MACAM MACAM AKAD
Makalah Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Hukum Perikatan dan Perbandingan
Dosen Matakuliah :
Dr. Suwandi, M.H
Disusun Oleh:
ANSARI
NIM: 14781019
MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
TAHUN AJARAN 2015
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Allah SWT,
karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun
makalah ini yang berjudul “MACAM-MACAM AKAD” tepat pada waktunya. Penulis
menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Allah
SWT dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu dalam kesempatan ini
penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini. Akhir kata semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Dan Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan
maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
Hormat
Kami
Ansari,
S.H.I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Perjanjian merupakan salah satu cara yang membantu manusia
agar dapat berinteraksi dengan yang lainnya dengan baik. Dalam perjanjian
terdapat suatu kesepakatan antara kedua belah pihak yang telah mengikat
keduanya. Maka dari itu, suatu perjanjian itu suatu kesepakatan yang sangat
dibutuhkan oleh manusia untuk mencapai tujuan bersama. Dan dari sinilah akan
timbul rasa kebersamaan antara manusia.
Permasalahan hukum akan timbul manakala ketika masih dalam
proses perundingan sebelum perjanjian tersebut sah, salah satu pihak telah
melakukan perbuatan hukum seperti meminjam uang, membeli tanah padahal belum
tercapai kesepakatan final antara mereka mengenai kontrak bisnis yang
dirundingkan.
Perikatan atau perjanjian, ataupun
transaksi-transaksi lainya dalam konteks fiqih muamalah dapat disebut dengan
akad. Kata akad berasal dari bahasa arab al-‘aqd bentuk jamaknya al-‘uqud
yang mempunyai arti perjanjian, persetujuan kedua belah pihak atau lebih dan
perikatan.
- Rumusan masalah
1. Apa definisi hukum dan dalil
perjanjian syariah?
2. Bagaimana keabsahan hukum perjanjian
syari’ah dan perbedaan akad & perjanjian ?
3. Apa saja rukun dan syarat akad dan syarat
sahnya hukum perjanjian syari’ah?
4. Apa saja ruang lingkup akad hukum
perjanjian syariah ?
- Tujuan
1.
Mahasiswa
mampu memahami pengertian hukum perjanjian syariah beserta dalilnya
2.
Mahasisiwa
mengetahui keabsahan hukum perjanjian syari’ah serta perbadaan akad
3.
Mahasiswa
mengetahui apa saja rukun dan syarat akad dan syarat sahnya perjanjian syari’ah
4.
Memahami
ruang lingkup akad hukum perjanjian syariah
BAB II
PEMBAHASAN
- Definisi Hukum Perjanjian Syariah
Di dalam menjelaskan pengertian hukum perjanjian syariah
terdapat 2 arti, baik secara etimologi maupun secara istilah. Dalam bahasa Arab
perjanjian itu diartikan sebagai Mu’ahadah Ittifa’.[1]
Akan tetapi di dalam Bahasa Indonesia, perjanjian itu dikenal sebagai kontrak.
Yang mana dengan hal ini, perjanjian merupakan suatu perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang atau kelompok dengan yang lainnya sehingga untuk mengikat antar
keduanya baik dirinya sendiri maupun orang lain.[2]
Istilah itu dalam al-Quran terdapat 2 macam yang berhubungan
dengan perjanjian yaitu akad dan ‘ahdu (al-‘ahdu). Akad itu hubungannya dengan
perjanjian. Sedangkan ‘ahdu merupakan pesan, masa, penyempurnaan dan janji.
Dalam hal ini, akad itu disamakan dengan seperti halnya perikatan, sedangkan
kata Al-‘Ahdu disamakan dengan perjanjian. Maka dari itu, perjanjian juga dapat
diartikan yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan ataupun tidak
melakukan apa- apa dan tidak berkaitan dengan kemauan orang lain.[3]
Sedangkan dalam KUHPerdata pasal 1313 yang berbunyi:
“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”.
Dalam pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa
kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan
seimbang. [4]
Di dalam melakukan suatu perjanjian itu harus ada
kesepakatan antara kedua belah pihak. Yang mana terdapat ijab qabul. Agar
perjanjian yang telah disepakati dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan
tujuan. Dengan adanya ijab qabul ini, suatu perjanjian dapat dinyatakan sebagai
perjanjian yang sah sesuai dengan syariat islam. Yang mana terjadi pemindahan
suatu kepemilikan antara orang yang satu kepada orang yang lain yang manfaatnya
bisa dirasakan oleh kedua belah pihak yang melakukan suatu perjanjian.
Terdapat beberapa pendapat antara lain, menurut Ahmad Azhar
Basyir, dia mengatakan akad merupakan perikatan antara ijab dan qabul, yang
mana keduanya dapat menetapkan adanya akibat- akibat hukum yang ada yang
mengacu kepada obyeknya. Di dalam Peraturan Indonesia Nomor 7/ 46/ PBI/ 2005
yang di dalamnya menetapkan dalam hal Akan Penghimpunan Dana dan Penyaluran
Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah[5].
Dalam hal ini setelah pemaparan di atas, maka dapat dikatakan
bahwasannya akad adalah suatu perjanjian yang menimbulkan kewajiban untuk
berprestasi antara pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, yang mana antara
keduanya terdapat hubungan timbal balik.
Adapun secara terminology ulama fiqh
melihat akad dari dua sisi yakni secara umum dan secara khusus.
1. Secara
umum
Pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan
pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama SAyafi’iyah, Malikiyah,
dan Hanabilah, yaitu :
كُلُّ مَا عَزَمَ المَرْءُ عَلَى فِعْلِهِ سَوَاءٌ صَدَرَ
بِاِرَادَةٍ مُنْفَرِدَةٍ كَالْوَقْفِ وَاْلإِبْرَاءِ وَالطَّلاَقِ واليَمِيْنِ
أَمْ اِحْتَاجَ إِلَى إِرَادَتَيْنِ فِي إِنْشَائِهِ كَلْبَيْعِ
وَالْاِيْجَارِوَالتَّوْكِيْلِ وَالرَّهْنِ .
Artinya : “segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang
berdasarkan keinginannya sendiri, seperti waqaf, talak, pembebasan, atau
sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli,
perwakilan, dan gadai.”[6]
Selain itu ada juga yang mengatakan
bahwa akad adalah “Setiap yang diinginkan manusia untuk mengerjakanya, baik
keinginan tersebut berasal dari kehendaknya sendiri, misalnya daam hal wakaf,
atau kehendak tersebut timbul dari dua orang misalnya dalam hal jual beli atau
ijaroh.”[7]
Sehingga secara umum akad adalah
segala yang diinginkan dan dilakukan oleh kehendak sendiri, atau kehendak dua
orang atau lebih yang mengakibatkan berubahnya status hukum objek akad (maqud
alaih).
2. Pengertian
akad secara khusus
Pengertian akad dalam arti khusus
yang dikemukakan oleh ulama fiqh adalah
إِرْتَبَاطُ إِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ عَلىَ وَجْهٍ مَشْرُوْعٍ
يَثْبُتُ أَثَرُهُ فِى مَحَلِهِ.
Artinya: “Perikatan yang
ditetapkan dengan ijab qobul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada
objeknya.”[8]
Selain itu juga ada Definisi lain tentang akad yaitu
“Suatu perikatan Antara ijab dan Kabul dengan cara yang dibenarkan syarak
dengan menetapkan akibat-akibat hukum pada objeknya.”
Melihat dari pengertian diatas dapat
disimpulkan bahwa kesepakatan antara kedua belah pihak ditandai dengan sebuah
ijab dan qobul yang melahirkan akibat hukum baru. Dengan demikian ijab dan
qobul adalah sutu bentuk kerelaan untuk melakukan akad tersebut. Ijab qobul
adalah tindakan hukum yang dilakukan kedua belah pihak, yang dapat dikatakan sah
apabila sudah sesuai dengan syara’. Oleh karena itu dalam islam tidak semua
ikatan perjanjian atau kesepakatan dapat dikategorikan sebagai akad, terlebih
utama akad yang tidak berdasarkan kepada keridloan dan syariat islam. Sementara
itu dilihat dari tujuanya, akad bertujuan untuk mencapai kesepakatan untuk
melahirkan akibat hukum baru.
Sehingga akad dikatakan sah apabila
memenuhi semua syarat dan rukunya. Yang akibatnya transaksi dan objek transaksi
yang dilakukan menjadi halal hukumnya.
B.
Dalil
tentang perjanjian
1.
Al-quran
بَلَى مَنْ أَوْفَى بِعَهْدِهِ وَاتَّقَى فَإِنَّ
اللهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ
Artinya : (Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati
janji (yang dibuat)nya dan bertakwa, Maka Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertakwa.(Q.S. Ali ‘Imran: 76)
Sabda Rasulullah SWT. “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada
pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada
(pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula)
pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia
berada bersama mereka di manapun mereka berada. kemudian Dia akan
memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
Adapun dasar hukum dilakukannya akad berdasarkan Al-quran
adalah surat Al-Maidah ayat 1 yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ
أَوۡفُواْ بِٱلۡعُقُودِۚ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. …..”[9]
Berdasarkan ayat diatas dapat disimpulkan bahwa memenuhi
akad yang pernah dilakukan atau disepakati adalah wajib hukumnya.
2.
As-sunnah
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, dari Abu Hurairah menyampaikan
bahwa rasulullah SAW. Berkata bahwa Allah SWT. Berfirman: “aku anggota
ketiga dari dua orang yang bersyarikah selama keduanya tetap berlaku jujur.
Apabila salah seorang anggota syirkah itu mengkhianati temannya, maka aku
keluar dari syirkah itu”.
C.
Rukun
dan Syarat Akad
Untuk sahnya suatu akad harus
memenuhi hukum akad yang merupakan unsur asasi dari akad. Rukun akad tersebut
adalah :
1. Aqid adalah orang yang berakad.
2. Mauqud alaih adalah benda-benda yang
diakadkan seperti benda-benda yang dijual.
3. Maudhu’ al ‘aqd adalah tujuan atau
maksud pokok mengadakan akad.
4. Shighat al ‘aqd adalah ijab dan
qobul, hal-hal yang harus diperhatikan dalam shighat al ‘aqd (shighat akad
adalah dengan cara bagaimana ijab dan kabul yang merupakan rukun akad
dinyatakan) adalah sebagai berikut:
a. Harus jelas pengertiannya.
b. Harus bersesuaian antara ijab dan
qobul.
c. Menggambarkan kesungguhan kemauan
dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa dan tidak karena diancam
atau ditakut-takuti oleh orang lain, karena dalam tijarah harus saling
meridhoi.
d. Beberapa cara untuk menggambarkan
kehendak akad:
1. Secara tulisan (kitabah), “tulisan
itu sama dengan ucapan”
2. Isyarat. Bagi oramg-orang tertentu
akad atau ijab dan qobul tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan ,
contoh orang yang bisu, Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah.
Disamping rukun, syarat akad juga harus terpenuhi agar akad itu sah. Adapun ayarat-syarat itu
adalah :
1. Syarat
Adanya Sebuah Akad (Syarth Al-In-Iqod)
Syarat adanya akad adalah sesuatu
yang mesti ada agar keberadaan suatu akad diakui syara’. Syarat umum ini ada 3,
yaitu :
1) Syarat-syarat yang harus dipenuhi
pada empat rukun
2) Akad itu bukan akad yang terlarang
3) akad itu harus bermanfaat.
2. Syarat
Sah Akad
Secara umum para fukaha menyatakan
bahwa syarat sahnya akad adalah tidak terdapatnya lima hal perusak sahnya dalam
akad, yaitu :
1) ketidakjelasan jenis yang
menyebabkan pertengkaran (al-jilalah)
2) untuk adanya paksaan (ikrah)
3) membatasi kepemilikan terhadap suatu
barang (taufiq)
4) terdapat unsur tipuan (gharar)
5) terdapat bahaya dalam pelaksanaanakad
(dharar)
3. Syarat
Berlakunya Akad
Syarat ini bermaksud berlangsungnya
akad tidak tergantung pada izin orang lain. Syarat berlakunya sebuah akad yaitu
:
1) Adanya kepemilikan terhadap barang
atau adanya otoritas (AL-Wilayah) untuk mengadakan akad, baik secara langsung
atau pun perwakilan.
2) Pada barang atau jasa tersebut tidak
terdapat hak orang.
3)
Syarat
adanya kekuatan hukum (Luzum Abad)
Suatu akad baru bersifat mengikat
apabila ia terbebas dari segala macam hak khiyar (hak untuk meneruskan
atau membatalkan transaksi).[11]
D.
Pembagian
Akad
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat
banyak akad yang kemudian dapat dikelompokkan dalam berbagai variasi
jenis-jenis akad. Mengenai pengelompokan jenis-jenis akad ini pun terdapat
banyak variasi penggolongan-Nya. Secara garis besar ada pengelompokan
jenis-jenis akad, anrata lain :
1.
Akad
ditinjau dari tujuannya terbagi atas dua jenis :
a.
Akad
tabarru yaitu akad yang dimaksud untuk menolong dan murni semata-mata
karena mengharapkan ridlo dan pahala dari Allah SWT. Seperti wakaf, wasiat,
wakalah dll.
b.
Akad
tijari yaitu akad yang
dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat
telah dipenuhi semuanya. Seperti murabahah, istishna’, dan ijarah.[12]
2.
Berdasarkan
sifatnya akad terbagi menjadi dua yakni shahih dan ghair shahih.
a. Shahih, yaitu akad yang semua rukun
dan syaratnya terpenuhi sehingga menimbulkan dampak hukum. Shahih dibagi
menjadi dua, yaitu: Nafidh dan Mauquf.
b. Nafidh, yaitu akad yang tidak tergantung kepada keizinan
orang lain seperti akadnya orang yang akil, balig, dan mumayyiz; Nafidh ada dua
yaitu:
a) Lazim, yaitu akad yang tidak bisa
dibatalkan tanpa kerelaan pihak lain, seperti jual beli dan sewa.
b) Ghair lazim, seperti wakalah dan
pinjaman.
3.
Mauquf,
yaitu yang tergantung, seperti akadnya fudhuli.
Ghair shahih, yaitu yang tidak terpenuhi rukun atau
syaratnya sehingga tidak menimbulkan menimbulkan dampak hukum. Menurut
hanafiyah ada dua:
a. Batil, yang ada kecacatan pada
rukunya, seperti qobul tidak sesuai dengan ijab.
b. Fasid, yang ada kecacatan pada
syarat atau sifatnya, seperti jual beli sesuatu yang tidak diketahui
sifat-sifatnya.
Kedua-duanya tidak menimbulkan dampak hukum. Batil dan Fasid
sama saja bagi jumhur ulama, keduanya tidak menimbulkan dampak hukum.
Berdasarkan hubungan dampak hukum dengan sighatnya:
munjiz,mudhof ilal mustaqbal dan mua’allaq. Berikut ini akan diuraikan satu per
satu.
1. Munjiz, yaitu akad yang sighatnya
untuk cukup membuatnya terjadi dan dampak hukumnya ada seketika (seperti jual
beli).
2. Mudhof ilal mustaqbal sighatnya
menunjukkan akad, namun dampak hukumnya terjadi pada waktu akan datang yang
telah ditentukan oleh kedua belah pihak (saya sewakan rumah saya kepada anda
seharga 20 dinar perbulan mulai depan).
3. Mu’allaq, yaitu akad yang kewujudannya
digantungkan kepada kewujudan sesuatu lainnya (seperti, kalau saya pergi ke
irak, maka kamu jadi wakilku dalam perjualan rumahku).[13]
E.
Keabsahan
Hukum Perjanjian Syariah Dan Perbedaan Antara Akad Dan Perjanjian
1. Keabsahan Hukum Perjanjian Syariah
Di dalam melakukan suatu perjanjian harusnya terdapat rukun
dan syaratdari suatu akad. Agar perjanjian tersebut dapat dikatakan sebagai
perjanjian yang sah. Syarat merupakan salah satu unsur yang harus ada dalam
berbagai hal, baik peristiwa maupun tindakan.
a.
Rukun
akad merupakan di dalamnya terdapat ijab dan qobul. Dan rukun tersebut
menyangkut dengan adanya subyek dan obyek
b.
Syarat
yang harus dipenuhi agar suatu perjanjian itu disepakati oleh kedua belah pihak
yang mana akan mempunyai akibat hukum :
c.
Ijab
Qabul itu harus dinyatakan atau dilakukan oleh orang yang mencapai umur tamyiz
atau bbisa dikatakan sebagai orang yang cakap. Karena bila orang tersebut tidak
cakap, maka orang tersebut tidak dapat melakukan suatu perjanjian maupun
perikatan dengan orang lain.
d.
Ijab
qabul harus merujuk kepada obyek perjanjian tersebut.
e.
Ijab
qabul harus ada hubungannya dengan majelis, bila kedua belah pihak sama- sama
hadir.
f.
Jumhur
ulama mengatakan bahwa ijab dan qabul merupakan salah satu unsur penting suatu
perjanjian atau akad.[14]
2. Perbedaan Antara Akad Dan Perjanjian
Dalam perspektif hukum positif (legal level), akad sama
dengan perjanjian. Namun, hal ini berbeda dengan perspektif syari’ah. Pada sharia
level, akad tidak selalu berarti perjanjian. Suatu akad baru dapat dikatakan
sebagai perjanjian jika dan hanya jika kesepakatan antara bank syari’ah dan
nasabah terjadi ketika kualitas, kuantitas, dan harga objek transaksi serta
waktu penyerahan telah diketahui. Sementara itu, dalam pembiayaan yang
berbentuk line facility, syari’ah memandang perjanjian tersebut bukan
termasuk akad, melainkan hanya berbentuk wa’ad (promise). Dalam konteks
ini, akad baru akan terjadi pada saat dropping pembiayaan yang
diwujudkan dalam bentuk SPRP (surat permohonan realisasi pembiayaan) dari nasabah
dan dijawab oleh bank dalam bentuk surat persetujuan pencairan pembiayaan.
Dengan kata lain, dalam sharia level, akad tidak
selalu berwujud surat perjanjian, melainkan juga bisa berbentuk surat dokumen
pencairan. Begitu pula halnya dengan surat perjanjian, ia bisa mencerminkan
suatu akad , bisa pula hanya mencerminkan sebuah wa’ad (promise).
Istilah hukum yang sama dapat mempunyai dua arti yang berbeda, tergantung dari
perspektif level apa yang digunakan.[15]
3. Hukum Akad dan Contoh Kasus
Dalam menghukumi suatu akad, maka
sesuatu yang harus diperiksa terlebih dahulu adalah rukun akadnya karena
apabila salah satu rukunya tidak terpenuhi maka akad yang dilakukan dapat
dikategorikan tidak sah. Selain melihat dari sisi akad syarat-syarat dalam akad
juga harus dilihat dan diperhatikan karena apabila syarat akad tidak terpenuhi
maka tidak menutup kamungkinan akad yan dilakukan tidak sah.
Untuk memperjelas maksut penulis,
penulis mencoba mengilustrasikan dalam contoh kasus berikut:
Disuatu daerah ada sebuah industry
yang mana industry tersebut mengolah dan memanfaatkan kotoran hewan ternak,
seperti sapi, kambing ataupun kerbau. Mereka memanfaatkan kotoran hewan
tersebut untuk dijadikan dan dimanfaatkan sebagai pupuk, yang mana pupuk kompos
(pupuk dari kotoran hewan) sangat berguna dalam membantu kesuburan tanaman.
Setelah mereka mengumpulkan kotoran
hewan ternak tadi, mereka mengolah kotoran tersebut dan dijadikan menjadi
pupuk. Setelah pupuk jadi mereka menjualnya kepada para petani untuk
dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman mereka.
Melihat dari contoh kasus tersebut.
Islam memandang kasus tersebut melalui kaca mata fiqh muamalah, yang mana salah
satu babnya menerangkan mengenai permasalahan itu.
Dilihat dari transaksinya kegiatan
tersebut menggunakan akad jual beli, yang mana hukum asal jual beli adalah
boleh, seperti yang termuat dalam al-quran surat ( Al-Baqoroh ayat 275).
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ….. ٢٧٥
Artinya: “…Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba… “
Melihat dari transaksi yang
dilakukan adalah boleh, namun kebolehan dari akad jual beli harus memenuhi
semua persyaatan dan rukun yang menyertainya. Sementara itu dilihat dari objek
yang dijual-belikan yakni kotoran hewan ternak, yang berdasarkan perspektif
fiqh adalah barang najis.
Suatu akad dapat dikatakan sah
apabila dalam pelakasanaan akad tersebut sudah sesuai dengan syariat islam.
Yakni memenuhi rukun dan syarat sahnya akad. Yang mana syarat sahnya akad
seperti dijelaskan diatas. Dimana kalau ditinjau dari yang melakukan transaksi
sudah dapat dikatakan sah, karena keduanya sudah rela dalam menjual dan membeli
barang tersebut. Sementara itu jika ditinjau dari shigoh yang dilakukan tidak
ada kecacatan sama sekali, sehingga dapat juga dikatakan sah. Namun jika
ditinjau dari aspek barang yang diperjual belikan yang mana barang yang
diperjualbelikan adalah kotoran hewan ternak, yang mana jika ditinjau dari
perspektif fiqh kotoran ternak adalah najis. Walaupun jika dilihat dari sisi
manfaat sudah memenuhi, yakni barang yang diperjual belikan bermanfaat untuk
kesuburan tanaman.
Namun jual beli yang dilakukan
menjadi tidak sah karena barang yang diperjual belikan tergolong benda naijs,
dan benda yang najis haram untuk diperjual beikan. Sehingga dapat dikatakan
transaksi yang dilakukan tidak sah.
Melihat dari permasalahan diatas
sangat disayangkan jika jual-beli yang dilakukan dihukumi haram, karena seperti
yang diketahui bersama pupuk memilki banyak sekali manfaat untuk kesuburan
tanaman. Terus bagaimana solusi agar akad tersebut menjadi sah, dan dalam
memanfaatkan kotoran hewan menjadi halal?
Menurut pandangan kelompok kami,
kami mencoba untuk berfikir diluar kotak, maksudnya kami mencoba berfikir
dengan tidak terfokus pada objek akad tersebut, yang mana seperti yang kita
ketahui bersama kotoran hewan ternak adalah najis dan tidak sah jika
diperjualbelikan. Karena jual-beli pada akad tersebut juga dihukumi tidak sah,
maka kami juga mencoba untuk tidak terfokus pada akad jual beli.
Dan solusi yang kami tawarkan adalah
dengan merubah akad yang semula jual beli mejadi akad ijaroh, atau upah
mengupah,, sehingga yang diperjual belikan bukan kotoranya tapi tenaga yang
digunakan dalam mengolah tersebut, atau dalam bahasa lain upah mengupah jasa.
Sehingga kotoran hewan masih bisa dimanfaatkan dan mempunyai hukum yg halal.
4. Syarat Sah dan Batalnya Suatu Hukum
Perjanjian Syariah
Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam suatu akad
perjanjian syariah agar perjanjian tersebut menjadi sebuah perjanjian yang sah,
diantaranya yaitu:
1.
Tidak menyalahi hukum syariah yang
telah disepakati
Bahwasannya suatu perjanjian yang telah dilakukan oleh kedua
belah pihak tersebut tidak boleh bertentangan maupun melawan hukum
syariah. Dikarenakan apabila suatu perjanjian dilakukan dengan menimbulkan
adanya suatu pertentangan dengan hukum, maka perjanjian tersebut dikatakan
suatu perjanjian yang tidak sah. Dalam hadis Rasulullah mengatakan :
2.
Harus sama ridha dan ada pilihan
Dalam melakukan suatu perjanjian, antara kedua belah pihak
harus sama- sma ridha dan tidak ada paksaan dari pihak yang lainnya. Karena
dalam hal itu sebuah perjanjian akan menimbulkan akibat hukum dan mempunyai
kekuatan hukum. Apabila terdapat paksaan dari orang lain, maka perjanjian
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.
3.
Harus jelas
Perjanjian yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak harus
jelas apa adanya yang telah tercantum dalam perjanjian. Agar apabila terjadi
suatu kesalahan suatu saat, antara kedua belah pihak sudah mendapatkan dan
mengerti tentang apa yang mereka buat dalam sebuah perjanjian tersebut. Yang
mana dengan hal ini, kedua belah pihak mempunyai hasil dari tujuan perjanjian
yang telah mereka sepakati.
Sedangkan dalam sebuah akad bisa terjadi adanya suatu
kebatalan atau terputusnya akad perjanjian, adapun factor-faktor yang
menyebabkan batalnya suatu perjanjian diantaranya yaitu:
1) Jangka waktu telah berakhir
Dalam melakukan suatu perjanjian harus ditentukan jangka
waktunya. Agar di dalam melakukan suatu perjanjian, salah satu pihak tidak
menyalahgunakan waktu yang telah ditentukan. Maka dari itu, suatu perjanjian
juga mempunyai jangka waktu yang terbatas dalam melaksanakannya. Apabila jangka
waktu yang telah disepakati kedua belah pihak telah habis maka perjanjian
tersebut dapat dikatakan batal.
2) Adanya penyimpangan yang dilakukan
oleh salah satu pihak
Apabila antara kedua belah pihak, yang mana salah satu pihak
melakukan penyimpangan dalam sebuah perjanjian, maka perjanjian dapat
dibatalkan. Akan tetapi, dalam membatalkan sebuah perjanjian harus ada
aturannya. Seperti halnya bila diketahui ada salah satu pihak yang melakukan
penyimpangan maka pihak yang lain diperbolehkan membatalkan perjanjian tersebut
dengan baik sesuai dengan apa yang telah disepakati sebelumnya.
3) Terdapat atau ditemukannya penipuan
dalam perjanjian
Di dalam suatu perjanjian telah ditemukan penipuan yang
dilakukan oleh salah satu pihak, maka pihak yang lain dapat membatalkan
perjanjiannya sesuai dengan perjanjian yang mengikat sebelumnya. Seperti halnya
yang telah tercantum dalam Al-Quran surat Al- Anfal 58 yang berbunyi :
“ Dan jika kamu khawatir akan ada penghianatan dari suatu
golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka yang jujur.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang- orang yang berkhianat.” (Dewan
Penyelenggara Penterjemah / Penafsir Al- Quran, 1990 : 270).
Adapun
prosedur dari perjanjian syariah:
a)
Memberi
lebih dulu kepada pihak yang melakukan perjanjian, bahwasannya perjanjian yang
telah disepakati akan dihentikan. Dengan memberitahukan alasan- alasan
dibatalkannya perjanjian tersebut.
b)
Setelah
pihak yang diberitahu tersebut telah mempunyai waktu untuk menyiapkan
perjanjian, maka terlaksanakanlah pembatalan perjanjian tersebut.[16]
- Ruang Lingkup Hukum Perjanjian Syari’ah
Menurut pernyataan Prof. Dr. H. M. Tahir Azhary, SH. Tentang
hukum perikatan islam dapat disimpulkan bahwa adanya kaitan erat antara
hukum perikatan (yang bersifat hubungan perdata) dengan prinsip kepatuhan dalam
menjalankan ajaran agama islam yang ketentuannya terdapat dalam sumber-sumber
hukum islam tersebut. Hal ini menunjukkan sifat “religious transendental” yang
terkandung pada aturan-aturan yang melingkupi hukum perikatan islam itu sendiri
yang mencerminkan otoritas Allah SWT. Tuhan yang maha mengetahui segala tindak
tanduk manusia dalam hubungan antar sesamanya.[17]
Dapat disimpulkan bahwa subtansi dari hukum perikatan islam
lebih luas dari materi yang terdapat pada hukum perikatan perdata barat. Hal
ini dapat dilihat dari keterkaitan antara hukum perikatan itu sendiri dengan
hukum islam yang melingkupinya yang tidak semata-mata mengatur hubungan antara
manusia dengan manusia saja, tapi juga hubungan antara dengan sang pencipta
(Allah SWT.) dan dengan alam lingkungannya. Sehingga hubungan tersebut
merupakan hubungan vertical dan horizontal.[18]
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dari pemaparan atau penjelasan materi diatas maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1.
Pengertian
hukum perjanjian syariah terdapat 2 arti, baik secara etimologi maupun secara
istilah. Dalam bahasa Arab perjanjian itu diartikan sebagai Mu’ahadah Ittifa’.
Akan tetapi di dalam Bahasa Indonesia, perjanjian itu dikenal sebagai kontrak.
Yang mana dengan hal ini, perjanjian merupakan suatu perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang atau kelompok dengan yang lainnya sehingga untuk mengikat antar
keduanya baik dirinya sendiri maupun orang lain.
2.
Dalil
dari perjanjian syaiah yaitu Al-Qur’an surat Al-Imran ayat 76 dan hadis nabi
yang berbunyi “aku anggota ketiga dari dua orang yang bersyarikah selama keduanya
tetap berlaku jujur. Apabila salah seorang anggota syirkah itu mengkhianati
temannya, maka aku keluar dari syirkah itu”.
3.
Di
dalam melakukan suatu perjanjian harusnya terdapat rukun dan syaratdari suatu
akad. Agar perjanjian tersebut dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah.
Syarat merupakan salah satu unsur yang harus ada dalam berbagai hal, baik
peristiwa maupun tindakan.
4.
Adapun
syarat-syarat yang harus terpenuhi dalam suatu akad perjanjian syariah agar
perjanjian tersebut menjadi sebuah perjanjian yang sah, diantaranya yaitu:
Rukun akad tersebut adalah :
1) Aqid adalah orang yang berakad.
2) Mauqud alaih adalah benda-benda yang
diakadkan seperti benda-benda yang dijual.
3) Maudhu’ al ‘aqd adalah tujuan atau
maksud pokok mengadakan akad.
4) Shighat al ‘aqd adalah ijab dan
qobul, hal-hal yang harus diperhatikan dalam shighat al ‘aqd (shighat akad
adalah dengan cara bagaimana ijab dan kabul yang merupakan rukun akad
dinyatakan)
a. Tidak menyalahi hukum syariah yang
telah disepakati
b. Adanya penyimpangan yang dilakukan
oleh salah satu pihak
c. Harus jelas
a) ketidakjelasan jenis yang
menyebabkan pertengkaran (al-jilalah)
b) untuk adanya paksaan (ikrah)
c) membatasi kepemilikan terhadap suatu
barang (taufiq)
d) terdapat unsur tipuan (gharar)
e) terdapat bahaya dalam pelaksanaanakad
(dharar)
- Saran
Demikianlah makalah ini kami buat, semoga dengan adanya makalah ini bisa
sedikit banyak memberikan wacana kepada para pembaca tentang zakat perdagangan
ini dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Disamping itu, kami juga
mengharapakan kritik dan saran dari pembaca, yang mungkin dalam penjelasan dan
pembahasan di atas masih memiliki banyak kekurangan, guna dijadikan acuan dalam
penulisan atau pembahasan selanjutnya. Demikian akhir kata kami, semoga makalah
ini bermanfaat bagi semua, khususnya bagi pembaca dan penulis. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan
Syari’ah Di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009).
Adiwarman, A. Karim, Bank Islam;
Analisis Fiqih Dan Keuangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo,2006).
Chairuman
Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta:
sinar grafika, 2004).
Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2006). Rafmad
Syafe’i. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia Bandung.2001.hal. 44
Gemala Dewi, Wirdyaningsih Dan Yeni Salma Barlianti,
Hukum Perikatan Islam Di Indonesia,(Jakarta:Kencana Prenada Media Group,
2006).
Prof. Dr. H. rachmat Syafei, MA.Fiqih Muamalah, (Bandung:
CV Pustak Setia, 2001).
Prof.
Dr. H. Veithzal Rivai, M.B.A. dan Ir H. Andi Buchari, M.M., Islamic
economis,.
Mardani. Fiqih Ekonomi Syariah. Kencana Jakarta.2013
Prof. Dr. H. Veithzal Rivai, M.B.A. dan
Ir H. Andi Buchari, M.M., Islamic economis,Jakarta: Bumi aksara
M. Tahir Azhari, Bahan Kuliah
Perikatan Islam Di Fakultas Hokum Universitas Indonesia Tanggal 16 Februari
1998;Barlianti, Hukum.
[1]
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K.
Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta: sinar grafika, 2004), h.
1.
[2]
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syari’ah Di Indonesia,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2009), h. 51
[3]
Anshori, Perbankan, h. 51
[4]
Djumadi, Hukum Perburuhan
Perjanjian Kerja, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 13.
[5]
Anshori, Perbankan,h. 52-53
[6]
Rafmad Syafe’i. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia
Bandung.2001.hal. 44
[7]
Prof. Dr. H. rachmat Syafei,
MA.Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustak Setia, 2001), hal. 43
[8]
Qomarul Huda, M.Ag, Fiqh Muamalah, Op. Cit. hal. 27
[9]
QS. Al-Maidah ayat, h. 3
[11]Mardani. Fiqih Ekonomi Syariah. Kencana
Jakarta.2013.hal 75
[12]Mardani. Fiqih Ekonomi Syariah. Kencana
Jakarta.2013.hal 77
[13]Prof.
Dr. H. Veithzal Rivai, M.B.A. dan Ir H. Andi Buchari, M.M., Islamic
economis,Jakarta: Bumi aksara, hal 350
[15]
Adiwarman, A. Karim, Bank Islam; Analisis Fiqih Dan
Keuangan (Jakarta: PT. Raja Grafindo,2006), h. 362-363
[16]
Pasaribu dan Lubis, Hukum, h. 7
[17]Gemala Dewi, Wirdyaningsih Dan Yeni Salma Barlianti,
Hukum Perikatan Islam Di Indonesia,(Jakarta:Kencana Prenada Media Group,
2006), h. 3-4.
[18]
M. Tahir Azhari, Bahan Kuliah
Perikatan Islam Di Fakultas Hokum Universitas Indonesia Tanggal 16 Februari
1998;Barlianti, Hukum, h. 3-4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar