(Oleh Ansari,
S.H.I)
Negara-negara Arab adalah bagian dari
dunia Islam. Karena itu terdapat beberapa persamaan dalam sistem yang berlaku antara
sesama negara Arab dan negara-negara dunia Islam yang lain, termasuk dalam
bidang peradilan. Ini tidak terkecuali untuk Indonesia.
Tulisan ini berusaha melihat
persamaan-persamaan tersebut, di samping perbedaannya dengan sistem peradilan
di Indonesia. Sebagai bahan perbandingan di sini dikemukakan secara ringkas
sistem peradilan di Saudi Arabia, Mesir dan Sudan.
Saudi Arabia dipilih karena di negara
ini Mahkamah Syar‘iyyah masih meneruskan tradisi yang berkembang sejak zaman
awal Islam, sementara itu negara belum dapat menyatukan semua peradilan di
bawah satu sistem. Berikutnya, pilihan kepada Mesir adalah karena pengaruhnya
yang besar terhadap negara-negara Arab yang lain dan dunia Islam pada umumnya.
Sedangkan Sudan sedang mencoba menerapkan peradilan Islam yang tidak terpisah
antara Mahkamah Syar‘iyah dan pengadilan lain yang berasal dari warisan
penjajahan Barat (Inggeris), dalam pada itu ia juga sedang mendapat
tekanan-tekanan dari luar dan dalam negeri karena kebijakan hukum Islamnya.
Semua itu sudah barang tentu dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam
mengembangkan sistem peradilannya.
Negara-Negara Arab
Sebutan “negara Arab” sering
disalahpahami oleh orang awam Indonesia, begitu juga istilah “Timur Tengah”.
Yang terakhir ini adalah peninggalan budaya kolonial yang melihat peradaban
dunia terpusat di benua Eropah. Jadi “Timur Tengah” adalah Timur yang agak ke
tengah, yang berbeda dari “Timur Jauh”, yang jauh ke Timur dari Eropah. Istilah
ini di negara tetangga Malaysia sudah ditinggalkan, tetapi di Indonesia masih
tetap digunakan.
Ciri pertama, negara-negara Arab adalah
negara-negara yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa resmi dan Islam
sebagai agama negara, yang terbentang dari Teluk Arab (Persia) di sebelah
Timur, sampai ke Maroko di sebelah Barat, dengan batas Laut Tengah di sebelah
Utara dan Afrika hitam serta Lautan Hindia di sebelah Selatan. Kedua, semua
negara Arab menjadi anggota Liga Arab yang berpusat di Cairo dan mempunyai
berbagai organisasi cabang dalam bidang kebudayaan, ekonomi, kesehatan,
pendidikan, pertanian dan lain-lain. Ketiga, negara-negara ini merupakan
anggota Organisasi Konperensi Islam yang mempunyai Sekretariat Jeneral di
Jeddah. Keempat, kebanyakan konstitutsi negara-negara ini menyatakan syari‘at
Islam sebagai sumber perundang-undangan. Kelima, semua negara ini pernah berada
di bawah Kerajaan Turki Usmani yang mewarisi negara Khalifah sejak zaman Nabi
Muhammad s.a.w.
Sejak berdirinya Republik Turki yang
berdasarkan demokrasi dan sekularisme pada tahun dua puluhan, maka negara
Khalifah yang telah berumur berabad-abad menjadi bubar, dan peranannya
digantikan oleh negara-negara modern yang mencontoh model Eropah. Kecuali Turki
dan Persia, semua mantan negara Khalifah ini menjadi negara-negara Arab yang
berusaha menggabungkan dua sistem peradilan Islam dan Barat.
Berbicara tentang sistem peradilan di
negara-negara Arab sebenarnya berbicara tentang jauh-dekatnya peradilan
negara-negara ini dari sistem Islam atau sistem Barat. Pertanyaan adalah: Do
these states go Islamic, or go Western, or go both?
Warisan Islam dan Barat
Negara-negara Arab mewarisi dua sistem
peradilan. Sistem pertama berasal dari sistem Islam, dari tradisi yang
dikembangkan sejak zaman Nabi Muhammad s.a.w. Sistem kedua berasal dari sistem
Barat kolonial, melalui pembaharuan peradilan yang dilakukan di zaman Turki
Usmani dan dari pembaharuan yang dilakukan oleh negara-negara nasional Arab
setelah terlepas dari dominasi Turki dan berada di bawah dominasi langsung
penjajahan Barat.
Dari awal, di semua wilayah
pemerintahan Khilafah Islamiyah hanya ada satu sistem peradilan, yaitu
peradilan Islam di bawah Mahkamah Syar‘iyyah atau nama lain yang mirip. Lalu
pemerintah Turki Usmani melakukan pembaharuan dengan memperkenalkan peradilan Nizhâmiyyah.
Kata nizhâmiyah berasal dari kata nizhâm, berarti sistem
atau aturan, tetapi kemudian berarti peraturan perundang-undangan. Bahkan di
Kerajaan Saudi Arabia, undang-undang (qânûn) sampai hari ini masih
disebut nizhâm. Maksudnya adalah bahwa setelah
pembaharuan ini, peradilan membutuhkan undang-undang tertulis. Hal itu karena
para hakim yang bekerja di pengadilan berasal dari pembentukan baru dan mereka
tidak lagi sepenuhnya menguasai hukum acara dan hukum materil yang terdapat
dalam kitab-kitab fiqh. Kemudian lahir kodifikasi pertama hukum Islam dengan
nama Majallah al-Ahkâm al-‘Adliyyah (disingkat al-Majallah) dan
dinyatakan berlaku di seluruh wilayah Turki Usmani pada tanggal 26 Sya‘ban
1293. Kompilasi ini kemudian diberlakukan di Irak, Suria, Yordania, Mesir,
Maroko dan lain-lain sampai peranannya kemudian digantikan atau disempurnakan
oleh perundang-undangan negara nasional masing-masing.
Ada tiga negara Barat yang pernah
menjajah negara-negara Arab, yaitu Perancis, Inggeris dan Italia. Perancis
pernah berkuasa di negara-negara Asia dan Afrika yang terbentang sepanjang
pantai Laut Tengah, mulai dari Suria sampai ke Maroko. Inggeris pernah menjajah
Suria Raya (Suria, Palestina, Libanon dan Mesir), negara-negara Teluk Arab
(Irak, Kuwait, Emirat Arab, Oman dan lain-lain) dan Sudan. Italia pernah
menjajah Libia. Walaupun pernah dijajah Inggeris yang bersistem common law,
namun tradisi yang berkembang di negara-negara Arab, kecuali Saudi Arabia,
adalah sistem kontinental (civil law), terutama dari Kode Napoleon yang
dikembangkan di Mesir dan kemudian dicontoh oleh negara-negara Arab yang lain. Sampai sekarang sistem peradilan di
negara-negara Arab dipengaruhi oleh sistem peradilan Mesir sebagai akibat
“dominasi intelektual Mesir” atas negara-negara ini. Dominasi ini antara lain
dapat dilihat dari berbagai kerja sama antara Mesir dan negara-negara ini dalam
bidang pembaharuan peradilan, pelatihan aparat peradilan, peminjaman tenaga
hakim dan lain-lain. Sebagai contoh, saat ini terdapat sekitar seratusan hakim
agung Mesir yang dipekerjakan di berbagai negara Arab Teluk.
A. Saudi Arabia
Di samping Peradilan Syar‘iyah (al-Mahâkim
asy-Syar‘iyyah) terdapat Peradilan Non-Syar‘iyah (al-Anzhimah
al-Wadh‘iyyah). Peradilan Non-Syari‘ah adalah Peradilan Dagang (al-Qadhâ’
fi al-Masâ’il at-Tijâriyyah), Peradilan Buruh dan Pabean (al-Hay’ah
al-Qadhâ’iyyah li al-‘Ummâl wa al-Jamârik), dan peradilan-peradilan lain
berdasarkan hukum kebiasaan, termasuk peradilan militer. Peradilan-peradilan ini tidak berada
di bawah “satu atap” di bawah Majlis al-Qadhâ’ al-A‘lâ (Mahkamah
Agung Saudi Arabia) dan mempunyai peraturan-peraturan dan putusan-putusan yang
kadang-kadang tumpang-tindih dan juga kontradiksi.
Sistem peradilan yang beragam mulai
muncul sejak masa Turki Usmani, sejak terbentuknya Peradilan Nizhâmiyyah
di kerajaan ini bertolak dari peraturan perundang-undangan yang berasal dari
Barat, atau paling tidak, tidak langsung bersumber dari salah satu mazhab fiqh
Islam. Peradilan Non-Syar‘iyah mulai ada sejak terbitnya UU Peradilan Dagang (Nizhâm
al-Mahâkim at-Tijâriyyah) pada tahun 1350 Hijrah berdasarkan Titah Raja (al-Amr
as-Sâmî) No. 32 15 Muharram Tahun 1350. Sejak UU ini diterbitkan Peradilan Syari‘ah
telah menolak untuk menerapkannya, karena antara lain hukum acara dan
materilnya tidak langsung berasal dari fiqh Islam.
Selain dari al-Qur’an, as-Sunnah dan
ijtihad para ulama, berbagai lembaga negara, termasuk peradilan, diatur oleh
berbagai peraturan-peraturan perundang-undangan dari berbagai badan legislasi,
antara lain Kabinet. Sungguhpun demikian, sejak penyatuan Kerajaan Saudi Arabia
di bawah Raja ’Abd al-’Azîz, maka Kabinet (Dewan Menteri) menjadi sumber
peraturan perundang-undangan satu-satunya. Kabinet di Saudi Arabia mempunyai
peran ganda, sebagai badan eksekutif dan sebagai badan legislatif dalam waktu
yang sama. Selain itu, Kabinet juga melaksanakan
kekuasaan yudikatif melalui lembaga-lembaga peradilan yang mandiri.
Mahâkim Syar‘iyah yang ada sekarang
berasal dari Titah Raja yang memerintahkan kepada al-Majlis al-A‘la (Majlis
asy-Syûrâ), dibentuk di Makkah pada tahun 1344 Hijriyah, untuk membangun
sebuah sistem peradilan yang dapat menjamin keadilan dan penerapan
ketentuan-ketentuan hukum syari‘at yang tidak dimasuki oleh hawa nafsu (تطبيق أحكام الشريعة تطبيقا لا مجالا
للهوى).
Pada tanggal 8/8/1345 Hijriyah, Raja ‘Abd al-‘Aziz menyerahkan masalah
peradilan kepada kaum ulama. Seperti diketahui, Kerajaan Saudi Arabia didukung
oleh dua unsur, yaitu unsur keluarga Kerajaan dan unsur ulama, dan karena
diserahkan kepada ulama, maka mereka melaksanakan peradilan sesuai dengan
syari‘at atau fiqh. Pembentukan Mahkamah Syar‘iyyah berdasarkan Titah Raja (al-Marsûm
al-Malakî) No. 1166 tanggal 27/12/1345 Hijriyah dan pada tanggal 4/2/1346
terbentuklah Mahkamah Syar‘iyah di Makkah, Madinah dan Jeddah. Peradilan
Syari‘ah terdiri dari tiga jenis:
1. Peradilan
Perkara Penanganan Segera (محكمة
الأمور المستعجلة الأولى) dengan satu orang hakim tunggal, memeriksa perkara-perkara
pidana, ta‘zîr syar‘î dan hudûd ang tidak mempunyai dalil qath‘î.
2. Peradilan
Perkara Penangangan Tetap (محكمة
الأمور المستعجلة الثابتة) dengan satu orang hakim yang memeriksa perkara-perkara
masyarakat pedesaan dan hal-hal yang berhubungan, dengan kewenangan seperti
Peradilan Perkara Penanganan Segera.
3. Peradilan
Syari‘ah Besar (المحكة
الشرعية الكبرى)
dengan tiga orang hakim di mana salah satunya ketua, yang mengadili semua
perkara yang diaujukan kepadanya di luar kewenangan Peradilan Perkara
Penanganan Segera. Putusan Pengadilan Syari‘ah Besar diucapkan setelah terdapat
kesepakatan antara semua hakim peradilan, kecuali perkara pidana pembunuhan dan
pencurian dengan hukuman potong tangan, yang juga harus dihadiri oleh lembaga Hai’ah
al-Mahkamah.
Berdasarkan Titah Raja tanggal 4/7/1395
yang diperbaharui dengan Titah Raja tanggal 14/10/1395 dan Titah Raja tanggal
1/3/1411, maka Mahkamah Syar‘iyah terdiri dari:
1. Majlis al-Qadhâ’
al-A‘lâ (sebuah
Mahkamah Agung);
2. Mahkamah
at-Tamyîz (sebuah
Pengadilan Banding);
3. al-Mahâkim
al-‘Ammah (beberapa
Peradilan Umum); dan
B. Nesir
Sistem peradilan nasional yang ada
sekarang dibangun pada tahun 1893 berdasarkan struktur peradilan Perancis dan
hukum perdata serta dagang yang dipinjam secara substansial dari hukum
Perancis. Tak lama kemudian peradilan pidana juga dibentuk dengan mengadopsi
hukum materil, hukum acara dan struktur kelembagaan Eropah.
Sampai di sini hukum Islam masih
diberlakukan, tetapi sebatas masalah hukum keluarga, menyangkut perkawinan,
perceraian, waris, pemeliharaan anak dan lain-lain. Mahkamah Syar‘iyah ditata
kembali pada tahun 1897 dan kemudian pada tahun 1931 dengan mengadakan sistem
banding dan hakim-hakim spesialisasi dalam bidangnya. Sejak tahun 1955,
Mahkamah Syar‘iyah dilebur ke dalam sistem peradilan nasional Mesir menjadi
Peradilan Masalah Keluarga (Mahkamah al-Ahwâl ash-Shakhshiyyah). Dalam hal ini,
menjawab pertanyaan salah seorang hakim Indonesia, Syekh al-Azhar sebagai
Pemimpin Tertinggi semua lembaga al-Azhar menyatakan:
“Dalam masalah
hukum keluarga, syari’at Islam diberlakukan untuk ummat Islam, dan untuk
penganut agama selain Islam juga diberlakukan syari’at agama mereka. Jadi,
syari’at Islam diberlakukan di Mesir, bila tidak mencapai 100%, maka paling
tidak adalah 99%.”
Sampai sekarang, usaha-usaha tetap
dilakukan agar hukum yang berlaku di peradilan Mesir sesuai Pasal 2 Konstitusi
Mesir Tahun 1980 yang menyatakan bahwa “syari‘at Islam adalah sumber utama
perundang-undangan (الشريعة
الإسلامية هى المصدر الأساسى للتشريع).Dari sini dipahami bahwa perundangan-undangan Mesir harus
sejalan dengan hukum Islam, atau paling tidak, tidak bertentangan dengan hukum
Islam. Sejak Konstitusi 1980, memang perundangan-perundangan baru Mesir tidak
ada lagi pertentangan dengan syari’at Islam. Permasalahan adalah pada
undang-undang yang lahir sebelum Konstitusi ini. Dalam hal ini termasuk
KUHPidana, masih menggunakan pidana berbau Perancis dan belum mengatur masalah
hudud, qishash dan tazir berdasarkan syari’at Islam. Karena itu, Majlis asy-Sya’b
(Parlemen) mempunyai tugas yang besar untuk mencocokkan perundang-undangan yang
ada dengan syari’at Islam sesuai amanat Konstitusi, dan intinya tentu melibatkan
perjuangan politik, pemenangan pemilu dan lain-lain. Selain itu, Mahkamah
Tinggi Konstitusi Mesir (المحكمة
الدستورية العليا)
juga berperan besar dalam mengemban amanat Konstitusi yang dapat menyatakan
tidak konstitusionalnya produk perundang-undangan yang diajukan kepadanya bila diputuskan bertentangan dengan syari’at Islam..
ٍ Sistem peradilan Mesir berada di
bawah Mahkamah Kasasi (محكمة النقض)
yang membawahi Pengadilan Banding) المحكمة
الإستئنافية), Pengadilan Tingkat I ((المحكمة
الإبتدائيةdan Pengadilan Bagian (المحكمة
الجزئية). Sementara itu juga terdapat Pengadilan Tinggi Keamanan Negara
(محكمة أمن الدولة العليا) untuk mengadili
perkara-perkara supersif dan pengkhianatan terhadap negara yang diselenggarakan
pada Pengadilan Banding.
Selain
yang disebutkan di atas, pada tanggal 13 Agustus 1969 telah berdiri Mahkamah
Tinggi Konstitusi (المحكمة الدستورية العليا)
yang mempunyai wewenang dalam lima hal.
1. Menentukan
apakah sebuah undang-undang konstitusional atau tidak.
2. Menafsirkan
undang-undang atas permintaan Departemen Kehakiman.
3. Memutus
tuntutan penghentian pelaksanaan putusan lembaga peradilan yang memeriksa
sengketa antara pemerintah dan badan swasta.
4. Memutus
sengketa kewenangan mengadili antara berbagai lembaga peradilan.
C. Sudan
Dalam Konstitusi Sementara Sudan yang
diberlakukan oleh Majelis Komando Revolusi pada bulan Agustus 1971 dinyatakan
bahwa kekuasaan kehakiman adalah badan yang independen dan terpisah dari badan
eksekutif dan legislatif. Lembaga peradilan berada di bawah kekuasaan Ketua
Mahkamah Agung.
Peradilan Sipil (Perdata), diatur dalam
Ordonansi Peradilan Sipil, mempunyai satu Pengadilan Tinggi (High Court of
Justice, Mahkamah Agung) dan beberapa Pengadilan Propinsi (Provincial Courts).
Sedangkan Peradilan Pidana dengan KHUP dan KUHAPidana mempunyai beberapa
Pengadilan Besar (Major Courts), Pengadilan Kecil (Minor Courts) dan Pengadilan
Magisterate (Magistratrate’s Courts).
Sementara itu masalah hukum keluarga
warga beragama Islam dilaksanakan oleh Mahâkim Syar’iyyah yang merupakan bagian
dari kekuasaan kehakiman di Sudan. Pengadilan Syari’at ini terdiri dari sebuah
Mahkamah Banding (Court of Appeal), beberapa Pengadilan Tinggi (High Courts)
dan Pengadilan Qadhi (Qâdi Courts). Pengadilan Syari’at berada di bawah seorang
Qâdhî al-Qudhât (Grand Qâdi).
Penerapan hukum Islam di luar hukum
keluarga dimulai pada masa pemerintahan Presiden Numeiri yang mengumumkan
pemberlakuan hukum pidana Islam pada bulan September 1983 menyangkut hudûd. Untuk itu
Numeiri membentuk sebuah komite yang mempersiapkan UU Hukum Pidana 1983, UU
Hukum Perdata, UU Hukum Keluarga dan beberapa UU Hukum Acara.
Setelah diterapkan selama satu tahun
atau lebih ternyata menimbulkan berbagai kritikan dari kalangan penantang dan
pendukung pidana Islam. Kritikan tersebut pada dasarnya karena sifat
ketergesa-gesaan pembuatan perundang-undangan, minimnya penelitian ilmiah yang
memadai, sumber daya
yang terbatas dan lain-lain. Kritikan dari pihak penantang, terutama dari pihak
Gereja di wilayah selatan dan kekuatan Barat, dengan berbagai dalih, antara
lain karena Sudan pada dasarnya adalah sebuah negara multi agama dan budaya,
khususnya di wilayah selatan yang sedang bergolak sampai sekarang.
Fase kedua penerapan hukum Islam dalam
bentuk yang lebih luas dilakukan pada tahun 1991 di bawah kepemimpinan Presiden
’Umar Basyir dengan merevisi beberapa pasal berbagai undang-undang yang diundangkan
selama Presiden Numeiri. Penekanan pada fase revisi ini tidak hanya dalam
bidang penengakan hukum, tetapi lebih-lebih lagi dalam bidang pendidikan dab
ekonomi, dengan tujuan membentuk warga negara yang berkemampuan dalam bidang
ilmu pengetahuan dan ekonomi sehingga pada masa depan tidak ada alasan untuk
menangguhkan pelaksanaan hukum pidana hudud.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hall:
(1) Di samping adanya amanat konstitusi
bahwa syari‘at Islam merupakan sumber perundang-undangan dan pencantuman Islam
sebagai agama negara di konstitusi negara-negara Arab, dualisme peradilan,
antara yang berorientasi kepada warisan Islam dan kepada warisan Barat, masih
ditemukan sampai hari, bahkan di Kerajaan Saudi Arabia.
(2) Adanya keragaman sistem peradilan negara-negara Arab
dapat menawarkan beberapa opsi terbaik tentang sistem peradilan Islam di masa
depan. Kegagalan tertentu dalam praktek peradilan Islam di salah satu negara
Arab akan memberikan pelajaran bagi negara yang lain untuk tidak mengulangi
kesalahan yang sama dan kemajuan yang dicapai oleh suatu negara akan bersaham
dalam memperkuat sistem peradilan di negara yang lain.
(3) Belum terdapat indikasi yang kuat tentang keinginan
kelektif semua negara Arab untuk pengembangan sebuah sistem peradilan Islam
berdasarkan pandangan ilmiah yang benar dan prospek masa depan yang dapat
menjawab tantangan zaman, walaupun negara-negara ini bersatu secara politik
dalam Liga Arab dan Organisasi Konperensi Islam.
(4) Indonesia sebagai bagian dunia Islam patut mencermati
perkembangan sistem peradilan di negara-negara Arab, antara lain melalui
kerjasama bilateral atau multilateral dengan negara-negara ini, sehingga input
pengembangan sistem peradilan tidak hanya datang dari negara-negara Barat atau
maju tertentu saja.
&
Ò Makalah disampaikan dalam Orientasi
Kewenangan Mahkamah Syar‘iyah Bagi Hakim Mahkamah Syar‘iyah Se-Propensi Nangroe
Aceh Darussalam, di Banda Aceh, Senin 11 Oktober 2004.
[1] Muhammad ‘Abd al-Jawad Muhammad, at-Tathawwur
at-Tasyrî‘î fi al-Mamlakah al-Arabiyyah as-Sa‘ûdiyyah (Cairo: Maktabah
Jâmi‘ah al-Qâhirah wa al-Kitâb al-Jâm‘î, 1977, 1397), hal. 13.
[3] Nathan J. Brown, The Rule of Law
in the Arab World (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), hal. 1-8.
[4] Nara sumber Pelatihan Hakim
Indonesia Gelombang II di Pusat Nasional Kajian Peradilan Nasional Mesir di
Cairo, 6-14 Desember 2003.
[9] Muhammad Amin M.M.A. Najim, al-Qdhâ’
wa Syurûth al-Qadhâ’ wa Atsaru Tathbîqihi fi al-Mamlakah al-‘Arabiyyah
as-Sa‘udiyyah, tanpa tahun dan tanpa penebit, hal. 139-140. Penulis adalah muhaqqiq
syar‘î di Lembaga Pengawasan dan Penelitian Peradilan wilayah
Madinah dan Utara.
[11] Enid Hill, “The Implementation of
Islamic Law in A Modern State: The Experience of Egypt” dalam Zainal Azam Abd.
Rahman (ed.), Islamic Law in Contemporary World (Kuala Lumpur: Institute
of Islamic Understanding Malaysia, 2003), hal. 73-74.
[12] Hukum Keluarga di Mesir (Laporan
Pelatinan Hakim Indonesia Gelombang II, Cairo (Mesir) 6-14 Desember 2004 (Jakarta:
Yayasan al-Hikmah, 2004), hal. 68.
[14] Inamullah
Khan (Editor in Chief), Muslim World Gazetter (Karachi: Umma
Publication, 1975 Edition), hal. 759.
[15] Rifyal
Ka’bah, “Penerapan Syari’at Islam di Sudan”, dalam majalah Panji Masyarakat
No. 414 Tahun 1983, hal. 46-47; “Dr. at-Turabi dan Hukum Islam di Sudan” dalam
majalah Panji Masyarakat No. 420, Tahun 1984, hal. 42-45; “Mengapa
Langkah Sudan Tidak Diikuti di Mesir” dalam majalah Panji Masyarakat No.
463 Tahun 1984, hal. 53-54.
[16] Muhammad
Khair Hassab el-Rasoul Ahmed, “Current Development of Shariah Law in Sudan”
dalam Muhammad Amin M.M.A. Najm, hal. 11.
[18] Carolyn
Fluehr-Lobban, “Sudan” dalam John L. Esposity (Editor in Chief), The Oxford
Encyclopeida of the Modern Islamic World, Vol. 4 (Oxford, New York: Oxford
University Press, 1995), hal. 101.
Merkur 15c Safety Razor - Barber Pole - Deccasino
BalasHapusMerkur 15C Safety Razor - 바카라 사이트 Merkur - mens titanium wedding bands 15C for Barber Pole https://deccasino.com/review/merit-casino/ is https://jancasino.com/review/merit-casino/ the perfect introduction to the Merkur https://deccasino.com/review/merit-casino/ Safety Razor.