(Oleh Ansari, S.H.I)
Penguasa baik nasional
maupun lokal selalu menjaga kekuasaannya agar bertahan lama dengan cara
membodohi seluruh warga masyarakat. Di saman Orde Baru, pusat-pusat pendidikan
seperti SD, SMP, SMA, maupun Perguruan Tinggi
tak luput dari upaya-upaya
pembodohan. Penjejalan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat ideologis pada
semua tingkat pendidikan itu adalah pertanda jelas dari upaya-upaya seperti
itu.
Anak-anak didik dari
sekolah dasar sampai perguruan tinggi diupayakan menghafal semua sila dari
Pancasila, tetapi apa artinya semua sila itu dan bagaimana praksisnya tidak
menjadi perhatian untuk dikritisi. Mereka juga cuma disodorkan sejarah resmi
dari orde yg sementara berkuasa, sementara versi lain dari sejarah tentang
suatu peristiwa di masa lampau semisal peristiwa pergantian kekuasaan tak
diberikan untuk dipelajari apa lagi untuk dikritisi. Jadinya, sejarah yang
selama ini dipelajari atau diketahui umum tidak lebih dari sebuah cerita yang
subjektif dan hanya digunakan untuk melegitimasi sebuah orde yang memerintah.
Tafsir lain dan versi lain adalah bid'ah subversib. Kebenaran hanya datang dari
satu sumber yaitu pemerintah.
Pembodohan itu
berlangsung secara sistematis dan berhasil membunuh akal budi setiap kita
sehingga 32 tahun Orde Baru dengan penyalagunaan kekuasaan yg begitu vulgarpun,
semisal pembunuhan politik di Aceh dan Timor Timur (sebelum merdeka), kita
tidak lagi punya kemampuan untuk membeda-bedakan : mana yang benar, mana yang
salah, mana yang kejahatan dan mana yang pembelaan terhadap (keselamatan)
negara. Apalagi mempertanyakan legitimasi penguasa yg telah menyalahgunakan kekuasaan
itu. Akhirnya, sama-sama kita tahu, Orde Baru - Soeharto berlangsung dengan
aman dan damai selama 32 tahun. 32 tahun Orde Baru adalah 32 tahun penindasan
akal budi. Dan ketika resim ini jatuh, adakah upaya-upaya pembodohan itu telah
berakhir?
Di Jakarta atau
pusat-pusat kota lain, tampak jelas ada upaya-upaya perlawanan. Di
kampus-kampus para mahasiswa dan orang-orang terdidik lainnya mulai mengkritisi
kenyataan-kenyataan dan menggalang aksi-aksi: apa itu demonstrasi ataupun
diskusi-diskusi ilmiah yang bersifat mencerahkan. Belum lagi artikel-artikel
dan buku-buku ilmiah yang ditulis para cendekiawan yang belum berkhianat
(orang-orang yang menyadari fungsinya untuk menyuarakan suara-suara kenabian)
tersebar luas dan mudah memperolehnya. Dan juga tidak sedikit lembaga-lmbaga
swadaya, yang masih idealis, yang menyelenggarakan pendidikan politik bagi
rakyat banyak. Tapi bagaimana dengan di desa-desa kita?
Perbincangan mengenai
kekuasaan, hak-hak politik maupun kewajiban-kewajiban politik warga desa
sepertinya sepi-sepi saja. Apalagi praksisnya. Rapat-rapat di desa selalu
ditandai kebisuan warga desa dihadapan kecerewetan aparat yang terus-menerus
memanipulasi keadaan dengan cara mendefenisikan situasi selalu secara sepihak.
Pemerintah desa dan atau aparanyat selalu menjadi tukang omong dan tukang ambil
keputusan atas semua hal-hal publik.
Kehidupan politik di
desa hanya tampak ketika pemilihan umum dan pemilihan kepala desa. Sementara
praksis sehari-hari berupa kontrol terhadap pemerintah desa ataupun ikut ambil
bagian dalam memutuskan sesuatu yang menyangkut kepentingan umum nyaris tidak
ada. Maka yang terjadi adalah : kepala desa kepala desa menjadi tiran-tirani
lokal yang tidak kalah kualitasnya dengan Soeharto. Dimana keberkuasaan mereka
didefenisikan sebagai prifilese untuk berbuat apa saja di desa, termasuk
"memakan" uang subsidi dan uang umum lainnya. Ini menyebabkan KKN
yang berada di depan mata yang dipraktekan oleh kepala desa sendiri bukan suatu
penyalahgunaan kekuasaan yang sangat perlu dipermasalahkan warga desa.
Reformasi itu secara
gampangnya kita sebut sebagai penyetopan penyalagunaan kekuasaan. Dan
penyalagunaan kekuasaan yang bentuk riilnya adalah korupsi, kolusi dan
nepotisme, bisa berlangsung dimana saja.. Ia bisa dilakukan oleh Presiden di Jakarta,
ia bisa dilakukan oleh Gubernur di propinsi, ia bisa dilakukan oleh Bupati di
kabupaten, ia bisa dilakukan oleh Camat di kecamatan dan ia sangat bisa
dilakukan oleh Kepala Desa di desa. Dalam konteks lokal, bagaimana menggerakan
reformasi di desa?
Secara nasional, yg
menurunkan Soeharto di Jakarta adalah para mahasiswa, sekelompok orang-orang
terdidik dalam politik, dalam artian mereka-mereka adalah orang-orang yang
memahami apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang pejabat publik (Presiden)
dan apa yang tidak boleh dilakukannya. Dan juga mereka tahu apa yang harus
dilakukan mereka jika pejabat publik yang bersangkutan menyelewengkan
kekuasaan. Singkatnya dapat dikatakan bahwa perubahan di Jakarta didorong oleh
orang-orang yang melek politik. Oleh karena itu, jika mau berhasil, perubahan
di desa mestilah juga digerakan oleh warga-warga desa yang melek politik.
Menggerakan perubahan di desa ibarat
menggerakan sebuah batu yang sebebarnya tidak terlalu besar dan juga tidak
terlalu berat tapi justru terganjal oleh batu-batu yang maha besar dan berat
yaitu ketidak melekan politik dari hampir seluruh warga desa. Mengharapkan
warga desa sendiri secara serta merta dalam waktu yang singkat dapat
menggerakan perubahan akan hanya berhadapan dengan apatisme yang
mencengangkan.. Bukankah mereka adalah batu-batu pengganjal itu sendiri?
Orang-orang yang menurut Paulo Freire
tidak memiliki persepsi yang cerdas terhadap manusia dalam hubungannya dengan
dunia dan kekuasaan. Mereka tidak mempunyai pandangan terhadap kondisi sosial
politik. Bagi mereka, kondisi itu sudah ditakdirkan yakni kondisi sosial
politik sebagai feta kompli, bukan suatu proses yg masih dalam tahap pembuatan.
Ini sebuah fatalisme
yang membuat frustrasi bagi aktivis-aktivis perubahan sosial politik di desa yg
mau mengharapkan hasil dalam tempo yang sesingkat-singkatnta. Dan untuk
gampangnya massa dimobilisasi.
Memobilisasi warga desa
dengan hanya mengembar-gemborkan akan apa yg terjadi kelak (yang tentunya
indah-indah atau bagus-bagus), bukanlah pendekatan yg tepat untuk memecahkan
persoalan, karena dengan pendekatan ini, lagi-lagi warga desa dijadikan objek
(Bersambung)
Untuk sebuah perubahan sosial politik
yang radikal di desa haruslah dirancang dengan sangat hati-hati, dan itu
memakan waktu. Segelintir orang harus masuk ke tengah-tengah warga desa untuk
bersama-sama dengan mereka mengkritisi kenyataan-kenyataan sosial politik (yang
tidak manusiawi tentunya) yang dihadapi bersama dan bersama-sama mencari cara
untuk mensiasatinya. Disana sudah tidak lagi ada yang berposisi guru saja, atau
murid saja, tapi guru sekaligus juga murid dan murid yang sekaligus guru. Dan
bahan yg dipelajari adalah realitas sosial politik.
Hanya dengan jalan ini
kita akan membuat perubahan yang berarti di desa. Kesadaran kritis warga desa
yang selama ini ditindas pelan-pelan ditumbuhkan. Dan suatu saat mata mereka
akan terbuka dengan sendirinya bahwa penyalagunaan kekuasaan adalah kejahatan
dan itu harus dicegah atau dilawan. Di sini apatisme secara perlahan dirubah
menjadi antusiasme. Dan warga desa yang antusias tentu mempunyai mobilitas yang
tinggi dan secara aktif terlibat dalam sistem politik untuk memperjuangkan
hak-hak politiknya.
Segelintir orang yg masuk ke
tengah-tengah warga desa, mereka adalah intelektual-intelektual yang menurut Freire sudah tidak lagi memaksakan teori
kepada warga desa. Mereka adalah teorisi yang menyatu secara organik dengan
kebudayaan dan aktivitas warga desa yang tertindas. Mereka tidak
menyebarluaskan pengetahuan secara formal kepada masyarakat, tetapi bergabung
dan hidup bersama untuk mengkondisikan masyarakat secara terus-menerus dalam
rangka proyek sosial yang radikal.
Menengok ke desa,
mayoritas orang sekolahan berlomba-lomba jadi pegawai negri. Dan dalam sebuah
resim yang kleptokrasis, mereka justru datang untuk membodohi warga desa. Dan
cendekiawan yang belum berkhianat? "Mencarinya dengan anjingpun"
tidak kita temui di desa. Mereka semua lebih suka berkumpul di pusat-pusat kota
sambil memandang desa dari jauh, sangat jauh, lewat buku-buku yang ditulis
orang-orang pemerintah yang menjadi wisatawan pembangunan ke desa-desa, dan
ikut berkesimpulan bahwa desa masilah sebuah tempat yang romantis : nyiur tetap
melambai, ayam tetap berkokok, padi tetap menguning, Kepala Desa tetap orang
terhormat dan uang subsidi yang dikirimkan dari Jakarta tetap dibelanjakan
untuk kepentingan umum.
Padahal di sana warga
desa tetap merasakan penindasan kekuasaan dirasakan sebagai sesuatu yang
menyulitkan hari demi hari tapi lucunya, ini bukan persoalan bagi warga desa.
Mereka malah berdoa bagi Kepala Desa mereka agar berumur panjang, murah rejeki,
dan kalau Tuhan mengijinkan, boleh juga enteng jodoh kesekian kali. Sebuah
kebodohan yang hanya dapat dihilangkan dengan pendidikan (politik) yang
bersifat memerdekakan sebuah aksi budaya dimana manusia-manusia ditumbuhkan kesadaran
kritisnya untuk kemudian bisa menyadari posisi dirinya sebagai subjek-subjek
yang merdeka di hadapan kekuasaan atau apapun juga, yang bisa, sangat bisa,
menulis sejarah hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar