Kamis, 12 November 2015

Pemikiran John Locke



 (Oleh Ansari, S.H.I)
Pemikiran-pemikiran filosofis seringkali terlahir dari kritik para pemikir terhadap generasi sebelumnya.  Begitu juga  yang terjadi pada perkembangan pemikiran filosofis di Eropa. Sebagai bagian dari proses Renaissans, para pemikir modern awal menggugat eksistensi gereja yang tidak hanya memonopoli urusan keagamaan namun juga soal pemerintahan dan pemikiran.
Lalu para pengkritik ini diikuti oleh pengkritik selanjutnya yang berbicara soal keunggulan rasio yang bisa membawa manusia pada kehidupan yang lebih baik. Selanjutnya para rasionalis tersebut dikritik hasil pemikirannya oleh perintis empirisme yang menyebutkan bahwa rasio saja tidak cukup untuk menentukan adanya sesuatu namun juga harus bisa dialami alias empiris. Ketiga tahap perkembangan pemikiran dunia barat tersebut sebenarnya mempunyai satu tujuan sama, yaitu mempreteli eksistensi ide-ide dari gereja. Namun, yang dirasa cukup berhasil memisahkan diri dari pikiran gereja adalah yang terakhir, empirisme. Empirisme ini kemudian menjadi dasar lahirnya banyak ilmu pengetahuan di zaman modern. Disini terciptalah dua ciri khas cara pandang orang-orang barat yang bercorak rasional dan empiris.

Empirisme yang tumbuh di Inggris dimulai dengan John Locke. Seorang yang sangat anti dengan diktatorisme dan sistem yang mendukung raja. Empirisme yang dibangun oleh John Locke adalah bertujuan untuk “membersihkan dasar pengetahuan serta membuang kotoran-kotoran yang menempel pada cara memperoleh pengetahuan” (Stumpf dan Fieser, 2002:250). Locke mencoba untuk menjelaskan bagaimana dan cakupan yang dapat diharapkan dari pikiran manusia. Dia menyatakan bahwa jangkauan dari pengetahuan kita adalah dibatasi oleh pengalaman kita. Hal ini sebenarnya sudah diutarakan oleh filsuf sebelum dia, yaitu Thomas Hobbes maupun Francis Bacon yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus didasarkan pada observasi. Perbedaannya adalah bahwa kedua filsuf ini tidak mencoba mempertanyakan secara kritis pengetahuan yang telah diperoleh manusia. Mereka berasumsi bahwa sejauh metode yang dipakai benar maka pengetahuan yang dihasilkan tidak perlu dipertanyakan keabsahannya, hal yang hampir sama dinyatakan pula oleh Rene Descartes yang meyakini bahwa tidak ada masalah yang bisa dipecahkan oleh akal manusia apabila mereka sudah menerapkan metode yang tepat. Sedangkan Locke berpendapat bahwa pikiran manusia terlalu kecil apabila dibatasi oleh metode-metode saja. Pikiran manusia mampu menemukan kesejatian alam semesta (ibid).

Epistemologi Locke
Dalam epistemologinya, Locke berusaha untuk menelusuri asal mula, kepastian serta jangkauan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Dalam hal ini, dia mencoba menjelaskan apa saja isi pengetahuan dan bagaimana bisa didapat. Dia juga mencoba menentukan batas pengetahuan dan memastikan hal apa yang menyokong kepastian intelektual manusia. Dalam proses pembangunan epistemologinya inilah Locke berkesimpulan bahwa pengetahuan manusia dibatasi dengan ideas (ide-ide), yang dimaksud dengan ide-ide disini sama sekali berbeda dengan innate ideas (ide-ide bawaan) yang diyakini secara pasti dimiliki oleh setiap manusia oleh kaum Rasionalis macam Descartes namun ide-ide yang dihasilkan dari objek yang dialami oleh manusia. Locke secara pasti berpendapat bahwa ide-ide tersebut haruslah berasal dari pengalaman sehari-sehari. Jadi dia mengumpamakan pikiran manusia semacam sebuah memori komputer yang menampung pengalaman-pengalaman manusia untuk dijadikan sebuah ide-ide yang disebutnya sebagai pengetahuan. Berikut wacana yang dibangun oleh Locke terkait Epistemologinya.

Tidak ada ide bawaan (Innate Ideas). Para filsuf yang meyakini adanya ide-ide bawaan menyatakan bahwa apabila ada suatu hal disebut dengan pengetahuan maka pastilah ada sesuatu dalam diri manusia yang bisa mengetahui, dan jikalau ada sesuatu yang bisa mengetahui maka secara logis orisinil manusia diberkahi dengan kapasitas untuk tahu, kapasitas untuk tahu inilah yang menentukan manusia dalam membentuk pengetahuannya. Maka dari itu, tanpa harus mengalami realitas yang terjadi diluar dirinya, manusia pastilah mampu merumuskan pengetahuan untuk dirinya, jadi dapat dinyatakan bahwa dalam diri manusia sudah ada “alat tertentu” yang berfungsi untuk mengidentifikasi dan menyimpulkan suatu pengetahuan (Webb, 1857:39), perumpamaan untuk ide bawaan ini adalah LAD (Language Acquisition Device) yang diwacanakan oleh Noam Chomsky. Chomsky menyatakan bahwa setiap manusia diberkahi “organ tertentu” dalam otaknya (Chomsky, 1965), walaupun LAD ala Chomsky ini bisa berfungsi apabila LAD tersebut dipakai untuk memperoleh bahasa yang dipakai disekitar alias lewat pengalaman berbahasa.

Menyikapi hal ini, Locke dengan tegas menyatakan bahwa semua ide-ide yang dimiliki oleh manusia berasal dari pengalaman sehari-hari. Dia berkata “ada sebuah opini yang mapan pada beberapa orang bahwa dalam memperoleh pemahaman yaitu terdapat prinsip-prinsip bawaan (innate priciples) yang terdiri dari prinsip ide spekulatif dan prinsip perbuatan yang terpatri dalam pikiran manusia; yang mana jiwa manusia mendapatkannya dari awal penciptaan dan kemudian dibawa kealam dunia ini”. Penting untuk mengingatkan para pembaca bahwa anggapan ini adalah sebuah kekeliruan (Locke, 1999:27). Dia tidak hanya menyatakan bahwa hal ini adalah sebuah kekeliruan namun juga sebuah kesesatan yang berbahaya maka dari itu apabila ada orang yang berkata demikian, dengarkanlah argumennya dan biarkan saja (ibid). 

Orang yang berpendapat bahwa ada ide-ide bawaan, mempunyai beberapa prinsip-prinsip universal yang dipercayai. Diantaranya adalah “what is, is” apa yang ada adalah sesuatu yang memang sudah ada. Jadi, keadaan sesuatu tersebut memang sudah ada sebelumnya dan akan tetap ada. Kemudian mereka juga berprinsip “it is impossible for the same thing to be and not to be” yang artinya adalah hal yang mustahil sesuatu yang sama bisa menjadi ataupun bisa tidak menjadi, maksudnya, tidak mungkin satu hal yang sama bisa mempunyai identitas ganda yang mendasar (Locke, ibid; 46). Locke menolak mentah-mentah bahwa prinsip tersebut dapat dijadikan sebuah argumen akan adanya ide-ide bawaan. Namun hal tersebut merupakan refleksi yang ada dalam diri kita saat kita mengamati sesuatu maka yang dihasilkan adalah keadaan sesuatu tersebut memang demikian adanya. Pikiran kita tidak mengizinkan untuk mendefinisikan sesuatu tersebut sebagai sesuatu yang lain. Dan meskipun hal itu diyakini oleh setiap orang namun dapat dia yakini bahwa mereka tidaklah akan berpikir hal tersebut sebagai argumen tentang adanya innate. Argumen itu merupakan hal yang universal dan hanya dapat dipahami oleh manusia dewasa. Jika memang demikian, kenapa harus dikatakan sebagai innate? Locke meyakini bahwa kalau memang hal tersebut dijadikan argumen akan adanya innate harusnya manusia mengetahuinya semenjak kecil, akan tetapi hal ini pastilah tidak mungkin. Sebuah proposisi tidak akan bisa terucap kecuali setelah kita menyadari akan adanya sesuatu yang diproposisikan. Kita mengetahui bahwa “keseluruhan itu lebih besar daripada sebagian” setelah melihat bukti bahwa memang “yang keseluruhan itu lebih besar daripada yang sebagian”(ibid).

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa observasi merupakan satu poin penting yang harus dilakukan oleh manusia untuk memperoleh pengetahuannya. Dari hal-hal partikular yang diamati melalui observasi tersebutlah akan tercipta fondasi natural pengetahuan (Locke, 1911:38). Hal apapun yang disajikan oleh alam sekitar pastilah akan mempengaruhi perasaan dan perbuatan kita, itulah yang disebut pengetahuan (Webb, 1857:33).

Ide, ide adalah objek pikiran. Setiap orang sadar akan dirinya sendiri bahwa dia berpikir. Apa yang ada dalam pikiran adalah tentang sesuatu yang memang ada secara nyata dapat diindera. Sesuatu yang meragukan apabila manusia mempunyai ide-ide dalam pikiran mereka. Namun yang benar adalah “pada saat sekaranglah” mereka punya ide-ide itu setelah mengalami penginderaan. Seperti ekspresi kata tentang yang putih, keras, lembut, pikiran, gerakan, manusia, gajah, pasukan, mabuk dan sebagainya (Locke, 1999:86).   Locke berasumsi bahwa pengetahuan akan suatu objek dapat diterangkan dengan menemukan material dari sesuatu yang digunakan untuk membuat objek tersebut. Cara mengetahuinya yakni dengan pengalaman. Pengalaman memberi kita sebuah sensasi/rasa dan refleksi. Dari sensasi/rasa yang kita terima dari benda diluar kita maka kita dalam pikiran kita akan timbul beberapa macam persepsi. Ini adalah proses bagaimana kita bisa mempunyai ide tentang kuning, putih, panas, dingin, pahit, manis dan hal-hal lainnya. Sensasi/rasa merupakan “sumber dari mayoritas ide yang kita miliki”. Sisi lain dari pengalaman adalah refleksi, yakni sebuah aktivitas pikiran yang memproduksi ide dengan mengambil simpulan dari ide sebelumnya yang dihasilkan oleh indera. Refleksi meliputi persepsi, pikiran, keyakinan, keraguan, penalaran, harapan, dan semua hal yang menciptakan ide yang dihasilkan dari sesuatu diluar tubuh kita dan mempengaruhi indera kita (Stumpf dan Fieser, 2002). Kemudian Locke membagi ide tersebut menjadi dua, yaitu ide simple dan ide kompleks.

Ide simple merupakan sumber utama bahan baku dari pengetahuan manusia. Ide ini di terima secara pasif oleh pikiran melalui indera. Tatkala kita melihat sebuah objek, ide akan datang kedalam pikiran kita secara individual. Contohnya adalah pada saat kita melihat bunga mawar merah yang mempunyai percampuran kualitas merah dan harum. Pikiran kita akan menerima ide merah dan harum secara sendiri-sendiri. Ide merah sendiri, ide harum juga sendiri. Karena indera yang dipakai juga sendiri-sendiri, yaitu indera penglihat dan indera pembau. Namun terkadang pula, satu indera bisa menangkap kualitas yang berbeda-beda misalnya rasa manis dan kecut yang bisa ditangkap oleh satu indera, yaitu indera pengecap. Sehubungan dengan ide yang ditangkap lewat indera, pikiran kita mampu membuat ide simple baru dengan penalaran dan penilaian. Jadi, ide simple dari refleksi bisa berupa kesenangan atau kesengsaraan.

Ide kompleks, tidak diterima secara pasif oleh pikiran namun merupakan gabungan-gabungan ide simple. Ada tiga proses yang dilalui oleh pikiran untuk menciptakan ide kompleks, yaitu: pertama, pikiran mengambil ide-ide simple; kedua, membawa ide-ide bersamaan namun tetap terpisah; ketiga, melakukan abstraksi. Maka, pikiran kita menggabungkan ide putih, keras, dan halus untuk membuat ide kompleks dari kumpulan gula. Pikiran kita juga membawa ide-ide secara bersamaan namun tetap menjaga mereka terpisah sebagai bukti adanya hubungan antar ide tersebut, seperti tatkala kita melihat bahwa rumput itu lebih hijau daripada pohon. Akhirnya, pikiran kita bisa memisahkan ide-ide tersebut “dari ide-ide yang terdapat dalam sebuah objek menjadi sebuah wujud nyata”. Seperti halnya kita bisa membedakan antara Ayub dan Agung karena kita mendapatkan ide-ide tentang mereka yang pastinya ide-ide yang kita dapatkan tentang Ayub dan Agung adalah berbeda-beda.

Kualitas, adalah kekuatan yang dimiliki oleh objek untuk menghasilkan idea-idea dalam diri kita. Misalnya kualitas kerbau, yang mempunyai daya untuk menghasilkan idea hitam, besar dst. Kualitas dibagi menjadi dua macam, yaitu primer dan sekunder. Kualitas primer adalah kualitas yang melekat inheren pada sebuah objek dan tidak akan mengalami perubahan. Idea-idea simpleks dilahirkan dari kualitas primer ini, seperti: luas, massa, bentuk dst. Sedangkan kualitas sekunder adalah daya-daya yang mempengaruhi subjek, yang menghasilkan penilaian yang bersifat subjektif, misalnya: ada yang bilang perempuan itu cantik, ada yang bilang perempuan itu jelek (Budi Hardiman, 2011).

Hal terpenting dari pembedaan kualitas ini adalah bahwa dia berusaha mencari perbedaan antara penampakan (appearance) dengan realitas (reality). Jadi memang sesuatu yang tampak dipermukaan belum tentu menunjukkan realitas yang sesungguhnya. Newton, misalnya, menjelaskan bahwa sesuatu yang tampak putih merupakan kumpulan dari partikel-partikel yang putih itu sendiri. Putih bukanlah sebuah realitas namun hanya penampakannya saja, realitasnya adalah partikel-partikel yang berkumpul. Jadi putih tersebut merupakan efek/akibat dari berkumpulnya partikel-partikel. Dengan demikian ada hal yang menyebabkan kualitas tersebut, yang disebut dengan substansi (Stumpf dan Fieser, 2002).

Substansi, Locke berusaha menjelaskan tentang substansi ini dengan pendekatan common-sense. Bagaimana kita bisa mempunyai ide-ide tentang kualitas apabila tidak berasumsi bahwa ada substansi yang membentuknya? Locke menjawab dengan hukum kausalitas, bahwa setiap sesuatu itu ada sebabnya. Apabila sebuah benda bergerak maka benda tersebut pastilahh ada yang menggerakkan, tidak mungkin sebuah benda tersebut bergerak sendiri. Begitu pula dengan kualitas, kualitas tidak akan ada tanpa ada penyebabnya. Ide tentang substansi ini adalah “sesuatu yang kita tahu bukan apa” (Locke, 1999) menunjukkan ukuran validitas pengetahuan yang kita miliki. Jadi validitas pengetahuan yang kita miliki diukur dengan kata “sesuatu yang memang benar kita tahu”. Ukuran sejauh mana pengetahuan kita dan sevalid apa pengetahuan tersebut tergantung atas bagaimana ide-ide yang kita miliki tersebut saling berhubungan. Locke kemudian mendefinisikan pengetahuan sebagai “persepsi dari hubungan, persesuaian, ketidak sesuaian antar ide kita yang saling berhubungan”.

Ada tiga bentuk persepsi atau jenis pengetahuan yang kita miliki (Locke, ibid:520-529). Pertama, pengetahuan intuitif, yakni pengetahuan yang paling cepat kita dapat yang paling jelas tanpa mengandung keraguan sedikitpun. Contohnya tatkala kita tahu bahwa angka 6 bukanlah angka 8, bentuk persegi panjang pastilah tidak bulat. Dari intuisi ini kita tahu bahwa kita sendiri adalah sesuatu yang maujud. Kedua, Pengetahuan Demonstratif, yang terjadi tatkala kita berusaha untuk melakukan persesuaian ataupun ketidaksesuaian antar ide-ide dengan melakukan pertimbangan melalui ide lain. Idealnya, setiap tahap dari pengetahuan demonstratif haruslah mempunyai keyakinan intuitif dan karena manusia memperoleh pengetahuannya dari kepastian intuitif maka sesuatu yang kosong tidak akan mungkin bisa menciptakan sesuatu, maka disinilah Tuhan pastilah ada. Ketiga, pengetahuan sensitif, pengetahuan ini tidak memberi kepastian sesuatu terhadap diri kita. Kita bisa melihat manusia lain, dan kita yakin bahwa manusia tersebut benar-benar maujud. Namun tatkala dia pergi, apakah kita masih yakin manusia tersebut masih ada atau tidak. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pengetahuan intuitif membuat kita yakin bahwa kita benar-benar maujud, pengetahuan demonstratif menunjukkan bahwa Tuhan memang ada, sedangkan pengetahuan sensitif membuat kita yakin bahwa sesuatu yang lain memang maujud hanya tatkala kita bisa merasakan kehadiran mereka dan dapat dijadikan pengalaman.

Ilmu pengetahuan bagi Locke ada tiga macam, yaitu (Locke, 1999:717-718): pertama, fisika, pengetahuan tentang sesuatu (things), hukumnya, kelengkapannya dan cara beroperasinya. Disini tidak hanya tergantung pada materi dan tubuh, namun juga sesuatu yang bersifat ruhani yang mencakup asalnya, hukumnya dan cara beroperasinya. Aksiologi dari ilmu ini adalah kebenaran spekulatif. Kedua, praktika/praktike, yaitu kemampuan kita untuk menerapkan kekuatan dan aksi kita untuk mencapai sesuatu yang baik dan bermanfaat. Yang menjadi pertimbangan dari ilmu ini adalah etika. Aksiologi ilmu ini adalah bukan pengetahuan tentang  kebenaran namun kebaikan. Ketiga, Semiotika/Semeiotike, ajaran tentang tanda, biasanya yang dibahas adalah kata bisa juga disebut dengan logike, logika yakni yang berkaitan dengan asal mula tanda, dipakai untuk memahami sesuatu, atau menyebarkna pengetahuan terhadap orang lain. Dalam hal ini, untuk menjelaskan sesuatu, kita membutuhkan representasi yakni tanda. Maka tanda menjadi amat penting bagi tersebarnya ide-ide kita. Kata menjadi tanda terpenting karena merupakan instrumen pengetahuan yang paling baik. Pemakaian tanda yang tepat akan membuat pengetahuan menjadi teratur dan jelas. Membuatnya bisa dibedakan antara satu dengan yang lainnya.

Teori Moral dan Politik
Karena Locke tidak percaya adanya prinsip bawaan (innate principles) maka dia tidak percaya akan definisi bahwa manusia mempunyai karakter bawaan. Karakter manusia bagi dia adalah sesuatu yang harus dibentuk dan dilatih dengan pengalaman inderawi. Moral merupakan bagian dari pengetahuan demonstratif. Kata kunci dalam etika adalah “baik”, dan bisa dipahami dengan jelas. Hampir setiap orang paham dengan apa yang dimaksud dengan apa yang disebut dengan “baik”. “sesuatu bisa dianggap baik atau buruk apabila bisa mendatangkan kenikmatan ataupun kesengsaraan, sesuatu dianggap baik apabila membawa kepada kenikmatan dan dianggap buruk apabila menyebabkan kesengsaraan”. Jadi, moralitas diukur dengan pemilihan kita terhadap sesuatu yang baik tersebut (Stumpf dan Fieser, 2002:258).

Dengan memakai nalar, kita bisa mengenali bahwa aturan moral yang kita buat tidak menabrak hukum Tuhan atau sesuai dengan hukum Tuhan. Hukum bagi Locke ada tiga macam. Pertama, Hukum opini (law of opinion),  merupakan representasi dari penilaian dan kesepakatan komunitas untuk menentukan hal apa saja yang dianggap bisa menuntun manusia terhadap kebahagiaan dan dijadikan sebagai tolak ukur sebagai sesuatu yang “baik”. Kesepakatan tersebut disebut dengan virtue, walaupun pastinya beda komunitas pasti akan berbeda bagaimana menentukan isi dari virtue tersebut. Kedua, hukum sipil (civil law) yang dibentuk oleh negara dan ditegakkan oleh pengadilan. Hukum inilah yang harus diutamakan. Ketiga, hukum Tuhan (divine law), yang merupakan aturan yang sebenarnya bagi tingkah laku manusia. Locke menyatakan “bahwa Tuhan telah memberi aturan bagaimana seharusnya manusia mengatur dirinya maka tidak ada alasan untuk menolak”. Hal ini merupakan batu sandungan bagi lurusnya moralitas. Dia memprediksi bahwa law of opinion dan civil law akan mengikuti divine law (ibid., Webb 1857). Kalau kita amati, tampaknya ajaran moral Locke ini ambigu. Pada satu sisi dia menyatakan bahwa sesuatu yang baik itu ukurannya adalah hal yang bisa mendatangkan kenikmatan dan harus sesuai dengan hukum Tuhan berdasarkan pertimbangan nalar kita, namun disisi lain dia menyatakan bahwa divine law hanya akan menjadi “touchstone” batu sandungan bagi tegaknya moralitas yang bergantung pada kenikmatan “touchstone of moral rectitude”.

The State of nature and The State of War, teori the state of nature yang diungkapkan oleh Locke ini adalah untuk menunjukkan keadaan mula umat manusia. Opini ini dikatakan untuk menyerang opini Thomas Hobbes (Stumpf dan Fieser, 2002:259) yang pada saat terjadinya glorious revolution (revolusi yang dilakukan oleh kelas menengah Inggris yang isinya anggota parlemen melawan kekuasaan monarki, terjadi tahun 1688 (Budi Hardiman, 2011:64)) amat mendukung kerajaan, opini Hobbes tentang diharuskannya negara untuk bersifat totaliter adalah untuk menciptakan stabilitas kekuasaan monarki. Namun ada juga yang menyatakan bahwa sebenarnya opini Locke ini untuk menyerang Sir Robert Filmer, seorang yang dikenal sangat loyal terhadap kerajaan pada masa Locke hidup. Filmer adalah orang yang tidak setuju pada Locke tentang tidak adanya Arbitrary Power (kekuasaan asali) yang harus dimiliki negara untuk mengendalikan rakyat (Pollock, 1903:2).

Bagi Locke, state of nature atau keadaan awal umat manusia adalah manusia hidup bersama tanpa ada kekuatan yang superior, semuanya berposisi sama dan setara, tidak ada seorangpun yang membahayakan hidup, kesehatan, kebebasan dan kepemilikan orang lain. Semunya menjaga diri dan memenuhi kebutuhan masing-masing. Penjagaan atas diri sendiri tersebut merupakan hukum moralitas namun bukan sekedar hukum moralitas yang egoistik. Semua orang saling menghormati karena masing-masing sadar bahwa mereka adalah makhluk Tuhan (Locke, 1823:106-107). Hal ini amat berbeda dengan Hobbes yang menyatakan bahwa masing-masing manusia saling menyerang “war of all against all”.

 Sedangkan yang dimaksud dengan the state of the war adalah negara yang dipenuhi dengan kekacauan dan permusuhan. Hal ini disebabkan adanya manusia satu ingin menguasai manusia lain. Dia ingin menjadi penguasa yang absolut dan merampas hak milik orang lain. Dia menciptakan perang supaya orang-orang yang memusuhinya kalah dan akhirnya dia jadikan sebagai budak. Kekuasaan absolut yang didapatkannya adalah untuk memenuhi kerakusannya (ibid., hal. 112). Bagi Locke, inilah yang harus dicegah karena akan merampas hak atas kepemilikan dan kehormatan individu.

Locke berpendapat bahwa manusia yang dilahirkan didunia ini berhak untuk mempunyai kepemilikan pribadi dan menjaga dirinya. Setiap manusia juga berhak untuk makan dan minum. Tidak ada yang boleh kelaparan. Manusia tidak boleh diperbudak oleh manusia lainnya, dan dia tidak boleh dibawah ikatan hukum yang menindasnya. Namun tatkala seseorang bekerja bagi orang lain, maka dia bisa menjadi milik orang yang mempekerjakannya karena orang yang mempekerjakannya itu memberinya hak. Konsekuensi logisnya adalah segala hal yang diproduksi oleh pekerjanya tersebut akan menjadi miliknya. Hak milik pribadi tersebut mendahului hukum sipil (civil law). Setiap manusia juga berhak menerima warisan dari saudara ataupun orang tuanya. (ibid., 114-116).

Untuk melindungi hak kepemilikan pribadi itulah maka perlu dibentuk suatu pemerintahan yang dia sebut dengan commonwealth, jadi manusia memerlukan negara adalah sekedar untuk terjaminnya hak milik pribadinya. Negara tersebut haruslah berdasarkan hukum, hukum yang dibuat dan ditegakkan oleh masyarakat. Hukum tersebut haruslah sesuai dengan state of nature dan disetujui oleh mayoritas. Maka dari itulah pemerintahan monarki absolut bukanlah bentuk pemerintahan sipil. Ada beberapa macam bentuk pemerintahan, yaitu apabila hukum diserahkan penegakannya kepada banyak orang yang mewakili komunitas disebut dengan demokrasi sempurna, namun apabila diserahkan kepada beberapa orang saja dan diwariskan kepada anak turunnya disebut dengan oligarki. Apabila ditangan satu orang disebut dengan monarki, dan apabila kekuasaan satu orang tersebut diwariskan kepada anak turunnya disebut dengan hereditary monarchy (monarki warisan). Namun jika penerusnya dipilih lewat pemilihan maka disebut dengan elective monarchy (monarki elektif). Bagaimanapun juga, negara yang ideal menurut Locke adalah yang menggunakan sistem Commonwealth, yang dimaksudkan adalah bukan demokrasi ataupun sistem kenegaraan yang lain. Namun adalah komunitas independen yang oleh orang latin disebut dengan civitas. Locke mengatakan “saya memilih kata commonwealth (persemakmuran) daripada community (komunitas) yang bisa berarti subordinate dari sebuah pemerintah lain ataupun city (kota). Untuk menghindari ambiguitas” (ibid., hal. 162). Meskipun komunitas tersebut independen, kita masih butuh kekuatan tertinggi (supreme power) yang diwakili oleh legislatif yang mana komunitas independen tersebut tersubordinasi disini (ibid., hal. 169).

Untuk menjalankan sebuah negara, maka pemerintah haruslah diberi kedaulatan (sovereignity). Tidak seperti Hobbes yang mengkonsepsikan adanya kedaultan absolut pemerintah, Locke berpendapat sebaliknya. Dalam menjalankan roda pemerintahan perlu dilakukan pembagian kekuasaan (division of power) yaitu antara eksekutif, legislatif,  dan federatif. Legislatif berfungsi untuk memastikan bahwa hak milik pribadi yang dimiliki oleh masyarakat benar-benar dijamin. Sedangkan eksekutif yang berfungsi sebagai pelaksana atau admin dari hukum yang telah dibuat dan disepakati, yaitu untuk menjalankan pemerintahan sehingga eksekutif berada dibawah kekuasaan payung hukum under the law. Adapun federatif mempunyai fungsi untuk melakukan hubungan luar negeri, mencari aliansi luar negeri serta menyatakan damai atau perang terhadap negara lain. Dalam teori Locke tidak mengenal adanya kekuasaan Yudikatif (kehakiman) (ibid., hal. 167-168).
 _________________________________


Daftar Pustaka
Budi Hardiman, Fransisco. 2011. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk Dunia Modern (Dari Machiavelli sampai Nietzsche). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Chomsky, Noam. 1965. Aspects of the Theory of Syntax. Massachusetts: MIT Press.
Locke, John. 1823. Two treatises of Government. London: McMaster University Archive of the History of EconomicThought.
_____, John. 1911. The Conduct of the Understanding. Dublin: W.Wilson.
_____, John. 1999. An Essay Concerning Human Understanding by John Locke. Electronic     edition. Pennsylvania: the Pennsylvania State University.
Pollock, Frederick. 1904. Locke’y Theory of State. London: the British Academy.
Stumpf, Samuel Enoch and Fieser, James. 2002. Philosophy; History and Problem. Sixth edition. New York: McGraw-Hill Higher Education.
Webb, Thomas E. 1857. The Intelectulaism of Locke: An Essay. London: Longman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar