Pada dasarnya tasawuf
adalah ekspresi seseorang dalam aktifitas keberagamaan. Ketika ”ajaran” fiqh,
kalam dan filsafat dirasa tak lagi mampu membawa manusia ke dalam tujuan hakiki
beragama, maka tidak pelak lagi, tasawuf dengan jalan ”pencarian” yang
mengedepankan dimensi batin dan spiritual, mulai banyak diliri.
Tasawuf mengajarkan
bahwa realitas Tuhan tidak dapat diketahui oleh metode-metode logis atau
rasionalis yang cenderung eksoteris. Reallitas Tuhan harus didekati melalui
cinta, karena cinta membawa pada penghayatan keagungan dan rahmat Ilahi. Dari
perspektif kaum sufi, sepanjang ”engkau” masih ”dirimu sendiri”, engkau tidak
akan pernah mengenal Tuhan, karena selubung terbesar yang menghalangi engkau
dengan realitas Tuhan adalah ”dirimu”. Hanya api cinta ilahi yang dapat
membakar egosentrisitas.
Pada saat cinta ilahi menguasai alam
pikiran, seolah terbuka secara terang benderang semua hakikat kebenaran yang
dulunya semu. karena yang terpenting baginya adalah Sang Kekasih, cinta
keabadian, cinta tidak pernah berubah, dan bila dicaci maki pun tidak pernah
berubah, karena semuanya hanyalah untuk Allah. Bahkan menurut M. Amin Syukur,
Rabiah Adawiyah, yang masyhur dengan pengalaman cinta kepada Tuhan, mampu
memalingkan diri dari segala sesuatu selain Tuhan.
Cinta yang mewarnai seluruh alam pikir
dan tindakan, membuat sufi selalu memikirkan-Nya, hingga keluarlah prosa-prosa
puitis yang indah dan narasi-narasi bersajak yang menunjukkan indikasi bahwa
hatinya sedang diselimuti suatu rasa yang ”irrasional” kepada-Nya.
Bagi para penerus sufi, cinta ilahi yang
tersirat dalam sajak-sajak puitis tersebut merupakan ajaran dari sang guru yang
patut diikuti, sedangkan bagi para pengkaji yang bukan pelaku tasawuf, ajaran
cinta ilahi tersebut harus disampaikan ke publik yang merasa kehausan terhadap
nilai-nilai spiritual yang mungkin tergerus semangat modernitas. Para pengkaji outsider
Tasawuf ini ada yang dari Timur (muslim) dan juga dari Barat (orientalis).
diantaranya Annemarie Schimmel, Bruce B. Lawrence, Herbert Mason, Gerhard
Bowering, William C. Chittick, John Cooper, Carl W. Ernest dan beberapa
orientalis lain, meski dia seorang orientalis, bahkan Protestan, Schimmel lebih
familiar di tengah-tengah literatur tasawuf muslim kekinian, bahkan tidak
jarang Annemarie Schimmel diminta untuk memberikan ”Kata Pengantar” dalam
beberapa buku tasawuf yang bahkan disusun oleh muslim.
Menurut Schimmel,
tasawuf yang mengajarkan cinta ilahi, merupakan media aktualisasi manusia yang
paling ideal. Keberhasilannya membangun kepribadian manusia serta ide-idenya
tentang cinta kasih, perdamaian, kesederhanaan, penyucian jiwa dan solidaritas
memberi andil yang tidak sedikit dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik.
Konsep cinta dalam hal ini merupakan unsur penting dalam perjalanan pencarian
kesejatian manusia melalui jalan tasawuf.
Orang yang benar-benar
mencintai Tuhan mengetahui bahwa dalam penderitaan, ada tangan Tuhan yang dia
rasakan, dan dia yakin bahwa apapun yang menimpadirinya adalah yang terbaik
baginya, karena Tuhan Maha Tahu atas apa yang terbaik bagi pertumbuhan jiwa dan
penucian ruh
Biografi
Annemarie Schimmel
Annemarie Schimmel
lahir pada tanggal 7 April 1922 di Erfurt, Jerman, sebagai anak tunggal dari
orang tua dengan berbudaya kelas menengah, studinya di Universitas Berlin pada
musim gugur tahun 1939 pada usia tujuh belas tahun.
Pada bulan Oktober
1941, ketika berusia 19 tahun, dia meraih gelar doktor dalam bidang Bahasa dan
Peradaban Islam dengan disertasi tentang Mesir abad pertengahan. Tak lama
kemudian, ia diterima oleh Departemen Luar Negeri pada unit decoding.
Dia terus bekerja pada proyek-proyek ilmiah dalam waktu luangnya.
Schimmel hidup pada saat Jerman sedang
dalam penjajahan dan suatu ketika Schimmel tertangkap dan digiring ke Marburg.
Pada tanggal 8 Mei 1945 hari perang berakhir dan mereka segera mendirikan
sebuah «kamp universitas,» dan memberikan ceramah pertamanya pada hal hal
Islam. Pada tanggal 12 Januari 1946, ia memberikan kuliah perdananya tentang Perwakilan
Utama Tasawuf Islam pada usianya yang ke dua puluh tiga. Pada tahun 1951, ia
meraih gelar doktor yang kedua dalam Sejarah Agama-Agama yang diberikan oleh
Fakultas Teologi Protestan di Marburg, dengan judul penelitian tentang cinta
mistis dalam Islam.
Schimmel sangat mengapresiasi Fakultas
Teologi Islam tersebut yang hendak menjadikannya sebagai pengajar, lantas dia
bertanya, seolah menantang, apakah ada sebuah fakultas teologi Protestan Jerman
yang berani menunjuk seorang wanita muslim untuk guru besar? Bahkan dalam
sambutannya pada Kongres Internasional tentang Sejarah Agama di Roma pada Agustus
1990, Annemarie Schimmel menyampaikan kekecewaannya terhadap kajian tentang
Sejarah Agama yang selalu dikaji dari sudut pandang yang menguntungkan Barat.
Namun sayang, sikap para sarjana Barat tampaknya masih banyak dipengaruhi oleh
latar belakang ”biblikal” dan pendekatan ”klasik” terhadap keilmuan.
Schimmel tinggal di Turki selama lima
tahun (1954-1959) dan membuatnya ”terobsesi” dengan Rumi. Melalui bukunya yang
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Dunia Rumi: Hidup
dan Karya Besar Penyair Sufi.
Selain Rumi, tokoh favorit Schimmel yang
lain adalah Muhammad Iqbal, yang merupakan pemikir Indo-muslim dan penyair,
yang juga mewarnai tulisan-tulisannya selama ini. Hal ini menyebabkan dirinya
pada tahun 1958 mengunjungi Pakistan yang merupakan titik tolak dari suatu
kepentingan penelitian baru yang akhirnya membawanya ke Universitas Harvard.
Pada kunjungan
pertamanya ke Amerika Serikat untuk menghadiri Kongres ke-11 Asosiasi
Internasional untuk Sejarah Agama di Claremont, California, Schimmel didekati
oleh Harvard Wilfred Cantwell Smith, yang mengatakan bahwa terdapat dana besar
yang telah diberikan kepada Universitas Harvard untuk mengkaji dua penyair
besar Urdu, Mir dan Ghalib, dan menyuruh menerjemahkan karya mereka ke dalam
bahasa Inggris dengan gaya bahasa puitis.
Ia sebagai Dosen pada
bidang Budaya Indo-Muslim, dan pada tahun 1970 ia diangkat sebagai profesor
penuh. Annemarie Schimmel mengajar hanya pada musim semi saja dan hampir setiap
tahun ia pergi ke Pakistan di musim gugur. Schimmel merupakan dosen yang banyak
dicari, dengan gaya penyampaiannya yang khas, yaitu menggenggam tasnya dengan
kedua tangan, menutup matanya, dan berbicara untuk persis jumlah waktu yang
diberikan padanya.
Ia pensiun dari Harvard
pada tahun 1992 dan kembali ke Bonn. Dalam kesehariannya, dia menghabiskan
hidupnya dengan kegiatan perkuliahan dan menulis. Ia menerima Hadiah Perdamaian
bergengsi dari Asosiasi pada tanggal 15 Oktober 1995.
Schimmel meninggal
dunia pada tanggal 26 Januari 2003 karena komplikasi setelah operasi. Schimmel
meninggalkan seorang anak yang sangat dicintai, sepupu dan keluarganya, yang
sekarang tinggal di California dan New Jersey.
Karir
Akademik
Schimmel selalu mengenang ayahnya
sebagai ”teman bermain indah penuh menyenangkan”. Ibunya membuatnya merasa dia
adalah anak dari impian dan rumahnya penuh dengan puisi dan sastra, meskipun
keluarganya bukanlah lulusan sastra.
Titik balik dalam hidupnya datang pada
1954 ketika dia diangkat menjadi Profesor Sejarah Agama di Universitas Ankara
(Turki). Di sana ia menghabiskan lima tahun mengajar di Turki dan membenamkan
dirinya dalam tradisi budaya dan mistis Negara.
Berkat karyanya tentang Islam, tasawuf
atau mistisisme dan Muhammad Iqbal, pemerintah Pakistan akhirnya memberikan
penghargaan sipil tertinggi kepadanya yang dikenal dengan Sitara e Imtiaz
(Star of Excellence) dan Hilal e Imtiaz
Adapun di antara
karya-karya Schimmel adalah As Through A Veil: Mystical Poetry in
Islam, New York: Columbia University Press, 1982; And Muhammad Is His
Messenger: The Veneration of the Prophet in Islamic Piety, The University
of North Carolina Press, 1985; Anvari’s Divan: A Pocket Book for Akbar,
1994; A Dance of Sparks: Imagery of Fire in Ghalib’s Poetry; A Two-Colored
Brocade: The Imagery of Persian Poetry, University of North Carolina Press,
1992; Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam,
Gifford Lectures, 1992; Gabriel’s Wing: Study into the Religious Ideas of
Sir Muhammad Iqbal; Mystical Dimensions of Islam, North Carolina
Univ. Press, 1975; Introducción al Sufismo, 2007; Rumi’s World
: The Life and Works of the Greatest Sufi Poet; Im Reich der Grossmoguls:
Geschichte, Kunst, Kultur, 2000; The Empire of the Great Mughals:
History, Art and Culture, Ed. Reaktion books Ltd, London, 2004; The
Triumphal Sun: A Study of the Works of Jalaloddinn Rumi, London: East-West
Pub., 1980; Islamic literatures of India, Wiesbaden : O. Harrassowitz,
1973; Mohammad Iqbal, poet and philosopher: a collection of translations, essays
and other articles, Karachi, Pakistan-German Forum, 1960; Classical
Urdu literature from the beginning to Iqbal, Wiesbaden : O.
Harrassowitz, 1975; Islam: An Introduction, Albany: State
University of New York Press, 1992; We believe in one god: the experience
of God in Christianity and Islam, 1979; Calligraphy and Islamic
Culture, New York University Press, (1990); Islamic Names: An
Introduction (Islamic Surveys), Edinburgh University Press, England, 1990; My
Soul is a Woman, The Feminine in Islam, 1997; Make A Shield From
Wisdom : Selected Verses from Nasir-i Khusraw’s Divan, 2001; Das
Mysterium der Zhal, ed. Eugen Diederichs Verlag, Munich, (1983)
Konsep
Tasawuf Menurut Annemarie Schimmel
Sebelum masuk pada
pembahasan bagaimana Schimmel (outsider) menggambarkan tasawuf, penyusun
akan menggambarkan bagaimana tasawuf berkembang dalam pikiran para sufi dan
pengamat insider tasawuf terlebih dahulu.
Kata tasawuf berasal
dari bahasa Arab, yaitu tashawwuf. Kata tashawwuf merupakan ism
mashdar dari fi’il فوصتي-فوصت
menjadi افوصت.
Kata فوصتي-فوصت
merupakan ينفرحب ديزم لعف
yaitu ”tâ’” dan ”mudhâ’af,” yang sebenarnya berasal dari يثلاث درجم لعف
yaitu فوصي
-
فاص menjadi افوص
yang berarti menjadi berbulu yang banyak.
Sebenarnya para
pengkaji berbeda pendapat tentang asal kata tasawuf, disamping ada yang
berpendapat seperti penjelasan di atas, ada juga yang mengatakan berasal dari
kata al shuffah, al shaff, al shufanah dan al shuf:
Tasawuf adalah ajarannya, sementara pelakunya
disebut mutashawwif yang dalam
bahasa Indonesia disebut sufi, sebagai sifat bagi orang yang biasa menggunakan
kain shuf.
Menurut Sahal Ibnu Abdillah, sebagaimana
dikutip Rosihon Anwar, tasawuf adalah menyedikitkan makan, sungguh-sungguh
dalam beribadah kepada Allah, dan lari dari manusia. Melalui perspektif yang
lebih inklusif dan sosialis, Haidar Bagir dengan konsep tasawuf positifnya
mengatakan bahwa sufi yang baik adalah sufi yang mementingkan amal amal sholeh
untuk memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Ia adalah orang yang sehat, giat
bekerja, mencari nafkah bagi kehidupan dunianya.
Tasawuf adalah ajaran Islam yang membina
akhlak manusia di atas bumi ini, agar tercapai kebahagiaan dan kesempurnaan
hidup lahir dan bathin, dunia dan akhirat.
Sufi adalah orang yang memiliki
sikap-sikap mulia dan menghindari sikap-sikap tercela, sanggup menderita lapar
dan dahaga, tetapi bila memperoleh rizki tidak lekat di dalam hatinya (zuhud).
Zuhud dapat dibagi menjadi dua, sebagai maqam
dan akhlaq.
1.
Maqam, zuhud
berarti hilangnya kehendak, kecuali berkehendak untuk bertemu dengan
Tuhan. Dunia dianggap penghalang (hijab) bertemunya seseorang dengan
Tuhan dan karena itu ia dianggap sesuatu yang berlawanan arah (dikotomi)
dengan-Nya.
2.
Akhlaq,
zuhud dapat diwujudkan dalam kehidupan yang sederhana, wajar, integratif,
inklusif dan aktif dalam berbagai kehidupan di dunia ini, sebagaimana telah
dicontohkan Rasulullah saw. dan shahabat-shahabatnya
Ihsan meliputi
semua tingkah laku muslim, baik tindakan lahir maupun tindakan batin,
dalam ibadah maupun muamalah, sebab ihsan adalah jiwa dari
iman dan islam. Îmân sebagai pondasi yang ada pada jiwa
seseorang dari hasil perpaduan antara ilmu dan keyakinan, penjelmaannya berupa
tindakan badaniyah (ibadah lahiriyah) disebut Islam. Perpaduan
antara iman dan islam pada diri seseorang akan menjelma sebagai
pribadi dalam bentuk akhlaq al karimah atau disebut ihsan.
Syekh Fadhlalla Haeri
mengatakan bahwa tasawuf harus dimulai dari praktek-praktek lahir. Artinya,
tidak benar jika dikatakan bahwa tasawuf harus menghindari urusan dunia dengan
sangat fokus pada urusan akhirat saja.
Menurut Schimmel,
tasawuf sama dengan mistik. Hal itu terlihat dari tulisan-tulisan tasawufnya
yang selalu menggunakan terma mistisisme, bukan terma sufisme, apalagi terma tashawwuf,
meski dia mengakui ada beberapa orang yang menggunakan terma sufisme untuk menjelaskan
tasawuf.
Munculnya kata mistik
diambil dari kata Yunani myein yang berarti ”menutup mata.” Mistik
adalah sesuatu yang mengandung kemisteriusan yang tidak bisa dicapai dengan
cara-cara biasa atau usaha intelektual. Mistik disebut ”arus besar kerohanian
yang mengalir dalam semua agama.” Dalam artinya yang paling luas, mistik bisa
didefinisikan sebagai kesadaran terhadap Kenyataan Tunggal, yang mungkin disebut
kearifan, Cahaya, dan Cinta.
Diantara para orientalis, ada yang
menyebut istilah tasawuf dengan sufisme dan mistisisme dalam konsep Wilayah
dalam Sufisme Awa, Sedangkan yang menggunakan istilah mistisisme adalah
Leonard Lewisohn dalam Pencarian Pembinasaan.
Istilah sufisme merupakan terma yang
lebih tepat dibanding dengan penggunaan istilah mistisisme, karena tasawuf
sesungguhnya tidak hanya berisi tentang perilaku-perilaku mistik saja, seperti
cerita Nabi Yunus dengan ikan paus atau al Hallaj yang bisa menyatu dengan
Tuhan, melainkan juga anjuran untuk hidup bersama, berbagi dan saling
menghormati, sebagaimana tasawuf akhlaqi al Ghazali. Dalam konteks
tasawuf, al Ghazali menganut tasawuf yang bercorak psiko-moral, yang
mengutamakan pendidikan moral sesuai dengan naluri alamiah Islam. Al Ghazali
mengusung konsep ma’rifah dalam batas pendekatan diri kepada Allah (taqarrub
bi Allah).
Menurut hemat penyusun, ini adalah
jawaban kenapa Schimmel tidak pindah keyakinan menjadi Muslim, melainkan tetap
sebagai penganut Protestan yang setia meski telah lama mengkaji bahasa dan
peradaban Islam, mengajar tasawuf di berbagai universitas, bahkan telah lama
meneliti tentang kajian tasawuf. Bagi Schimmel, semua agama mengajarkan
kemistikan, dalam arti kesadaran terhadap Kenyataan Tunggal, yang mungkin
disebut kearifan, Cahaya, dan. Jika semua agama memiliki ajaran kemistikan,
maka semua agama memiliki ajaran tasawuf.
Namun pendapat ini
ditolak oleh Abu Husein an-Nuri yang menganggap tasawuf hanya ada pada ajaran
Islam karena tasawuf adalah ajaran untuk pasrah kepada Tuhan, yaitu Allah,
bukan Tuhan yang lain.
Al Ghazali melarang
seseorang untuk menjadi kafir, karena kufr menurut al Ghazali adalah
penyakit hati yang harus dibersihkan karena dapat membuat hati seseorang
menjadi mati. Selain kufr, penyakit hati yang lain adalah munafik,
fasik, kema’siatan, dan bid’ah.
Kufr harus
dihilangkan (takhallî) dari manusia, karena penyakit hati itu akan
menghalangi manusia untuk menyucikan jiwa (tazkiyah al nafs). Kufr
merupakan perbuatan melanggar syari’at yang sudah sangat jelas dan akan
menggugurkan kalimat syahadat yang telah diucapkan, karena kufr
merupakan kegelapan yang menyebabkan setiap perbuatan tidak bermanfaat.
Secara definitif, al
Ghazali menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kufr adalah pengingkaran
terhadap Rasulullah SAW. dan ajaran-ajaran yang dibawanya, sedangkan
iman (lawan kufr) adalah mempercayai segala bentuk ajaran yang dibawanya.
Jika dihubungkan dengan
konsep tasawuf Schimmel yang mengatakan bahwa semua orang yang mengerti dan
mengajarkan tentang kesadaran terhadap Kenyataan Tunggal, kearifan, Cahaya, dan
Cinta, dapat dianggap sebagai sufi, maka ini harus dikritisi kembali. Karena
tasawuf bukan hanya sekedar ajaran mistik saja, melainkan juga metode penyucian
jiwa agar tercapai kondisi taqarrub bi Allah.
Ini menunjukkan bahwa yang disebut sufi
bukanlah seseorang yang sekedar hidup sederhana, berbaju compang-camping, kumuh,
lusuh, miskin, dan memiliki kesadaran terhadap Kenyataan Tunggal, kearifan,
Cahaya, dan Cinta saja, melainkan dia juga harus seorang muslim, karena tasawuf
memiliki konsepsi tersendiri, setidaknya seperti yang disampaikan al Ghazali
dan Abu Husein an-Nuri.
Menurut Amin Syukur, ”kajian Schimmel
tentang tasawuf hanya sebatas historisitas, mengulas aspek luarnya saja” Mungkin
hal itu disebabkan oleh basic pendidikan Sejarah Agama - Agamanya yang
juga mewarnai alur berpikirnya ketika melihat tasawuf salah satu kelemahan
kajian yang dilakukan outsider adalah keterbatasan informasi yang
dimiliki. Pembahasan Schimmel tentang konsep sholat dan doa menjadi tumpang
tindih, seolah sama, tetapi juga terkesan berbeda.
Sementara pendapat berlawanan justru
menganggap kajian tasawuf Schimmel telah berjasa membuat pemahaman madzhab-madzhab
sufi menjadi tidak bisa. Wahid Bakhsh Rabbani juga menganggap sang orientalis
protestan ini pantas mendapatkan penghargaan karena kedalaman pengetahuannya
tentang doktrin-doktrin sufi.
Sejalan dengan pendapat
Wahid Bakhsh Rabbani, berdasarkan pengetahuan penyusun dan sejauh beberapa
literatur yang pernah dibaca, penyusun berkesimpulan bahwa kajian ketimuran
yang dilakukan Schimmel cenderung obyektif. Orientalis yang tidak utuh melihat
keislaman (ketimuran) itu dipengaruhi oleh latar belakang ”biblikal” dan pendekatan
”klasik” terhadap keilmuan.
Meskipun Schimmel
pernah menulis buku yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
judul ”Definisi Tasawuf, Manusia dan Kesempurnaanya, Tharîqah, dan
Tasawuf Teosofis,” Artinya, apa yang tertuang dalam tulisan tasawuf
Schimmel adalah rangkuman atau tulisan ulang terhadap konsep tasawuf beberapa
sufi besar, seperti al Rumi. Tentunya hal ini berbeda dengan al Ghazali yang
memiliki rumusan tersendiri tentang tasawauf yang bisa jadi berbeda dengan
konsep tasawuf gurunya, Yusuf al Nassaj dan Afdhal bin Muhammad (Dunia, 1971:
18).
Simpulan
Schimmel hanya melihat
tasawuf dari sisi luarnya saja, oleh karenanya dia menganggap tidak perlu masuk
Islam meski telah berpuluh-puluh tahun bergelut dengan dunia tasawuf. Baginya
yang terpenting adalah bisa melaksanakan ajaran yang disampaikan tasawuf
(mistik), yaitu kesadaran terhadap Kenyataan Tunggal, Kearifan, Cahaya, dan
Cinta, tanpa harus pindah keyakinan teologis menjadi muslim.
Meski Schimmel seorang outsider
orientalis, namun jasa-jasanya yang tertuang dalam tulisan tentang tasawuf
dapat dijadikan sebagai salah satu referensi yang cukup representatif tentang
ketasawufan, karena kajiannya yang mendalam dan cenderung objektif.
Daftar
Pustaka
Ahmad, Zainal Abidin.
1975. Riwayat Hidup al Ghazali. Jakarta: Bulan Bintang.
Anwar, Rosihon. 2009. Akhlak Tasawuf.
Bandung: Pustaka Setia Arberry A. J. 2005. Pasang Surut Aliran Tasawuf.
Bandung: Mizan.
Arifin, Samsul, dkk. 1996. Spiritualitas Islam
dan Peradaban Masa Depan. Yogyakarta: Sippress.
Bagir, Haidar, 2002. Manusia Modern
Mendamba Allah. Dalam Ahmad Najib Burhani (ed.), Manusia Modern Mendamba
allah: Renungan Tasawuf Positif.
Jakarta:
Mizan Media Utama.
Baldick, Julian. 2002. Islam Mistik;
Mengantar Anda ke Dunia Tasawuf. Jakarta: Serambi.
Burhani, Ahmad Naji. 2002. Pengantar
Editor. Dalam Ahmad Najib Burhani (Ed.), Manusia Modern Mendamba Allah:
Renungan Tasawuf Positif. Jakarta: Iman dan Hkmah.
Dunia, Sulaiman. 1971. al Haqiqah fi
Nazhr al Ghazali. Kairo: Dar al Ma’arif.
Ghazali Al . 1998. Al Munqîdh min al
Dhalâl. Trjemahan oleh Achmad Khudori Soleh. Bandung: Pustaka Hidayah.
Ghazali Al . tt. Ihyâ’ Ulûm al dîn, Jilid III,
Beirut: Dar Al Fikr.
Ghazali Al . 1997. Kaidah-Kaidah Sufistik; Keluar
dari Kemelut Tipudaya.
Terjemahan oleh Mohammad Luqman Hakiem dan Ahmad
Najieh. Surabaya: Risalah Gusti.
Ghazali Al . 1996. Majmû’ah Rasâil al Imâm al
Ghazâlî. Beirut: Dâr al Fikr.
Haeri, Syekh Fadhlalla. 2003. Dasar-Dasar
Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka
Sufi.
Haskins, Charles Homer. 1993. A Life of Annemarie
Schimmel. Williamsburg:
ACLS.
Hawwa, Sa’id. 2007. Tazkiyatun Nafs;
Intisari Ihya’ Ulumuddin. Terjemahan oleh Abdul Amin, dkk. Jakarta: Pena
Pundi Aksara.
Husainî al , Taqiyuddin Abi Bakr bin
Muhammad. tt. Kifâyah al ahyâr fi Halli Ghâyah al Ikhtishâr,
Surabaya: Dâr al Kitâb al Islâmî.
Khan, Hazrat Inayat. 2002. The Heart
of sufism, alih bahasa Andi Haryadi, Bandung: PT. Rosdakary.
M., Saini K. 2005. Mengapa Puisi
Sufi? Dalam Annemarie Schimmel, Menyingkap yang Tersembunyi:
Misteri Tuhan dalam Puisi-Puisi Mistis Islam. Bandung: Mizan.
Mason, Herbert. 2002. Hallaj dan
Madzhab Sufisme Baghdad. Dalam Leonard Lewisohn, Warisan Sufi: Sufisme
Persia Klasik, dari Permulaan hingga Rumi. Terjemahan oleh Gafna Raizha
Wahyudi. Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Musthofa,
H.A. 2002. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Lewisohn, Leonard. 2002. Warisan
sufi: Sufisme Persia Klasik, dari Permulaan hingga Rumi Terjemahan
oleh Gafna Raizha Wahyudi. Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Rabbani, Wahid Bakhsh. 1995. Islamic
Sufism: The Science of Flight in God, with God, by God and Union and
Communion with God also Showing the Tremendeous Sufi Influence on Christian and
Hindu Mystics and Mysticism.
Kuala
Lumpur: Zafar.
Schimmel, Annemarie. 1997. Islam
& World Peace; Explanation of A Sufi, alih bahasa Su’aidi Asy’ari.
Bandung: Pustaka hidayah.
Schimmel, Annemarie. 1996. Kata
Pengantar. Dalam Sachiko Murata, The Tao of Islam: A Source Book
on Gender Relationship in Islamic Thought. Terjemahan oleh Rahmani
Astuti dan M. S. Nasrullah. Bandung: Mizan.
Schimmel, Annemarie. 2000. Dimensi
Mistik dalam Islam. Terjemahan oleh Sapardi Djoko. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Schimmel, Annemarie. 2002. Dunia
Rumi: Hidup dan Karya Besar Penyair Sufi, alih bahasa Saut Pasaribu.
Yogyakarta: Pustaka Sufi.
Schimmel, Annemarie. 2005. Menyingkap
yang Tersembunyi: Misteri Tuhan dalam Puisi-Puisi Mistis Islam. Bandung:
Mizan.
Syukur,
M. Amin. 2012. Menggugat Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syukur,
M. Amin. 2004. Tasawuf sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syukur,
M. Amin. 1997. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar