pendidikan Era Bani Abbasiyah., ini masih jauh dari kata sempurna.
Dan dalam penulisan makalah ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1.      Dr. Fadil SJ, M.Ag Selaku dosen pengampu mata kuliah Study Peradaban Islam. Uneversitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
2.      Segenap sahabat-sahabat.
3.      Semua pihak yang telah memberikan motivasi kepada penulis.
Penulis berharap dari makalah yang penulis susun ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi penulis maupun pembaca. Demikianlah makalah ini penulis susun, kritik serta saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk melengkapi makalah ini.       
Wallahul Muwafiq Ila Aqwametthoriq
Wasalamu'alaikum Wr.Wb
Malang, 20 April 2015

Penulis
 


BAB I
PENDAHULUAN

Peradaban[1] dalam Islam, dapat ditelusuri dari sejarah kehidupan Rasulullah, para sahabat (Khulafaur Rasyidin), dan sejarah kekhalifahan Islam hingga kehidupan umat Islam dewasa ini.Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad telah membawa bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju. Bahkan, kemajuan Barat pada mulanya bersumber pada peradaban Islam yang masuk ke Eropa melalui Spanyol.
Islam memang berbeda dari agama-agama lain, sebagaimana pernah diungkapkan oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya Whither Islam kemudian dikutip M.Natsir, bahwa, “Islam is andeed much more than a system of theology, it is a complete civilization” (Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban yang sempurna). Landasan “peradaban Islam” adalah “kebudayaan Islam” terutama wujud idealnya, sementara landasan “kebudayaan Islam” adalah agama. Jadi, dalam Islam, tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama “bumi” (non-samawi), agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari Tuhan.
Maju mundurnya peradaban Islam tergantung dari sejauh mana dinamika umat Islam itu sendiri. Dalam sejarah Islam tercatat, bahwa salah satu dinamika umat Islam itu dicirikan oleh kehadiran kerajaan-kerajaan Islam, diantaranya Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah. Terlebih lagi Dinasti Abbasiyah, karena memiliki peradaban yang tinggi. Salah satu indikasinya adalah munculnya ilmuwan-ilmuwan dan para pemikir muslim.
Atas dasar itulah, kami merasa penting untuk mengusung pembahasan mengenai bani Abbasiyah, demi memenuhi tugas makalah kuliah “Sejarah Peradaban Islam”. Adapun topik bahasan yang kami ketengahkan adalah latar belakang berdirinya kekhalifahan Abbasiyah, pemerintahan dinasti Abbasiyah, dan kemajuan dan kemunduran pada masa ini, baik dari aspek ekonomi, politik, dan sosial.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Berdirinya Abbasiyah
     Dinasti Abbasiyah didirikan secara revolusioner, yakni dengan menggulingkan kekuasaan dinasti Umayyah. Maka, bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu  revolusi. 
     Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu : 
1.   Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang disebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa itu.
2.   Mekanisme pemerintahannya tidak efisien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga social yang ada dengan perkembangan   keadaan dan tuntutan zaman.
3.   Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasapada wawasan baru yang ditawarkan oleh para  kritikus.
4.   Revolusi itu pada umumnya bukan hanya dipelopori dan digerakkan oleh orang-oranglemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena hal-hal tertentu yang merasa tidak puas dengan syistem yang  ada.
Terdapat beberapa faktor yang mendukung keberhasilan pembentukan dinasti ini diantaranya adalah meningkatnya kekecewaan kelompok Mawalli[2] terhadap Bani Umayyah, pecahnya persatuan antarsuku bangsa Arab, dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan keinginan mereka memiliki pemimpin kharismatik.[3]
Kekuatan baru ini muncul pada masa pemerintahan khalifah Hisyam ibn Abd al-Malik, yang pada akhirnya menjadi tantangan berat bagi pemerintahan bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan bani Hasyim yang dipelopori keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini menghimpun beberapa kelompok, diantaranya adalah:
1.   Bani Alawiyah pemimpinnya Abu Salamah
2.   Bani Abbasiyah pemimpinnya Ibrahim al-Aiman
3.   Keturunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany, mereka memusatkan kegiatannya di khurasan.
4.   Golongan Syi’ah
Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi  pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga  tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan.
Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas.   Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia  bermusuhan secara terang-terangan dengan golongan Bani Umayyah. Demikian   pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya  mendukung Bani Hasyim. Ia  mempunyai warga yang pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah  bingung   dengan kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum  Abbassiyah mendapatkan dukungan.
Di bawah pimpinan  Muhammad bin Ali  al-Abbasy, gerakan  Bani Abbas  dilakukan dalam dua fase yaitu : 1) fase sangat rahasia; dan 2) fase terang-terangan dan pertempuran.
Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat   rahasia.Propaganda dikirim keseluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang pada mulanya mendukung Bani Umayyah.
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan di seluruh negeri. Gerakan-gerakan perlawanan untuk melawan kekuasaan dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah dilakukan sejak masa-masa awal pemerintahan dinasti Bani Umayyah,  hanya saja gerakan tersebut selalu digagalkan oleh kekuatan militer Bani Umayyah, sehingga gerakan-gerakan kelompok penentang tidak dapat melancarkan serangannya secara kuat. Tapi, dimasa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani Umayyah gerakan tersebut semakin menguat seiring banyaknya protes dari masyarakat yang merasa tidak puas atas kinerja dan berbagai kebijakan pemerinatah dinasti Bani Umayyah. Gerakan ini menemukan momentumnya ketika para tokoh dari Bani Hasyim melancarkan serangannya.[4]
Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga Abbas yang menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan perlawanan. Gerakan Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang selalu ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu, juga dukungan kuat dari kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah dirampas oleh dinasti Umayyah Pemberontakan yang  paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan, yakni perang antara  pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah.
Akhirnya, pada tahun 132 H (750 M) tumbanglah daulah Umayyah dengan terbunuhnya khalifah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad. Pada tahun inilah berdirilah kekuasaan dinasti bani abbas atau khalifah abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw, dinasti abbasiyah didirikan oleh Abdullah ibn al-Abbas (Abul Abbas al- Saffah). Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H sampai dengan 656 H. selama berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social dan budaya.

B.  Pemerintahan Dinasti Abbasiyah
Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem   politik. Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang   ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat   sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman  khalifahurrasyidin. Hal ini dapat  dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya[5]“.
Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang  dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain[6] :
a.    Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali.
b.   Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.
c.    Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
d.   Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.
e.     Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah.
     Selanjutnya periode II, III, IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan politik saja. Panglima di daerah sudah   berkuasa di daerahnya, dan mereka telah mendirikan atau membentuk   pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya daulah-daulah kecil, contoh daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah.
     Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh para Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk  mengamankan  dan  mempertahankan dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan yaitu : pertama, tindakan  keras terhadap Bani Umayah dan kedua, pengutamaan orang-orang keturunan Persia[7].
     Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut   dengan wizaraat. Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu:
1.   Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan presidentil) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atasnama Khalifah.
2.   Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabinet).
     Wazirnya berkuasa penuh untuk  memimpin pemerintahan. Sedangkan, Khalifah sebagai lambang saja. Pada kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai  pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah.
     Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan  sebuah  dewan yang  bernama  diwanul  kitaabah  (sekretariat  negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara  bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul idary al-markazy.
     Lalu, dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul umara, baitul maal, organisasi kehakiman. Selama Dinasti ini berkuasa,   pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan  politik, sosial, ekonomi dan budaya.
     Berdasarkan perubahan tersebut, para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi 3 periode, yaitu :

1.   Periode Pertama (750-847 M)
     Pada periode ini, seluruh kerajaan Islam berada dibawah kekuasaan para Khalifah kecuali di Andalusia.[8] Adapun para Khalifah yang memimpin pada ini sebagai berikut:
a.    Abul Abbas as-saah (750-754 M)
b.   Abu Ja’far al mansyur (754- 775  M)
c.    Abu Abdullah M. Al-Mahdi bin Al Mansyur (775-785 M)
d.   Abu Musa Al-Hadi (785-786 M)
e.    Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid (786-809 M)
f.    Abu Musa Muh. Al Amin (809-813 M)
g.   Abu Ja’far Abdullah Al Ma’mun (813-833 M)
h.   Abu Ishak M. Al Muta’shim (833-842 M)
i.     Abu Ja’far Harun Al Watsiq (842-847 M)
j.     Abul Fadhl Ja’far Al Mutawakkil (847-861)

2.   Periode kedua (232 H/847 M - 59 H/1194 M)
     Pada periode ini, kekuasaan bergeser dari sistem sentralistik pada sistem  desentralisasi, yaitu ke dalam tiga negara otonom:
a.    Kaum Turki (232-590 H)
b.    Golongan Kaum Bani Buwaih (334-447 H)
c.     Golongan Bani Saljuq (447-590 H)
     Dinasti-Dinasti di atas pada akhirnya melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada  masa Khalifah Abbassiyah.


3.   Periode ketiga (590 H/1194 M - 656 H/1258 M)
     Pada periode ini, kekuasaan berada kembali ditangan Khalifah, tetapi  hanyadi Baghdad dan kawasan-kawasan sekitarnya[9].
     Sedangkan para ahli kebudayaan Islam membagi masa kebudayaan Islam di zamandaulah Abbasiyah kepada 4 masa, yaitu :
1.   Masa Abbasy I, yaitu semenjak lahirnya Daulah Bani Abbasiyah tahun  750 M, sampai meninggalnya Khalifah al-Wasiq (847 M).
2.   Masa Abbasy II, yaitu mulai Khalifah al-Mutawakkal (847 M), sampai berdirinyadaulah Buwaihiyah di Baghdad (946 M).
3.   Masa Abbasy III, yaitu dari berdirinya daulah Buwaihiyah tahun (946 M) sampai  masuk kaum Seljuk ke Baghdad (1055 M).
4.   Masa Abbasy IV, yaitu masuknya orang-orang Seljuk ke Baghdad (1055 M), sampai jatuhnya Baghdad ke tangan Tartar di bawah pimpinan Hulako (1268 M).
                 Dalam versi yang lain yang, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima periode:

1.   Periode pertama (750-847 M)
     Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya.Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain,  kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi.[10] Periode ini juga  berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan  ilmu pengetahuan dalam Islam. 
     Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754-775 M). Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansur memindahkan ibu  kota negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia, Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat  pemerintahan Dinasti bani Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.
     Di ibu kota yang baru ini al-Mansur melakukan konsolidasi dan   penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk   menduduki jabatan di lembaga eksekuti dan yudikatif. Di bidang pemerintahan  dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator   departemen.[11] Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga terpandang berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir yang  pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya, Yahya  bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan. Pada masa tersebut persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani keluarga Persia itu. Masuknya keluaraga non Arab ini ke dalam  pemerintahan merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah  yang berorientasi ke Arab.[12]
     Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan  peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa al-Mansur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku Gubernur setempat kepada Khalifah.
     Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-daerah   yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama  genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. 
     Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah kembali berubah. Konsep khilafah dalampandangannyadan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan  mandatdari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al  Khulafa’ al-Rasyidin. 
      Popularitas Daulah Abbasiyah  mencapai  puncaknya  di  zaman  Khalifah  Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan   yang banyak, dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan.Tingkat  kemakmuran paling tinggi terwujud pada zaman Khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan,   pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada  zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya  sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
     Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada  perluasan wilayah yang memang sudah luas.[13] Orientasi kepada pembangunan   peradaban dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan Dinasti Umayyah.
     Selanjutnya, Al-Makmun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada  ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan.Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang   berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa  al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
     Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar kepada orang- orang Turki untuk  masuk dalam  pemerintahan. Demikian ini di  latar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada   masa al-Ma’mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara  pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang Muslim  mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit pro esional. Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
     Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Dinasti Umayyah dan kalangan intern Bani   Abbas dan lain-lain semuanya dapat dipadamkan.Dalam kondisi seperti itu para Khalifah mempunyai prinsip kuat sebagai pusat politik dan agama sekaligus.   Apabila tidak, seperti pada periode sesudahnya, stabilitas tidak lagi dapat  dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri berada dibawah pengaruh kekuasaan yang lain.
2.   Periode kedua (847-945 M)
     Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti  Abbasiyah pada periode pertama telah  mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Kehidupan mewah para   Khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Demikian ini   menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin.Kondisi   ini memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih kendali pemerintahan.[14] Usaha  mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah yang   didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan awal dari keruntuhan Dinasti ini,  meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.
     Khalifah Mutawakkil (847-861M) yang merupakan awal dari periode ini  adalahseorang Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang   Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang  memilih dan mengangkat Khalifah. Dengan demikian  kekuasaan tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu gagal. Dari dua belas  Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan paksa. Wibawa Khalifah  merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.[15]
     Adapun  faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani   Abbas pada periode ini adalah sebagai berikut: 
a.    Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para  penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
b.   Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat tinggi.
c.    Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah Khalifah merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
3.   Periode ketiga (945 -1055 M)
     Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih. Khalifah pada masa ini tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah Al-Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.
     Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah   terus mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi Ikhwan  as-Shafa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit. Pada masa Bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara Ahlussunnah danSyi’ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.
4.   Periode keempat (1055-1199 M)
     Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan  kekuatan Bani Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik, paling   tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orang- orang Syi’ah.[16] 
     Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga   berkembang pada periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp  Arselan dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah Nizamiyah didirikan   hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang pada periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis  dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang  tafsir, al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam   bidang ilmu perbintangan.
     Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk mengepalai masing-masing propinsi tersebut. Pada masa pusat   kekuasaan melemah, masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut  berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/ 1199 M.
5.   Periode kelima (1199-1258 M)
     Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah   Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun  banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada  di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil.[17] Para Khalifah  Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan  Khalifah yang  sempit ini  menunjukkan  kelemahan  politiknya.  Pada  masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
     Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa   kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran ini tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah kuat, para menteri  cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah lemah, mereka akan  berkuasa mengatur roda pemerintahan.

C. Kemajuan Dinasti Abbasiyah
Setiap dinasti atau rezim mengalami fase-fase yang dikenal dengan fase pendirian, fase pembangunan dan kemajuan, fase kemunduran dan kehancuran. Akan tetapi durasi dari masing-masing fase itu berbeda-beda karena bergantung pada kemampuan penyelenggara pemerintahan yang bersangkutan. Pada masa pemerintahan, masing-masing memiliki berbagai kemajuan dari beberapa bidang, diantaranya bidang politik, bidang ekonomi, bidang social-budaya. Pada masing-masing bidang memiliki kelebihan dan kekurangan.
1.   Kemajuan dalam Bidang Sosial Budaya
Sebagai sebuah dinasti, kekhalifahan Bani Abbasiyah yang berkuasa lebih dari lima abad, telah banyak memberikan sumbangan positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Dari sekitar 37 orang khalifah yang pernah berkuasa, terdapat beberapa orang khalifah yang benar-benar memliki kepedulian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, serta berbagai bidang lainnya, seperti bidang-bidang sosial dan budaya.
Di antara kemajuan dalam bidang sosial-budaya adalah terjadinya proses akulturasi dan asimilasi masyarakat. Keadaan sosial masyarakat yang majemuk itu membawa dampak positif dalam perkembangan dan kemajuan peradaban Islam pada masa ini. Hal itu terjadi karena dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki, dapat dipergunakan untuk memajukan bidang-bidang sosial budaya lainnya yang kemudian menjadi lambang bagi kemajuan bidang sosial budaya dan ilmu pengetahuan lainnya. Diantara kemajuan ilmu pengetahuan sosial budaya yang ada pada masa Khalifah Dinasi Abbasiyah adalah seni bangunan dan arsitektur, baik untuk bangunan istana, masjid, bangunan kota dan sebagainya. Seni asitektur yang dipakai dalam pembangunan istana dan kota-kota, seperti pada istana Qashrul dzahabi, dan Qashrul Khuldi, sementara bangunan kota seperti pembangunan kota Baghdad, Samarra dan sebagainya.[18]
Kemajuan juga terjadi pada bidang sastra bahasa dan seni musik. Pada masa inilah lahir seorang sastrawan dan budayawan terkenal, seperti Abu Nawas, Abu Athahiyah, Al Mutanabby, Abdullah bin Muqaffa dan lain-lainnya. Karya buah pikiran mereka masih dapat dibaca hingga kini, seperti kitab Kalilah wa Dimna. Sementara tokoh terkenan dalam bidang musik yang kini karyanya juga masih dipakai adalah Yunus bin Sulaiman, Khalil bin Ahmad, pencipta teori musik Islam, Al farabi dan lain-lainnya.
Selain bidang-bidang tersebut di atas, terjadi juga kemajuan dalam bidang pendidikan. Pada masa awal pemerintah Dinasti Abbasiyah, telah banyak diushakan oleh para khalifah untuk mengembangkan dan memajukan pendidikan. Oleh karena itu, mereka kemudian mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi.
Di masa Bani Abbassiyah berkembang corak kebudayaan, yang  berasal dari beberapa bangsa. Apa yang terjadi dalam unsur bangsa, terjadi pula dalam  unsur kebudayaan. Dalam masa sekarang ini berkembang empat unsur kebudayaan yang mempengaruhi kehidupan akal/rasio yaitu Kebudayaan Persia,    Kebudayaan Yunani, Kebudayaan Hindi dan Kebudayaan Arab dan berkembangnya ilmu pengetahuan.[19]
1.   Kebudayaan Persia, Pesatnya perkembangan kebudayaan Persia di zaman ini karena 2 faktor, yaitu :
a.    Pembentukan lembaga wizarah
b.   Pemindahan ibukota
2.   Kebudayaan Hindi, Peranan orang India dalam membentuk kebudayaan Islam terjadi dengan dua cara:
a.    Secara langsung, Kaum muslimin berhubungan langsung dengan orang-orang India seperti lewat perdagangan dan penaklukan.
b.   Secara tak langsung,penyaluran kebudayaan India ke dalam  kebudayaan Islam lewat kebudayaan Persia.
3.   Kebudayaan Yunani
     Sebelum dan sesudah Islam, terkenallah di Timur beberapa kota yang menjadi pusat kehidupan kebudayaan Yunani. Yang paling termasyur diantaranya adalah :
a)   Jundaisabur, Terletak di Khuzistan, dibangun oleh  Sabur yang dijadikan tempat   pembuangan  para  tawanan  Romawi.  Setelah jatuh  di  bawah  kekuasaan  Islam.  Sekolah-sekolah tinggi kedokteran yang asalnya diajar berbagai ilmu Yunani dan  bahasa Persia, diadakan perubahan-perubahan dan pembaharuan.
b)   Harran, Kota yang dibangun di utara Iraq yang menjadi  pusat pertemuan  segala macam kebudayaan. Warga kota  Harran merupakan pengembangan kebudayaan  Yunani terpenting di zaman Islam, terutama dimasa Daulah Abbassiyah.
c)   Iskandariyyah, Ibukota Mesir waktu menjadi jajahan Yunani.
     Dalam kota Iskandariyyah ini lahir aliran falsafah terbesar yang dikenal “Filsafat Baru Plato” (Neo Platonisme).[20] Dalam masa Bani Abbassiyah hubungan alam pemikiran Neo Platonisme bertambah erat dengan alam pikiran kaum muslimin.
  4.  Kebudayaan Arab
     Masuknya kebudayaan Arab ke dalam kebudayaan Islam terjadi dengan dua jalan utama, yaitu :
a.    Jalan Agama, Mengharuskan mempelajari Qur’an, Hadist, Fiqh yang semuanya dalam bahasa Arab.
b.   Jalan Bahasa, Jazirah Arabia adalah sumber bahasa Arab, bahasa terkaya diantara rumpun bahasa samy dan tempat lahirnya Islam.
2.   Kemajuan dalam Bidang Politik dan Militer
Di antara perbedaan karakteristik yang sangat mencolok antara pemerintah Dinasti Bani Umayyah dengan Dinasti Bani Abbasiyah, terletak pada orientasi kebijakan yang dikeluarkannya. Pemerintah Dinasti Bani Umayyah, yaitu orientasi kebijakan yang dikeluarkannya selalu pada upaya perluasan wilayah kekuasaanya. Sementara, pemerintah Dinasti Bani Abbasiyah, lebih menfokuskan diri pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam, sehingga masa pemerintahan ini dikenal sebagai masa keemasan peradaban Islam. Meskipun begitu, usaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan tetap merupakan hal penting yang harus dilakukan. Untuk itu, pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah memperbaharui sistem politik pemerintahan dan tatanan kemiliteran.
Agar semua kebijakan militer terkoordinasi dan berjalan dengan baik, maka pemerintah Dinasti Abbasiyah membentuk departemen pertahanan dan keamanan, yang disebut diwanul jundi. Departemen inilah yamg mengatur semua yang berkaiatan dengan kemiliteran dan pertahanan keamanan. Pembentukan lembaga ini berdasarkan pada kenyataan politik-militer bahwa pada masa pemertintahan Dinasti Abbasiyah, banyak terjadi pemebrontakan dan bahkan beberapa wilayah berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
3.   Kemajuan dalam Bidang Ilmu Pengetahuan
Keberhasilan umat Islam pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dalam pengembangan ilmu pengetahuan, sains, dan peradaban Islam secara menyeluruh, tidak terlepas dari berbagai faktor yang mendukung.[21] Di antaranya adalah kebijakan politik pemerintah Bani Abbasiyah terhadap masyarakat non Arab (Mawali), yang memiliki tradisi intelektual dan budaya riset yang sudah lama melingkupi kehidupan mereka. Mereka diberikan fasilitas berupa materi atau finansial dan tempat untuk terus melakukan berbagai kajian ilmu pengetahuan melalui bahan-bahan rujukan yang pernah ditulis atau dikaji oleh masyarakat sebelumnya. Kebijakan tersebut ternyata membawa dampak yang sangat positif bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sains yang membawa harum dinasti ini.
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai puncak  kejayaan pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid,[22] kemajuan intelektual pada waktu itu setidaknya dipengaruhi oleh dua hal yaitu:
1.   Terjadinya Asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan.  Pengaruh Persia pada saat itu sangat penting dibidang pemerintahan.   selain itu mereka banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemah-terjemah dalam banyak bidang ilmu, terutama Filsafat.
2.   Gerakan Terjemah pada masa daulah ini usaha penerjemahan kitab-kitab asing dilakukan dengan giat sekali. Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum terutama di bidang  astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dari gerakan ini muncullah tokoh-tokoh Islam dalam ilmu pengetahuan, antara lain :
a.    Bidang filsafat: al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu  Sina, al-Ghazali, Ibnu Rusyd.
b.   Bidang kedokteran: Jabir ibnu Hayan , Hunain bin Ishaq, Tabib bin Qurra ,Ar-Razi.
c.    Bidang Matematika: Umar al-Farukhan, al-Khawarizmi.
d.   Bidang astronomi: al-Fazari, al-Battani, Abul watak, al-Farghoni  dan sebagainya.
Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka para ahli pengetahuan, para alim ulama, berhasil menemukan berbagai keahlian berupa penemuan berbagai  bidang-bidang ilmu pengetahuan, antara lain[23] :

1.   Ilmu Umum
a.   Ilmu Filsafat
1)   Al-Kindi (809-873 M) buku karangannya sebanyak 236 judul.
2)   Al Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80 tahun.
3)   Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H)
4)    Ibnu Thufail (wafat tahun 581 H)
5)   Ibnu Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang terkenal  antara lain:  Shafa, Najat, Qoman, Saddiya dan lain-lain.
6)                          Al-Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai Hujjatul Islam, karangannya: AlMunqizh Minadl-Dlalal, Tahafutul Falasifah, Mizanul Amal, Ihya Ulumuddin dan lain- lain.
7)   Ibnu Rusd (1126-1198 M). Karangannya : Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah dan lain-lain
b.   Bidang Kedokteran
1)   Jabir bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai bapak Kimia.
2)   Hurain bin Ishaq (810-878 M). Ahli mata yang terkenal disamping   sebagai penterjemah bahasa asing.
3)   Thabib bin Qurra (836-901 M)
4)   Ar-Razi atau Razes (809-873 M). Karangan yang terkenal mengenai cacar dancampak yang diterjemahkan dalam bahasa latin.
c.    Bidang Matematika
1)   Umar Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan kota Baghdad.
2)    Al Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0).
d.   Bidang Astronomi
     Berkembang subur di kalangan umat Islam, sehingga banyak para ahli yang terkenal dalam perbintangan ini seperti :
1)   Al Farazi : pencipta Astro lobe
2)    Al Gattani/Al Betagnius
3)   Abul wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan
4)   Al Farghoni atau Al Fragenius
e.    Bidang Seni Ukir
     Beberapa seniman ukir terkenal: Badr dan Tari (961-976 M) dan ada seni musik, seni tari, seni pahat, seni sulam, seni lukis dan seni bangunan.
2.   Ilmu Naqli
a.    Ilmu Tafsir, Para mufassirin yang termasyur: Ibnu Jarir ath Tabary, Ibnu Athiyah al Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil bin Sulaiman (wafat 150 H), Muhammad bin Ishak dan lain-lain.
b.   Ilmu Hadist, Muncullah ahli-ahli hadist ternama seperti: Imam Bukhori (194-256 H), Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah  (wafat 273 H),Abu Daud (wafat 275 H), At-Tarmidzi, dan lain-lain
c.    Ilmu Kalam, Dalam kenyataannya kaum Mu’tazilah berjasa besar dalam menciptakan ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu adalah: Wasil bin Atha’, Abu Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary, Hujjatul Islam Imam Ghazali.
d.   Ilmu Tasawuf, Ahli-ahli dan ulama-ulamanya adalah: Al  Qusyairy (wafat 465 H). Karangannya: ar Risalatul Qusyairiyah,   Syahabuddin (wafat 632 H). Karangannya : Awariful Ma’arif, Imam Ghazali : Karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain.
e.    Para Imam Fuqaha, Lahirlah para Fuqaha yang sampai sekarang aliran mereka masih mendapat tempat yang luas dalam masyarakat Islam.   Yang mengembangkan faham atau mazhabnya dalam zaman ini adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal  dan  Para Imam Syi’ah.

4.   Perkembangan Peradaban di Bidang Fisik
     Perkembangan peradaban pada masa daulah Bani Abbasiyah sangat maju pesat, karena upaya- upaya dilakukan oleh para Khalifah di bidang fisik. Hal ini dapat kita lihat dari bangunan -bangunan yang berupa:
a.    Kuttab, yaitu tempat belajar dalam tingkatan pendidikan rendah dan menengah.
b.   Majlis Muhadharah, yaitu tempat pertemuan para ulama, sarjana, ahli   pikir dan pujangga untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
c.    Darul Hikmah, adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid. Ini merupakan perpustakaan terbesar yang di dalamnya juga disediakan tempat ruangan belajar.
d.   Madrasah, Perdana menteri Nidhomul Mulk adalah orang yang mula-mula mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada sampai sekarang ini, dengan nama Madrasah.
e.    Masjid, Biasanya dipakai untuk pendidikan tinggi dan tahassus.     
Pada masa Daulah Bani Abbassiyah, peradaban di bidang fisik seperti kehidupan ekonomi pertanian, perindustrian, perdagangan berhasil dikembangkan oleh Khalifah Mansyur.

5.   Kehidupan Perekonomian Daulah Bani Abbasiyah
     Permulaan masa kepemimpinan Bani Abbassiyah, perbendaharaan negara penuh dan  berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak daripada pengeluaran. Yang menjadi Khalifah adalah Mansyur.Dia betul-betul telah meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi ekonomi dan keuangan negara. Dia mencontohkan Khalifah Umar bin Khattab dalam menguatkan Islam.[24] Dan keberhasilan kehidupan ekonomi maka berhasil pula dalam :
1.   Pertanian, Khalifah membela dan menghormati kaum tani, bahkan meringankan pajak hasil bumi mereka, dan ada beberapa yang dihapuskan sama sekali.
2.   Perindustrian, Khalifah menganjurkan untuk beramai-ramai membangun  berbagai industri, sehingga terkenallah beberapa kota dan industri-industrinya.
3.   Perdagangan, Segala usaha ditempuh untuk memajukan perdagangan seperti:
a)   Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di jalan-jalan yang dilewati kafilah  dagang.
b)   Membangun armada-armada dagang.
c)   Membangun armada : untuk melindungi parta-partai negara dari serangan bajak laut.
Usaha-usaha tersebut sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan perdagangan dalam dan luar negeri.Akibatnya kafilah-kafilah dagang kaum muslimin melintasi segala negeri dan kapal-kapal dagangnya mengarungi tujuh lautan.[25]
Selain ketiga hal tersebut, juga terdapat peninggalan-peninggalan yang  memperlihatkan kemajuan pesat Bani Abbassiyah.
1.      Istana Qarruzzabad di Baghdad
2.      Istana di kota Samarra
3.      Bangunan-bangunan sekolah
4.       Kuttab
5.       Masjid
6.       Majlis Muhadharah
7.       Darul Hikmah
8.       Masjid Raya Kordova (786 M)
9.       Masjid Ibnu Taulon di Kairo (876 M)
10.   Istana Al Hamra di Kordova
11.   Istana Al Cazar, dan lain-lain (Ma’ruf,1996:39-40).
D. Kemunduran Dinasti Abbasiyah
Berakhirnya kekuasaan dinasti Seljuk atas Baghdad atau khalifah Abbsiyah merupakan awal dari periode kelima.Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada diantaranya dinasti yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad sekitarnya.Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan tatar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancurluluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini adalah awal babak baru dalam sejarah islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana dalam periodisasi khalifah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua, namun demikian factor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba, benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya khalifah pada saat periode ini sangat kuat, benih-benih ini tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila kalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Di samping kelemahan khalifah, banyak factor yang menyebabkan khalifah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing factor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Persaingan Antarbangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa, keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya Ashabiyyah kesukuan.Dengan demikian, khilafah Abbasiyyah tidak ditegakkan di atas `ashabiyyah tradisional.[26]
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu, bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, disamping Fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu`ubiyah.
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah Al-Mutawakkil, seorang khilafah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi.[27] Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya telah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia pada periode ketiga dan selanjutnya beralih kepada dinasti Saljuk pada periode keempat.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khalifah Abbasiyyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan Negara menurun, sementara pengeluaran meningkat lebih besar.Menurunnya pendapatan Negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam, dan para pejabat melakukan korupsi.
3. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan.Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Gerakan ini dikenal dengan gerakan Zindiq yang menyebabkan menurut para khalifah dan orang-orang yang beriman harus diberantas, sehingga menyebabkan konflik diantara keduanya, mulai polemik tentang ajaran hingga berlanjut kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah dari kedua belah pihak.[28]
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:
“Agama Muhammad Saw. seperti juga Agama Isa as, terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia soal kehendak bebas manusia telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah mustahil berbuat salah menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga”.
4. Ancaman dari luar
Apa yang disebutkan di atas adalah factor-faktor internal. Di samping itu, ada pula factor-faktor eksternal yang menyebabkan khalifah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.[29] Pertama, perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti-Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.
Berbagai faktor yang telah menyokong tegaknya imperium Abbasiyah, yakni kalangan elite imperium dan bentuk-bentuk kulturnya, sekaligus juga menyokong kehancuran dan transformasi imperium tersebut.Bahkan kemerosotan Abbasiyah telah berlangsung disaat berlangsung konsolidasi. Ketika rezim ini sedang memperkuat militernya dan institusi pemerintahan, dan sedang mendorong sebuah kemajuan ekonomi dan kultur, terjadi beberapa peristiwa yang pada akhirnya mengharubirukan nasib imperium Abbasiyah.[30]
Semenjak awal pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) problem suksesi menjadi sangat kritis.Harun telah mewasiatkan tahta kekhalifahan kepada putra mertuanya, al-Amin, dan kepada putranya yang lebih muda yang bernama al-Makmun, seorang gubernur Khurasan dan orang yang berhak menjabat tahta khilafah sepeninggal kakaknya. Setelah kematian Harun, al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya sebagai penggantinya kelak.Akibatnya pecahlah perang sipil. Al-amin didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad, sementara al-Makmun harus berjuang untuk memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-makmun berhasil mengalahkan saudara tuanya, al-Amin , dan mengklaim khilafah pada tahun 813.
Namun, peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah melainkan juga melemahkan warga iraq dan sejumlah propinsi lainnya. Al-Makmun berusaha menghadapi musuh-musuhnya dan sejumlah warga yang tidak mau berdamai dengan sebuah kebijakan ganda. Satu sisi kebijakan tersebut bertujuan untuk mempertahankan legitimasi kekhilafan dengan menguasai seluruh urusan keagamaan. Kebijakan ini, sebagaimana yang telah kita lihat, tidak membawa hasil dan gagal. Kebijakan ini justru menghilangkan dukungan masyarakat umum terhadap sang khalifah. Al-Makmun juga mengambil sebuah kebijakan politik, untuk menguasai kekhilafahan secara mutlak, al-Makmun menggantungkan dukungan seorang panglima khurasan, yang bernama Thahir, yang diberikan imbalan sebagai gubernur khurasan (820-822) dan menjadi jenderal militer Abbasiyah diseluruh imperium dan disertai janji bahwa jabatan-jabatan tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya, selain mendatangkan manfaat yang bersifat sementara konsesi atas sebuah jabatan gubernur yang dapat diwariskan menggagalkan tujuan Abbasiyah untuk menyatukan sebuah wilayah propinsi besar menjadi sebuah system pemerintahan politik yang memusat ditangan pemerintahan pusat. Upaya untuk menyatukan kalangan elit di bawah arahan khalifah tidak akan terwujud dan sebagai gantinya imperium dikuasai oleh sebuah persekutuan khalifah dengan kuasa gubernuran besar.









BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
     Daulah Abbasiyah merupakan lanjutan dari pemerintahan Daulah   Umayyah. Dinamakan Daulah Abbasiyah karena para pendirinya adalah keturunan Abbas, paman Nabi.Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abdullah as-Safah. Kekuasaannya berlansung dari  tahun 750-1258 M. Di dalam Daulah Bani Abbasiyah terdapat ciri-ciri yang menonjol yang tidak terdapat di zaman bani Umayyah, antara lain : 
1.   Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan Dinasti Bani Umayyah  sangat berorientasi kepada Arab.
2.   Dalam penyelenggaraan negara, pada masa bani Abbas ada jabatan  Wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Umayyah.
3.   Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani  Abbas. 
     Islam mengalami zaman keemasan pada masa Bani Abbasiyyah. Hal ini merupakan sumbangsih Dinasti Abbasiyah yang termaktub dalam Sejarah Peradaban Islam. Pada masa ini, kegiatan pendidikan dan pengajaran mencapai kemajuan yang signifikan. Mayoritas Khalifah dari Bani Abbasiyah merupakan orang yang berpendidikan. Selain itu, masa pemerintahan dinasti Abbasiyah membuka era baru dalam bidang ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Pada masa awal era Abbasiyah telah tercipta karya-karya kebudayaan yang sangat berpengaruh dalam mendorong lahirnya ilmu dan peradaban muslim.
     Kontribusi umat Islam pada masa ini sangat besar dalam bidang kedokteran, filsafat, kimia, matematika, geografi, hukum, teologi, dan filologi. Sesungguhnya, dalam hal ini, peradaban Barat berhutang budi kepada umat Islam, sama halnya seperti Islam yang berhutang budi terhadap peradaban Yunani.
     Namun, sangat disayangkan Khalifah Abbasiyah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadi dan melalaikan tugas dan kewajiban mereka terhadap Negara. Mereka menjalani kehidupan dengan bermegah-megahan dan bermewah-mewahan. Selain itu, supremasi bangsa Turki pada periode akhir Abbasiyah menyebabkan jatuhnya Dinasti Abbasiyah. Hal itu karena kelompok Arab dan Persia menaruh kecemburuan atas ketinggian posisi mereka. Sikap anti Turki ini pada akhirnya melatarbelakangi timbulnya gerakan penglepasan diri sejumlah dinasti yang membawa akibat fatal pada keutuhan Imperium Abbasiyah.

















Lampiran

Berikut ini silsilah Bani Abbasiyah yang berkuasa pada masa pemerintahan Daulah Bani Abbasiyah di Bagdad, yaitu:
1. Khalifah Abu Abbas As-Safah (750-754 M)
2. Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M)
3. Khalifah Al-Mahdi (775-785 M)
4. Khalifah Al-Hadi (785-786 M)
5. Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M)
6. Khalifah Al-Amin (809-813 M)
7. Khalifah Al-Makmun (813-833 M)
8. Khalifah Al-Muktasim (833-842 M)
9. Khalifah Al-Wasiq (842-847 M)
10. Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M)
11. Khalifah Al-Muntasir (861-862 M)
12. Khalifah Al-Mustain (862-866 M)
13. Khalifah Al-Muktazz (866-869 M)
14. Khalifah Al-Muhtadi (869-870 M)
15. Khalifah Al-Muktamid (870-892 M)
16. Khalifah Al-Muktadid (892-902 M)
17. Khalifah Al-Muktafi (902-908 M)
18. Khalifah Al-Muktadir (908-932 M)
19. Khalifah Al-Kahir (932-934 M)
20. Khalifah Ar-Radi (934-940 M)
21. Khalifah Al-Mustaqi (940-944 M)
22. Khalifah Al-Muktakfi (944-946 M)
23. Khalifah Al-Mufi (946-974 M)
24. Khalifah At-Tai (974-991 M)
25. Khalifah Al-Kadir (991-1031 M)
26. Khalifah Al-Kasim (1031-1075 M)
27. Khalifah Al-Muqtadi (1075-1084 M)
28. Khalifah Al-Mustazhir (1074-1118 M)
29. Khalifah Al-Mustasid (1118-1135 M)
30. Khalifah Ar-Rasyid (1135-1136 M)
31. Khalifah Al-Mustafi (1136-1160 M)
32. Khalifah Al-Mustanjid (1160-1170 M)
33. Khalifah Al-Mustadi (1170-1180 M)
34. Khalifah An-Nasir (1180-1224 M)
35. Khalifah Az-Zahir (1224-1226 M)
36. Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M)
37. Khalifah Al-Muktasim (1242-1258 M)















DAFTAR PUSTAKA

Al-Maududi, Abul a ‘la, Khilafah dan Kerajaan : Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, Bandung : Mizan, 1998.
Ali, K, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Esposito, John L. (ed), The Oxford History of Islam, New York, Oxford University Press, 1999.
Hitti, Philip K., History of The Arabs, London : Mac Millan, 1970.
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Gramedia : Jakarta, 1985.
Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1999.
Mubarok, Jaih, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, Cet. 1, 2004.
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2009.
Musyrifah, Sunanto,  Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media, 2004.
Nasution, Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung : Mizan, 1995.
Watt, W. Montgomery, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : P3M, 1988.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2006.





[1]Istilah “peradaban Islam” merupakan terjemahan dari kata Arab, yaitu al-Hadharah al-Islamiyyah. Istilah Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “kebudayaan Islam”. Padahal, istilah kebudayaan dalam bahasa arab adalah al-Tsaqafah. Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata: “kebudayaan” (Arab al-saqafah dan culture/Inggris) dengan “peradaban” (civilization/Inggris dan al-hadharah/Arab) sebagai istilah baku kebudayaan. Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan, manifestasi-manifestasi kemajuan tekhnis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak di reflesikan dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi. Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.
[2]Kelompok Mawalli adalah orang-orang non Arab yang telah memeluk agama Islam.Mereka diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara itu bangsa Arab menduduki kelas bangsawan. Mereka tersingkir dalam urusan pemerintahan dan dalam kehidupan sosial, bahkan para penguasa Arab selalu memperlihatkan permusuhan dengan mereka.
[3] Prof. K..Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), hlm. 347.
[4]  Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1999. Hal. 124
[5] Nasution, Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung : Mizan, 1995. Hal 65-89
[6] Nasution, Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran..65-89
[7] Watt, W. Montgomery,  Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : P3M, 1988. Hal. 78
[8] Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2006. hal. 203
[9] Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam..hal. 206
[10] Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam.. hal. 207
[11] Al-Maududi, Abul a ‘la, Khilafah dan Kerajaan : Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam, Bandung : Mizan, 1998. hal. 90
[12] Al-Maududi, Abul a ‘la, Khilafah dan Kerajaan…hal.91
[13] Ali, K, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.hal. 65
[14] Esposito, John L. (ed), The Oxford History of Islam, New York, Oxford University Press, 1999. hal. 110
[15] Hitti, Philip K., History of The Arabs, London : Mac Millan, 1970. hal. 270
[16] Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1999. hal 117
[17] Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam, hal. 117
[18] Musyrifah, Sunanto,  Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media, 2004. hal. 67
[19] Musyrifah, Sunanto,  Sejarah Islam Klasik, hal. 67
[20] Nasution, Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung : Mizan, 1995. hal. 90
[21] Nasution, Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran…hal. 90
[22] Nasution, Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran…hal. 90
[23] Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam…hal. 117
[24] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Gramedia : Jakarta, 1985. hal. 45
[25] Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan…hal. 46
[26] Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II…hal. 209
[27] Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II…hal. 209
[28] Ali, K, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern)…hal. 76
[29] Ali, K, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern)…hal.76
[30] Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam…117

Tidak ada komentar:

Posting Komentar