Selasa, 03 November 2015

Studi Hadist 1



Rekonstruksi Definisi Sunnah

Sebagai Pijakan Kontekstualitas

Pemahaman Hadits





Ansari
Jurusan Al Ahwal Asyah Siyah

Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang



Pendahuuan

Permasalahan-permasalahan yang ada sekarang ini tentunya berbeda dengan permasalahan pada masa dulu. Oleh karena itu problem-problem baru sekarang tentunya membutuhkan metode dan konsep yang baru juga, yang tidak dapat diselesaikan dengan sebagian seperangkat metode klasik. Hal ini, diperkuat oleh pernyataan Amin Abdullah yang mengatakan bahwa perubahan situasi social politik, budaya, ilmu pengetahuan dan revolusi informasi turut memberi andil dalam usaha memaknai kembali teks-teks keagamaan.
Pada abad ke-2 dan ke-3 hijriyah keberadaan sahabat, tabi’in dan tabi’ al tabi’in yang mengerti secara persis bagaimana cara hidup dan perilaku Nabi amatlah langka, serta banyaknya hadits palsu yang muncul, mendorong generasi-generasi intelektual pada masa itu untuk membuat teori, konsep dan metode guna menyeleksi hadits-hadits yang dapat dipastikan dari Nabi dan yang bukan dari Nabi. Proses ini yang sering kali diabaikan oleh sebagian umat islam. Kenyataan ini dibuktikan dengan pernyataan sebagian tokoh intelektual muslim yang melarang adanya kritik terhadap hadits-hadits yang sudah dibukukan pada masa kodifikasi.
Fazlurrahman mengemukakan sebuah teori perkembangan hadits. Dalam perkembangannya, hadits mengalami tiga fase, informal, semiformal dan formal. Sunnah pada fase informal terjadi pada masa Nabi masih hidup, pembicaraan perihal Nabi hanyalah bagian dari peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari para sahabat. Proses periwayatan (transmisi verbal) tentang Nabi bukanlah suatu kesengajaan untuk sebuah orientasi praktis.
Fase semiformal terjadi setalah Nabi wafat, tepatnya pada masa sahabat dan tabi’in senior. Pada fase ini, penyebaran hadits Nabi mempunyai tujuan praktis, yakni sesuatu yang dapat dikembangkan menjadi praktek masyarakat muslim, peyebaran hadits menjadi sebuah kesengajaan. Dampak dari perkembangan hadits secara semiformal adalah munculnya perbedaan praktek yang aktual di berbagai daerah dalam imperium islam, bahkan terkadang saling bertentangan.
Fase formal. Fase ini menuntut adanya keseragaman dan standarisasi di seluruh Dunia Islam. Gerakan ini, dipelopori oleh al Syafi’i yang mempunyai tujuan menjaga stabilitas hukum dan menumbangkan hadits-hadits palsu yang pada waktu itu merajalela. Melalui kajian ini diharapkan pemahaman terhadap hadits Nabi yang kaku, baku dan tekstual kembali semula menjadi sunnah yang luwes, lentur, dan kontekstual, dengan begitu baik hadits maupun sunnah akan selalu eksis dan shalih li kulli zaman wa makan.

Hadits dan Sunnah dalam Perspektif Pemikir Klasik-Kontemporer
a.      Definisi Hadits.
Kata ‘hadits’ disebutkan dalam al Quran sebanyak 28 kali dengan rincian 23 kali dalam bentuk mufrad dan 5 kali dalam bentuk jama’. Kata ‘hadits’ dalam al Quran maupun kitab-kitab hadits secara literal mempunyai beberapa arti:
a.       Komunikasi religius, pesan atau al Quran. Sebagaimana yang tercantum dalam surat al Zumar ayat 23.
b.      Cerita duniawi atau kejadian alam yang wajar, sebagaimana yang tercantum dalam surat al An’am ayat 68.
c.       Cerita sejarah, sebagaimana yang tercantum dalam surat Taha ayat 9.
d.      Rahasia, percakapan atau cerita yang masih hangat, sebagaimana yang tercantum dalam surat al Tahrim ayat 3.
Dari keempat makna yang telah dikemukakan tadi, semuanya terangkum dalam pengertian cerita dan percakapan. Ignaz Goldziher mengatakan bahwa hadits secara literal mempunyai makna lebih dari satu, yaitu tale (kisah atau cerita), communication (berita atau kabar), historical information (informasi sejarah), baik bersifat sekuler (duniawi) maupun religious (keagamaan), baik berhubungan dengan peristiwa yang sudah lampau maupun yang baru saja terjadi.
Hadits mempunyai makna segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan serta sifat-sifat fisik dan suri tauladan Nabi. Istilah sunnah. Berdasarkan definisi tersebut, bentuk-bentuk hadits dapat dibedakan menjadi empat :
a.    sabda,
b.   perbuatan,
c.    taqrir,
d.   hal ihwal Nabi, yaitu segala sifat dan keadaan beliau.

Menurut Nuruddin ‘Itr, definisi tersebut masih dirasa kurang sempurna, karena dalam kitab-kitab hadits banyak dijumpai perkataan-perkataan yang tidak bersumber dari Nabi, melainkan dari sahabat dan tabi’in.
Hadits sering juga disinonimkan dengan khabar dan atsar. Al Shahrawy mengatakan bahwa sebagian ulama masih menganggap hadits sama dengan khabar sebagai apa saja yang disandarkan kepada Nabi atau selain Nabi. Sementara itu, ada sebagian kelompok ulama yang menyatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang disandarkan kepada selain Nabi. Dari sini, dapat dibedakan antara orang yang menekuni hadits dan khabar. Orang yang mendalami bidang hadits disebut sebagai muhaddith, sedangkan yang menekuni bidang sejarah atau sejenisnya disebut akhbari.
Maka dari itu setiap haditsadalah khabar, dan tidak setiap khabar adalah hadits. ‘Ajaj al Khatib menjelaskan bahwa atsar merupakan sinonim khabar, yakni segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi, sahabat dan tabi’in. Tetapi menurut Fuqaha Khurasan, khabar adalah sinonim hadits, sedangkan atsar hanya terbatas pada perkataan sahabat.

b.      Definisi Sunnah.
Sunnah secara bahasa mempunyai beragam arti, yaitu mengalir atau berlalunya sesuatu dengan mudah, jalan, tradisi, praktek yang diikuti, arah, model perilaku, ketentuan dan juga dapat diartikan sebagai jalan tengah. Ketika Abu Hanifah menulis surat kepada ‘Uthman al Batti, yang di dalamnya berisi keterangan mengenai pendapatnya tentang seorang muslim yang melakukan dosa, sekaligus bantahan atas pandangan kaum Khawarij tentang orang yang berbuat dosa.
Al Quran menggunakan istilah sunnah untuk beberapa konteks, yang secara garis besar berkenaan dengan dua hal.
a.       ketetapan orang-orang terdahulu (sunnah al awwalin), yang dimaksud dalam konteks ini adalah kejadian-kejadian yang menimpa mereka akibat dari perbuatan yang telah mereka lakukan.
b.      ketetapan Allah (sunnatullah) yang dimaksud disini adalah cara atau aturan Allah yang berlaku bagi semua hambanya.
Mustafa Azami yang mengatakan bahwa dalam kitab-kitab hadits, kata sunnah disebutkan tidak kurang dari sepuluh redaksi hadits yang selalu berarti tata cara dan tingkah laku hidup yang menjadi anutan.
Ulama ahli hadits mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi, berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, karakteristik fisik dan etik, atau sejarah, baik sebelum kenabian seperti khalwat Nabi di Gua Hira’. Sedangkan ulama ahli usul atau ushuliyyun, memberikan pengertian sunnah sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi selain al Quran, berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang menghasilkan dalil bagi hukum syariat. Di sisi lain, ulama ahli fiqh mengartikan sunnah sebagai segala sesuatu yang telah ditetapkan Nabi, yang tidak termasuk kategori fardhu atau wajib (Khatib, 1989: 19).

Terjadinya perbedaan pandangan ulama dalam memaknai sunnah, dipengaruhi oleh perbedaan sudut pandang mereka dalam memahami kedudukan Nabi Muhammad SAW. Ulama muhadditsun memandang Nabi sebagai sosok pemimpin dan pemberi teladan yang baik, sehingga wajar bila mereka mengambil apa saja yang berkaitan dengan Nabi. Sedangkan ulama ushuliyyunmemandang Nabi sebagai sosok legislator syariah yang menetapkan dasar-dasar hukum bagi mujtahid sesudah beliau dan yang menjelaskan kaidah-kaidah hidup untuk manusia. Sehingga wajar bila ulama ushuliyyun hanya memperhatikan sabda, perilaku dan persetujuan Nabi dalam konteks legislasi hukum dan pengukuhannya.

Keterkaitan Makna Hadits dan Sunnah
Dalam pembahasan sebelumnya, sebagian ulama berpendapat bahwa antara hadits dan sunnah mempunyai makna yang sama. Tetapi penelusuran terhadap literatur-literatur klasik akan menghasilkan temuan bahwa antara hadits dan sunnah mempunyai makna dan penggunaan yang berbeda. Diantara mereka ada yang menjadi pakar dalam sunnah, tetapi tidak dalam hadits. Dan diantara mereka ada yang pakar di bidang hadits, tetapi tidak dalam sunnah.
Abu Yusuf dalam salah satu statemenya mendesak agar mengikuti hadits yang memiliki kesesuaian dengan al Quran dan sunnah. Ahmad ibnu Hanbal pernah mengatakan: “dalam hadits ini terdapat lima sunnah”. Demikian juga ‘Aisyah ketika mengomentari hadits tentang Barirah, beliau mengatakan: “dalam masalah Barirah terdapat tiga sunnah (Hasan, 1994: 87). Subhi Saleh menulis bahwa ulama’ hadits terkadang mengatakan: “hadits ini menyalahi qiyas, sunnah dan ijma’”. Dalam kaitan ini, terdapat sebuah kitab yang berjudul al Sunnah bi Shawahid al Hadits, yang mengupas tentang sunnah yang di dukung oleh hadits.
Menurut Hasbi, hadits adalah segala sesuatu yang diceritakan oleh Nabi, sedangkan sunnah adalah sesuatu yang telah biasa dilakukan oleh kaum muslimin sejak dahulu, baik diceritakan ataupun tidak sedangkan hadits adalah hukum-hukum yang tetap dan pasti yang diucapkan oleh Nabi.
Adapun sunnah merupakan amaliyah yang terus menerus dilaksanakan Nabi beserta sahabatnya, setelah itu dilakukan dan dilestarikan secara terus menerus oleh generasi berikutnya. Sebagai konsekwensinya, sunnah mempunyai satu tingkat lebih tinggi daripada hadits dari segi kekuatan hukumnya. Dengan dasar inilah mayoritas ahli hadits menganggap tidak ada perbedaan antara hadits dan sunnah.
Fazlur Rahman mendefinisikan hadits sebagai tradisi verbal, sedangkan sunnah sebagai tradisi praktikal Dengan kata lain hadits merupakan bentuk verbal dari sebuah tradisi praktikal Nabi, sahabat dan juga tabi’in. Satu-satunya karakteristik yang sama antar keduanya adalah kedua pengetahuan tersebut berakar pada tradisi.

Perkembangan dan Evolusi Sunnah
a.      Perkembangan Makna Sunnah.
Setelah Islam datang, sunnah digunakan untuk menyebut segala sesuatu yang bersumber dari perilaku-perilaku Nabi dan sahabat, juga idealitas sunnah orang Arab pra Islam berakhir. Oleh Imam Syafi’i, sunnah hanya diartikan dan dibatasi pada sunnah Rasul.
Gagasan Goldziher tersebut ditentang oleh Azami. Menurut Azami, umat muslim mentaati dan meneladani perilaku Nabi, dikarenakan mengikuti perintah Allah dan juga rasulnya, dan bukan seperti halnya orang Arab yang menyembah berhala mentaati tradisi nenek moyangnya. Maka dari itu ada pemisah antara sunnah masyarakat jahiliyyah dengan sunnah masyarakat Islam, yaitu perintah Allah dan perintah Rasulnya.

b.      Perkembangan Makna Hadits
Pada akhirnya hadits secara eksklusif digunakan untuk menunjukkan cerita-cerita tentang Nabi Muhammad saw, hadits mengalami perubahan dan penyempitan arti dari konteks umumnya menjadi khusus digunakan untuk perkataan yang bersumber dari Nabi. Terjadinya pergeseran makna hadits ini menurut Azami disebabkan pada masa permulaan kemunculan Islam. Sampai pada akhirnya, seiring dengan berjalannya waktu, perkataan hadits menjadi khusus digunakan untuk segala informasi dan komunikasi yang datang dari Nabi.
c.       Evolusi Sunnah ke Hadits/Hadits ke Sunnah
Meskipun ada sebagian ulama yang menegaskan tidak adanya perbedaan antara keduanya. Sunnah merupakan sebuah bentuk perilaku yang bersifat situasional. Karena dalam prakteknya tidak ada dua buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya, secara moral, psikologis dan material. Maka dari itu sunnah harus dapat dikembangkan, diinterpretasikan, dan diadaptasikan. Dalam hal ini sunnah dengan sendirinya secara terus menerus mengalami evolusi dari generasi ke geneasi.
Gagasan mereka ini berseberangan dengan Jaladuddin Rahmat, ia mengatakan bahwa yang beredar pertama kali di kalangan kaum muslimin adalah hadits, bukan sunnah sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Fazlurrahman dan Ignaz. Asumsi ini didasari oleh data historis bahwa ada sahabat yang menghafal dan menulis ucapan Nabi, hadits sudah ada sejak masa Nabi hidup.
Kedua model pemikiran diatas, sebenarnya bisa di kompromikan. Karena pada kenyataannya tradisi hadits dan sunnah terjadi secara bersamaan. Dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Abu Hurairah, Nabi pernah memerintahkan salah satu sahabat untuk menuliskan khutbah yang baru saja disampaikannya, atas permohonan dari Abu Syah Kebutuhan terhadap formulasi sunnah Nabi, termasuk ‘sunnah yang hidup’ ke dalam bentuk hadits menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mendasar. Karena dalam jangka panjang struktur ideology-religious masyarakat muslim akan terancam kekacaun tak berujung jika tidak ada pangkal rujukan yang otoritatif. Pada tahap ini muncullah gerakan baru yang dipelopori oleh Imam Syafi’i yang menyebarkan dogma bahwa sunnah yang harus dipegang adalah sunnah yang berasal dari Nabi. Yakni sunnah yang memiliki keabsahan sebagai sumber hukum islam adalah sunnah yang dapat dibuktikan berasal dari Nabi melalui mekanisme transmisi verbal (hadits). konsekwensinya adalah sunnah dalam bentuknya sebagai laporan dan cerita tentang generasi terdahulu harus dilakukan dengan penyaringan, mana yang berasal dari Nabi dan mana yang hanya diklaim berasal dari Nabi.

Simpulan
Hadits yang disebut Fazlurrahman sebagai tradisi verbal sudah ada sejak masa Nabi. Demikian juga sunnah, tetap dilestarikan dan dijaga oleh generasi-generasi sesudah Nabi wafat. Kebutuhan terhadap formulasi sunnah Nabi, termasuk ‘sunnah yang hidup’ ke dalam bentuk hadits menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mendasar. Karena dalam jangka panjang struktur ideology-religious masyarakat muslim akan terancam kekacaun tak berujung jika tidak ada pangkal rujukan yang otoritatif. Dengan mengacu pada pemahaman bahwa hadits merupakan sunnah yang diverbalkan, menurut penulis akan menjadikan hadits atau sunnah selalu relevan dengan konteks zaman, dengan begitu, pemahaman yang anti humanisme, bias dan ekstreme dapat dihindari.


Daftar Pustaka

Abbas,  Hasyim.  2004. Kritik Matan Hadits Versi Muhaddisin dan Fuqaha

Yogyakarta: Teras.

Abdullah, Amin. 2000. Kajian Ilmu Kalam di IAIN: Menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan Keislaman pada Era Milenium Ketiga”, dalam

Jurnal Al Jami’ah: Journal of Islamic Studies IAIN SUKA. Nomor 65/VI

Abdullah, Amin. 2012. Islamic Studies di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Al Asfahani, Al Raghib. tt. Mu’jam Mufradat al Faz al Quran. Libanon: Dar al Fikr.

Al Sarakshy, Muhammad ibn Ahmad Abi Sahl. 1372 H. Ushul al Sarakshy. Heiderabad: Ihya’ al Ma’arif al Nu’maniyyah.

Al Shahrawi, Ibrahim Dasuqi, 1971. Mushthalah al Hadits: Shirkat al Thaba’at al Fanniyyat al Muttahidah.

Al Siba’i, Musthafa. 1994. al Sunnah wa Makanatuha fi al Tashri’ al Islami. Kairo: Dar al Qawmiyyat li al Thaba’ah wa al Nashr.

Al Siddiqie, M Hasbi. 1991. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta: Bulan bintang
Amal, Taufik Adnan. 1989. Islam dan Tantangan Modernis: Studi Atas Pemikiran Fazlur Rahman. Bandung: Mizan.

Azami, Muhammad Mustafa. 1977. Studies in Hadits Methodology and Literature. Indianapolish: Islamis Teaching Center.

Azami, Muhammad Musthafa, 1994. Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Ya’kub, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Baqi, Muhammad Fuad. 1992. ‘Abdul al Mu’jam al Mufahras li al Faz al Quran.

Libanon: Daar al Fikr.

Al Fairuzzabadi. 1983. Majdu al Din Muhammad Ibnu Ya’qub. Al Qamus al Muhith Bairut: Dar al Fikr.

Goldziher, Ignaz. 1971. Muslim Studies. London: George Allen & Unwin.

HAM, Musahadi, 2000. Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya Pada Perkembangan Hukum Islam. Semarang: Aneka Ilmu.

Hasan, Ahmad,
1994. The Early Development of Islamic Jurisprudence. India:
Adam Publisher & distribution.
Ibnu al Mandhur,
Jamal al Din. Tt. Lisan al Arab. Mesir: Dar al Misriyyah.

Ibrahim, Muhammad Ismail. Tt. Mu’jam al Alfaz wa al A’lam al Quraniyyah. Kairo: Dar al Fikr.

‘Itr, Nur al Din. 1992. Manhaj al Naqd fi ‘Ulum al Hadits. Damaskus: Dar al Fikr.

Ismail, Syuhudi. 1994 Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Agkasa.

Ismail, Syuhudi. 1988.  Kaedah Kesahehan Sanad Hadits. Jakarta:  Bulan

Bintang.

Khatib, Muhammad ‘Ajaj. 1989. Ushul al Hadits. Bairut: Dar al Fikr.

Mahmudunnaser. 1981. Islam It’s Concept and Historiy. New Delhi: Nusrat ‘Ali Nasri.
Hukum Islam, Kata Pengantar dalam Muhammad Ibnuu Idris al Syafi’i, al Risalah Imam Syafi’I, Terjemahan oleh: AhmdieThoha. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Al Qadir, ‘Ali Hasan ‘Abd. 1942.  Nazharat al ‘Ammah fi Tarikh al Islamy.

Kairo: Ulum Pres.

Rahman, Fazlur. 1965. Islamic Methodology in History. Karachi: Central Institute of Islamic Studies.

Rahman, Fazlur. 1987. Islam, Terjemahan oleh: Senoaji Saleh. Jakarta: Bumi Aksara.

Rahmat, Jalaluddin. 1995. Dari Sunnah Ke Hadits Atau Sebaliknya, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.

Al Razi, ‘Abd al Rahman Ibnu Abi Hatim. Tt. Taqaddumat al Ma’rufah li Kitab al Jarh wa al Ta’dil. Hyderabat: Dairah al Ma’arif al ‘Uthmaniyyah, t, tp.

Shalih, Subhi Shalih. 1989. ‘Ulum al Haadith wa Musthalahuh. Bairut: Dar al ‘Ilmi li al Malayin.

Sabbaq, Muhammad. 1972. Al Hadits al Nabawy. Al Maktab al Islamy.

Schacht,  Yoseph. 1959. The Origin of Muhammaden Jurisprudence. London:

Oxford


























Tidak ada komentar:

Posting Komentar