Jumat, 13 November 2015

Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai Hukum Terapan di Peradilan Agama



 
(Oleh Ansari, S.H.I)

Sistem hukum Indonesia mengikuti tradisi hukum yang diwarisi dari Belanda, dan Belanda karena pernah dijajah oleh Perancis mewarisi tradisi civil law, terutama kode Napoleon. Ciri utama cicil law adalah peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi.
Sementara itu, hukum Islam walaupun mempunyai sumber-sumber tertulis pada Qur’an, Sunnah dan pendapat para fuqaha’, pada umumnya tidak terkodifikasi dalam bentuk buku perundang-undangan yang mudah dirujuki. Para hakim sejak zaman Nabi Muhammad tidaklah memutus perkara yang dihadapkan kepada mereka berdasarkan pasal-pasal yang jelas dari kitab undang-undang yang sudah baku, tetapi berdasarkan hukum umum yang disarikan dari tiga sumber tertulis di atas. Karena itu, dari sudut ini, sistem peradilan Islam lebih mirip dengan tradisi common law (hukum umum) yang berlaku di Inggeris dan negara-negara Commonwealth. Bahkan di zaman Raffles, peradilan Islam di Jawa, yaitu peradilan surambi yang mengambil tempat di serambi masjid agung, pernah menggunakan sistem jury, tetapi setelah pemerintahan kembali ke tangan Belanda, sistem jury yang menjadi ciri pengadilan common law ditiadakan.
Selanjutnya dalam alam Indonesia merdeka, kepastian hukum terus ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan lahirnya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, ditetapkan bahwa Organisasi, Administrasi dan Keuangan Pengadilan dilakukan oleh Departemen terkait (untuk Pengadilan Agama adalah Deprtemen Agama), dan pembinaan teknis yudisial oleh Mahkamah Agung. Undang-undang ini baru dapat dilaksanakan oleh Departemen Agama pada tahun 1983 setelah penandatanganan 4 SKB Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama. Selama pembinaan teknis oleh Mahkamah Agung dirasakan segi-segi kelemahan dalam penerapan hukum Islam di Pengadilan Agama, terutama karena beragamnya pendapat tentang suatu masalah dalam fiqh Islam. Dari sini kemudian muncul gagasan untuk membukukan hukum yang diterapkan di Pengadilan Agama dalam bahasa perundang-undangan, yang akhirnya melahirkan tiga buku Kompilasi Hukum Islam.
Hukum Islam sebagai Hukum Yang Hidup di Indonesia
Hukum Islam adalah hukum yang hidup di Indonesia. Seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963 menyatakan bahwa agama ini telah masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijrah atau ketujuh/kedelapan Masehi. Beberapa abad kemudian, Islam telah dianut oleh berbagai suku bangsa di Indonesia,[1] dan sejak masa itu hukum Islam sudah menjadi bagian yang tidak terpisah dari perjalanan hidup sebagian besar bangsa Indonesia.
Hukum adalah bagian terpenting agama Islam. Sebagai bagian dari agama, maka hukum Islam bersifat diyânî. Disebut demikian karena pelaksanaannya sangat tergantung kepada ketaatan individu penganutnya di mana inti agama (dîn) antara lain adalah tunduk dan patuh kepada aturan yang dibawa oleh agama. Hukum Islam sebagai hukum agama mempunyai cakupan yang lebih luas dari hukum dalam pemahaman Barat yang mengaitkan hukum hanya dengan institusi negara. Hukum Islam dalam pengertian Barat (yang sempit ini) di samping bersifat diyâni, juga bersifat qadhâ’î (judicial, berhubungan dengan penegakan sistem peradilan). Disebut qadhâ’î, karena agama (dîn) di samping mengandung pengertian tunduk dan patuh, juga mengandung pengertian balasan (jazâ’) yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Balasan duniawi atas pelanggaran hukum agama ditetapkan oleh pengadilan (qadhâ’) dan balasan akhirat ditetapkan oleh Allah sehingga hari akhirat dalam Qur’an disebut sebagai hari agama (yawm ad-dîn) atau hari pembalasan atas pelanggaran dan kepatuhan kepada hukum Allah di dunia.
Hukum Islam dalam pengertian luas dapat diklasifikasikan kepada tiga kelompok. Pertama sekali adalah hukum yang berhubungan dengan kewajiban thahârah (tentang bersuci dan mandi) dan ibadah-ibadah formal seperti salat, puasa, zakat dan haji (sebagiannya seperti zakat dan haji mempunyai penekaan pada hukum yang bersifat qadhâ’í). Bidang-bidang ini tidak termasuk hukum dalam pemahaman Barat. Kedua adalah hukum yang berhubungan dengan perkawinan seperti pertunangan, pernikahan, perceraian, perwalian, waris dan lain-lain (penekananya pada hukum yang bersifat qadhâ’î). Bagaimanapun kecilnya komunitas muslim, maka hukum Islam dalam bidang yang kedua ini dijalankan dalam komunitas tersebut, baik oleh komunitas sebagai unit terkecil masyarakat, maupun oleh negara. Dalam bahasa perundang-undangan kita, bagian ini disebut perdata khusus. Ketiga adalah hukum yang berhubungan dengan kehidupan publik seperti pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat, kejahatan terhadap diri, harta dan hak-hak asasi manusia, sengketa antara pihak-pihak dalam berbagai hal, pengawasan atas pasar, keadaan perang, hubungan antar negara dan lain-lain (penekanan pada qadhâ’î). Pelaksanaan hukum bidang ketiga ini lebih banyak tergantung kepada kekuatan negara, administrasi pemerintahan dan aparat penegak hukum. Karena itu, ia bersifat qadhâ’í di mana diperlukan lembaga-lembaga di bawah sebuah negara berdaulat yang memberikan penilaian dan kata akhir tentang terlaksana atau diabaikannya hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga bagian hukum ini merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia dengan berbagai variasi dalam pelaksanaannya, baik dari segi ruang lingkup wilayah maupun dari segi priodesasi sejarahnya.
Pada waktu VOC datang ke Indonesia untuk berdagang, dan kemudian dilanjutnya dengan penguasaan wilayah, mereka tidak memahami tentang hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Pada mulanya mereka hanya menerapkan hukum Belanda di kapal-kapal dan koloni-koloni mereka dan membiarkan anak negeri berjalan sesuai dengan hukum mereka sendiri.[2] Setelah Belanda mengikutsertakan kaum orientalis dalam mempelajari agama dan budaya Indonesia, barulah mereka mengetahui bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup dalam masyarakat. Pemahaman ini didahului dengan usaha kompilasi oleh beberapa orang orientalis di beberapa daerah seperti kompilasi Muharrar, Freijer dan lain-lain.[3]
Usaha kompilasi kemudian dihentikan tanpa alasan yang jelas setelah dalam penelitian ditemukan bahwa hukum yang hidup pada umumnya berasal atau bersumber dari hukum Islam. Bila usaha ini dilanjutkan secara tulus, tidak mustahil yang terhimpun kemudian adalah kompilasi hukum Islam dari berbagai bidang. Puncak dari pengakutan Belanda ini adalah penerapan teori receptio in complexu oleh van den Berg yang intinya adalah bahwa untuk orang Islam berlaku hukum Islam sekalipun terdapat variasi dalam pemahaman dan pengamalannya. Akhirnya keluarlah Koniklijk Besluit No. 24 (Staatblad No. 152/1882) yang menjadi dasar pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura dengan sebutan Bepaling Betreffende de Priesterraaden op Java en Madoera.[4] Sekalipun keputusan ini lebih bersifat administratif dan prosedural dan tidak didukung oleh pengembangan hukum Islam secara sistematis, tetapi ia telah merupakan pengakuan yang kuat atas keberlakuan hukum Islam di Indonesia. Dengan cerdiknya teori ini kemudian diubah oleh Snouck Hurgronje yang melakukan penelitian terhadap hukum Islam di Aceh. Selanjutnya van Vallenhoven memasyhurkan teori resepsi yang mengatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan bila telah diterima oleh hukum adat. Pada hal dalam penelitian yang dilakukan di zaman kemerdekaan, ternyata sebaliknya yang benar, bahwa hukum adat baru dapat diterima bila telah diserap oleh hukum Islam. Inilah yang disebut oleh Suyuti Thalib sebagai receptio a contrario dengan pengertian "hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam."[5] Inilah yang terjadi di banyak daerah di Indonesia seperti Aceh, Minangkabau, Jambi, Palembang, Bengkulu, Lampung dan lain-lain. Pertanyaan yang belum terjawab dalam sejrah hukum Indonesia adalah tentang alasan kenapa Belanda berpihak kepada hukum adat yang belum jelas formatnya sebagai hukum yang berlaku untuk warga bumi putera daripada hukum Islam sendiri atau hukum Belanda yang sudah mempunyai format yang jelas. Alasan yang dikemukakan oleh para pengamat hukum antara lain adalah politik devide et empera, trauma Perang Salib atau tulus kepada budaya hukum warga bumi petera sendiri. 

Latar belakang penyusunan KHI
Hukum Islam sebagai hukum yang hidup di Indonesia didukung oleh pemahaman hukum ahli hukum, literatur hukum dan pendidikan hukum formal dan non formal. Semuanya saling berhubungan dengan dunia Islam yang lain. Sekalipun ummat Islam Indonesia sering disebut bermazhab Syafi‘ie, pemikiran hukum Islam yang berkembang di tengah masyarakat juga mencakup mazhab-mazhab yang lain.
Begitu banyak pendapat dalam suatu mazhab sehingga melahirkan putusan yang tidak seragam dalam praktek hukum Islam yang berlaku di pengadilan. Putusan yang sangat bervarisi mengancam kepastian hukum bagi pencari keadilan di mana kasus yang sama memungkinkan adanya putusan yang lebih dari satu. Pendapat yang berbeda-beda dalam fiqh Islam sudah barang tentu membawa kepada putusan yang berbeda-beda pula di lembaga peradilan, dan selanjutnya akan memperjauh kesatuan persepsi dalam penerapan hukum.
Putusan yang mengandalkan pendapat hukum kepada buku-buku fiqh yang beraneka ragam membutuhkan hakim dan pejabat pengadilan yang mempunyai keahlian tinggi dan penguasaan prima terhadap berbagai pendapat hukum. Mereka dibutuhkan mempunyai kualitas mujtahid yang dapat memutuskan perkara yang dihadapkan kepada mereka berdasarkan pendapat berbagai ahli dan pendapat mereka sendiri.
Di segi lain pendidikan hukum yang memungkinkan seorang hakim mendapatkan kualifikasi yang demikian tinggi semakin berkurang. Pendidikan hukum Islam yang ada, baik di Indonesia maupun di tempat lain di dunia Islam, masih bersifat tradisional dan pengajarannya tidak secara sistematis diarahkan sebagai hukum yang berlaku di pengadilan. Sejak berdirinya sekolah hukum (Rechtschool) pertama di Jakarta pada tahun 1909 dan sekolah tinggi hukum (Rechthoogesschool) pada tahun 1928[6] untuk pendidikan hakim dan pejabat kehakiman, tidak pernah ada usaha dari Belanda untuk mendirikan pendidikan yang sama untuk para hakim dan pejabat kehakiman di Peradilan Agama. Bahkan hakim dan pejabat kehakiman di Pengadilan Agama, dengan alasan tidak ikut campur dalam urusan agama, tidak mendapat gaji dari pemerintah.[7] Politik etis Belanda hanya berdampak pada pendidikan hukum umum dan tidak pada hukum Islam sebagai hukum yang hidup. Kesempatan ini baru mulai ada setelah Indonesia merdeka dan berdirinya Departemen Agama yang antara lain mengurus masalah peradilan. Mulai dari Hazairin sampai kepada ahli-ahli yang menjadi murid-muridnya, para ahli hukum Islam tidak lagi berpegang kepada teori resepsi, tetapi kepada produk perundang-undangan yang menyatakan tentang keberlakuan hukum Islam. Arahnya adalah kodifikasi dan kompilasi. Arah ini juga sudah tampak jauh sebelum ini di Malaysia, Turki dan negara-negara Arab.[8]
Dengan perjalanan waktu, kitab-kitab fiqh yang dipakai di Pengadilan Agama juga mulai tersaring dengan sendirinya sehingga tidak lagi tidak terbatas seperti sebelumnya. Penyaringan tersebut barangkali terjadi secara alami mengingat keterbatasan pengetahuan hakim yang bertugas di peradilan dan buku-buku yang mereka pelajari di lembaga-lembaga pendidikan seperti di pondok, pesantren dan madrasah. Akhirnya Surat Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksanaan PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari‘iyah di luar Jawa dan Madura menganjurkan hakim agama menggunakan sebanyak 13 kitab fiqh sebagai pedoman.[9] Kitab-kitab tersebut adalah:
1. Al-Bajuri;
2. Fathu al-Mu‘în
3. Asy-Syarkawî ‘alâ at-Tahrîr;
4. Al-Qalyûbî/al-Mahallî;
5. Fathu al-Wahhâb wa Syarhuh;
6. At-Tuhfah;
7. Targhîb al-Musytâq;
8. Al-Qawânîn asy-Syar‘iyyah li Sayyid bin Yahyâ;
9. Al-Qawânîn asy-Syar‘iyyah li Sayyid Shadaqah Dachlan;
10. Asy-Syamsûrî fi al-Farâ’id;
11. Bughyah al-Mustarsyidîn;
12. Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba‘ah;
13. Al-Mughnî al-Muhtâj.
Walaupun rujukan di pengadilan sudah disederhanakan, tetapi mengingat kemampuan hakim agama zaman sekarang yang tidak banyak di antara mereka yang memahami bahasa Arab dan kitab-kitab klasik berbahasa Arab, maka ternyata penyederhanaan itu masih memberatkan bagi kebanyakan hakim. Keadaan rujukan dalam bahasa Arab juga menyulitkan para pengacara dan pihak-pihak yang terlibat dalam perkara untuk memahami dalil-dalil hukum yang digunakan.
Penegakan hukum sangat tergantung kepada aparat penegak hukum, peraturan hukum dan kesadaran masyarakat terhadap hukum. Pembenahan aparat dan kesadaran masyarakat memerlukan pendidikan dan pembudayaan yang akan memakan waktu lama. Sedangkan paraturan hukum dapat diwujudkan melalui kodifikasi dan kompilasi. Idealnya adalah membuat kodifikasi hukum berbagai bidang melalui proses pembuatan hukum yang normal di DPR, tetapi hal itu belum dapat dilakukan karena berbagai faktor antara lain kemauan politik. Sementara itu, sebuah peraturan hukum Islam yang baku sudah merupakan kebutuhan mendesak di pengadilan. Masalah sebenarnya bukanlah masalah tidak adanya peraturan hukum. Peraturan-peraturan hukum sudah ada dan sudah diterapkan di pengadilan selama beratus-ratus tahun, tetapi belum dihimpun dalam sebuah buku hukum yang sistematis dan mudah dirujuki. Karena itu, kebijakan yang ditempuh adalah menuliskan kembali peraturan-peraturan hukum yang sudah ada itu dalam sebuah buku, atau karangan, atau susunan (compilation).
"To compile" dalam bahasa Inggeris berarti "to collect into one work" (menghimpun menjadi satu karya) atau "to compose out of materials from other documents"[10] (menyusun bahan-bahan dari dokumen-dokumen yang lain). Sedangkan kompilasi menurut Black's Law Dictionary adalah "penghimpunan peraturan-peraturan hukum yang ada sebelumnya dalam bentuk peraturan-peraturan tersebut dibuat menjadi hukum dengan pembuangan bagian-bagian yang telah dibatalkan dan penggantian amandemen-amandemen dalam sebuah penyusunan yang bertujuan untuk memudahkan penggunaannya."[11] Bila dihubungkan dengan kitab-kitab fiqh yang pernah digunakan sebelum ini di Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‘iyah, atau secara khusus 13 kitab yang kemudian disederhanakan, maka kitab-kitab tersebut adalah kitab-kitab yang mengandung peraturan-peraturan hukum yang kemudian disederhanakan melalui sebuah usaha kompilasi sesuai kebutuhan dan praktek-praktek yang berlaku sehingga menjadi sebuah buku peraturan hukum yang mudah dirujuki.

Metode/pendekatan penyusunan KHI
Kompilasi Hukum Islam dimulai dari penandatanganan Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi No. 07/KMM/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1955 di Yogyakarta.[12] Landasan yuridisnya adalah UU No. 14/1970 Pasal 20 ayat (1): ”Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”[13]
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia terdiri dari tiga buku: Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. Semuanya terdiri dari 229 pasal. Kompilasi ini didasarkan pada Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.[14]
Penyusunannya dimulai dengan membuat daftar masalah di bidang hukum Islam yang menjadi kewenangan Peradilan Agama. Setelah tahap penyeleksian, didapatkan 102 masalah pokok. Pengumpulan data dilakukan melalui 4 jalur; yaitu jalur ulama, jalur kitab-kitab fiqh, jalur Yurisprudensi Peradilan Agama, dan jalur studi perbandingan di negera-negara lain.[15]
Pengumpulan data pertama dilakukan melalui wawancara dengan 193 alim ulama dari berbagai wilayah Indonesia. Wawancara yang mengambil tempat di 10 lokasi Pengadilan Tinggi Agama ini (Banda Aceh, Medan, Padang, Palembang, Bandun, Surakarta, Surabaya, Banjarmasin, Ujung Pandang dan Mataram) berkisar sekitar 102 masalah yang sudah diseleksi oleh Panitia.
Pengumpulan data dari kitab-kitab fiqh dilakukan oleh 7 IAIN; yaitu dari kitab-kitab yang banyak atau sering dipakai di Indonesia. IAIN yang mendapat bagian adalah IAIN Banda Aceh, Padang, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Ujung Pandang dan Banjarmasin.
Penelitian Yurisprudensi Pengadilan Agama dilakukan terhadap 16 buku yang merupakan yurisprudensi dari tahun 1976 sampai tahun 1984. Sementara itu, studi perbandingan dilakukan di Maroko (2 hari), Turki (2 hari) dan Mesir (2 hari). Studi perbandingan ini tampaknya hanya bersifat simbolis sekedar untuk memberikan legalitas. Para peneliti yang dikirim untuk tujuan ini ke luar negeri hanya bertemu para pejabat di tiga negara dalam tempo yang sangat singkat (dua hari untuk setiap negara). Karena keterbatasan waktu, dan mungkin juga kesulitan bahasa, para peneliti barangkali tidak sempat membandingkan Rancangan KHI dengan kompilasi atau kodifikasi serupa di negara-negara tersebut. Hasil dari studi banding itu juga tidak pernah dipublikasikan.
Selain 4 jalur yang sudah disebutkan, informasi juga didapatkan dari 3 kali sidang Bahts al-Masâ’il NU di 3 pesantren NU di Jawa Timur dan dari seminar Kompilasi Hukum Islam yang diadakan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Data yang diperoleh dari sumber-sumber di atas kemudian diolah oleh Tim Besar Proyek Pembinaan Hukum Islam. Hasil rumusan tim ini diolah lagi oleh sebuah tim inti yang terdiri dari 9 orang. Setelah 20 kali pertemuan, tim inti berhasil merumuskan 3 naskah buku Rancangan Kompilasi Hukum Islam (RKHI) tentang Perkawinan, Kewarisan dan Kewakafan.
3 naskah buku RKHI dibahas kembali dalam sebuah lokakarya di Jakarta dari 2-6 Februari 1988 yang dihadiri oleh 124 alim ulama dan cendikiawan muslim. Setiap buku dibahas dalam sebuah komisi khusus. Hasil rumusan tiga komisi dirapatkan kembali oleh Panitia Besar untuk penghalusan bahasa. Hasil akhir kerja Tim Besar disampaikan oleh Menteri Agama dalam surat No. MA/123/1988 kepada Presiden R.I. sehingga akhirnya keluar Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 supaya menyebarluaskan KHI dan melaksanakan isntruski itu dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan No. 154 Tahun 1999 tanggal 22 Juni 1991. Isi surat keputusan tersebut adalah (1) agar Departemen Agama serta lembaga-lembaga pemerintah lainnya menyebarluaskan KHI, (2) agar Departemen Agama dan lembaga-lembaga terkait sedapat mungkin menggunakan KHI dalam menyelesaikan masalah perkawinan, kewarisan dan kewakafan, di samping peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya, dan (3) agar Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Urusan Haji mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri Agama ini di bidang masing-masing.

Kedudukan KHI sebagai hukum terapan di PA
Sejak keluarnya Instruksi Presiden dan Surat Keputusan Menteri Agama tersebut, maka KHI secara praktis telah menjadi hukum materil terapan di Peradilan Agama yang digunakan oleh para hakim, pengacara dan pencari keadilan di samping kutipan kepada ayat Qur’an, Hadits Nabi atau pendapat tertentu dari buku-buku fiqh serta peraturan-peraturan perundang-undangan yang lain.
Sandaran yuridis formal KHI adalah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, dan Instruksi Presiden tidak ditemukan dalam hirarki perundang-undangan Indonesia. Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 menyatakan bahwa tata urutan perundang-undangan Indonesia adalah UUD 1945, Tap MPR, Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan seterusnya, dan Tap MRP No. III/2000 menyatakan bahwa tata urutannya adalah UUD 1945, Tap MPR, Undang-Undang, Perpu, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Peraturan Daerah. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa KHI tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Dari sudut ini, maka KHI masih merupakan kelanjutan dari kitab-kitab fiqh yang menjadi rujukan Pengadilan Agama sebelum ini dan sekarang telah disederhanakan menjadi buku hukum berdasarkan ijmâ‘ jamhûr al-‘ulamâ’ al-indonîsiiyîn (konsensus moyoritas ulama Indonesia). Sungguhpun demikian, menurut Ismail Suny, hukum materil yang diatur dalam KHI dapat saja berbentuk Instruksi Presiden; hal itu karena hukum perkawinan, kewarisan dan kewakafan yang berlaku sejak lama adalah hukum Islam. Sandaran hukumnya adalah Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Kekuasaan Presiden untuk memegang kekuasaan permintahan negara."[16]
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang status yuridis formalnya, KHI dalam kenyataannya telah menjadi pedoman di Peradilan Agama, Peradilan Tinggi Agama dan Mahkamah Aung. Kompilasi atau kodifikasi hukum bagaimanapun lengkapnya tidak akan pernah memuaskan semua pihak. Kekurangan dapat diatasi bila disertai dengan kearifan para pemakainya, terutama para hakim di pengadilan, dengan menggali semangat yang ada di balik KHI dan hukum yang hidup dalam masyarakat.[17]
Sebagai produk usaha manusia, KHI memerlukan penyempurnaan dari waktu ke waktu. Dari segi legal formal, di samping penyempurnaan dan pengembangan, KHI harus ditingkatkan statusnya menjadi undang-undang sehinga masuk secara jelas dalam hirarki perundang-undangan Indonesia.
Ada beberapa keberatan yang dikemukan terhadap KHI. Antara lain adalah dari segi penamaan. KHI hanya mencakup hukum Islam tentang tiga hal menyangkut Perkawinan, Kewarisan dan Kewakafan, padahal hukum Islam sebenarnya mencakup semua bidang yang dicakup oleh hukum umum, bahkan lebih luas dari hukum umum, seperti disinggung di awal tulisan ini. Di negara-negara lain dunia Islam peraturan hukum seperti yang dimuat dalam KHI disebut Qanûn al-Ahwâl asy-Syakhshiyyah. Karena itu, nama yang tepat untuk KHI sebenarnya adalah Kompilasi Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Kewakafan Islam (KHPKKI), dan bila dapat ditingkatkan menjadi undang-undang, maka ia dapat bernama Kitab Undang-undang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Kewakafan Islam (KUHPKKI).
Keberatan lainnya adalah, bila KHI ditingkatkan statusnya menjadi undang-undang, maka dikhawatirkan pembuat undang-undang Indonesia telah membatasi sifat universal hukum Islam, mengurangi kreatifitas para hakim, dan selanjutnya menghambat pengembangan hukum Islam melalui ijtihad dan pendapat baru. Kekhawatiran seperti ini dapat dipahami mengingat keluasan dan keluesan hukum Islam sepanjang sejarahnya yang panjang sehingga masyarakat mempunyai banyak opsi untuk memilih pendapat yang lebih cocok dengan kondisi dan zaman mereka. Bahkan sebagian besar para fuqaha’ terkenal di masa lalu enggan menuliskankan mazhab mereka untuk menjadi hukum materil di suatu negara. Dengan diberlakukan satu mazhab, mereka khawatir akan menutup pintu kepada mazhab atau pendapat lain yang mungkin saja lebih benar dan lebih tepat dari pendapat mereka. Mengingat kesalehan dan kerendahan hati para imam mujtahidin ini, kita dapat memahami alasan mereka. Sungguhpun demikian, keberatan seperti ini tidak lagi dapat dipertahankan pada waktu ini. Sebagian besar perundang-undangan modern telah mengantisipasi keberatan ini, misalnya, dengan membuat klausal tertentu yang memungkinkan undang-undang tertentu direvisi, disempurnakan dan bahkan dibatalkan di masa depan bila tidak lagi cocok dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Perundang-undangan Indonesia, termasuk UUD 1945 yang disakralkan pada masa Orde Baru, sudah banyak yang mengalami revisi, penyempurnaan dan pembatalan seperti ini.

Penutup

Hukum Islam di samping sebagai hukum yang bersifat diyânî (keagamaan), juga bersifat qadhâ’î (yudisial) sehingga memerlukan lembaga peradilan untuk menyelesaikan sengketa dan memutus perkara pelanggaran hukum oleh warga masyarakat. Kenyataan ini mendapat pengakuan resmi dari pemerintah jajahan Belanda sejak tahun 1882 melalui pembentukan Priesterraad (Pengadilan Agama). Di Pengadilan Agama para hakim memutuskan perkara berdasarkan hukum Islam seperti termaktub dalam kitab-kitab fiqh, berbeda dengan Pengadilan Negeri (Landraad) di mana para hakim memutus perkara berdasarkan hukum Adat. Pada tahun 1937, beranjak dari teori resepsi yang diusulkan oleh Snouck Hurgronje, pemerintah jajahan membatasi wewenang Pengadilan Agama. Sungguhpun demikian, hukum Islam seperti termaktub dalam kitab-kitab fiqh tetap merupakan sandaran untuk memutus perkara di Pengadilan Agama. Kitab-kitab ini oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1957 disederhanakan menjadi hanya 13 kitab. Untuk memudahkan tugas para hakim agama dan untuk lebih memberikan kepastian hukum kepada pencari keadilan, maka pemerintah melalui Mahkamah Agung dan Departemen Agama merintis proyek Kompilasi Hukum Islam berdasarkan hukum Islam yang hidup dalam masyarakat. Kompilasi ini didasarkan pada Instruksi Presiden dan dijalankan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama pada tahun 1991, dan sejak itu KHI telah menjadi hukum terapan di Pengadilan Agama.



Disampaikan pada Pendidikan Calon Hakim Pengadilan Agama di Komplek PPPG Keguruan, Parung, Bogor, 20 Agustus 2001.
[1] A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam Di Indonesia (Bandung: PT Alma‘arif, 1981), hlm. 7.
[2] John Ball, Indonesian Legal History 1602-1848 (Sydney: Oughtershaw Press, 1982), hlm. 226-236.
[3] Ibid, hlm. 68-74.
[4] Istilah "Priesterraaden" atau Pengadilan Paderi tidak tepat untuk Pengadilan Islam karena agama ini tidak mengenal sistem kepaderian atau kepastoran seperti pada agama-agama lain. Priesterraad diterjemahkan dengan Rad Agama atau Landjrat Agama atau Pengadilan Surambi, dan kemudian Pengadilan Agama. Notosusnato, Peradilan Agama Islam di Djawa dan Madura (Yogyakarta: tanpa penerbit, 1953, hlm. 7.
[5] Sajuti Thalib, Receptio A Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam. Jakarta: Penerbit Academia, 1980.
[6] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional (Jakarta: Rajawali Press, cetakan kedua, 1995), hlm. 153.
[7] Daniel S. Lev, Islamic Court in Indonesia (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1972), hlm. 14, 15.
[8] Rifyal Ka‘ah, Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Universitas Yarsi, 1999), hlm. 51-59.
[9] Instruksi Presiden R.I. Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama R.I., 1996/97), hlm. 124.
[10] Longman Dictionary of the English Langguage (Burnt Mill, Harlow: Longman, 1984), hlm. 297
[11] "A bringing together of preexisting statutes in the form in which they were enacted, with the removal of sections which have been repealed and the substitution of amendments in an arrangement designed to facilitate their use." Black's Law Dictionary (St. Paul: West Publishing Co., 1990, 11th reprint, 1997), hlm. 284.
[12] Insturksi Presiden R.I., hlm. 127.
[13] Ibid., hlm. 130.
[14] Ibid., hlm. iii-iv, 1-3.
[15] Busthanul Arifin, "Pelaksanaan Kompilasi Hukum Islam", pidato penyerahan 3 buku Kompilasi Hukum Islam kepada Menteri Agama dan Ketua Mahkamah Agung R.I., Jakarta tanggal 26 Desember 1987, hlm. 28.
[16] Ismail Suny, "Kompilasi Hukum Islam Ditinjau Dari Sudut Pertumbuhan Teori Hukum di Indonesia" dalam Mimbar Hukum No. 4 Tahun II/1991.
[17] Salah seorang yang terlibat dalam Panitia KHI menyatakan: "Jangan mimpi seolah-olah KHI sudah final dan sempurna. Jangan tergoda oleh bayang-bayang kepalsuan untuk menganggap KHI sebagai karya sejarah yang monumental dan agung. Keliru sekali impian dan khayalan seperti itu. Yang benar, terima dan sadarilah KHI dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaannya. Pengkaji dan perumusnya adalah manusia biasa dengan segala sifat "empemiral" yang melekat pada diri mereka. Oleh karena yang membuatnya terdiri dari manusia-manusia yang bersifat empemiral; sudah pasti KHI banyak sekali mengandung kelemahan dan ketidaksempurnaan." M. Yahya Harahap, "Materi Kompilasi Hukum Islam" dalam Dadan Muttaqien et. al. (eds.), Peradilan Agama & Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta: UII Press, Edisi 2, 1999), hlm. 120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar