(Oleh Ansari, S.H.I)
Tradisi memelihara atau mengasuh
anak saudara dekat atau jauh atau anak orang lain, biasanya dari orang tua yang
tidak mampu, sudah sering dilakukan di Indonesia dengan berbagai sebutan.
Sungguhpun demikian, pengangkatan anak seperti yang berlaku dalam
tradisi Barat di mana status anak berubah menjadi seperti anak kandung dan mendapat hak dan kewajiban yang sama seperti anak kandung, dan bahkan melebihi anak kandung, tidak dibenarkan menurut hukum Islam yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia.
tradisi Barat di mana status anak berubah menjadi seperti anak kandung dan mendapat hak dan kewajiban yang sama seperti anak kandung, dan bahkan melebihi anak kandung, tidak dibenarkan menurut hukum Islam yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia.
Terjadinya pengangkatan anak di
kalangan warga beragama Islam disebabkan karena berbagai faktor. Selain
pengetahuan yang awam tentang hukum Islam, maka faktor utama adalah kebolehan
pengangkatan anak melalui peraturan perundang-undangan yang ada. Pengangkatan
secara resmi dilakukan melalui Pengadilan Negeri berdasarkan tradisi hukum
Barat atau Belanda.
Sekarang dalam rangka reformasi
hukum dan memenuhi kebutuhan masyarakat, pembuat undang-undang Republik
Indonesia memberi peluang pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam melalui
Pengadilan Agama. Berbagai persoalan timbul, antara lain tentang bentuk-bentuk
pengangkatan anak yang dibolehkan dalam hukum Islam, akibat hukum pengangkatan
anak tersebut kepada anak, ayah, ibu dan saudara angkat, dan hal-hal lain yang
berhubungan.
2. Perintah
UU No. 3/2006
Pasal 49 UU No. 3/2006 menyatakan: “Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan . . .“
Penjelasan Huruf a Pasal 49 ini, antara lain, menyatakan: “Yang dimaksud dengan
‘perkawinan’ adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-udang
mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari‘ah, antara lain:
. . . penetapan asal usul anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan
hukum Islam; . . . “
Dalam UU ini dan juga dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia yang lain, istilah “syari‘ah” atau
“syari‘ah Islam” dipakai silih berganti (interchangable) dengan istilah
“hukum Islam” dan keduanya mempunyai pengertian yang sama. Dalam perkembangan
terakhir sejarah hukum Islam, syari‘ah yang dimaksud adalah fiqh para fuqaha’
atau hukum Islam seperti diformulasikan oleh para para fuqaha’ dari ketentuan
Qur’an dan Sunnah serta hasil ijtihad mereka, dan di Indonesia termasuk Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan
peraturan perundang-undangan yang bersumber dari hukum Islam.
3. Istilah Anak Angkat
Anak angkat adalah “anak orang lain
yang diambil (dipelihara) serta disahkan secara hukum sebagai anak sendiri.” Pengangkatan anak disebut juga adopsi, yaitu “penciptaan
hubungan orang tua-anak oleh perintah pengadilan antara dua pihak yang biasanya
tidak mempunyai hubungan (keluarga).” Anak yang tadinya tidak mempunyai hubungan darah dengan
ayah atau ibu angkatnya setelah adopsi dianggap sebagai anak sendiri.
Ketentuan adopsi di Indonesia
berdasarkan Staatblaad 1917 No. 129 yang hanya mungkin dilakukan untuk
anak laki-laki dan itu harus dengan Akte Notaris. Staatblaad
ini lahir pada mulanya dalam rangka menjawab kebutuhan masyarakat Cina yang
sangat mengandalkan anak laki-laki. Anak laki-laki diharapkan dapat meneruskan
bisnis keluarga dan mewarisi kekayaan yang ditinggalkan bila ayah sudah
meninggal dunia, dan bila tidak mempunyai anak laki-laki, maka menurut tradisi
Cina, keluarga tersebut dapat mengangkat seorang anak laki-laki.
Yurisprudensi (Putusan Pengadilan
Jakarta Istimewa) tanggal 29 Mei 1963 menyempurnakan staatblaad di atas dengan
juga membolehkan adopsi anak perempuan. Sementara itu Surat Edaran Mahkamah
Agung No. 6 Tahun 1983 mengatur tentang pengangkatan anak antar warga negara
Indonesia. Surat edaran ini selain menetapkan adopsi langsung antara orang tua
kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga menetapkan adopsi
oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang
sah/belum menikah (single parent adoption). Dengan
yurisprudensi dan surat edaran di atas, maka adopsi yang tadinya untuk menjawab
kebutuhan khusus masyarakat Cina dikembangkan sehingga juga mencakup warga
Indonesia lain yang bukan keturunan Cina dan semua jenis kelamin. Selanjutnya
anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah juga mendapat status anak sah
melalui proses adopsi.
Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak selanjutnya
diatur berdasarkan Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984. Antara
lain dicantumkan tentang syarat-syarat untuk mendapatkan izin.
Pengangkatan
anak antar warga negara Indonesia:
Calon orang
tua angkat:
a. berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun atau
maksimal 45 tahun;
b. pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak
sekurang-kurangnya sudah kawin 5 tahun dengan mengutamakan yang keadaannya
sebagai berikut:
1. tidak mungkin mempunyai anak (dengan surat keterangan
dokter kebidanan/dokter ahli), atau
2. belum mempunyai anak, atau
3. mempunyai anak kandung seorang, atau
4.
mempunyai
anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung.
c.
dalam
keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan dari pejabat yang berwenang,
serendah-rendahnya lurah/kepala desa setempat;
d.
berkelakuan
baik berdasarkan surat keterangan dari Kepolisian RI;
e.
dalam
keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dokter
Pemerintah;
f.
mengajukan
pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk kepentingan
kesejahteraan anak.
2. Calon
anak angkat:
a.
berumur
kurang dari 5 (lima) tahun;
b.
persetujuan
dari orang tua/wali (apabila diketahui ada)
c. berada dalam asuhan organisasi sosial.
Pengangkatan
anak warga negara Indonesia oleh warga negara asing:
Calon orang
tua angkat:
a. berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun atau
maksimal 45 tahun;
b. pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak
sekurang-kurangnya sudah kawin 5 tahun dengan mengutamakan yang keadaannya
sebagai berikut:
1. tidak mungkin mempunyai anak (dengan surat keterangan
dokter kebidanan/dokter ahli), atau
2. belum mempunyai anak, atau
3. mempunyai anak kandung seorang, atau
4.
mempunyai
anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak kandung.
c.
dalam
keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan dari negara asal pemohon;
d.
persetujuan
tertulis dari pemerintah negara asal pemohon;
e.
berkelakuan
baik berdasarkan surat keterangan dari Kepolisian RI;
f.
dalam
keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dokter
Pemerintah;
g.
mengajukan
pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-mata untuk kepentingan
kesejahteraan anak.
2. Calon
anak angkat:
d.
berumur
kurang dari 5 (lima) tahun;
e. persetujuan tertulis dari Pemerintah Negara asal calon
anak angkat.
f. berada dalam asuhan organisasi sosial.
Selanjutnya,
pengangkatan anak diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, Bab VIII, Bagian Kedua:
Pasal
39
(1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan
yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.
(3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang
dianut oleh calon anak angkat.
(4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.
(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak
disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Pasal
40
(1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya
mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.
(2) (Pemberitahuan asal usul dan orang
tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan
memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.
Pasal 41
(1) Pemerintah
dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
pengangkatan anak.
(2) Ketentuan
mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pengangkatan Anak Indonesia oleh
Orang Asing:
Calon Orang Tua Angkat:
a. berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun, maksimal 45
tahun.
b. pada saat mengajukan permohonanpengangkatan anak
sekurang-kurangnya sudah kawin 5 (lima) tahun dengan mengutamakan yang
keadaannya sebagai berikut:
1. tidak mungkin mempunyai anak (dengan surat keterangan dokter
kebidanan/dokter ahli), atau
2. belum mempunyai anak, atau
3. mempunyai anak kandung seorang, atau
4. mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak
kandung.
c. dalam
keadaan mampu ekonomi dan sosial berdasarkan surat ketarangan dari negara asal
pemohon;
d. persetujuan
tertulis dari Pemerintah Negara asal pemohon;
e. berkelakuan baik berdasarkan surat keterangan dari
Kepolisian RI;
f. dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat
keterangan dari dokter Pemerintah RI;
g. telah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia
sekuarang-kurangnya 3 (tiga) tahun berdasarkan surat keterangan dari pejabat
yang berwenang serendah-rendahnya Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II
setempat;
h. telah memelihara dan merawat anak yang bersangkutan
sekurang-kurangnya:
1. 6 (enam) bulan untuk di bawah umur 3 (tiga) tahun.
2. 1 (satu) tahun untuk anak umur 3 (iga) tahun sampai 5 (lima)
tahun.
i. mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak
semata-mata untuk kepentingan kesejahteraan anak.
Calon Anak Angkat:
a. berumur
kurang dari 5 (lima) tahun.
b. berada dalam
asuhan organisasi sosial.
c. Persetujuan dari orang tua/wali (apabila diketahui ada).
Ayat (40 Pasal
39 UU No. 23/2002 seperti dikutip di atas menyatakan: “Pengangkatan anak oleh
warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.” Tampak di
sini, bahwa walaupun pada dasarnya pengangkatan anak oleh orang asing
dibolehkan, tetapi sebenarnya hanya dibolehkan atas dasar darurat dengan
melihat kepentingan anak itu sendiri.
4. Pengangkatan
Anak Melalui Peradilan Umum
Untuk melihat praktek pengangkat
anak melalui Peradilan Umum, di sini sebagai contoh disimpulkan dua penetapan
Pengadilan Negeri.
Kasus I : Penetapan
No. 45/Pdt.P/2005/PN.JKT.PST oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Pasangan suami-isteri Suprayitno dan Suryani, melangsungkan pernikahan pada
tanggal 2 Maret 1997 berdasarkan kutipan Akta Nikah No. 1167/10/III/1997 yang
dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Tanah Abang, Jakarta. Sampai permohonan
diajukan (24 Maret 2005), pasangan ini belum dikarunia keturunan. Penyebabnya
menurut keterangan dokter adalah karena indung telur kiri Suryani telah
diangkat sehingga mempengaruhi kesuburan rahim. Pasangan ini berkeinginan
mengangkat seorang anak perempuan bernama Rizka Amelia Putri, lahir di Jakarta
pada tanggal 15 Desember 2004, anak keempat dari saudara sepupu pemohon
(isteri) bernama Jayadi dengan Neneng Zulfahnur.
Setelah memeriksa buti-bukti berupa Kartu Keluarga Pemohon, Kartu
Penduduk,Akta Nikah, Surat Keterangan Berbadan Sehat atas nama Para Pemohon,
Akte Kelahiran Para Pemohon, Surat Keterangan Catatan Kepolisian atas nama Para
Pemohon, slip gaji atas nama Suryani, Surat Hasil Kunjungan Rumah oleh Kantor
Dinas Bina Mental Spritual Dan Kesejahteraan Sosial Propinsi DKI, Surat
Pernyataan atas nama Para Pemohon, dan Kutipan Akte Nikah atas nama Rizki
Amelia Putri, serta keterangan saksi-saksi, maka pengadilan mengabulkan
permohonan Para Pemohon. Dalam penetapan antara lain diperintahkan kepada
Kantor Catatan Sipil DKI untuk menerbitkan akte kelahiran baru/membuat catatan
pinggir atas nama Rizki Amalia Putri, lahir di Jakarta tanggal 15 Desember 2004
sesuai dengan Akte Kelahiran No. 34.367/U/JT/2004 tanggal 30 Desember 2004.
Kasus 2:
Penetapan No. 119/PDT.P/2002/PN.JKT.PST oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Pemohon Dewi Kristie Eriksson pada mulanya adalah warga negara Indonsia,
lahir di Jakarta pada tanggal 22 Mei 1964 dari pasangan N. Suparman dan Mamah
Maryamah. Pemohon melanjutkan pelajaran dan bekerja di Swedia dan menikah
dengan seorang warga negara Swedia bernama Goran Eriksson, tetapi kemudian
menjadi warga negara Swedia. Pemohon telah bercerai dengan suaminya dan tidak
dikarunia anak karena kedua indung telur Pemohon sudah diangkat.
Pemohon berkeinginan mengangkat anak bernama Ebba Kristie Yamin, lahir di
Jakarta pada tanggal 7 Agustus 1993, anak keempat dari kakak kandung Pemohon
bernama Cucu Suwarsih dengan M. Yamin Kemal. Upaya pengangkatan anak ini telah
dibicarakan oleh Pemohon dengan ayah dan ibu kandung anak tersebut sejak ia
berumur 3 (tiga) tahun. Orang tua anak tersebut telah menandatangani
persetujuan pengangkatan anak pada tanggal 7 Agustus 1996, tetapi permohonan
baru diajukan ke pengadilan setelah ia berumur 9 tahun. Ebba Kristie Yamin
sendiri telah mengetahui sejak lama bahwa ia akan dijadikan anak angkat.
Setelah mengajukan bukti-bukti berupa foto kopi paspor atas nama Pemohon,
foto copy formulir permohonan menetap di Swedia, foto copy pernyataan dari
Pemerintah Swedia bahwa Pemohon adalah warga negaranya, foto copy Putusan
Pengadilan Swedia bahwa Pemohon telah bercerai dengan suaminya, foto copy
keterangan medis bahwa Pemohon tidak mungkin mempunyai anak, foto copy Akte
Kelahiran atas nama Ebba Kristie Yamin, foto copy Akta Nikah atas nama M. Yamin
Kemal, foto copy Kartu Keluarga M. Yamin Kemal, foto copy pernyataan Cucu
Suwarsih, foto copy surat pernyataan dari perusahaan tempat Pemohon bekerja di
Swedia bahwa Pemohon bergaji 17.000 kronor (mata uang Swedia) setiap bulan,
foto copy Surat Keterangan Pendapatan dan Pajak tahun 2002, surat keterangan
dari Pemerintah Kota Stockholm bahwa Pemohon mengajukan permohonan pengangkatan
anak, Surat Keterangan Kepala Desa Bayongbong, Kabupaten Garut, dan foto copy
Surat Keterangan dari Kantor Pajak Pemerintah Stockholm 2, serta keterangan
saksi-saksi, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menetapkan :
· Mengabulkan permohonan Pemohon ;
· Menetapkan anak perempuan bernama Ebba Kristie Yamin, tanggal lahir 7
Agustus 1993 di Jakarta, sebagai anak angkat dari Dewi Kristie Eriksson, No.
Pribadi 640522-2800, alamat di Domargrand 7, 7tr 129 47 Hagersten Swedia, warga
negara Swedia.
· Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara yang ditetapkan sebesar Rp
119.000,- (seratus sembilan belas ribu rupiah).
5. Pengangkatan
Anak Berdasarkan Hukum Islam
Pengangkatan anak dalam istilah Arab disebut tabanni atau tabanni
ath-thifl, yaitu menjadikan seseorang sebagai anak. Qur’an
menyebutnya da‘iyyun, yaitu “menghubungkan asal usul kepada seseorang
yang bukan ayah kandungnya.” Menurut
Qur’an, da‘iyyun adalah klaim yang tidak benar terhadap asal usul karena
seseorang telah menghubungkan keturunan kepada yang bukan keturunannya. Karena
itu, Qur’an melarang pengangkatan anak dengan menyatakan: “ . . . Allah
tidaklah menjadikan anak angkat sebagai anak kalian sendiri. Itu hanya ucapan
mulut kalian semata, sedangkan Allah mengatakan kebenaran dan Ia menunjuki
kepada jalan yang lurus.” Ayat ini didahului dengan pernyataan bahwa Allah
tidak menciptakan dua hati dalam rongga dada manusia, seperti diterangkan oleh
Ibnu Katsir, bahwa seseorang tidak mungkin menyamakan antara seorang ibu dan
seorang isteri bagaimana pun mirip keduanya, seperti juga tidak mungkin
menyamakan antara anak kandung dan anak angkat bagaimana pun keduanya dianggap
sama. Larangan ini berhubungan dengan kasus pengangkatan Zayid bin Haritsah,
seorang budak, menjadi anak Nabi Muhammad s.a.w.
Implikasi dari kasus ini, Zayid yang tadinya dipanggil dengan nama Zayid
bin Muhammad, kemudian diganti dengan Zayid bin Haritsah sesuai nama ayah
kandungnya, mengikuti ketentuan ayat 5 surah al-Ahzab. Sungguhpun demikian,
Zayid tetap berada di bawah tanggungan Nabi Muhammad, tetapi sebagai anak asuh
dalam istilah masa sekarang, tidak dipandang mempunyai hubungan darah dengan
Muhammad, tidak pula saling mewarisi, dan tetap berstatus sebagai orang lain (ajnabiy)
yang tinggal mendapat perlindungan di rumah Nabi Muhammad s.a.w. Karena anak
angkat model ini tidak mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayah
angkat, maka setelah Zayid bin Haritsah bercerai dengan isterinya, janda Zayid
bin Haritsah kemudian menjadi isteri sah Nabi Muhammad, seperti ditegaskan oleh
ayat 37 surah al-Ahzab. Jadi, “pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam”
seperti yang disebut oleh UU No. 3/2006 tidak boleh bertentangan dengan kasus
Zayid bin Haritsah.
Pasal 171 (h) KHI mengatur pengangkatan anak menurut hukum Islam.
Disebutkan: “Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari
orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.”
Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Agama. Pasal 209 (2) KHI menyatakan
bahwa anak angkat hanya berhak mendapat washiah wajibah,
sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan, bila almarhum tidak
meninggalkan wasiat untuk anak angkatnya, tetapi tidak mendapatkan hak waris.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penetapan anak angkat
tersebut. Pertama, anak angkat tidak dapat menggunakan nama ayah angkatnya,
seperti dijelaskan oleh ayat 5 surah al-Ahzab di atas. Kedua, antara ayah
angkat dengan anak angkat, ibu angkat dan saudara angkat tidak mempunyai
hubungan darah. Mereka dapat tinggal serumah, tetapi harus menjaga ketentuan mahram
dalam hukum Islam, antara lain tidak dibolehkan melihat ‘awrat, berkhalwat,
ayah atau saudara angkat tidak menjadi wali perkawinan untuk anak angkat
perempuan, dan lain-lain. Salah satu jalan keluar yang dapat diusulkan untuk
pemecahan hubungan mahram adalah dengan tindakan ibu angkat menyusukan anak
angkat di masa menyusui. Dengan tindakan ini. maka antara anak angkat dan
keluarga angkat terbentuk hubungan sepersusuan yang berakibat hukum menurut
ketentuan syariat Islam. Ketiga, di antara mereka tidak saling mewarisi. Jadi,
pengangkatan anak yang dimaksud mirip dengan pewalian harta benda untuk anak
yang belum dewasa atau anak asuh seperti yang banyak berkembang dalam
masyarakat Indonesia dewasa ini. Dengan demikian, pengangkatan anak model ini
sejalan dengan semangat Undang-Undang Perlindungan Anak dan Keputusan Menteri
Sosial yang bertujuan untuk memelihara kepentingan anak dan bukan kepentingan
orang tua atau keluarga angkat seperti pada peraturan perundang-undangan yang
diwarisi dari zaman pemerintahan Belanda.
6. Penentapan
Anak oleh Peradilan Agama
Sebelum lahirnya UU No. 3/2006, beberapa Pengadilan Agama di beberapa
daerah telah membuat penetapan pengangkatan anak versi hukum Islam. Di sini
disebutkan dua kasus sebagai contoh.
Kasus 1:
Penetapan No. 011/Pdt.P/2001/PA.Bn oleh Pengadilan Agama Bengkulu
Pasangan suami-isteri K.M. Lutfi Akib bin Akib (41 tahun) dan Istiabudiati
Cinti M. Ali (37 tahun), mempunyai seorang anak laki-laki bernama M. Dhito
Putra Utama. Ketiganya bergama Islam. Mereka sepakat dengan pihak Rumah
Bersalin Tiarra Sella berdasarkan Surat Perjanjian Penyerahan Anak tanggal 1
April 2000 untuk mengangkat seorang anak bernama M. Huda Putra Nugraha yang
tidak disebutkan tanggal lahirnya dan dirahasiakan kedua orang tuanya. Dalam
permohonan, mereka meminta Pengadilan untuk menetapkan anak tersebut sebagai
anak angkat mereka. Permohonan tersebut dikabulkan.
Dalam pertimbangan hukum Majelis
Hakim antara lain dinyatakan bahwa “para Pemohon telah memenuhi maksud dan
unsur-unsur Pasal 49 ayat (1) huruf b UU No. 7 Tahun 1989, Pasal 171 huruf (h),
dan Pasal 209 KHI; Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987,
serta fatwa MUI No. U-335/MUI/VI/82/tanggal 18 Sya‘ban 1402 H/10 Juni 1982,
maka Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan para Pemohon untuk mengangkat
anak/bayi yang kemudian diberi nama M. Huda Putra Nugraha dapat dikabulkan;”
Sebelum itu, dalam pertimbangan hukum
telah ditegaskan bahwa:
· Islam
membolehkan pengangkatan anak dengan tujuan memelihara kepentingan anak;
· Pengangkatan
anak dalam Islam sebenarnya hanya peralihan tanggungjawab pemeliharaan biaya
hidup, pendidikan, bimbingan agama dan lain-lain dari orang tua asal kepada
orang tua angkat, tetapi tidak memutus hubungan hukum/nasab dengan orang tua
asalnya.
· Antara anak
angkat dan orang tua angkat terdapat hubungan keperdataan washiah wajibah;
· Untuk
pengangkatan anak diperlukan persetujuan orang tua asal, wali, atau badan hukum
yang menguasai anak yang akan diangkat;
· Pengangkatan
anak yang tuanya beragama Islam hanya dapat dilakukan oleh orang yang beragama
Islam.
Dalam penetapan ini tidak disinggung masalah mahram menyangkut
hubungan antara angkat dengan ayah, ibu dan saudara angkatnya di mana angkat
tersebut dalam pandangan hukum Islam masih tetap sebagai ‘orang asing’ dalam
keluarga tersebut. Juga tidak diberikan pertimbangan hukum Islam yang lebih
jelas tentang kebolehan mengangkat anak dengan tujuan pemeliharaan kepentingan
anak. Selain itu, orang tua anak juga dirahasiakan, dan ini akan berdampak
besar di kemudian hari menyangkut masalah hubungan hukum antara anak angkat
dengan orang tua dan keluarga asalnya. Dalam penetapan ini juga tidak terdapat
perintah kepada Kantor Catatan Sipil untuk membuat catatan pinggir di akta
kelahiran anak angkat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum Islam.
Kasus 2: Penetapan
No. 06/Pdt.P/2006/PA.Btl oleh Pengadilan Agama Bantul
Pasangan suami isteri Dr. Mochammad Any Ashari bin Charil Anam (51
tahun) dan Diyah Ekowati Ratnasari Cinti R. Sumarjono (40 tahun) telah menikah
tanggal 7 Juni 2002, tetapi sampai tanggal 4 Januari 2006 belum dikaruniai
anak. Pada tanggal 21 November 2005, mereka telah mengangkat seorang anak
perempuan bernama Aulia Khoirunnsa, lahir 11 November 2005, dari seorang ibu
bernama Ny. Mustofainah binti Mardlillah. Semua pihak yang terkait beragama
Islam. Mereka mengajukan permohonan kepada PA Bantul untuk mendapatkan
penetapan anak tersebut sebagai anak angkat mereka. Permohonan ini dikabulkan
oleh PA dengan menyatakan sah pengangkatan anak tersebut.
Pertimbangan majelis hakim menerima permohonan ini karena terbukti di
persidangan berdasarkan saksi-saksi dan bukti-butki bahwa (1) kedua orang
pemohon adalah suami-isteri yang kawin secara sah dan (2) termasuk orang yang
mampu secara ekonomi dan pendidikan, (3) bahwa anak tersebut lahir di luar
perkawinan yang sah dan ayah biologisnya tidak bertanggungjawab, (4) ibu
kandung anak tersebut termasuk orang yang tidak mampu secara ekonomi, (5) ibu
kandung dan adik kandung dari ibu sang anak merelakan anak tersebut diasuh oleh
para pemohon, dan (6) sampai permohonan ini dipertimbangkan, sang anak dalam
keadaan sehat walafiat di bawah perawatan seorang ayah angkat yang dokter dan
ibu angkat yang PNS.
Selanjutnya disebutkan dalam pertimbangan hukumnya “bahwa pengangkatan
anak tidak memutuskan atau merubah nasab antara anak angkat dengan orang tua
asal sehingga karenanya anak tersebut tetap dinasabkan kepada orang tua
kandungnya, berdasarkan Pasal 43 (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo Pasal
100 KHI Tahun 1991 serta petunjuk Allah dalam al-Qur’an surah al-Ahzab ayat 5 .
. .”
Dalam pertimbangan hukum penetapan ini sepatutnya anak kalimat “tidak
memutuskan atau merubah nasab antara anak angkat dengan orang tua asal”
seharusnya diganti dengan “tidak memutuskan atau merubah nasab antara anak
angkat dengan ibu kandungnya”. Hal itu karena hubungan anak yang lahir di luar
perkawinan yang sah hanya kepada ibunya (Pasal 100, Pasal 171 h KHI). Juga
tidak disinggung tentang ketentuan mahram, karena anak yang hidup di
rumah orang tua angkat tersebut, bila telah dewasa tidak dapat berkhalwat dengan
ayah angkatnya, yang sebenarnya adalah seorang yang asing (ajnabiy)
baginya. Juga tidak ada perintah kepada Kantor Catatan Sipil untuk membuat
catatan pinggir di akte kelahiran anak angkat yang memenuhi ketentuan hukum
Islam.
7. Akibat
Hukum
Pengangkatan anak berdasarkan tradisi hukum Barat/Belanda melalui
Pengadilan Negeri mempunyai akibat hukum hukum yang berbeda dengan pengangkatan
anak berdasarkan hukum Islam melalui Pengadilan Agama.
Pengangkatan anak versi hukum Islam sebenarnya merupakan hukum hadhnah
yang diperluas dan sama sekali tidak merubah hubungan hukum, nasab dan mahram
antara anak angkat dengan orang tua dan keluarga asalnya. Perubahan yang
terjadi hanya perpindahan tanggungjawab pemeliharaan, pengawasan dan pendidikan
dari orang tua asli kepada orang tua angkat.
Pengangkatan anak versi hukum Islam tidak merubah status anak angkat
menjadi anak kandung dan status orang tua angkat menjadi status orang tua
kandung, yang dapat saling mewarisi, mempunyai hubungan keluarga seperti
keluarga kandung, kecuali hubungan keluarga persusuan bila ibu angkat berhasil
menyusukan anak angkat sewaktu masih dalam masa menyusui, dan lain-lain.
Demi kepentingan hukum anak angkat dan pihak-pihak yang terkait, maka
perbedaan yang esensial antara kedua tradisi hukum di atas harus dicantumkan
dalam setiap Penetapan Pengangkatan Anak di Pengadilan Agama, pencatatan di
Kantor Catatan Sipil, Departemen Sosial dan lembaga-lembaga lainnya yang
berhubungan.
8. Penutup
Dengan kewenangan baru Peradilan Agama menetapkan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam sesuai UU No. 3/2006, maka diperlukan beberapa
kejelasan.
Pertama menyangkut kewenangan
pengangkatan anak bagi warga beragama Islam. Dengan ketentuan ini, apakah
Peradilan Umum masih berwenang menetapkan pengangkatan anak untuk warga
beragama Islam? Misalnya, salah satu kewenangan Peradilan Agama adalah memutus
sengketa kewarisan bagi warga yang beragama Islam, tetapi dalam praktek yang
berlaku beberapa Pengadilan Negeri masih mengadili perkara kewarisan ummat Islam.
Apakah hal yang sama juga akan terjadi terhadap pengangkatan anak bagi ummat
Islam?
Kedua adalah pengangkatan anak untuk
warga muslim yang sudah dewasa dalam perkara pembagian waris. Apakah untuk
kasus seperti ini diperlukan itsbat pengangkatan anak seperti halnya istbat
nikah dalam perkara perceraian, harta bersama dan kewarisan?
Ketiga, untuk memudahkan proses
pencatatan diperlukan kerjasama dan kesepahaman tentang anak angkat versi hukum
Islam antara Pengadilan Agama, Pengadilan Negeri, Kantor Catatan Sipil,
Departemen Sosial dan lembaga-lembaga lain yang terkait.
Ò Makalah
dikembangkan dari Diskusi Berkala III di Bidang Pencatatan Sipil antara Para
Ahli Hukum Islam dan Hukum Sekuler, diselenggarakan oleh GTZ (Deutsche
Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit), Senin 10 Juli 2006, di Hotel
Le Meredien Jakarta.
[1][1] Rifyal Ka‘bah, The
Jakarta Charter and the Dynamic of Islamic Shariah in the History of Indonesian
Law (Jakarta: University of Indonesia, School of Law, Post Graduate
Studies, 2006), hal. 9-10, 31.
[2][2] Tim Penyususn Kamus
Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1886), hal. 36.
[3][3] “The creation of a parent
child relationship by judicial order between two parties who usually are
unrelated.” Bryan A. Garner (Ed. In Chief), Black’s Law Dictionary (St
Paul, Minn,, 2001, hal. 20.
[4][4] “Pengangkatan seorang anak
sebagai anak kandungnya.” R. Subekti & Tirtosoedibio, Kamus Hukum
(Jakarta: PT Pradnya Paramita. 1996), hal. 6.
[8][8] CD-ROM al-Qur’an al-Karim. Sakhar 1991-1997. Tafsir oleh
Ibnu Katsir terhadap ayat 4 surah al-Azhzab:
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ
قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمْ اللَّائِي تُظَاهِرُونَ
مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ
قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ
“Allah tidak menjadikan dua hati dalam rongka
dada seseorang. Allah tidak menjadikan isteri-isteri yang kalian miripkan
dengan ibu-ibu kalian sebagai ibu kalian sendiri, dan Ia tidak menjadikan
anak-anak angkat kalian sebagai anak kalian sendiri. Itu hanya ucpan mulut
kalian belaka, sedangkan Allah mengatakan kebenaran dan Ia menunjuki kepada
jalan yang lurus.”
[9][9] Ini berdasarkan ayat 32 surah an-Nisa’ tentang wanita
yang tidak boleh dinikahi, antara lain ibu susuan. Dengan penyusuan, maka
terbentuk hubungan kekeluargaan khusus antara ibu susuan serta keluarga yang
dihasilkan oleh tali perkawinan (suami, anak, mertua, cucu) dan anak susuan.
Anak susuan menjadi mahram bagi keluarga yang menyusuinya, tetapi tidak
mendapatkan hak waris. Untuk mendapatkan status hukum ibu susuan, penyusuan
tersebut harus dilakan dalam masa menyusui dan menurut pendapat terkuat para
fuqaha’ tidak boleh kurang dari lima kali menyusui. ‘Abd al-‘Aziz bin ‘Abdullah
bin Baz et.el., Fatawa al-Mar‘ah (Riyadh: Dar al-Wathan li an-Nasyr,
1414 H). hal. 134-135; lihat juga keterangan Ibnu Katsir tentang tafsir ayat
tersebut serta berbagai riwayat Hadits yang dikutip.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar