Jumat, 13 November 2015

Substansi Hukum Islam dalam Pemerintahan




(Oleh Ansari, S.H.I)

Memperhatikan substansi hukum dalam konteks Qur’an, maka hukum sebenarnya adalah ketetapan, keputusan, perintah, kebijakan dan pemerintahan. Allah dan Rasul menetapkan sesuatu sebagai keputusan dan perintah yang harus dijadikan pegangan dalam
mengambil kebijakan dalam hidup dan menjalankan pemerintahan. Sebagiannya merupakan ketetapan langsung dari Allah dan sebagian lagi merupakan ketetapan yang keluar dari kebijakan manusia berdasarkan rasa keadilan yang ditanamkan Allah dalam dirinya.
Ayat-ayat Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad s.a.w. berbicara tentang kebenaran, keadilan, kejujuran, kebaikan, ketaqwaan, ketulusan, balasan baik, kompensasi, permusyawaratan dan berbagai norma baik yang mesti ditegakkan. Teks-teks yang sama juga berbicara tentang norma-norma buruk seperti kebatilan, kezaliman, kebohongan, keburukan, kefasiqan, balasan jahat, ketimpangan dan lain-lain yang mesti dihindari. Sebuah ayat yang mencakup kedua jenis norma ini sering dibaca oleh khatib Jum‘at di akhir khutbahnya: "Allah sesungguhnya memerintahkan berbuat keadilan, berlaku ihsan dan memberi kepada karib kerabat serta melarang dari perbuatan keji, mungkar dan kebangkangan. Ia memberi pelajaran kepada kalian semoga kalian ingat." 

[إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ] (an-Nahl 90)

Norma-norma itu juga disebut suruhan dan larangan. Sebagai norma, maka suruhan dan larangan tersebut sangat tergantung kepada ketaatan individu. Ketaatan adalah inti agama. Agama itu sendiri (ad-dîn) pada dasarnya berarti ketundukan dan ketaatan. Ketaatan kepada agama bersifat mutlak. Bila bukan demikian, maka keyakinan keagamaan seseorang patut dipertanyakan. Nabi bersabda: "Demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, seseorang dari kalian tidak dapat dikatakan beriman sampai hawa nafsunya tunduk mengikuti apa yang aku bawa." 

 [وَ الَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنُ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جئْتُ بِهِ]. 

Orang yang tidak yakin dengan kebenaran agamanya tidak dapat diharapkan menjadi penganut agama yang taat. Dengan demikian, norma yang berasal dari agama berperan untuk mendatangkan ketaatan individu.
Ketaatan bersifat individualistik. Ia adalah suatu yang khas dalam diri manusia yang dapat berbeda dari orang ke orang. Atas dasar ini, maka tingkat kepatuhan seorang anak terhadap aturan dalam suatu rumah tangga dapat berbeda dari anak yang lain dalam keluarga yang sama. Prinsip ini juga terlihat dalam kehidupan bermasyarakat. Kita menemukan orang yang taat kepada norma masyarakat dan orang yang tidak taat kepada norma tersebut. Allah berfirman: "Orang yang taat kepada Allah dan Rasul, maka mereka bersama orang-orang yang mendapat nikmat dari Allah dari kalangan para nabi, orang jujur, syahid dan saleh. Mereka didampingi dengan baik.

" [وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

"Orang yang kafir, maka kekafiran itu menjadi tanggungjawabnya, dan orang yang melakukan perbuatan baik, maka mereka membentangkannya untuk diri mereka sendiri." (ar-Rum 44) 

[مَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلأَنْفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ] (an-Nisa’ 69).

Sebenarnya, selama menyangkut masalah pribadi dan tidak berhubungan dengan kepentingan orang lain, ketaatan dan ketidaktaatan itu tidak menjadi persolan. Patuh atau tidak patuh adalah urusannya sendiri dan untuk kepentingannya sendiri. "Katakanlah! Kebenaran itu dari Tuhan kalian. Barangsiapa yang mau, ia dapat beriman, dan barangsiapa yang mau, ia dapat menjadi kafir."

 [وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ] (al-Kahf 29). 

Persoalan muncul ketika sikap pribadi tertentu mengancam kepentingan individu yang lain atau masyarakat secara umum. Bila menyangkut kepentingan banyak orang, maka ketaatan dan ketidaktaatan itu memasuki wilayah hukum. Hal itu karena inti hukum adalah mengatur kehidupan bersama sehingga tidak terjadi konflik kepentingan dan kehidupan bermasyarakat dapat dilalui dengan tenang dan damai.
Berbicara tentang hukum, maka kita berbicara tentang masalah masyarakat dan negara. Di sini ketaatan kepada norma moral dibedakan dari ketaatan kepada norma hukum. Ketaatan kepada norma moral hanya menyangkut hati nurani. Sedangkan ketaatan kepada norma hukum, di samping hati nurani, juga menyangkut balasan duniawi atas perbuatan individu terhadap orang lain. Seseorang yang mematuhi norma hukum mendapat penghormatan dari masyrakat sebagai warga teladan dan orang yang melanggar hukum mendapat hukuman dari masyarakat. Masyarakat di sini dilambangkan oleh negara. Hukuman dapat berbentuk badaniyah seperti mati, penjara, pengasingan dan lain-lain atau berbentuk kebendaan seperti denda, ganti rugi dan lain-lain. Dalam sistem hukum Islam, terdapat dua jenis ganjaran terhadap para pelanggar hukum, yaitu ganjaran yang bersifat definitf dari ketentuan Allah dan Rasul dan ganjaran yang diserahkan kepada masyarakat melalui pemerintah dan badan legislatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ganjaran inilah yang diharapkan dapat mendorong masyarakat patuh kepada hukum. Bila ganjaran ini berjalan, maka berarti hukum berjalan dan bila tidak berjalan, maka hukum tidak berjalan. Masalah bangsa Indonesia pada waktu ini adalah bahwa masyarakat melihat ada hukum tertulis dan tidak tertulis, tetapi para pelanggar hukum tidak mendapat hukuman dari para penegak hukum dalam masyarakat.
Hukum dan negara tidak dapat dipisahkan. Hukum tidak mempunyai arti bila tidak ditegakkan oleh negara dan negara tidak berwibawa bila tidak menegakkan hukum Motor negara adalah pemerintah. Dalam perbendaharaan Islam, kata hukum tidak hanya berarti aturan yang mengatur kehidupan bernegara, tetapi juga kebijakan pemerintah atau pemerintah itu sendiri. Hakim dalam bahasa Arab dapat berarti pemutus perkara di pengadilan (qâdhi, judge) dan dapat juga berarti penguasa negara (wâli, ruler).
Kata hakim yang bermakna ganda ini, pemutus perkara dan penguasa, merupakan ciri Islam zaman awal. Nabi Muhmmad s.a.w. selain sebagai penguasa tertinggi masyarakat muslim juga merupakan hakim yang memutus perkara yang diajukan kepada beliau. Beliau juga merupakan sumber hukum berdasarkan wahyu yang beliau terima dari Allah. Qur’an menegaskan: "Tidak! Demi Tuhanmu! Mereka tidak dapat dikatakan beriman sampai mereka mencari hukum kepadamu (wahai Muhammad) tentang perselisihan yang terjadi di antara mereka, kemudian mereka tidak menemukan keberatan dari apa yang kamu putuskan dan mereka betul-betul menerimanya.

" [فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا] (an-Nisâ’ 65).

Posisi ganda ini juga dipegang oleh para wali (gubernur) beliau di berbagai wilayah di sekitar Semenanjung Arabia. Salah seorang sahabat yang paling terkenal dalam hal ini adalah Mu‘adz bin Jabal yang khusus mewakili Nabi untuk wilayah Yaman. Selanjutnya di zaman khulafa‘ Rasyidin, para khalifah memang mengangkat beberapa hakim pengadilan, tetapi khalifah sebagai penguasa dan hakim masih merupakan ciri umum negara Islam. Setelah zaman khulafa‘ Rasyidin, khususnya setelah pemangku jabatan khalifah tidak lagi orang yang menguasai penuh seluk beluk hukum Islam, maka jabatan hakim tidak lagi dirangkap oleh seorang penguasa negara. Akhirnya kekuasaan kehakiman dalam praktek kenegaraan Islam terpisah dari kekuasaan eksekutif seperti yang juga terjadi dalam sejarah dan sistem hukum yang lain.
Berbicara tentang substansi hukum Islam dalam pemerintahan berarti berbicara tentang penegakan hukum yang berasal dari Allah dan rasa keadilan dalam penyelenggaraan negara, proses peradilan serta pembuatan peraturan perundang-undangan. Bila ummat Islam ingin menjadi penganut agama yang benar, ketiga lembaga modern legislatif, eksekutif dan yudikatif ini harus berjalan menurut hukum dan spirit ajaran Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar