Senin, 02 November 2015

MODEL PEMIKIRAN SALAFIYAH DI PESANTREN JAWA




(Ansari, S.H.I)
Semakin menguatnya radikalisasi oleh kalangan Islam militan setelah runtuhnya Orde baru dan maraknya berbagai peristiwa “bombings” di Indonesia, mendorong  ramainya kembali diskursus “radikalisasi agama”, “fundamentalisme agama” dan bahasa-bahasa lain yang senada.
Gerakan ini ditengarai oleh sebagian kalangan intelektual sebagai fenomena baru dari kelanjutan kebangkitan agama di dunia Islam dalam merespon pengaruh globalisasi, yang menurut bahasa mereka “kekuatan hegemonik barat terhadap Islam. sementara beberapa intelektual yang lain beranggapan bahwa gerakan militansi disebabkan oleh pemahaman konsep keagamaan yang terlalu eksklusif, biasanya menyerukan kembali pada ajaran-ajaran murni agama. Fenomena fundamentalisme agama semacam ini tidak hanya terjadi dalam Islam, namun juga terjadi dalam kelompok-kelompok agama lain yang juga memiliki “Kitab Suci” yang biasanya menjadi rujukan legitimasinya, seperti Kristen, Yahudi, Hindu dll.
Terlepas dari perdebatan diatas, kelompok-kelompok fundamentalisme Islam di Indonesia; seperti: Majlis Mujahidin, Laskar Jihad, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Front Pembela Islam, HAMMAS, Forum Komunikasi Ahlussunnah wal Jama’ah; menjadi fokus perhatian tidak hanya masyarakat Indonesia namun juga masyarakat dunia. Tiba-tiba kelompok fundamentalisme radikal ini menjadi sosok aneh yang membuat penasaran banyak orang. Sebagian orang takut dan merasa khawatir dengan “imeje” model gerakan keagamaan semacam ini, sebagian berbondong-bondong ikut dan mendukungnya dan sebagian yang lain tertarik untuk mengetahui dan mengkaji dari dekat kelompok semacam ini, maka tidak heran banyak kajian dan penelitian yang sedang marak mengenai gerakan fundamentalisme ini, khususnya di Indonesia. Menarik untuk disimak, dari berbagai kelompok tersebut, -meskipun memiliki pola gerakan yang berbeda- mereka hampir memiliki pandangan yang sama tentang proyek otentifikasi dan universalisme Islam, hal ini bisa dilihat dalam slogan mereka “kembali pada jejak salaf ash-shalih”, klaim “Salafi”, “Islam Murni”, dan “Ahlussunnah” seringkali muncul dalam gagasan dan dakwah mereka. Sementara pendapat mengatakan bahwa gerakan fundamentalisme radikal ini berasal dari teologi non-toleransi puritanisme Salafi.
Islam fundamentalis ini berkembang dengan cepat, terutama dikalangan  masyarakat urban, professional dan sarjana muslim. Disamping dengan menerbitkan berbagai media, berbagai kelompok diskusi dan halaqah dengan semangat untuk menghidupkan kembali “ajaran murni” yang diajarkan oleh generasi pertama Islam, halaqah-halaqah semacam ini berkembang dengan pesat di kampus-kampus umum di kota besar, seperti Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Universitas Indonesia Jakarta, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Airlangga Surabaya dan lain-lain. Salah satu basis pengetahuan dan kaderisasi gerakan ini biasanya bertempat di pesantren dan madrasah, oleh karena itu ada beberapa pesantren seperti Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki Solo dengan slogan “kembali pada jejak salaf ash-shalih” , Pesantren “Ahlussunnah” Kaliurang Yogyakarta (dan mungkin masih ada juga pesantren lain) dianggap menjadi basis model gerakan keagamaan salafiyah dan fundamentalisme Islam. Gerakan keagamaan semacam ini banyak dikhawatirkan oleh masyarakat Indonesia (lebih-lebih masyarakat Barat) karena memiliki karakter eksklusif dan pandangan tidak toleran terhadap pandangan lain, hal yang sangat bertentangan dengan pandangan pluralisme yang juga sedang berkembang di Indonesia.
Persepsi seperti diatas memunculkan beberapa kekhawatiran di kalangan masyarakat  (terutama masyarakat Barat) terhadap pesantren sebagai basis militansi Islam, seperti komentar yang pernah dilontarkan oleh Sidney John, Direktur International Crisis Group (ICG), setelah terjadinya berbagai peristiwa “bombings” di Indonesia, “The militant bombers are mostly young men from Muslim boarding schools (pesantren) or Islamic high schools” . Kemudian dalam komentarnya yang lain, Dia berpendapat: “Indonesia's leaders need to look at the organization's support base. Almost every major Jemaah Islamiyah bombing since 2000 has involved graduates of a single pesantren, or Muslim boarding school, in Ngruki, a village near Solo in central Java. That's disingenuous, just as it is disingenuous for the government to think that it can contain terrorism without a more systematic scrutiny of Jemaah Islamiyah-linked schools. Pesantrens have a long and honorable tradition in Indonesia, and the vast majority of them produce law-abiding citizens. But a handful are turning out young men committed to a concept of jihad that involves the use of violence against non-Muslim civilians”. Disisi lain berkembang pandangan yang berpendapat bahwa model gerakan keagamaan yang menganut konsepsi “Salafi” memiliki kecenderungan eksklusif dan intoleran, dan akan menyemangati militansi dan radikalisme keagamaan. Pandangan seperti ini akan mengaburkan pandangan lain mengenai konsep “salafiyah” dan menjadi problem serius bila ternyata ada beberapa pandangan “salafi” yang mungkin memiliki potensi lebih toleran dan inklusif.
Ironisnya, slogan-slogan “Salafiyah’ juga telah banyak digunakan di Pesantren-pesantren Islam Tradisional, ini terbukti dengan banyaknya “Pesantren Salafiyah” yang berkembang di Indonesia, khususnya Jawa, seperti Pondok Pesantren As-Salafiyah  as-Safi’iyah Asembagus Situbondo, Pondok Pesantren Al –Falah as-Sunniyah as-Salafiyah Kencong Jember, dan Pondok Pesantren As-Salafiyah As-Safi’iyah Jakarta dan masih banyak yang lain. Ada juga beberapa pesantren yang juga dikenal sebagai Pesantren Salaf, karena mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikan di Pesantren, seperti, Pesantren Lirboyo dan Ploso di Kediri, Pesantren Maslakhul Huda di Pati, dan Pesantren Termas di Pacitan. Pesantren-pesantren tersebut memiliki ciri-ciri umum model keberagamaan yang hampir sama yaitu menganut konsep theologi aqidah Ahlussunnah al-Maturidi dan Asy’ari, akar tasawuf Sunni (yang menggabungkan Syari’at dan Haqiqat) model Ghazali, dan Orientasi Fiqih empat Madhhab, khususnya Madzhab as-Safi’iy. Dalam pandangan kelompok ini, “Konsep Salafiyah” dipahami sebagai “modeling” dengan mencontoh para pendahulu yang terbaik dengan merujuk pada kitab kuning, mengarifi budaya dan tradisi local sebagai ciri utama komunitas ini. Bukti semacam ini bisa dilacak dalam sejarah pesantren di Indonesia  yang perkembangannya seiring dan sejalan dengan perkembangan tarekat dan tasawuf (sesuatu yang justru ditolak oleh model gerakan “Salafiyah” wahabiyah dengan konsep purifikasinya).
Oleh karena itu, Konsep “Salafiyah” sebagai model keberagamaan Islam, meskipun sama-sama sebagai bentuk ‘modelling” terhadap para pendahulu. Namun dalam cara pandang dan dinamika sejarahnya yang berbeda akan membentuk nalar dan idiologisasi yang berbeda pula. Dan akibatnya dengan konsep modeling “Salafiyah” yang berbeda, Pesantren-pesantren tersebut juga memiliki perbedaan “nalar”, “tradisi” dan bisa juga “ideologi” yang berbeda. Berbeda pensikapannya terhadap tradisi local, berbeda pandangan dan perilaku politiknya dan perilaku social budayanya.

POKOK MASALAH
Penelitian ini ditujukan pada studi mengenai “Nalar Salafi yang berkembang di Pesantren Indonesia, khususnya Jawa, dengan mengambil representasi Tiga Pesantren di Jawa yang memiliki perbedaan cara pandang “Salafiyah” yang sangat mencolok. Dan Pertanyaan-pertanyaan pokok yang akan dikembangkan adalah: 1) bagaimana Pesantren di Jawa memahami pemikiran “salafiyah” sebagai (model) keberagamaan Islam 2) bagaimana pemikiran salafiyah mempengaruhi sifat dan karakteristik (kontruksi ) pengetahuan dari masing-masing model “salafi” di pesantren Jawa. 3)  bagaimana karakteristik pengetahuan mempengaruhi pandangan dan sikap hidup komunitas, serta implikasi politik  dan social budayanya terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat. 4)  sebagai analisa kritis, mungkinkah dengan perbedaan konsep tersebut menciptakan dialog dan toleransi.

PEMBATASAN MASALAH
            Secara historis, pada awal  sejarah Islam terminologi “salaf” sering digunakan sebagai istilah pembabakan terhadap generasi awal Islam, yaitu: Periode Salaf yang berarti tiga generasi awal Islam mulai dari generasi pada masa Nabi Muhammad, Sahabat, dan Para Tabi’in. Dan Periode Khalaf yang berarti generasi setelah tiga generasi tersebut. Disisi lain, istilah “salaf “ juga  dipakai oleh para mufasir dan ahli hadis dalam klasifikasi kelompok ahli hadis atau tafsir, yaitu: Kelompok Salaf  yang berarti para ahli hadis atau tafsir yang menafsirkan teks dengan teks, dengan menggunakan metode riwayat. Dan Kelompok Khalaf yang berarti para ahli hadis dan tafsir yang menafsirkan teks dengan akal, menggunakan metode ta’wil. Sedangkan di Indonesia, istilah salaf seringkali muncul dalam membedakan sistem pendidikan di Pesantren, yaitu: Pesantren salaf yang berarti sistem pendidikan yang mempertahankan kitab-kitab klasik dengan cara pengajaran klasik “sorogan”, sedangkan madrasah diterapkan untuk mendukung “sorogan”. Dan Pesantren Khalaf berarti Pesantren yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah yang dikembangkannya, atau membuka tipe sekolah-sekolah umum dalam lingkungan pesantren.
Dalam penelitian ini, “salafiyah” dibatasi dalam pengertiannya sebagai konsep atau model keberagamaan dalam Islam yang mengajak kembali pada ajaran para pendahulu - baik yang mengajak kembali pada generasi salaf ash-shalih yang melarang bermadzhab, maupun yang mengajak kembali pada warisan para leluhur  atau kitab kuning yang bermadzhab. Dan konsep salafiyah dalam pengertian ini dapat mempengaruhi pandangan hidup komunitas masyarakatnya.

STUDI PUSTAKA
            Telah banyak kajian tentang Fundamentalisme Islam, namun focus kajian lebih banyak memperdebatkan tentang asal usul fundamentalisme dan radikalisme, dari focus tersebut tulisan mengenai asal usul fundamentalisme yang terbagi dalam dua kelompok. Pertama, sebagian yang menulis fundamentalisme disebabkan oleh geneologi pengetahuan yang eksklusif, salah satunya puritanisme salafiyah wahabiyah atau gerakan militansi Timur tengah, seperti yang ditulis Abul Fadhil, “The Place of Tolerance”, Beacon Press-Boston, 2002. ; Dr. David Sagiv, “Fundamentalism and Intellectual in Egypt in 1973-1993”. dan Ghazali Said, “Ideologi Kaum Fundamentalisme: Pengaruh Pemikiran Politik al-Maududi Terhadap Gerakan Jama’ah Islamiyah Trans Pakistan-Mesir” Diantama, 2003. Kedua, gerakan fundamentalisme atau kebangkitan islam lahir karena konteks sejarah sebagai respons terhadap modernisme dan globalisasi, seperti tulisan-tulisan Eko Prasetyo, “Membela Agama Tuhan”, dan “ Kiri Islam Menghadapi Kapitalisme Global”, Insist., Ahmed Rashid, “The Resurgence of Central Asia: Islam Or Nationalisme, Th. 1994 , “Taliban: Islam and Fundamentalisme in Central Asia” , Th. 2000,  The Rise of Militant Islam in Central Asia”, Th. 2002, Yale University Press-London., ;  Fazlurahman, “Study of Islamic Fundamentalisme Revival and Reform in Islam”, Th. 2000, 0ne world oxford-England. Dan banyak buku yang lain berbicara tentang sejarah fundamentalisme Islam semacam ini Dan juga beberapa buku lain yang berupa opini, komentar atau editing berisi tentang sikap dan respon terhadap munculnya fundamentalisme dan militansi Islam.
Sedangkan mengenai Pesantren, sudah banyak penelitian atau buku-buku yang ditulis baik oleh sarjana Indonesia maupun barat. Namun tulisan tentang pesantren banyak terfokus pada sejarah, sistem pendidikan, struktur, tradisi, pengetahuan dalam pesantren dan pesantren menghadapi perubahan; itupun lebih banyak perhatiannya pada pesantren tradisional, seperti tulisan:  Martin Van Bruinessen, “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia”, cet.III,  Mizan-Bandung, Th. 1999. ; Zamakhsari Dhofier, “Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai”, Cet.VI, LP3ES-Jakarta;  Mastuhu, “Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren”, INIS-Jakarta, Th.1994 ; Dr. Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial”, P3M-Jakarta, Th.1986.
            Dari Studi Pustaka yang dilakukan, penulis hanya menemukan satu buku yang secara khusus membahas tentang “Salafiyah” yaitu tulisan Muhammad Said Ramadhan dalam bahasa Arab, “As-Salafiyatu Marhalatun Zamaniyatun La Madzhabun Islamiyah”, Beirut., Buku inipun lebih bersifat sejarah perdebatan teologis mengenai konsep salafiyah sebagai model gerakan yang tidak bermazhab dan kritik terhadap pemahaman salafiyah yeng kembali pada romantisisme generasi awal. Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa belum ada penelitian yang secara khusus mendalami perbedaan nalar pengetahuan salafiyah yang berkembang di Indonesia, khususnya pesantren-pesantren sebagai basis pengetahuan dan pendidikan Islam. Dalam kajian ini, peneliti mencoba mendalami dinamika nalar salafiyah dari geneologi pengetahuan dan bagaimana nalar salafiyah dikonstruksikan didalam konteks sejarahnya dan di Indonesia. Kajian ini menjadi penting karena model gerakan salafiyah seringkali dihubungkan dengan gerakan militansi dan radikalisme Islam, sehingga peneliti juga akan mencoba memetakan kemungkinan adanya variable  radikalisme dan toleransi dalam beberapa model gerakan salafiyah.

KERANGKA TEORITIK
Berbicara Mengenai munculnya aliran atau gerakan dalam Islam ada dua teori yang terkenal, Pertama; teori kesinambungan dimana munculnya suatu aliran atau gerakan disebabkan karena garis pengetahuan yang berkesinambungan, teori semacam ini bisa kita lihat dalam tulisan john O Voll, “Islam and Continuity and Change in Modern world”, Westview Press- USA, 1982. Kedua, teori konteks sejarah yang menerangkan munculnya gerakan atau perubahan itu dikarenakan respon sosial terhadap konteks yang terjadi dalam sejarah. Teori semacam ini bisa kita lihat dalam gaya penulisan Karen Amstrong, “The Battle of   God”.
Khaled Abul Fadhil, dalm bukunya “The Place Of Tolerance in Islam” dengan model teori yang pertama mengatakan bahwa Kelompok-kelompok fanatic dan militant di berbagai tempat berasal dari  akar theologi “intolerance” Puritanism Wahabi dan Salafi, karena metode literal dan ahistoris menimbulkan konsep “intolerance”. Tentu saja pendapat in dikritik oleh Abid Ullah Jan, seorang analis politik dan direktur eksekutif  Independent Centre for Strategic Studies (ICSS) di Pakistan, menurutnya Abul Fadhil perlu memperhatikan makna “toleransi”, karena frustasi yang terjadi di  kalangan umat Islam di dunia tidak hanya karena kesalahan memaknai Islam, namun lebih dikarenakan kehilangan batas toleransi terhadap politik standard ganda Barat dan perlakuan mereka terhadap Muslim sebagai masyarakat kelas kedua. Menurut Abid Ullah Jan ini, terjadinya kebangkitan Islam itu bukan karena problem teologi, tapi karena konteks sejarah yang membuat mereka tertekan.
            Dari kedua teori tersebut diatas, peneliti mencoba menggabungkan kedua teori tersebut dalm melihat “Konsep Salafi” sebagai theologi keberagamaan kelompok dan kesinambungan dan perubahannya karena konteks sejarah yang sedang dialami. Dengon merujuk model teori Foucoult “Archeology Of Knowledge” Asad, dalam bukunya “Geneologies of Religion. Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam” dia berpendapat: “tidak ada agama tanpa kekuasaan, agama itu bukan hanya teks tertulis tapi juga kumpulan hubungan yang bisa dilihat  dari konsep-konsep dan kompleksitas yang ada, dan dengan mendalami konteks-konteks wacana kita  bisa memahami bagaimana symbol-simbol dikontruksikan dan mana yang menjadi authoritarian”. Dari sini bisa kita pahami bahwa konsepsi salafiyah dengan berbagai kompleksitasnya yang ada dikonstruksikan dalam konteks tertentu maka dengan mendalami konteks-konteks dimana konsepsi salafiyah dikonstruksikan kita bisa melihat bagaimana interpretasi dan diskursus dengan segala simbolnya jadi menguasai. Sehingga dalam konteks yang berbeda akan menyebabkan interpretasi dan diskursus yang berbeda. Berangkat dari teori seperti ini peneliti berasumsi bahwa perbedaan  nalar salafiyah di pesantren tidak hanya dikarenakan kesinambungan pengetahuan yang berbeda namun juga disebabkan karena konsepsi salafiyah tersebut dikonstruksikan dalam konteks dan pengalaman sejarah yang berbeda.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggabungkan antara penelitian pustaka dan lapangan dengan pendekatan kualitatif. Studi Pustaka dilakukan untuk mendalami konsep salafiyah dan dinamika sejarah perbedaan model pemikiran salafiyah. Studi Pustaka dengan Buku Primer “As-Salafiyatu Marhalatun Zamaniyatun La Madzhabun Islamiyah”, Beirut. Dan menelusuri buku-buku yang berkaitan dengan model gerakan salafiyah.
Sedangkan metode penelitian lapangan, digunakan untuk mengetahui bagaimana karakteristik pemikiran salafiyah di kontruksikan di tiga pesantren di Jawa, dengan mengambil studi kasus di tiga pesantren, yaitu: Pesantren As-Salafiyah As-Syafi’iyah Asembagus SituBondo Jawa Timur, Pesantren Salafiyah Ahlussunnah Kaliurang Yogyakarta dan Pesantren Modern Al-Mukmin Ngruki Solo. Tiga Pesantren ini diambil sebagai representasi pesantren induk dan yang punya pengaruh, juga dengan representasi tiga kategori : pesantren tradisional, modern dan militan. Data diteliti dengan cara observasi lapangan, dokumentasi dan interview. Metode interview digunakan untuk mewawancarai para ahli, tokoh-tokoh salafiyah, dan tokoh pesantren salafiyah, Khhususnya di tiga pesantren tersebut. Sedangkan observasi lapangan dan dokumentasi dilakukan dengan cara melihat langsung perilaku dan aktifitas santri pesantren salafiyah dan mengumpulkan dokumen-dokumen model pemikiran salafiyah, seperti kurikulum, buku sejarah pesantren, kepustakaan, dan media-media yang berkaitan dengan pemikiran Pesantren.

SISTEMATIKA TESIS
Dengan merujuk pada pokok masa;ah, pembahasan dalam tesisi ini secara sistematis akan dibagi dalam lima Bab.
1) Pendauhuluan, menerangkan konteks penelitian ini dengan mengelaborasi perbedaan “salafiyah” di Indonesia. Secara umum juga mendeskripsikan pokok masalah, pembatasan masalah dan metode penelitian.
2) mendeskripsikan tentang sejarah, tokoh dan dinamika tiga pesantren secara umum.
3) Menerangkan tentang bagaimana pemikiran tentang salafiyah dipahami di pesantren, dengan mendeskripsikan tiga unsur yang sering menjadi karakteristik pemikiran salafiyah yaitu: ide salfiyah, imajinasi social, dan seruan kembali pada Qur’an dan Sunnah, yang sering menjadi slogan-slogan salafiyah.
3) Menjelaskan bagaimana pengaruh pemikiran salafiyah terhadap struktur pengetahuan dan tradisi di pesantren. Juga menerangkan sumber pengetahuan, tema-tema yang sering dikaji, tokoh-tokoh sentral atau madhab, tradisi dan sistem yang membentuk masyarakat pesantren.
4) Memaparkan bagaimana karakteristik pengetahuan dan tradisi di pesantren mempengaruhi pandangan hidup dan sikap komunitas pesantren. Dan bagaimana implikasi pandangan dari masing-masing model salafiyah terhadap wacana sosial, politik dan budaya yang berkembang di masyarakat.
4)  Analisa, mencoba menjawab mengapa perbadaan pemikiran itu terjadi dan apa yang menyebabkan kecenderungan dari masing-masing pemikiran, baik yang berpotensi radikal maupun toleran. Serta mencoba mengkritisi klaim-klaim kebenaran dengan mengagungkan masa lalu dalam konteks masa lalu pula. Dan mencari kemungkinan alternatif dengan perbedaan konsep tersebut menciptakan dialog dan toleransi.
            5) Kesimpulan yaitu menyimpulkan semua pembahasan tesis ini dengan menjawab pokok masalah secara ringkas dan padat.
Pada pertengahan abad ke-19 banyak para ulama dari Jawa yang  memperdalam pengetahuan agama ke makkah dan madinah dan banyak dari mereka turut aktif dalam intelektualisme dan spiritualisme Islam yang berpusat di Timur Tengah, hal ini mempengaruhi  perubahan watak Islam di Jawa yang semakin kehilangan sifat-sifat lokalnya dan titik beratnya pada aspek tarekat. Menurut Zamakhsari Dhofier, pada masa ini Islam di Jawa tidak sama sekali kehilangan watak lokalnya, namun Islam tradisional di Jawa semakin kuat terikat dengan pikiran Islam tradisional yang telah mapan  dan paling banyak pengikutnya di dunia Islam.



DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA

Abdurrahman, Moeslim, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. III, 1997)
Ahmed, Leila, Women and Gender in Islam; Historical Roots of a Modern Debate, terj. M. S. Nasrulloh (Jakarta: PT. Lentera Basritama, cet. I, 1992)
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, cet. III, 1995)
Baidan, Nashruddin, Tafsir bi Al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 1999)  
Baidhawy, Zakiyuddin (ed.), Wacana Teologi Feminis, (Yogyakarta; pustaka Pelajar, cet. I, 1997)
Bawami, Imam, Tradisionalisme Dalam Pendidikan islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1993)
Berger, Peter L., The Sacred Canopy, terj. Hartono (Jakarta: LP3ES, cet. II, 1994)
Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia”, (Bandung: Mizan-Bandung, cet. III., 1999)
Bryan S. Turner, Religion and Social Theory, terj. Inyiak ridwan Muzir, (yogyakarta: IRCiSoD, cet. I, 2003)
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, Cet. VI, 1994)
Enginer, Asghar Ali, Islam and Liberation Theology; Essay on Liberative Elements in Islam, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 1999)
Fakih, Mansour, Analisa gender dan Transformasi Sosial,  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 1996)
Hathout, Hassan, Revolusi seksual Perempuan ; Obstetri dan Ginekologi dalam tinjauan Islam, (Bandung ; Mizan, cet. IV, 1997)
Ilyas, Yunahar, Feminisme dalam Kajian Tafsir al-Qur’an: Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet I, 1997)
Kartodirdjo, Sartono, Kepemimpinan Dalam Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: BPA UGM, 1974)
Khadduri, Majid, The Islamic Conception of Justice, terj. Mochtar Zoerni (Surabaya: Risalah Gusti, cet. I, 1999)
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta; UI-Press, cet. II, 1987)
Madjid, Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: PARAMADINA, 1997)
Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial”, (Jakarta: P3M, 1986)
Mas’udi, Masdar F., Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, (bandung: Mizan, cet. I, 1997)
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Seri INIS, 1994)
Mernissi, Fatima, Menengok Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, terj. M. Masyhur Abadi (Surabaya: Dunia Ilmu, cet. I, 1997)
Muthahhari, Murtadha, The Rights of Women in Islam, terj. M. Hashem (bandung: Penerbit Lentera, cet. III, 1995)
Nasr, Seyyed Hossein, Traditional Islam in the Modern World, terj. Lukman Hakim, (Jakarta: Pustaka, cet I, 1994)
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, cet. VIII, 1996)
Prasodjo, Sudjoko, Profil Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1975)
Rahardjo, Dawam (ed.), Pergulatan Dunia pesantren ; Membangun dari Bawah, (Jakarta : P3M, cet. I, 1985)
Raines, John C., The Justice Men Owe women, Positive Resources from World Religions, (Minneapolis: Fortress Press, 2001)
Robertson, Roland,  (ed.), Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, cet 4, 1995)
Sindu, Galba, Peran Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, (Jakarta: Depdikbud, Cet. II, 1995).
………,.Dinamika Pemikiran Pesantren”, IAIN Wali Songo Semarang.
Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, cet. IX, 2001)
Tibi, Bassam, Islam, Kebudayaan dan Perubahan sosial, terj. Misbah Zulfa Ellizabet dkk. ,(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, cet I, 1999)
Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, cet. I, 2001)
Zaenab, Siti, Nyai, Kyai dan Pesantren, (Yogyakarta: Yayasan Kesejahteraan Fatayat, 2002)
Zayd, Nasr Hamid Abu, Dekonstruksi Gender; Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, terj. Moch. Nur Ichwan (Yogyakarta: Samha, 2003)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar