Filsafat Yunani
klasik merupakan permulaan dari pemikiran filsafat atau pembahasan filsafat
secara spekulatif rasional dan irrasional dogmatis. Filsafat Yunani klasik
merupakan contoh ilustrasi pemikiran dan pembahasan masalah filsafat secara
sistematis dan lengkap dan berlaku sampai sekarang.
Berbagai pemikiran tentang filsafat mengalami kemajuan pada masa Renaissance.
Memasuki abad ke-17 beberapa filosuf mencapai penyempurnaan dan kedewasaan pemikiran. Pengaruhnya sangat besar bagi pemikiran-pemikiran filsafat pada masa berikutnya.
Memasuki abad ke-17 beberapa filosuf mencapai penyempurnaan dan kedewasaan pemikiran. Pengaruhnya sangat besar bagi pemikiran-pemikiran filsafat pada masa berikutnya.
Oleh karena
itu, pada masa ini yang dipandang sebagai sumber pengetahuan hanya apa yang
secara alamiah dapat dipakai manusia yaitu akal atau rasio dan pengalaman atau
empiris. Orang cenderung untuk memberikan tekanan kepada salah satu dari
keduanya. Pada abad ini muncul dua aliran filsafat yang saling bertentangan
yaitu rasionalisme dan empirisme.
Rasionalisme
adalah sebuah aliran filsafat yang menekankan akal atau rasio sebagai sumber
pengetahuan yang memiliki nilai kebenaran dan dapat diuji keilmiahannya. Maka
pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang memenuhi syarat kebenaran ilmiah
secara mutlak. Adapun pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan
pengetahuan yang telah diperoleh akal. Akal tidak memerlukan pengalaman karena
akal dapat menurunkan kebenaran dari pada dirinya sendiri yaitu atas dasar
asas-asas yang pasti. Metode yang diterapkan adalah deduktif dengan pendekatan
ilmu pasti.
Segala sesuatu
dapat dan harus dimengerti secara rasional. Suatu pernyataan hanya boleh
diterima sebagai benar dan sebuah klaim hanya dapat dianggap sah apabila dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional. Wewenang
tradirsional otoritas dan dogma merupakan pernyataan yang dianggap tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional.
Rasionalisme
merupakan semacam pemberontakan terhadap otoritas-otoritas tradisional yang
bersifat dogmatis. Tidak cukup untuk mendasarkan sebuah tuntutan atas wewenang
pihak yang menuntut, melainkan isi tuntutan itu sendiri harus dapat
dipertanggungjawabkan secara rasional. Aliran filsafat ini secara hakiki
bersifat anti tradisional.
Adapun aliran
empirisme berpendapat bahwa empirik atau pengalamanlah yang menjadi sumber
pengetahuan baik pengalaman yang batiniyah maupun yang lahiriayah.
Akal bukan menjadi sumber pengetahuan, akan tetapi akal mendapatkan tugas untuk
mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang diterapkan
adalah induksi. Semula aliran ini seperti masih menganut semacam realisme
yang naif yang menganggap bahwa pengenalan yang diperoleh melalui pengalaman
tanpa penyelidikan lebih lanjut telah memiliki nilai yang obyektif. Akan tetapi
kemudian nilai pengenalan yang diperoleh memalui pegalaman itu sendiri
dijadikan sasaran atau obyek penelitaian.
Aliran ini
muncul di Inggris pada awalnya dipelopori Francis Bacon (1531-1626). Pada
perkebangannya dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca Descartes seperti Thomas
Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), dan yang
terpenting adalah David Hume (1711-1776).
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut, dapat
dirumuskan beberapa pokok masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian empirisme?
2. Apa yang melatarbelakangi munculnya empirisme?
3. Bagaimana tokoh-tokoh empirisme dan
kerangka pemikirannya?
4. Bagaimana metode empirisme?
5. Bagaimana pengaruh Leibniz dan Hume?
6. Bagaimana implementasi empirisme filsafat?
7.
Bagaimana karakteristik empirisme?
8. Apa saja kelebihan dan kekurangan empirisme?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Empirisme
Dalam ilmu pengetahuan yang paling berguna,
pasti dan benar itu diperoleh orang melalui inderanya. Empirislah yang memegang
peranan amat penting bagi pengetahuan, malahan barangkali satu-satunya dasar
pendapat di atas itu disebut empirisme.
Empirisme merasa puas untuk menggarap hasil
pekerjaannya dalam bidang materi hanya sebagai hipotesa yang dapat diubah
menurut pengalaman di kemudian hari. Pada
perkembangannya, empirispun diupayakan menjadi radikal dengan klaimnya harus
tidak menerima dalam bentuknya unsur apa saja yang tidak dialami secara
langsung atau mengeluarkan dari bentuknya unsur yang dialami secara langsung.
Pengalaman-pengalaman dan fakta-fakta kehidupan sehari-hari merupakan dasar,
realitas adalah hal yang dialami baik merupakan benda atau perubahan keadaan.
Secara etimologi, istilah empirisme berasal
dari kata Yunani emperia yang berarti pengalaman[1]. Menurut aliran ini manusia memperoleh
pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya,
pengalaman yang dimaksud ialah pengalaman indrawi. Manusia tahu es dingin
karena ia menyentuhnya, gula manis karena ia mencicipinya[2].
Usaha manusia untuk mencari pengetahuan yang
bersifat mutlak dan pasti telah berlangsung dengan penuh semangat dan
terus-menerus. Walaupun begitu, paling tidak sejak zaman Aristoteles, terdapat
tradisi epistimologi yang kuat untuk mendasarkan diri kepada pengalaman
manusia, dan meninggalkan cita-cita untuk mencari pengetahuan yang mutlak
tersebut. Doktrin empirisme merupakan contoh dari tradisi ini. Kaum empiris
berdalil bahwa adalah tidak beralasan untuk mencari pengetahua mutlak dan
mencakup semua segi, apalagi bila didekat kita, terdapat kekuatan yang dapat
dikuasai untuk meningkatkan pengetahuan manusia, yang meskipun bersifat lebih
lamban namun lebih dapat diandalkan. Kaum empiris cukup puas dengan
mengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang mempunyai peluang yang besar untuk
benar, meskipun kepastian mutlak takkan pernah dapat dijamin.
Kaum
empiris memegang teguh pendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh lewat
pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris bahwa
sesuatu itu ada, dia akan berkata “tunjukkan hal itu kepada saya”. Dalam
persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh pengalamannya sendiri.
Jika kita mengatakan kapada dia bahwa ada seekor harimau di kamar mandinya,
perta dia minta kita untuk menceritakan bagaimana kita sampai pada
kesimpulan itu. Jika kemudian kita
terangkan bahwa kita melihat harimau itu dalam kamar mandi, baru kaum empiris
akan mau mendengar laporan mengenai pengalaman kita itu, namun dia hanya akan
menerima hal tersebut jika dia atau orang lain dapat memeriksa kebenaran yang
kita ajukan, dengan jalan melihat harimau itu dengan mata kepalanya sendiri[3].
Dua
aspek dari teori empiris terdapat dalam contoh di atas tadi. Pertama adalah
perbedaan antara yang mengetahui dan yang diketahui. Yang mengetahui adalah
subyek dan benda yang diketahui adalah obyek. Terdapat alam nyata yang terdiri
dari fakta atau obyek yang dapat ditangkap oleh seorang. Kedua, kebenaran atau
pengujian kebenaran dari fakta atau obyek didasarkan kepada pengalaman manusia.
Agar berarti bagi kaum empiris, maka pernyataan tentang ada atau tidak adanya
sesuatu haruslah memenuhi persyaratan pengujian publik.
B. Latarbelakang Munculnya Aliran Empirisme
Awal muasal
timbulnya aliran ini bermula dari penolakan mereka atas dominasi logika
Cartesian di daratan Eropa saat itu. Di samping itu, gelora Renaissance di
daratan Eropa menginspirasi Dataran Britania Raya sampai ada istilah sendiri
yaitu Enlightment. Beberapa tokoh
yang cukup dikenal antara lain John Locke, David Hume, dan George Berkeley,
Francis Bacon.
Bagi John
Locke, berpikir deduksi relatif lebih rendah kedudukannya apabila dibandingkan
dengan pengalaman indera dalam pengembangan pengetahuan. Lebih lanjut ia
berpendapat bahwa semua fenomena dari pikiran kita yang disebut ide berasal
dari pengamatan atau refleksi. Inilah tesis dasar dari empirisme. Dengan tesis
inilah, Locke mempergunakannya sebagai titik tolak dalam ia menjelaskan
perkembangan pikiran manusia.
Selain John
Locke, Bacon juga berkesimpulan bahwa penalaran hanya berupa putusan-putusan
yang terdiri dari kata-kata yang menyatakan pengertian tertentu. Sehingga
bilamana pengertian itu kurang jelas maka hanyalah dihasilkan suatu abstraksi
yang tidak mungkin bagi kita untuk membangun pengetahuan di atasnya. Bacon
beranggapan bahwa untuk mendapatkan kebenaran maka akal budi bertitik pangkal
pada pengamatan inderawi yang khusus lalu berkembang kepada kesimpulan umum.
Pemikiran Bacon yang demikian ini, kemudian melahirkan metode berpikir induksi.
Dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber
utama pengetahuan. Pengalaman itu dapat
yang bersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang
menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan
bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Dua hal dicermati oleh Hume,
yaitu substansi dan kausalitas.
Hume tidak
menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri
yang selalu ada bersama-sama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil
penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti
itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman
itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut
kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas,
diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan
bukan yang lainnya? Bagi Hume, "aku" tidak lain hanyalah "a bundle
or collection of perceptions (kesadaran tertentu)".
Kausalitas. Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala
lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak
berdasarkan pengalaman. Pengalaman hanya
memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan
sebab-akibat. Yang disebut kepastian
hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari "probable"
(berpeluang) sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada
hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita. Hukum alam adalah hukum alam. Jika kita bicara tentang "hukum
alam" atau "sebab-akibat", sebenarnya kita membicarakan apa yang
kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh
kebiasaan atau perasaan kita saja.
C. Tokoh-Tokoh Empirisme dan Kerangka Pemikirannya
1.
Thomas Hobbes (1588-1679)
Thomas
Hobbes adalah anak seorang pedeta, minatnya dari semula terarahkan kepada
kesusastraan dan filsafat. Ia seorang filosuf Inggris,
memahami manusia secara mekanik semata. Cita-citanya untuk mengembangkan suatu
filsafat atau teori negara yang dapat membantu untuk menyusun masyarkat dalam
keadaan damai dan adil.
Thomas
Hobbes menggap bahwa pengalaman inderawi sebagai pemulaan segala pengenalan.
Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan (kalkus), yaitu
penggabungan data-data inderawi yang sama, dengan cara yang berlainan. Dunia
dan manusia sebagai objek pengenalan merupakan sistem materi dan merupakan
sebagai objek pengenalan merupakan sistem materi dan merupakan suatu proses
yang berlangsung dengan tiada henti-hentinya atas dasar hukum-hukum mekanisme.
Atas pandangan ini, ajaean Hobbes sistem materialistis pertama dalam sejarah
filasafat modern.[4]
Materialisme
yang dianut Thomas Hobbes mensinyalir bahwa segala sesuatu yang ada bersifat
bendawi yakni segala kejadian adalah gerak yang berlangsung karena keharusan
dan realitas tidak bergantung pada gagasan kita, terhisap di dalam gerak itu.
Sebagai penganut empirisme, ia beranggapan bahwa pengalaman merupakan permulaan
segala pengenalan.
Pengalaman
adalah keseluruhan atau totalitas segala pengamatan yang disimpan di dalam
ingatan dan dibagungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan sesuai dengan
apa yang telah diamati pada masa yang lampau. Pengamatan inderawi terjadi
karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam
indera kita. Gerak ini diteruskan kepada otak kemudian diteruskan ke jantung.
Di dalam jantung timbullah suatu reaksi, suatu gerak yang berlawanan.
Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi. Sasaran yang
diamati adalah sifat-sifat inderawi. Penginderaan disebabkan karena tekanan
obyek atau sasaran kualitas dalam obyek-obyek yang sesuai dengan penginderaan
kita bergerak menekan indera kita. Warna yang kita lihat, suara yang kita
dengar bukan benda di dalam obyek melainkan di dalam subyeknya. Sifat-sifat
inderawi tidak memberi gambaran tentang sebab yang menimbulkan penginderaan.
Ingatan, rasa senang dan tidak senang dan segala gejala jiwani bersandar
semata-mata pada aosiasi gambaran-gambaran yang murni bersifat mekanis.
2. Jhon Locke (1632-1704)
John Locke[5] adalah filosof Inggris, lahir tahun 1632 di
Wrington, Somersetshire. Tahun 1647-1652 ia belajar di Westminster. Tahun 1652
ia memasuki Universitas Oxford mempelajari agama Kristen, namun ia juga
mempelajari pengetahuan di luar tugas pokoknya. Lock
menyelidiki kemampuan pengetahuan manusia, sampai kemanakah ia dapat mencapai
kebenaran dan bagaimanakah mencapainya itu. Ia mempergunakan istilah sensation
dan reflection dalam upaya mencari kebenaran atas pengetahuan.
Reflection itu pengenalan intuitif serta memberi
pengetahuan apakah kepada manusia lebih baik lebih penuh dari pada sensation.
Sansation merupakan suatu yang memiliki hubungan dengan dunia luar
tetapi tak dapat meraihnya dan tak dapat mengerti sesungguhnya. Tetapi tanpa sensations
manusia tak dapat juga suatu pengetahuan
Tiap-tiap pengetahuan itu terjadi dari kerja
sama antara sensation dan reflections. Tetapi haruslah ia mulai
dengan sensation sebab jiwa manusia itu waktu dilahirkan merupakan yang
putih bersih; tabula rasa, tak ada bekal dari siapa pun yang merupakan ide innatae.
Seluruh pengetahuan kita peroleh dengan jalan
menggunakan dan membandingkan gagasan-gagasan yang diperoleh dari pengindraan
dan refleksi. Akal manusia hanya merupakan tempat penampungan yang secara pasif
menerima hasil penginderaan kita. Menurut Locke kita
tidak melihat pohon atau orang atau mendengar bunyi sangkakala melainkan kita
melihat kesan inderawi pada retina yang disebabkan oleh apa yang kita lihat
sebagai pohon. Kita mendengarkan reaksi selaput kuping terhadap getaran-getaran
udara yang disebabkan oleh peniupan sangkakala.
3. George Berkeley (1685-1753)
George Berkeley[6] sebagai penganut empirisme mencanangkan teori
yang dinamakan “immaterialisme” atas dasar prinsip-prinsip empirisme. Ia
bertolak belakang dengan pendapat John Locke yang masih menerima substansi dari
luar. Berkeley berpendapat sama sekali tidak ada substansi-substansi material
dan yang ada hanya pengalaman ruh saja karena dalam dunia material sama dengan
ide-ide.
Berkeley
mengilustrasikan dengan gambar film yang ada dalam layar putih sebagai benda
yang riil dan hidup. Pengakuannya bahwa “aku” merupakan suatu substansi rohani.
Tuhan adalah asal-usul ide itu ada yang menunjukkan ide-ide pada kita dan
Tuhanlah yang memutarkan film pada batin kita.
Sepintas kita
pahami bahwa konsep pemikirannya ada kemiripan dengan paham fatalism dari
Inggris, perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Tuhan.
Juga hampir sama dengan paham Jabariyah yang menyatakan bahwa manusia tidak
memiliki kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatan.
Hume adalah seorang Skot, lahir didekat kota
Edinburgh Inggris tahun 1711. Ia pernah mengajar di Universitas, barangkali
juga karena ia dianggap ateis sehingga tidak akan diterima sebagian profesor.
Ia banyak berkeliling di Eropa terutama di Perancis. Buku
yang ia tulis ketika berumur duapuluh tahunan adalah Kretise Of Human Nature
(1739), namun tidak banyak menarik perhatian orang. Waktu mudanya ia juga
berpolitik tetapi tak terlalu mendapat sukses, kemudian
ia beralih menjadi sejarawan. Pada tahun 1948 ia menulis buku yang sangat
terkenal, An Enquiry Concerring the Princeiples of Morals (1751). Hume
meninggal pada tahun 1776.
Ia menganalisis pengertian substansi, seluruh
pengetahuan itu tak lain dari jumlah pengalaman kita. Dalam budi kita tak ada
suatu idea yang tidak sesuai dengan impression yang disebabkan “hal” di
luar kita. Adapun yang bersentuhan dengan indera kita itu sifat-sifat atau
gejala-gejala dari hal tersebut. Yang menyebabkan kita mempunyai pengertian
sesuatu yang tetap substansi itu tidak lain dari perulangan pengalaman yang
demikian acapkalinya. Subtansi itu hanya anggapan, khayal, yang sebenarnya tak
ada.
Manusia tidak membawa pengtahuan bawaan dalam
hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal
yaitu kesan-kesan (impressions) dan pengertian-pengertian atau idea-idea
(ideas).
Yang dimaksud dengan impressions atau
kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman baik
pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah yang menampakkan diri dengan
jelas, hidup dan kuat seperti merasakan tangan terbakar. Adapun ideas
adalah gambaran tentang pengamatan yang hidup, samar-samar yang dihasikan
dengan merenungkan kembali atau ter-refleksikan dalam kesan-kesan yang diterima
dari pengalaman.
Perbedaan kedua-keduanya terletak pada tingkat
kekuatan dan garisnya menuju jiwa dan jalan masuk kesadaran. Persepsi yang
termasuk denagn kekuatan besar dan kasar disebut impression (kesan) dan
semua sensasim nafsu emosi termasuk kategori ini begitu mereka masuk kedalam
jiwa. Idea adalah gambaran kabur (faint image) tentang persepsi yang
masuk kedalam pemikiran.
Pengalaman lebih memberi keyakinan dibandingkan
kesimpulan logika atau kemestian sebab akibat. Hukum sebab akibat tidak lain
hanya hubungan saling berurutan saja dan secara konstan terjadi seperti api
membuat air mendidih. Dalam api tidak bisa diamati adanya "daya
aktif" yang mendidihkan air. Daya aktif yang disebut hukum kausalitas itu
tidak bisa diamati. Dengan demikian kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan
peristiwa-peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa-peristiwa terdahulu.
Pemikirannya tentang eksistensi Tuhan adalah
ketika kita percaya kepada Tuhan sebagai pengatur alam ini kita berhadapan
dengan dilema, kita berpikir tentang Tuhan menurut pengalaman masing-masing
sedangkan itu hanya setumpuk persepsi dan koleksi emosi saja. Kemudian,
bagaimana kita dapat mengatakan Tuhan itu Maha sempurna dan Maha Kuasa,
sedangkan di alam terjadi kejahatan dan berbagai bencana. Seharusnya alam ini
juga sempurna sesuai denga penciptanya tetapi ternyata tidak. Tuhan juga sumber
kejahatan, terbatas dan memiliki sifat mencintai dan membenci. Penelitiannya
tentang dunia tidak mampu membuktikan Tuhan kecuali Tuhan itu tidak sempurna.
Lebih lanjut Hume berkomentar, tidak ada bukti
yang dapat dipahami untuk membuktikan bahwa Allah ada dan bahwa Ia
menyelenggrakan dunia. Juga tidak ada bukti bahwa jiwa tidak dapat mati. Dalam
praktik, orang-orang yang beragama selalu mengikuti kepercayaan yang dianggap
pasti sedang akal tidak dapat membuktikannya. Menurutnya banyak sekali
keyakinan agama yang merupakan hasil khayalan, tidak berlaku umum dan tidak
berguna bagi hidup. Agama berasal dasri penghargaan dan ketakutan manusia
terhadap tujuan hidupnya. Itulah yang menyebabkan manusia mengangkat berbagai
dewa untuk disembah.
Mukjizat adalah ajaran agama yang juga diserang
oleh David Hume. Dia memberikan lima alasan untuk menolak mukjizat, yaitu:
Sepanjang sejarah mukjizat tidak pernah diakui
oleh sejumlah ilmuan dan kaum terpelajar.
Sebagian manusia memang memiliki kecenderungan
untuk percaya kepada peristiwa-peristiwa yang luar biasa. Namun keyakinan ini
tidak mendukung kebenaran mukjizat.
Kajian peradaban membuktikan bahwa mukjizat
hanya cocok terutama bagi masyarakat terbelakang sedangkan bagi masyarakat yang
telah maju justru menolaknya. Semakin kita percaya kepada ilmu semakin tidak
mampu kita ditipu oleh takhayul (the more we believe in science the less we
are likely to be deceived by superstition).
Semua agama wahyu memonopoli kebenaran
mukjizat.
Data sejarah yang dapat dipecaya menunjukkan
bahwa peristiwa-peristiwa di dunia ini jelas, seperti kita bisa mengetahui
tanggal terbunuhnya Julius Caesar.
Apa relevansi filsafat yang amat ekstrem dan
memang sudah sering dikritik itu? Bahwa kita tidak dapat mempunyai dan memang
sudah pasti dan tidak dapat memahami apa-apa. Jadi, sebaiknya kita hidup bagi
sesaat saja. Paham seperti Allah, tanggung jawab dan nilai adalah tanpa arti.
Empirisme mempersiapkan nihilisme.
D. Metode Empirisme
John Locke dan
Bacon juga berkesimpulan bahwa penalaran hanya berupa putusan-putusan yang
terdiri dari kata-kata yang menyatakan pengertian tertentu. Sehingga bilamana
pengertian itu kurang jelas maka hanyalah dihasilkan suatu abstraksi yang tidak
mungkin bagi kita untuk membangun
pengetahuan di atasnya. Bacon beranggapan bahwa untuk mendapatkan kebenaran
maka akal budi bertitik pangkal pada pengamatan inderawi yang khusus lalu
berkembang kepada kesimpulan umum. Pemikiran Bacon yang demikian ini, kemudian
melahirkan metode berpikir induksi.
E. Pengaruh Leibniz dan Hume
Leibniz dan
Hume adalah diantara banyak filsuf yang mempunyai pengaruh besar pada kant,
terutama untuk membangunkan epistimologinya. Khusus kepada Hume, Kant merasa
bahwa Humelah yang telah membangunkannya dari sikap dogmatisme. Setelah membaca
karya-karya Hume, Kant kemudian tidak lagi menerima prinsip-prinsip
rasionalisme dan aksioma-aksioma ontologi bahkan pemikiran (termasuk etika) nya
yang dibangun dari kritik atau dogmatisme.
Leibniz-Wolff
dan Hume merupakan wakil dari dua aliran pemikiran filosofis yang kuat melanda
Eropa pada masa Pencerahan. Leibniz tampil sebagi tokoh penting dari aliran
rasionalisme, sedangkan Hume muncul sebagi wakil dari aliran empirisme.
Di sini jelas,
bahwa epistimologi ‘ala Leibniz bertentangan dengan epistimologi Hume. Leibniz
berpendapat bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasionya saja, dan bukan
pengalaman. Dari sumber sejati inilah bisa diturunkan kebenaran umum dan
mutlak. Sedangkan Hume Mengajarkan bahwa pengalamanlah sumber pengetahuan itu.
Pengetahuan rasional mengenai sesuatu, terjadi setelah sesuatu itu dialami
terlebih dahulu[8].
F. Implementasi
Empirisme Filsafat
Empirisme dalam Islam mempunyai
peranan yang penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan seperti fuqoha’ ilmu
fiqih yang berbasis empiris (ibadah muamalah), salat, zakat, puasa dan haji.
Dalam bidang ilmu empirisme mempunyai kontribusi yang besar dalam pengembangan berfikir induktif.
Selain itu sumbangan utama dari
aliran empirisme adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metode
ilmiah untuk membangun pengetahuan. Selain itu, tradisi empirisme adalah
fundamen yang mengawali mata rantai evolusi ilmu pengetahuan sosial, terutama
dalam konteks perdebatan apakah ilmu pengtahuan sosial itu berbeda dengan ilmu
alam. Sejak saat itu, empirisme menempati tempat yang terhormat dalam
metodologi ilmu pengetahuan sosial. Acapkali empirisme diparalelkan dengan
tradisi positivism. Namun demikian keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu
yang berbeda.
G. Karakteristik Empirisme
- Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
- Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
- Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
- Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
- Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan yang di peroleh dari pengalaman.
- Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunyasumber pengetahuan.
H. Kelebihan dan Kekurangan Empirisme
Kelebihan
empirime adalah pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang benar,
karena faham empiris mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
Sedangkan
kelemahan empirisme cukup banyak diantaranya adalah sebagai berikut:
- Indra terbatas. Benda yang jauh kelihatan kecil. Apakah benda itu kecil benda itu kecil? Tidak. Keterbatasan kemampuan indera ini dapat melaporkan objek salah.
- Indera menipu. Pada orang yang sakit malaria, gulara rasanya pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan pengetahuan empiris yang salah juga.
- Objek yang menipu. Contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi, objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia tangkap oleh alat indera; ia membihongi indera. Ini jleas dapat menimbulkan inderawi yang salah.
- Indera dan objek sekaligus. Dalam hal ini indera (di sini mata) tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan. Jika melihatnya dari depan, yang kelihatan adalah kepala kerbau, dan kerbau pada saat itu memang tidak mampu sekaligus memperlihatkan ekornya. Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Kata empirisme
berasal dari kata Yunani empirikos yang berasal dari empeiria, artinya
pengelaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang
dimaksud ialah pengalaman indrawi. Manusia tahu es dingin karena ia menyentuhnya,
gula manis karena ia mencicipinya.Tokoh-tokoh aliran empirisme dalah Thomas
Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), dan David
Hume (1711-1776).
John Loke,
disebut sebagai bapak aliran empirisme pada zaman modern mengemukakan teori Tabula
Rasa (blank tablet, kertas catatan kosong). Maksudnya ialah bahwa
manusia itu pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi
jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. Sesuatu yang tidak dapat
diamati dengan indera bukanlah pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman indera
itulah sumber pengetahuan yang benar. Karena itu metode penelitian yang menjadi
tumpuan aliran ini adalah metode ekperimen.
Kelebihan
empirime adalah pengalaman indera merupakan sumber pengetahuan yang benar,
karena faham empiris mengedepankan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
Sedangkan kelemahan empirisme cukup banyak diantaranya adalah sebagai berikut: Indra
terbatas, indera menipu, indera dan objek sekaligus.
Kesimpulannya ialah empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Cet.
XVI; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008
Beerling, Kwee, Mooij Van
Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003
Jerom R. Ravertz, Filsafat Ilmu,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam
Filsafat, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006
Louis O. Kattsoft, Pengantar Filsafat,
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004
Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu,
Yogyakarta: Belukar, 2004
Rizal Mustansyir, Misnal Munir,
Filsafat Ilmu, Cet. IX; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
[1][1] Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar,
Paradigma Dan kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004),
hal. 53
[3][3] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal. 102
[4][4] Mohammad
Muslih, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma Dan kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal. 54
[8][8] Mohammad
Muslih, Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma Dan kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004), hal. 57
1xbet korean sports betting sites | Legalbet.co.kr
BalasHapus1xbet korean sports betting sites 1xbet · Paddy Power · Bet365 · BetVictor · Sky Bet · Betway · Betfair · febcasino Coral · septcasino Unibet · 22bet.