Wartawan terkenal, almarhum Mukhtar
Lubis pernah mengatakan pada tahun tujuh puluhan bahwa korupsi telah menjadi
budaya bangsa Indonesia. Sebuah pernyataan yang menggelitik dan menyinggung
banyak orang, tetapi susah untuk diingkari.
Manusia itu berbudaya, maka hasil
kebudayaan manusia melahirkan peradaban yang lebih baik dari masa ke masa.
Hal-hal yang dihasilkan oleh peradaban maju antara lain adalah budaya bersih,
budaya sehat, budaya rapih, budaya cerdas, budaya santun, budaya anti
kekerasan, kejahatan dan ketidak adilan, dan lain-lain. Dengan menyebut korupsi
sebagai budaya, apakah berarti bahwa orang Indonesia pada umumnya telah menjadi
makhluk rakus, tidak lagi patuh kepada norma agama dan hukum, tidak tahu lagi
sopan-santun, telah hidup bak binatang buas di hutan balantara yang hanya ingin
selamat sendiri?
Budaya sebagai hasil usaha manusia yang
sadar selalu dibudayakan dari generasi ke generasi. Pembudayaan tersebut
biasanya dilakukan melalui pendidikan formal dan non formal, dari guru ke
murid, dari orang tua ke anak-cucu, dari tokoh ke khalayak ramai, dan
seterusnya. Bila benar, korupsi telah menjadi budaya bangsa Indonesia, maka
berarti pembudayaan korupsi sedang berjalan dalam masyarakat. Untuk menguji
kebenaran “teori” Mukhtar Lubis ini memerlukan dukungan
data lapangan, dari praktek yang berlaku di tengah masyarakat Indonesia pada
waktu ini.
Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari kata corruptus
yang berarti perubahan tingkah laku dari baik menjadi buruk (to change from
good to bad in morals, manners, or actions); rot, spoil (rontok, rusak); dan lain-lain. Secara
hukum, korupsi adalah “sebuah perbuatan yang dilakukan dengan maksud memberikan
keuntungan yang tidak sesuai dengan tugas resmi dan hak orang lain” (an act
done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and
the right of others). Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan bahwa orang yang dapat
dipidana karena tindak pidana korupsi adalah “Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Kenapa Korupsi
Masalah korupsi selalu menarik untuk
dibicarakan karena berbagai hal. Pertama, korupsi menyangkut uang rakyat atau
harta negara yang harus digunakan sesuai kehendak rakyat atau peraturan
perundang-undangan yang dibuat negara. Bila menyangkut uang atau kekayaan
pribadi, maka itu adalah kejahatan biasa yang disebut pencurian, penipuan,
perampokan dan lain-lain. Bila terbukti, maka kejahatan seperti ini dihukum
dengan hukum biasa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Pidana biasa.
Sementara itu, kejahatan korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus
ditangani secara luar biasa, melalui pengadilan khusus, dengan hakim yang
dilatih khusus, dan dengan hukuman yang lebih berat. Ini antara lain dibunyikan
dalam pertimbangan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa “tindak pidana korupsi perlu
digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar
biasa.” Dalam penjelasannya antara lain dinyatakan bahwa “pemberantasan tindak
pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan
sistem pembuktian terbalik, yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.”
Kedua, korupsi adalah penyakit
masyarakat yang akan menghancurkan sebuah negara bila tidak segera dibendung.
Sebagai penyakit, maka penyelesaiannya tidak hanya dengan menghukum para
pelakunya, tetapi terutama sekali adalah dengan menyembuhkan penyakit
masyarakat yang menyebabkan tingkah laku korup. Setelah kejahatan korupsi
ditumpas melalui penegakan hukum yang benar, maka tugas negara dan masyarakat
selanjutnya adalah membina masyarakat melalui pendidikan formal, pendidikan
masyarakat dan pendidikan rumah tangga. Membawa koruptor ke meja hijau adalah
sebuah tugas berat, dan membina masyarakat anti koruspi merupakan tugas yang
lebih berat lagi.
Ketiga, korupsi melibatkan orang-orang
yang seharusnya menjadi panutan masyarakat karena mereka adalah tokoh yang
dipilih dan terpilih, dari kalangan terpelajar dan bahkan berpengetahuan
seperti ulama, disumpah menurut agama dan kepercayaannya sebelum memangku
jabatan, dan lain-lain. Membiarkan korupsi merajalela akan melahirkan krisis
kepercayaan, sikap putus asa, kehilangan kepemimpinan publik dan lain-lain
sehingga negara akan mati secara perlahan-lahan. Selanjutnya akan berlaku apa
yang disebut “the decline of civilization”
oleh Arnold J. Toyenbee dalam A Study of History dan “peradaban
tumbuh silih berganti” seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Khaldun
dalam al-Muqaddimah.
Kasus-Kasus Mutakhir
Permasalahan korupsi dapat kita lihat
dari dua sumber korupsi yang menarik perhatian publik akhir-akhir ini. Pertama
adalah sekitar dana taktis Komisi Pemilihan Umum KPU), dan kedua adalah dana
abadi ummat (DAU) di Departemen Agama.
Dana taktis tidak hanya ada di KPU.
Dapat dikatakan bahwa hampir semua badan resmi negara dan kantor-kantor
pemerintah mempunyai dana taktis dari sumber yang tidak sama. Dana taktis
biasanya berasal dari sebuah kebijakan dari sebuah badan atau kantor yang
sumber dan penggunaannya hanya diketahui oleh para pentinggi di badan atau
kantor tersebut. Dari kasus-kasus korupsi KPU yang sedang diungkap sekarang,
dana tersebut berasal dari rekanan KPU yang berhubungan dengan perlengkapan
pemilu seperti pencetakan kartu suara, pembuatan kotak suara, pembelian tinta,
jasa transportasi, pembelian alat-alat elektronik seperti komputer, telefon,
telefon genggam, kendaraan dan lain-lain. Dana taktis dalam kasus KPU
melibatkan make-up harga, kwitansi fiktif, tender fiktif, kolusi, sogokan
kepada lembaga-lembaga terkait seperti DPR, KPK dan lain-lain.
Jadi pada kasus KPU, dana taktis
berhubungan dengan pengadaan barang. Dengan demikian, salah satu pintu
pengungkapan kasus korupsi dapat dimulai dari masalah pengadaan barang di
badan-badan resmi dan kantor-kantor pemerintahan yang ada. Semua badan resmi
dan kantor pemerintahan mempunyai proyek pengadaan barang-barang setiap tahun
dari anggaran rutin dan anggaran pembangunan. Kasus pengadaan barang di KPU
adalah korupsi baru yang umumnya dilakukan oleh orang-orang “yang
belum berpengalaman” karena mereka bukan berasal dari dunia
birokrat sehingga lebih mudah tersingkap. Kasus pengadaan barang di badan dan
kantor lain mungkin lebih sulit terungkap karena dilakukan oleh birokrat yang
sudah berpengalaman bertahaun-tahun dalam proyek pengadaan barang seperti ini
sehingga kemungkinan kejahatan yang dilakukan lebih rapih.
Korupsi pada DAU berhubungan dengan
kelebihan ongkos naik haji yang disetor oleh calon haji setiap tahun. Dari ONH
yang ditetapkan pemerintah setiap orang haji dalam prakteknya tidak semuanya
terpakai. Haji itu sendiri dalam istilah agama adalah “tijâratan lan tabura” (dagang yang tidak pernah rugi). Pada zaman Tarmizi Tahir
menjadi Menteri Agama pernah terungkap oleh beliau bahwa sisa ONH tersebut
sering mencapai 50 milyar rupiah. Di negara tetangga Malaysia, ONH diurus oleh
badan yang disebut Tabung Haji. Sesuai namanya, dana tersebut adalah tabungan
orang haji dan bila ONH yang real kurang dari yang mereka tabung, maka sisanya
kembali kepada orang haji yang bersangkutan berupa investasi atas nama dirinya.
Di zaman lampau, sebelum adanya PP tentang DAU, penggunaan dana orang haji
Indonesia semuanya terserah kepada Menteri Agama dan Pemerintah. Konon kabarnya
sisa dana haji sering pula digunakan untuk mendukung kebijakan Pemerintah,
memenangkan Golkar dalam pemilu dan lain-lain. Selama itu tidak ada
pertanggungjawaban penggunaannya kepada jama`ah haji Indonesia sebagai pemilik
dana.
Haji sebagai ibadah agama mendapatkan
pahala sorga di akhirat, tetapi sebagai bisnis yang menghasilkan uang kepada
banyak orang di lingkungan Depag telah memberikan pahala dunia kepada orang-orang
tertentu. Bila bisnis ini dilakukan secara legal dan halal, tentu juga akan
mendapatkan pahala akhirat, tetapi belajar dari kasus KPU, susah dapat diyakini
bahwa semuanya berjalan legal dan halal. Sebagai bisnis, haji melibatkan
berbagai proyek pengadaan barang dan alat seperti alat transportasi, akomodasi,
kosumsi/katering, seragam, pakaian ihram dan lain-lain. Bila pendekatan dana
taktis dan pengadaan barang-barang di KPU juga diterapkan, maka bisa jadi akan
tersingkat berbagai kasus make-up, kolusi, kwitansi fiktif, tender fiktif,
manipulasi dan lain-lain. Ini tentu di samping penyalahgunaan DAU yang sekarang
sedang diperiksa oleh pihak terkait dan sebagiannya telah ditetapkan sebagai
tersangka dan dijatuhi vonis pengadilan.
Menarik dalam dua sumber korupsi ini
karena keduanya melibatkan pejabat dan pegawai pemerintah yang menjadi harapan
rakyat. Pada kasus KPU terdapat aktivis LSM dan kaum akademisi yang sebelumnya
tidak pernah dipertanyakan integritas kepribadian mereka. Pada kasus DAU adalah
pejabat dan pegawai pemerintah yang menangani masalah agama yang dulu pada masa
Meneri Agama Mukti Ali disebut sebagai teknograt langit. Ibarat langit yang
melindungi bumi dan memberi rezki dan kesegaran kepada seluruh penduduk, maka
para pejabat dan pegawai negeri di departemen ini sebenarnya diharapkan rakyat
akan menjadi suluh masyarakat dalam penegakan ma‘ruf dan pencegahan
kemungkaran. Dengan kasus DAU, maka harapan tersebut menjadi pudar di mata
masyarakat.
Dari dua sumber korupsi ini, dapat
diambil kesimpulan bahwa integritas ilmiah dan pengetahuan agama serta mengurus
urusan agama saja tidak cukup untuk mencegah korupsi.
Jalan Keluar
Dalam ilmu politik dikatakan bahwa kekuasaan yang tidak
terbatas cenderung melakukan korupsi. Masyarakat meyakini bahwa korupsi sudah
merupakan bagian dari romantika kekuasaan sejak lama di Indonesia, tetapi
karena pada masa Orde Lama dan Orde Baru demokrasi tidak berjalan sebagaimana
mestinya, maka jarang sekali kasus-kasus korupsi yang muncul ke permukaan. Era
Reformasi memberikan harapan besar kepada rakyat untuk sebuah pemerintahan yang
bersih dari kolusi, korupsi dan nepotisme. Alhamdulillah, dalam masa
pemerintahan yang sekarang ini sudah dimulai penyingkapan kasus-kasus korupsi.
Sungguhpun demikian, masih menjadi pertanyaan masyarakat, apakah usaha ini akan
berjalan terus atau akan berhenti di tengah jalan, atau bersifat pilih kasih
dengan menindak pihak-pihak tertentu saja dan membiarkan pihak-pihak tertentu
pula.
Penegakan hukum adalah jalan keluar yang dapat diusulkan untuk
pemberantasan korupsi di Indonesia. Asas yang utama dalam hukum adalah reward
and punishment dengan pengertian orang yang menaati hukum harus dihargai
dan orang yang melanggar hukum harus dihukum. Di luar itu berlaku asas praduga
tak bersalah, bahwa seseorang tetap dipandang tidak bersalah selama tidak
terbukti melalui pengadilan yang bebas dan adil bahwa ia tidak bersalah.
Selain itu, menurut hemat penulis, perlu pengawasan
masyarakat terhadap pejabat dan pegawai pemerintah dan pendidikan ketaqwaan yang
dapat membentengi masyarakat dari perbuatan melawan norma moral dan norma
hukum.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
kita, akhir-akhir ini banyak pihak yang merasakan lemahnya segi pengawasan
terhadap lembaga-lembaga publik. Banyak aset negara dan sumber daya alami dan
manusiawi yang sering tersia-sia karena lemahnya fungsi pengawasan. Sebagian
masyarakat bahkan sering mengeluhkan bahwa lembaga seperti kepolisian dan
sekolah yang seharusnya menjadi pengawas keamanan masyarakat dan anak didik,
malah masih perlu diawasi, ibarat pagar makan tanaman.
Dalam sebuah negara, kita mengenal tiga
lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif, yang terkenal dengan nama Trias
Politika. Secara teoritis, ketiga lembaga tersebut diawasi oleh rakyat sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara, tetapi dalam prakteknya, mekanisme
pengawasan oleh rakyat tersebut sering tidak berjalan dengan baik. Penyebabnya
antara lain karena kurangnya kesadaran masyarakat secara umum tentang peran
mereka sebagai pengawas aparat negara dan kecenderungan sebagian orang yang
hanya mementingkan keselamatan diri sendiri.
Secara teoritis juga, lembaga eksekutif
atau pemerintah diawasi oleh lembaga legislatif atau DPR, dan lembaga yudikatif
(pengadilan) diawasi oleh Komisi Yudisial yang sudah terbentuk. Pertanyaan yang
timbul sekarang, lalu siapa yang mengawasi lembaga legislatif? Pertanyaan ini
menjadi penting mengingat belakangan ini sebagian anggota DPR mendapat sorotan
masyarakat karena tindakan melanggar norma-norma masyarakat dan/atau
norma-norma hukum yang mereka lakukan. Pimpinan dan/atau anggota DPR di
berbagai daerah, misalnya, bahkan menjadi terdakwa dalam perkara pidana korupsi
dan sebagiannya sedang menjalani hukuman. Sampai sekarang masih belum
terpikirkan lembaga yang akan mengawasi DPR dan bila lembaga pengawas
wakil-wakil rakyat ini terwujud, maka akan muncul permasalahan khusus bahwa DPR
sebagai perwakilan rakyat masih memerlukan pengawasan rakyat. Karena itu, perlu
dipikirkan bentuk-bentuk pengawasan baru yang tidak hanya mengawasi para
anggota DPR dan aparat negara, tetapi sekaligus mengawasi setiap individu dalam
masyarakat.
Dalam sosiologi dikenal dua bentuk
pengawasan masyarakat (social control). Pertama adalah melalui internalisasi
norma-norma yang dipegang teguh masyarakat. Kedua adalah melalui penggunakan
sanksi terhadap tingkah langku yang menyimpang (deviation) dari
norma-norma tersebut, baik sanksi moral, misalnya dengan pengucilan oleh
masyarakat, maupun sanksi penghukuman melalui peraturan perundang-undangan atau
penghargaan untuk anggota masyarakat yang berjalan sesuai norma-norma.
Tuntunan Islam dari Qur’an dan Sunnah
sebenarnya adalah norma-norma yang dapat mengawasi tingkah laku masyarakat bila
dapat ditanamkan melalui pendidikan dan pembiasaan. Internalisasi norma-norma
ini dapat dilakukan melalui prinsip amar ma‘ruf nahi mungkar dengan
kewajiban setiap orang dalam masyarakat untuk menggalakkan perbuatan baik dan
mencegah perbuatan mungkar. Sungguhpun demikian, pendidikan dan pembiasaan
semata tidak menjamin anggota masyarakat berperilaku baik sesuai norma-norma
Qur’an dan Sunnah. Hal itu karena dari waktu ke waktu selalu muncul
individu-individu dan kelompok-kelompok yang menyimpang dari tingkah laku
terpuji. Karena itu, diperlukan tindakan reward and punishment melalui
lembaga-lembaga masyarakat, baik lembaga sosial seperti masyarakat adat,
organisasi sosial, LSM, maupun lembaga negara. Dengan tindakan penghargaan dan
penghukuman ini, masyarakat dapat diarahkan kepada tingkah laku yang benar.
Internalisasi norma-norma terlebih
dahulu memerlukan pemahaman yang benar terhadap tuntunan Qur’an dan Sunnah. Ini
berarti pembentukan kader dan ilnuwan dengan wawasan mendalam mengenai Islam
dalam semua disiplin ilmu dan mempunyai komitmen kuat untuk menerapkannya dalam
kehidupan pribadi, rumah tangga dan masyarakat. Mereka inilah yang menjadi
matahari penyinar masyarakat dalam upaya internalisasi norma-norma. Pengetahuan
yang benar tentang Islam akan mendukung internalisasi norma-normanya dalam
kehidupan masyarakat.
Internalisasi norma-norma adalah satu
cara yang efektif dalam mengawas tingkah laku individu, pertama karena tabiat
semua norma moral secara umum yang mengendalikan hati nurani orang-perorang,
dan kedua karena sifat ilahiyah norma-norma Islam yang berdasarkan keyakinan
bahwa tingkah laku makhluk manusia tanpa kecuali mendapat pengawasan langsung
dari Allah s.w.t. Nilai-nilai Islam mengajarkan bahwa perbuatan baik akan
dibalasi dengan baik dan perbuatan jahat akan dibalasi dengan jahat, baik dalam
kehidupan dunia maupun dalam kehidupan yang akan datang di akhirat. Sidi
Gazalba, salah seorang intelektual muslim menyatakan dalam tulisan-tulisannya
pada tahun enampuluhan dan tujuhpuluhan, bahwa keyakinan akan adanya hari
akhirat membuat kita, suka atau tidak suka, harus taat kepada norma-norma
Islam.
Seperti disinggung di atas,
inernalisasi norma-norma Islam harus diikuti dengan tindakan disipliner bagi
para pelanggar batas sehingga menjadi pelajaran bagi warga masyarakat yang lain
bahwa mereka tidak boleh mempermainkan norma-norma dan bila itu dilakukan, maka
mereka akan mendapat ganjaran dari masyarakat dan negara. Jadi, mekanisme
pengawasan masyarakat yang paling efektif setelah internalisasi norma-norma
adalah supremasi hukum dengan pengertian, siapa saja yang melanggar hukum akan
ditindak dengan tegas. Segi ini pulalah yang dirasakan kurang pada waktu ini
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Dengan demikian, norma-norma agama
harus menjadi norma-norma hukum yang ditegakkan bersama oleh masyarakat dan
negara. Dengan kata lain, orang-orang yang duduk di lembaga legislatif,
eksekutif dan yudikatif mestilah orang-orang yang memahami norma-norma Islam
dalam bidang yang mereka geluti dan merasakan pentingnya inernalisasi
norma-norma tersebut dalam mengawasi tindak tanduk mereka di depan atau di
belakang publik. Untuk lebih efektifnya pengawasan tersebut, berbagai norma
agama tersebut perlu menjadi norma hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
kepada semua orang. Perjalanan ini masih panjang, yang memasuki berbagai bidang
yang sangat luas, mulai dari pendidikan rumah tangga dan sekolah, sampai kepada
pendidikan politik, masyarakat dan orang dewasa. Sungguhpun demikian, tidak ada
perjalanan yang terlalu panjang untuk suatu cita-cita dan sebuah bangsa yang
besar. Perjalanan beribu-ribu mil selalu dimulai dari langkah pertama.
Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
selalu merupakan salah satu syarat yang ditetapkan oleh undang-undang negara di
Indonesia untuk menjadi pejabat negara, pejabat tinggi atau pegawai negeri
biasa, baik sipil maupun militer. Secara formal dapat dikatakan bahwa tidak ada
pejabat yang dapat diangkat sebagai pejabat bila tidak memenuhi syarat taqwa.
Ini, misalnya, dapat dilihat dari UU No.
23/2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6a); UU No.
12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pasal 60b); UU No.
/2004 tentang Mahkamah Agung (Pasal 7b); UU No. 2004 tentang Kejaksaan; UU No.
/2004 tentang Kepolisian Negara (Pasal 2b) dan lain-lain.
Penjelasan berbagai undang-undang di
atas menyatakan bahwa: “Yang dimaksud dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa adalah dalam arti taat menjalankan kewajiban agamanya.”
Dapat dipahami dari penjelasan ini
bahwa pejabat negara yang tidak menjalankan kewajiban agama yang ia anut tidak
cukup syarat untuk pejabat negara.
Memperhatikan sejarah
perundang-undangan Indonesia, dapat dipastikan bahwa kata taqwa masuk ke dalam
bahasa perundang-undangan pada awal pemerintahan Orde Baru setelah kegagalan
kaum komunis dalam perebutan kekuasaan berdarah pada tanggal 1 Oktober 1965.
Begitu khawatirnya pembuat undang-undang Indonesia pada waktu itu terhadap
bahaya ajaran komunisme atheisme yang anti agama bagi keselamatan bangsa di
masa di depan, maka setiap pejabat dan setiap warga negara diharuskan memiliki
sifat taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Taqwa secara bahasa antara lain berarti
“takut” dan “mawas diri”. Seorang yang bertaqwa akan selalu menjaga dirinya
dari segala perbuatan yang dilarang Tuhan. Sikap mawas diri tersebut merupakan
pancaran rasa takutnya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sungguhpun demikiran, dari berbagai
tingkah laku tidak terpuji berbagai pejabat negara yang dilaporkan oleh media
massa, terutama akhir-akhir ini, sebenarnya banyak para pejabat negara yang
tidak memahami kata itu, atau kalaupun memahaminya, tetapi telah melanggarnya
dengan sengaja karena ketiadaan takut kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pengertian taqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa adalah dalam konteks ajaran Islam dan tidak mungkin dalam konteks agama
lain. Pemahaman seperti ini juga pernah ditegaskan oleh beberapa orang
penandatangan Piagam Jakarta dari kalangan ulama. Piagam Jakarta tidak lain
adalah Pembukaan UUD 1945 tanpa tujuh kata yang kemudian dihilangkan tanpa
alasan yang jelas. Tuhan Yang Maha Esa adalah inti kalimat tauhid bahwa tidak
ada Tuhan yang patut disembah dan diperhatikan suruhan serta larangan-Nya
kecuali Allah Yang Esa, yang tidak pernah menjadi anak atau beranak.
Taqwa berasal dari bahasa Arab dan
menjadi salah satu istilah al-Qur’an. Banyak penjelasan tentang pengertian
taqwa dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebagai contoh, dalam ayat nomor 2 surah
al-Baqarah, orang bertaqwa dijelaskan dalam ayat 3, 4 dan 5.
Dalam ayat-ayat ini, paling tidak ada
lima ciri orang bertaqwa. Pertama adalah beriman atau meyakini soal-soal ghaib
dalam agama seperti surga, neraka, malakat, jin, iblis, alam kubur, dan
lain-lain. Kedua adalah mengerjakan shalat, terutama shalat wajib lima waktu
dan shalat Jum‘at bagi kaum pria. Ketiga adalah menggunakan rezki pemberian
Allah menurut yang Ia kehendaki. Misalnya adalah penggunaannya untuk keperluan
zakat, sedekah, sumbangan, pembiayaan keluarga dan lain-lain. Keempat adalah meyakini
wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan nabi-nabi berdahulu sebagai
wahyu Allah. Kelima adalah keyakinan akan adanya hari akhirat.
Sebagai contoh, dari ciri orang
bertaqwa nomor dua, yakni melaksanakan shalat. Kita mendengar dan mengetahui
banyak pejabat beragama Islam yang tidak shalat. Malah konon kabarnya seorang
Presiden yang ahli agama di masa lalu tidak melakukan shalat-shalat wajib
secara teratur. Memang pada waktu ini cukup banyak para pejabat kita yang
terlihat melakukan shalat di tempat-tempat peribadatan umum, tetapi jumlah yang
tidak shalat juga cukup banyak. Ini, misalnya, dapat kita lihat di kota-kota
besar Indonesia di mana banyak pejabat muslim yang masih tetap berada di kantor
pemerintah atau berkeliaran dengan mobil di luar kantor pada setiap hari
Jum‘at.
Contoh lain adalah ciri nomor empat,
yaitu keyakinan terhadap wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dan
nabi-nabi terdahulu seperti tercantum dalam salah satu rukun iman. Hari ini
banyak orang muslim yang mempertanyakan kebenaran al-Qur’an sebagai wahyu
langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad dan kebenaran as-Sunnah sebagai wahyu
tidak langsung kepada Mabi Muhammad. Mereka antara lain mempertanyakan
ayat-ayat dan Hadits-hadits tentang waris, perbedaan alami antara pria dan wanita,
perbedaan anak kandung dan anak angkat, kebolehan pria beristeri lebih dari
satu bila memenuhi syarat dan lain-lain. Malah ada orang-orang tertentu yang
berani mengawinkan wanita muslimah dengan orang Katolik, Protestan dan
lain-lain. Anehnya, orang-orang yang mempertanyakan atau meragukan ayat
al-Qur’an ini sebagiannya merupakan almuni Fakultas Ushuluddin atau Fakultas
Syari’ah dan sekaligus juga pejabat negara atau paling tidak pegawai tinggi
atau rendah Departemen Agama. Sementara itu mereka selalu memcaca dalam ayat 2
surah al-Baqarah atau paling tidak pernah dulunya membaca bahwa “Kitab
(al-Qur’an) ini, tidak terdapat keraguan di dalamnya, merupakan petunjuk bagi
orang-orang yang bertaqwa.”
Ciri orang bertaqwa kelima adalah yakin
terhadap hari akhirat. Seperti diterangkan oleh almarhum Prof. al-Faruqi, kata
yakin mempunyai pengertian yang sama dengan kata iman, yang diterima dengan
kepuasan hati dan pikiran. Hari Akhirat, yaitu hari lain dari hari dunia ini,
disebut juga Hari Agama (yaum ad-dîn) dan Hari Perhitungan (yawm al-his鈈). Semuanya diartikan sebagai Hari Pembalasan (yawm
al-jazâ’) di mana perbuatan jahat selama hidup di dunia akan dibalasi
dengan balasan jahat dan perbutan baik akan dibalasi dengan balasan baik. Ini
adalah semacam konsep rewards and punishment dalam dunia pendidikan dan
dunia hukum.
Dalam kaitan dengan ciri kelima ini,
kita melihat banyak orang dalam kehidupan dunia ini, baik pejabat maupun bukan,
yang tidak takut melakukan pelanggaran dan kejahatan. Mereka tidak hanya
melanggar hukum buatan manusia, tetapi juga hukum yang berasal dari syari‘at
Allah s.w.t.
Penutup
Banyak penyebab tindak pidana korupsi, antara lain adalah
sebagai berikut:
Pertama, minimnya gaji pejabat negara dan pegawai negeri
secara umum dibanding kebutuhan hidup mereka sehingga mendorong pihak-pihak
yang lemah iman untuk menyalahgunakan kekuasaan.
Kedua, jiwa konsumerisme yang semakin meningkat dalam
masyarakat Indonesia sejak zaman Orde Baru, terutama akibat periklanan massal,
dunia kosmetik dan hiburan, membuat sebagian orang tertarik kepada
barang-barang yang tidak mungkin mereka beli dari pendapatan rutin.
Ketiga, lemahnya pengawasan masyarakat, baik melalui lembaga
resmi pengawasan, maupun media penyalur pendapat umum, seperti surat kabar,
majalah, radio, televisi, khutbah, rapat umum dan lain-lain.
Keempat, rekruitmen pejabat negara dan pegawai negeri yang
kurang memperhatikan integritas pribadi dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa.
Kelima, lemahnya penegakan hukum secara umum di mana orang
bersalah tidak mendapat hukuman dan pencari keadilan susah mendapatkan keadilan
yang tidak memihak.
/
[2]Hendry Campbell Black, Black’s Law Dictionary (St.
Paul, Minn.: West Publishing Co., 11th reprint, 1997), hlm. 345.
[4]Philip Nicholls and Alan Sillitoe (eds.),
Collins Dictonary of Sociology (Glasgow: Harper Collins Publisher,
1995), hlm. 606.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar