(Oleh Ansari, S.H.I)
Pemikiran-pemikiran filosofis seringkali terlahir dari kritik para pemikir terhadap generasi sebelumnya. Begitu juga yang terjadi pada perkembangan pemikiran filosofis di Eropa. Sebagai bagian dari proses Renaissans, para pemikir modern awal menggugat eksistensi gereja yang tidak hanya memonopoli urusan keagamaan namun juga soal pemerintahan dan pemikiran.
Lalu para pengkritik ini diikuti oleh pengkritik selanjutnya yang berbicara soal keunggulan rasio yang bisa membawa manusia pada kehidupan yang lebih baik. Selanjutnya para rasionalis tersebut dikritik hasil pemikirannya oleh perintis empirisme yang menyebutkan bahwa rasio saja tidak cukup untuk menentukan adanya sesuatu namun juga harus bisa dialami alias empiris. Ketiga tahap perkembangan pemikiran dunia barat tersebut sebenarnya mempunyai satu tujuan sama, yaitu mempreteli eksistensi ide-ide dari gereja. Namun, yang dirasa cukup berhasil memisahkan diri dari pikiran gereja adalah yang terakhir, empirisme. Empirisme ini kemudian menjadi dasar lahirnya banyak ilmu pengetahuan di zaman modern. Disini terciptalah dua ciri khas cara pandang orang-orang barat yang bercorak rasional dan empiris.
Empirisme yang tumbuh di Inggris
dimulai dengan John Locke. Seorang yang sangat anti dengan diktatorisme dan
sistem yang mendukung raja. Empirisme yang dibangun oleh John Locke adalah
bertujuan untuk “membersihkan dasar pengetahuan serta membuang kotoran-kotoran
yang menempel pada cara memperoleh pengetahuan” (Stumpf dan Fieser, 2002:250).
Locke mencoba untuk menjelaskan bagaimana dan cakupan yang dapat diharapkan
dari pikiran manusia. Dia menyatakan bahwa jangkauan dari pengetahuan kita adalah
dibatasi oleh pengalaman kita. Hal ini sebenarnya sudah diutarakan oleh filsuf
sebelum dia, yaitu Thomas Hobbes maupun Francis Bacon yang menyatakan bahwa
pengetahuan itu harus didasarkan pada observasi. Perbedaannya adalah bahwa
kedua filsuf ini tidak mencoba mempertanyakan secara kritis pengetahuan yang
telah diperoleh manusia. Mereka berasumsi bahwa sejauh metode yang dipakai
benar maka pengetahuan yang dihasilkan tidak perlu dipertanyakan keabsahannya,
hal yang hampir sama dinyatakan pula oleh Rene Descartes yang meyakini bahwa
tidak ada masalah yang bisa dipecahkan oleh akal manusia apabila mereka sudah
menerapkan metode yang tepat. Sedangkan Locke berpendapat bahwa pikiran manusia
terlalu kecil apabila dibatasi oleh metode-metode saja. Pikiran manusia mampu
menemukan kesejatian alam semesta (ibid).
Epistemologi Locke
Dalam epistemologinya, Locke
berusaha untuk menelusuri asal mula, kepastian serta jangkauan pengetahuan yang
dimiliki oleh manusia. Dalam hal ini, dia mencoba menjelaskan apa saja isi pengetahuan
dan bagaimana bisa didapat. Dia juga mencoba menentukan batas pengetahuan dan
memastikan hal apa yang menyokong kepastian intelektual manusia. Dalam proses
pembangunan epistemologinya inilah Locke berkesimpulan bahwa pengetahuan
manusia dibatasi dengan ideas (ide-ide), yang dimaksud dengan
ide-ide disini sama sekali berbeda dengan innate ideas (ide-ide bawaan)
yang diyakini secara pasti dimiliki oleh setiap manusia oleh kaum Rasionalis
macam Descartes namun ide-ide yang dihasilkan dari objek yang dialami oleh
manusia. Locke secara pasti berpendapat bahwa ide-ide tersebut haruslah berasal
dari pengalaman sehari-sehari. Jadi dia mengumpamakan pikiran manusia semacam
sebuah memori komputer yang menampung pengalaman-pengalaman manusia untuk
dijadikan sebuah ide-ide yang disebutnya sebagai pengetahuan. Berikut wacana
yang dibangun oleh Locke terkait Epistemologinya.
Tidak ada ide bawaan (Innate
Ideas). Para filsuf yang meyakini adanya ide-ide bawaan menyatakan
bahwa apabila ada suatu hal disebut dengan pengetahuan maka pastilah ada
sesuatu dalam diri manusia yang bisa mengetahui, dan jikalau ada sesuatu yang
bisa mengetahui maka secara logis orisinil manusia diberkahi dengan kapasitas
untuk tahu, kapasitas untuk tahu inilah yang menentukan manusia dalam membentuk
pengetahuannya. Maka dari itu, tanpa harus mengalami realitas yang terjadi
diluar dirinya, manusia pastilah mampu merumuskan pengetahuan untuk dirinya,
jadi dapat dinyatakan bahwa dalam diri manusia sudah ada “alat tertentu” yang
berfungsi untuk mengidentifikasi dan menyimpulkan suatu pengetahuan (Webb,
1857:39), perumpamaan untuk ide bawaan ini adalah LAD (Language Acquisition
Device) yang diwacanakan oleh Noam Chomsky. Chomsky menyatakan bahwa setiap
manusia diberkahi “organ tertentu” dalam otaknya (Chomsky, 1965), walaupun LAD
ala Chomsky ini bisa berfungsi apabila LAD tersebut dipakai untuk memperoleh
bahasa yang dipakai disekitar alias lewat pengalaman berbahasa.
Menyikapi hal ini, Locke dengan
tegas menyatakan bahwa semua ide-ide yang dimiliki oleh manusia berasal dari
pengalaman sehari-hari. Dia berkata “ada sebuah opini yang mapan pada beberapa
orang bahwa dalam memperoleh pemahaman yaitu terdapat prinsip-prinsip bawaan (innate
priciples) yang terdiri dari prinsip ide spekulatif dan prinsip perbuatan
yang terpatri dalam pikiran manusia; yang mana jiwa manusia mendapatkannya dari
awal penciptaan dan kemudian dibawa kealam dunia ini”. Penting untuk
mengingatkan para pembaca bahwa anggapan ini adalah sebuah kekeliruan (Locke,
1999:27). Dia tidak hanya menyatakan bahwa hal ini adalah sebuah kekeliruan
namun juga sebuah kesesatan yang berbahaya maka dari itu apabila ada orang yang
berkata demikian, dengarkanlah argumennya dan biarkan saja (ibid).
Orang yang berpendapat bahwa ada
ide-ide bawaan, mempunyai beberapa prinsip-prinsip universal yang dipercayai.
Diantaranya adalah “what is, is” apa yang ada adalah sesuatu yang memang
sudah ada. Jadi, keadaan sesuatu tersebut memang sudah ada sebelumnya dan akan
tetap ada. Kemudian mereka juga berprinsip “it is impossible for the same
thing to be and not to be” yang artinya adalah hal yang mustahil sesuatu
yang sama bisa menjadi ataupun bisa tidak menjadi, maksudnya, tidak mungkin
satu hal yang sama bisa mempunyai identitas ganda yang mendasar (Locke, ibid;
46). Locke menolak mentah-mentah bahwa prinsip tersebut dapat dijadikan
sebuah argumen akan adanya ide-ide bawaan. Namun hal tersebut merupakan
refleksi yang ada dalam diri kita saat kita mengamati sesuatu maka yang
dihasilkan adalah keadaan sesuatu tersebut memang demikian adanya. Pikiran kita
tidak mengizinkan untuk mendefinisikan sesuatu tersebut sebagai sesuatu yang
lain. Dan meskipun hal itu diyakini oleh setiap orang namun dapat dia yakini
bahwa mereka tidaklah akan berpikir hal tersebut sebagai argumen tentang adanya
innate. Argumen itu merupakan hal yang universal dan hanya dapat
dipahami oleh manusia dewasa. Jika memang demikian, kenapa harus dikatakan
sebagai innate? Locke meyakini bahwa kalau memang hal tersebut dijadikan
argumen akan adanya innate harusnya manusia mengetahuinya semenjak
kecil, akan tetapi hal ini pastilah tidak mungkin. Sebuah proposisi tidak akan
bisa terucap kecuali setelah kita menyadari akan adanya sesuatu yang
diproposisikan. Kita mengetahui bahwa “keseluruhan itu lebih besar daripada
sebagian” setelah melihat bukti bahwa memang “yang keseluruhan itu lebih besar
daripada yang sebagian”(ibid).
Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa observasi merupakan satu poin penting yang harus dilakukan oleh manusia
untuk memperoleh pengetahuannya. Dari hal-hal partikular yang diamati melalui
observasi tersebutlah akan tercipta fondasi natural pengetahuan (Locke,
1911:38). Hal apapun yang disajikan oleh alam sekitar pastilah akan
mempengaruhi perasaan dan perbuatan kita, itulah yang disebut pengetahuan
(Webb, 1857:33).
Ide, ide adalah objek
pikiran. Setiap orang sadar akan dirinya sendiri bahwa dia berpikir. Apa yang
ada dalam pikiran adalah tentang sesuatu yang memang ada secara nyata dapat
diindera. Sesuatu yang meragukan apabila manusia mempunyai ide-ide dalam
pikiran mereka. Namun yang benar adalah “pada saat sekaranglah” mereka punya
ide-ide itu setelah mengalami penginderaan. Seperti ekspresi kata tentang yang
putih, keras, lembut, pikiran, gerakan, manusia, gajah, pasukan, mabuk dan sebagainya
(Locke, 1999:86). Locke berasumsi bahwa pengetahuan akan suatu
objek dapat diterangkan dengan menemukan material dari sesuatu yang digunakan
untuk membuat objek tersebut. Cara mengetahuinya yakni dengan pengalaman.
Pengalaman memberi kita sebuah sensasi/rasa dan refleksi. Dari sensasi/rasa
yang kita terima dari benda diluar kita maka kita dalam pikiran kita akan
timbul beberapa macam persepsi. Ini adalah proses bagaimana kita bisa mempunyai
ide tentang kuning, putih, panas, dingin, pahit, manis dan hal-hal lainnya.
Sensasi/rasa merupakan “sumber dari mayoritas ide yang kita miliki”. Sisi lain
dari pengalaman adalah refleksi, yakni sebuah aktivitas pikiran yang
memproduksi ide dengan mengambil simpulan dari ide sebelumnya yang dihasilkan
oleh indera. Refleksi meliputi persepsi, pikiran, keyakinan, keraguan,
penalaran, harapan, dan semua hal yang menciptakan ide yang dihasilkan dari
sesuatu diluar tubuh kita dan mempengaruhi indera kita (Stumpf dan Fieser,
2002). Kemudian Locke membagi ide tersebut menjadi dua, yaitu ide simple dan
ide kompleks.
Ide simple merupakan sumber
utama bahan baku dari pengetahuan manusia. Ide ini di terima secara pasif oleh
pikiran melalui indera. Tatkala kita melihat sebuah objek, ide akan datang
kedalam pikiran kita secara individual. Contohnya adalah pada saat kita melihat
bunga mawar merah yang mempunyai percampuran kualitas merah dan harum. Pikiran
kita akan menerima ide merah dan harum secara sendiri-sendiri. Ide merah
sendiri, ide harum juga sendiri. Karena indera yang dipakai juga
sendiri-sendiri, yaitu indera penglihat dan indera pembau. Namun terkadang
pula, satu indera bisa menangkap kualitas yang berbeda-beda misalnya rasa manis
dan kecut yang bisa ditangkap oleh satu indera, yaitu indera pengecap.
Sehubungan dengan ide yang ditangkap lewat indera, pikiran kita mampu membuat
ide simple baru dengan penalaran dan penilaian. Jadi, ide simple dari refleksi
bisa berupa kesenangan atau kesengsaraan.
Ide kompleks, tidak diterima
secara pasif oleh pikiran namun merupakan gabungan-gabungan ide simple. Ada
tiga proses yang dilalui oleh pikiran untuk menciptakan ide kompleks, yaitu:
pertama, pikiran mengambil ide-ide simple; kedua, membawa ide-ide bersamaan
namun tetap terpisah; ketiga, melakukan abstraksi. Maka, pikiran kita menggabungkan
ide putih, keras, dan halus untuk membuat ide kompleks dari kumpulan gula.
Pikiran kita juga membawa ide-ide secara bersamaan namun tetap menjaga mereka
terpisah sebagai bukti adanya hubungan antar ide tersebut, seperti tatkala kita
melihat bahwa rumput itu lebih hijau daripada pohon. Akhirnya, pikiran kita
bisa memisahkan ide-ide tersebut “dari ide-ide yang terdapat dalam sebuah objek
menjadi sebuah wujud nyata”. Seperti halnya kita bisa membedakan antara Ayub
dan Agung karena kita mendapatkan ide-ide tentang mereka yang pastinya ide-ide
yang kita dapatkan tentang Ayub dan Agung adalah berbeda-beda.
Kualitas, adalah kekuatan
yang dimiliki oleh objek untuk menghasilkan idea-idea dalam diri kita. Misalnya
kualitas kerbau, yang mempunyai daya untuk menghasilkan idea hitam, besar dst.
Kualitas dibagi menjadi dua macam, yaitu primer dan sekunder. Kualitas primer
adalah kualitas yang melekat inheren pada sebuah objek dan tidak akan mengalami
perubahan. Idea-idea simpleks dilahirkan dari kualitas primer ini, seperti:
luas, massa, bentuk dst. Sedangkan kualitas sekunder adalah daya-daya yang
mempengaruhi subjek, yang menghasilkan penilaian yang bersifat subjektif,
misalnya: ada yang bilang perempuan itu cantik, ada yang bilang perempuan itu
jelek (Budi Hardiman, 2011).
Hal terpenting dari pembedaan
kualitas ini adalah bahwa dia berusaha mencari perbedaan antara penampakan (appearance)
dengan realitas (reality). Jadi memang sesuatu yang tampak
dipermukaan belum tentu menunjukkan realitas yang sesungguhnya. Newton,
misalnya, menjelaskan bahwa sesuatu yang tampak putih merupakan kumpulan dari
partikel-partikel yang putih itu sendiri. Putih bukanlah sebuah realitas namun
hanya penampakannya saja, realitasnya adalah partikel-partikel yang berkumpul.
Jadi putih tersebut merupakan efek/akibat dari berkumpulnya partikel-partikel.
Dengan demikian ada hal yang menyebabkan kualitas tersebut, yang disebut dengan
substansi (Stumpf dan Fieser, 2002).
Substansi, Locke berusaha
menjelaskan tentang substansi ini dengan pendekatan common-sense. Bagaimana
kita bisa mempunyai ide-ide tentang kualitas apabila tidak berasumsi bahwa ada
substansi yang membentuknya? Locke menjawab dengan hukum kausalitas, bahwa
setiap sesuatu itu ada sebabnya. Apabila sebuah benda bergerak maka benda
tersebut pastilahh ada yang menggerakkan, tidak mungkin sebuah benda tersebut
bergerak sendiri. Begitu pula dengan kualitas, kualitas tidak akan ada tanpa
ada penyebabnya. Ide tentang substansi ini adalah “sesuatu yang kita tahu bukan
apa” (Locke, 1999) menunjukkan ukuran validitas pengetahuan yang kita miliki.
Jadi validitas pengetahuan yang kita miliki diukur dengan kata “sesuatu yang
memang benar kita tahu”. Ukuran sejauh mana pengetahuan kita dan sevalid apa
pengetahuan tersebut tergantung atas bagaimana ide-ide yang kita miliki
tersebut saling berhubungan. Locke kemudian mendefinisikan pengetahuan sebagai
“persepsi dari hubungan, persesuaian, ketidak sesuaian antar ide kita yang
saling berhubungan”.
Ada tiga bentuk persepsi atau
jenis pengetahuan yang kita miliki (Locke, ibid:520-529). Pertama,
pengetahuan intuitif, yakni pengetahuan yang paling cepat kita dapat yang
paling jelas tanpa mengandung keraguan sedikitpun. Contohnya tatkala kita tahu
bahwa angka 6 bukanlah angka 8, bentuk persegi panjang pastilah tidak bulat.
Dari intuisi ini kita tahu bahwa kita sendiri adalah sesuatu yang maujud.
Kedua, Pengetahuan Demonstratif, yang terjadi tatkala kita berusaha untuk
melakukan persesuaian ataupun ketidaksesuaian antar ide-ide dengan melakukan
pertimbangan melalui ide lain. Idealnya, setiap tahap dari pengetahuan
demonstratif haruslah mempunyai keyakinan intuitif dan karena manusia
memperoleh pengetahuannya dari kepastian intuitif maka sesuatu yang kosong
tidak akan mungkin bisa menciptakan sesuatu, maka disinilah Tuhan pastilah ada.
Ketiga, pengetahuan sensitif, pengetahuan ini tidak memberi kepastian sesuatu
terhadap diri kita. Kita bisa melihat manusia lain, dan kita yakin bahwa
manusia tersebut benar-benar maujud. Namun tatkala dia pergi, apakah kita masih
yakin manusia tersebut masih ada atau tidak. Secara ringkas dapat dikatakan
bahwa pengetahuan intuitif membuat kita yakin bahwa kita benar-benar maujud,
pengetahuan demonstratif menunjukkan bahwa Tuhan memang ada, sedangkan
pengetahuan sensitif membuat kita yakin bahwa sesuatu yang lain memang maujud
hanya tatkala kita bisa merasakan kehadiran mereka dan dapat dijadikan
pengalaman.
Ilmu pengetahuan bagi Locke ada
tiga macam, yaitu (Locke, 1999:717-718): pertama, fisika, pengetahuan tentang
sesuatu (things), hukumnya, kelengkapannya dan cara beroperasinya.
Disini tidak hanya tergantung pada materi dan tubuh, namun juga sesuatu yang
bersifat ruhani yang mencakup asalnya, hukumnya dan cara beroperasinya.
Aksiologi dari ilmu ini adalah kebenaran spekulatif. Kedua, praktika/praktike,
yaitu kemampuan kita untuk menerapkan kekuatan dan aksi kita untuk mencapai
sesuatu yang baik dan bermanfaat. Yang menjadi pertimbangan dari ilmu ini
adalah etika. Aksiologi ilmu ini adalah bukan pengetahuan tentang
kebenaran namun kebaikan. Ketiga, Semiotika/Semeiotike, ajaran
tentang tanda, biasanya yang dibahas adalah kata bisa juga disebut dengan logike,
logika yakni yang berkaitan dengan asal mula tanda, dipakai untuk memahami
sesuatu, atau menyebarkna pengetahuan terhadap orang lain. Dalam hal ini, untuk
menjelaskan sesuatu, kita membutuhkan representasi yakni tanda. Maka tanda
menjadi amat penting bagi tersebarnya ide-ide kita. Kata menjadi tanda
terpenting karena merupakan instrumen pengetahuan yang paling baik. Pemakaian tanda
yang tepat akan membuat pengetahuan menjadi teratur dan jelas. Membuatnya bisa
dibedakan antara satu dengan yang lainnya.
Teori Moral dan Politik
Karena Locke tidak percaya
adanya prinsip bawaan (innate principles) maka dia tidak percaya akan
definisi bahwa manusia mempunyai karakter bawaan. Karakter manusia bagi dia
adalah sesuatu yang harus dibentuk dan dilatih dengan pengalaman inderawi.
Moral merupakan bagian dari pengetahuan demonstratif. Kata kunci dalam etika
adalah “baik”, dan bisa dipahami dengan jelas. Hampir setiap orang paham dengan
apa yang dimaksud dengan apa yang disebut dengan “baik”. “sesuatu bisa dianggap
baik atau buruk apabila bisa mendatangkan kenikmatan ataupun kesengsaraan,
sesuatu dianggap baik apabila membawa kepada kenikmatan dan dianggap buruk
apabila menyebabkan kesengsaraan”. Jadi, moralitas diukur dengan pemilihan kita
terhadap sesuatu yang baik tersebut (Stumpf dan Fieser, 2002:258).
Dengan memakai nalar, kita bisa
mengenali bahwa aturan moral yang kita buat tidak menabrak hukum Tuhan atau
sesuai dengan hukum Tuhan. Hukum bagi Locke ada tiga macam. Pertama, Hukum
opini (law of opinion), merupakan representasi dari penilaian dan
kesepakatan komunitas untuk menentukan hal apa saja yang dianggap bisa menuntun
manusia terhadap kebahagiaan dan dijadikan sebagai tolak ukur sebagai sesuatu
yang “baik”. Kesepakatan tersebut disebut dengan virtue, walaupun
pastinya beda komunitas pasti akan berbeda bagaimana menentukan isi dari virtue
tersebut. Kedua, hukum sipil (civil law) yang dibentuk oleh negara dan
ditegakkan oleh pengadilan. Hukum inilah yang harus diutamakan. Ketiga, hukum
Tuhan (divine law), yang merupakan aturan yang sebenarnya bagi tingkah
laku manusia. Locke menyatakan “bahwa Tuhan telah memberi aturan bagaimana
seharusnya manusia mengatur dirinya maka tidak ada alasan untuk menolak”. Hal
ini merupakan batu sandungan bagi lurusnya moralitas. Dia memprediksi bahwa law
of opinion dan civil law akan mengikuti divine law (ibid.,
Webb 1857). Kalau kita amati, tampaknya ajaran moral Locke ini
ambigu. Pada satu sisi dia menyatakan bahwa sesuatu yang baik itu ukurannya
adalah hal yang bisa mendatangkan kenikmatan dan harus sesuai dengan hukum
Tuhan berdasarkan pertimbangan nalar kita, namun disisi lain dia menyatakan
bahwa divine law hanya akan menjadi “touchstone” batu sandungan
bagi tegaknya moralitas yang bergantung pada kenikmatan “touchstone of moral
rectitude”.
The State of nature and The
State of War, teori the state of nature yang diungkapkan oleh Locke
ini adalah untuk menunjukkan keadaan mula umat manusia. Opini ini dikatakan
untuk menyerang opini Thomas Hobbes (Stumpf dan Fieser, 2002:259) yang pada
saat terjadinya glorious revolution (revolusi yang dilakukan oleh kelas
menengah Inggris yang isinya anggota parlemen melawan kekuasaan monarki,
terjadi tahun 1688 (Budi Hardiman, 2011:64)) amat mendukung kerajaan, opini
Hobbes tentang diharuskannya negara untuk bersifat totaliter adalah untuk
menciptakan stabilitas kekuasaan monarki. Namun ada juga yang menyatakan bahwa
sebenarnya opini Locke ini untuk menyerang Sir Robert Filmer, seorang yang
dikenal sangat loyal terhadap kerajaan pada masa Locke hidup. Filmer adalah
orang yang tidak setuju pada Locke tentang tidak adanya Arbitrary Power (kekuasaan
asali) yang harus dimiliki negara untuk mengendalikan rakyat (Pollock, 1903:2).
Bagi Locke, state of nature atau
keadaan awal umat manusia adalah manusia hidup bersama tanpa ada kekuatan yang
superior, semuanya berposisi sama dan setara, tidak ada seorangpun yang
membahayakan hidup, kesehatan, kebebasan dan kepemilikan orang lain. Semunya
menjaga diri dan memenuhi kebutuhan masing-masing. Penjagaan atas diri sendiri
tersebut merupakan hukum moralitas namun bukan sekedar hukum moralitas yang
egoistik. Semua orang saling menghormati karena masing-masing sadar bahwa
mereka adalah makhluk Tuhan (Locke, 1823:106-107). Hal ini amat berbeda dengan
Hobbes yang menyatakan bahwa masing-masing manusia saling menyerang “war of
all against all”.
Sedangkan yang dimaksud
dengan the state of the war adalah negara yang dipenuhi dengan kekacauan
dan permusuhan. Hal ini disebabkan adanya manusia satu ingin menguasai manusia
lain. Dia ingin menjadi penguasa yang absolut dan merampas hak milik orang
lain. Dia menciptakan perang supaya orang-orang yang memusuhinya kalah dan
akhirnya dia jadikan sebagai budak. Kekuasaan absolut yang didapatkannya adalah
untuk memenuhi kerakusannya (ibid., hal. 112). Bagi Locke, inilah yang
harus dicegah karena akan merampas hak atas kepemilikan dan kehormatan
individu.
Locke berpendapat bahwa manusia
yang dilahirkan didunia ini berhak untuk mempunyai kepemilikan pribadi dan
menjaga dirinya. Setiap manusia juga berhak untuk makan dan minum. Tidak ada
yang boleh kelaparan. Manusia tidak boleh diperbudak oleh manusia lainnya, dan
dia tidak boleh dibawah ikatan hukum yang menindasnya. Namun tatkala seseorang
bekerja bagi orang lain, maka dia bisa menjadi milik orang yang
mempekerjakannya karena orang yang mempekerjakannya itu memberinya hak.
Konsekuensi logisnya adalah segala hal yang diproduksi oleh pekerjanya tersebut
akan menjadi miliknya. Hak milik pribadi tersebut mendahului hukum sipil (civil
law). Setiap manusia juga berhak menerima warisan dari saudara ataupun
orang tuanya. (ibid., 114-116).
Untuk melindungi hak kepemilikan
pribadi itulah maka perlu dibentuk suatu pemerintahan yang dia sebut dengan commonwealth,
jadi manusia memerlukan negara adalah sekedar untuk terjaminnya hak milik
pribadinya. Negara tersebut haruslah berdasarkan hukum, hukum yang dibuat dan
ditegakkan oleh masyarakat. Hukum tersebut haruslah sesuai dengan state of
nature dan disetujui oleh mayoritas. Maka dari itulah pemerintahan monarki
absolut bukanlah bentuk pemerintahan sipil. Ada beberapa macam bentuk
pemerintahan, yaitu apabila hukum diserahkan penegakannya kepada banyak orang
yang mewakili komunitas disebut dengan demokrasi sempurna, namun apabila
diserahkan kepada beberapa orang saja dan diwariskan kepada anak turunnya
disebut dengan oligarki. Apabila ditangan satu orang disebut dengan monarki, dan
apabila kekuasaan satu orang tersebut diwariskan kepada anak turunnya disebut
dengan hereditary monarchy (monarki warisan). Namun jika penerusnya
dipilih lewat pemilihan maka disebut dengan elective monarchy (monarki
elektif). Bagaimanapun juga, negara yang ideal menurut Locke adalah yang
menggunakan sistem Commonwealth, yang dimaksudkan adalah bukan demokrasi
ataupun sistem kenegaraan yang lain. Namun adalah komunitas independen yang
oleh orang latin disebut dengan civitas. Locke mengatakan “saya memilih
kata commonwealth (persemakmuran) daripada community (komunitas)
yang bisa berarti subordinate dari sebuah pemerintah lain ataupun city (kota).
Untuk menghindari ambiguitas” (ibid., hal. 162). Meskipun komunitas
tersebut independen, kita masih butuh kekuatan tertinggi (supreme power) yang
diwakili oleh legislatif yang mana komunitas independen tersebut tersubordinasi
disini (ibid., hal. 169).
Untuk menjalankan sebuah negara,
maka pemerintah haruslah diberi kedaulatan (sovereignity). Tidak seperti
Hobbes yang mengkonsepsikan adanya kedaultan absolut pemerintah, Locke
berpendapat sebaliknya. Dalam menjalankan roda pemerintahan perlu dilakukan
pembagian kekuasaan (division of power) yaitu antara eksekutif,
legislatif, dan federatif. Legislatif berfungsi untuk memastikan bahwa
hak milik pribadi yang dimiliki oleh masyarakat benar-benar dijamin. Sedangkan
eksekutif yang berfungsi sebagai pelaksana atau admin dari hukum yang telah
dibuat dan disepakati, yaitu untuk menjalankan pemerintahan sehingga eksekutif
berada dibawah kekuasaan payung hukum under the law. Adapun federatif
mempunyai fungsi untuk melakukan hubungan luar negeri, mencari aliansi luar
negeri serta menyatakan damai atau perang terhadap negara lain. Dalam teori
Locke tidak mengenal adanya kekuasaan Yudikatif (kehakiman) (ibid., hal.
167-168).
_________________________________
Daftar
Pustaka
Budi Hardiman, Fransisco. 2011. Pemikiran-pemikiran yang Membentuk
Dunia Modern (Dari Machiavelli sampai Nietzsche). Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Chomsky, Noam. 1965. Aspects of the Theory of Syntax. Massachusetts:
MIT Press.
Locke, John. 1823. Two treatises of Government. London: McMaster
University Archive of the History of EconomicThought.
_____, John.
1911. The Conduct of the Understanding. Dublin: W.Wilson.
_____, John. 1999. An Essay Concerning Human Understanding by John
Locke. Electronic edition. Pennsylvania: the Pennsylvania
State University.
Pollock,
Frederick. 1904. Locke’y Theory of State. London: the British Academy.
Stumpf, Samuel Enoch and Fieser, James. 2002. Philosophy; History and
Problem. Sixth edition. New York: McGraw-Hill Higher Education.
Webb, Thomas E.
1857. The Intelectulaism of Locke: An Essay. London: Longman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar