Perkembangan Politik, Ekonomi,
Administrasi Pemerintahan,
Pendidikan
Makalah Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Study Peradaban Islam
Dosen Matakuliah :
Dr. Fadil SJ, MAg
Disusun Oleh:
ANSARI
NIM: 14781010
PROGRAM PASCASARJANA
JURUSAN AL-AHWAL
AL-SYAKHSIYYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
TAHUN AJARAN 2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat-Mu ya Allah. Berkat rahmat dan hidayah-Nya
serta bimbingan-Nya semata-mata, akhirnya penulisan makalah ini dapat selesai.
Sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan ke pangkuan Nabiyullah
Muhammad, SAW.
Makalah ini penulis susun guna
memenuhi tugas mata kuliah Pendekatan Study Islam. Dan dalam penulisan makalah
ini, penulis menyadari bahwa sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang
terbatas, maka makalah yang berjudul “Perkembangan
Politik, Ekonomi, Administrasi Pemerintahan, Pendidikan Era
Bani Abbasiyah.“, ini masih jauh dari kata
sempurna.
Dan
dalam penulisan makalah ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Dr. Fadil SJ, M.Ag Selaku
dosen pengampu mata kuliah Study
Peradaban Islam. Uneversitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang.
2.
Segenap sahabat-sahabat.
3.
Semua pihak yang telah memberikan
motivasi kepada penulis.
Penulis berharap dari
makalah yang penulis susun ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi
penulis maupun pembaca. Demikianlah makalah ini penulis susun, kritik serta
saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk melengkapi makalah ini.
Wallahul Muwafiq Ila Aqwametthoriq
Wasalamu'alaikum
Wr.Wb
Malang, 20 April 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Peradaban[1] dalam
Islam, dapat ditelusuri dari sejarah kehidupan Rasulullah, para sahabat
(Khulafaur Rasyidin), dan sejarah kekhalifahan Islam hingga kehidupan umat Islam
dewasa ini.Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad telah membawa bangsa Arab
yang semula terbelakang, bodoh, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi
bangsa yang maju. Bahkan, kemajuan Barat pada mulanya bersumber pada
peradaban Islam yang masuk ke Eropa melalui Spanyol.
Islam memang berbeda dari agama-agama lain, sebagaimana
pernah diungkapkan oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya Whither Islam kemudian dikutip M.Natsir, bahwa, “Islam is andeed much more than a system of
theology, it is a complete civilization” (Islam sesungguhnya lebih dari
sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban yang sempurna). Landasan
“peradaban Islam” adalah “kebudayaan Islam” terutama wujud idealnya, sementara
landasan “kebudayaan Islam” adalah agama. Jadi, dalam Islam, tidak seperti pada
masyarakat yang menganut agama “bumi” (non-samawi), agama bukanlah kebudayaan
tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta,
rasa dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari Tuhan.
Maju mundurnya peradaban Islam tergantung dari sejauh
mana dinamika umat Islam itu sendiri. Dalam sejarah Islam tercatat, bahwa salah
satu dinamika umat Islam itu dicirikan oleh kehadiran kerajaan-kerajaan Islam,
diantaranya Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah. Terlebih lagi Dinasti Abbasiyah, karena memiliki peradaban yang tinggi.
Salah satu indikasinya adalah munculnya ilmuwan-ilmuwan dan para pemikir
muslim.
Atas dasar itulah, kami merasa penting untuk mengusung
pembahasan mengenai bani Abbasiyah, demi memenuhi tugas makalah kuliah “Sejarah
Peradaban Islam”. Adapun topik bahasan yang kami ketengahkan adalah latar
belakang berdirinya kekhalifahan Abbasiyah, pemerintahan dinasti Abbasiyah, dan
kemajuan dan kemunduran pada masa ini, baik dari aspek ekonomi, politik, dan
sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar
Belakang Berdirinya Abbasiyah
Dinasti
Abbasiyah didirikan secara revolusioner, yakni dengan menggulingkan kekuasaan
dinasti Umayyah. Maka, bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja
pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur
sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah
merupakan suatu revolusi.
Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84),
ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :
1.
Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang
berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan
penderitaan masyarakat yang disebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi
yang berkuasa itu.
2.
Mekanisme pemerintahannya tidak efisien karena kelalaiannya
menyesuaikan lembaga-lembaga social yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.
3.
Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari
mendukung ideologi yang berkuasapada wawasan baru yang ditawarkan oleh
para kritikus.
4.
Revolusi itu pada umumnya bukan hanya dipelopori
dan digerakkan oleh orang-oranglemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh
para penguasa oleh karena hal-hal tertentu yang merasa tidak puas dengan
syistem yang ada.
Terdapat beberapa faktor
yang mendukung keberhasilan pembentukan dinasti ini diantaranya adalah
meningkatnya kekecewaan kelompok Mawalli[2] terhadap
Bani Umayyah, pecahnya persatuan antarsuku bangsa Arab, dan timbulnya
kekecewaan masyarakat agamis dan keinginan mereka memiliki pemimpin kharismatik.[3]
Kekuatan baru ini muncul pada
masa pemerintahan khalifah Hisyam ibn Abd al-Malik, yang pada akhirnya menjadi
tantangan berat bagi pemerintahan bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan
bani Hasyim yang dipelopori keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini menghimpun beberapa
kelompok, diantaranya adalah:
1. Bani Alawiyah pemimpinnya Abu Salamah
2. Bani Abbasiyah pemimpinnya Ibrahim al-Aiman
3. Keturunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany,
mereka memusatkan kegiatannya di khurasan.
4. Golongan Syi’ah
Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat
3 tempat yang menjadi pusat kegiatan
kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan
tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar
paman nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu
disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan
Khurasan.
Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga
Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga
Abbas. Humaimah terletak berdekatan
dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah
pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia
bermusuhan secara terang-terangan dengan golongan Bani Umayyah. Demikian pula dengan Khurasan, kota yang
penduduknya mendukung Bani Hasyim.
Ia mempunyai warga yang pemberani, kuat
fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak
mudah bingung dengan kepercayaan yang menyimpang.
Disinilah diharapkan dakwah kaum
Abbassiyah mendapatkan dukungan.
Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, gerakan Bani Abbas
dilakukan dalam dua fase yaitu : 1) fase sangat rahasia; dan 2) fase
terang-terangan dan pertempuran.
Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan
dilakukan sangat rahasia.Propaganda
dikirim keseluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama
dari golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang pada
mulanya mendukung Bani Umayyah.
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan di
seluruh negeri. Gerakan-gerakan perlawanan untuk melawan kekuasaan dinasti Bani
Umayyah sebenarnya sudah dilakukan sejak masa-masa awal pemerintahan dinasti
Bani Umayyah, hanya saja gerakan
tersebut selalu digagalkan oleh kekuatan militer Bani Umayyah, sehingga
gerakan-gerakan kelompok penentang tidak dapat melancarkan serangannya secara
kuat. Tapi, dimasa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani Umayyah gerakan
tersebut semakin menguat seiring banyaknya protes dari masyarakat yang merasa
tidak puas atas kinerja dan berbagai kebijakan pemerinatah dinasti Bani
Umayyah. Gerakan ini menemukan momentumnya ketika para tokoh dari Bani Hasyim
melancarkan serangannya.[4]
Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali,
salah seorang keluarga Abbas yang menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan
perlawanan. Gerakan Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok Mawali
yang selalu ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu, juga dukungan
kuat dari kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah
dirampas oleh dinasti Umayyah Pemberontakan
yang paling dahsyat dan merupakan puncak
dari segala pemberontakan, yakni perang antara
pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani
Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya
negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu
bangkitlah kekuasaan Abbasiyah.
Akhirnya,
pada tahun 132 H (750 M) tumbanglah daulah Umayyah dengan terbunuhnya khalifah
terakhir yaitu Marwan bin Muhammad. Pada tahun inilah berdirilah kekuasaan
dinasti bani abbas atau khalifah abbasiyah karena para pendiri dan penguasa
dinasti ini keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw, dinasti abbasiyah
didirikan oleh Abdullah ibn al-Abbas (Abul Abbas al- Saffah). Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H sampai dengan 656
H. selama berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, social dan budaya.
B. Pemerintahan
Dinasti Abbasiyah
Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan
berkembang sebagai sistem politik.
Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah
berasal dari Allah, bukan dari rakyat
sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman khalifahurrasyidin.
Hal ini dapat dilihat dengan perkataan
Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya[5]“.
Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang
dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain[6]
:
a.
Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang
para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari
keturunan Persia dan mawali.
b.
Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara,
yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi
sosial dan kebudayaan.
c.
Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang
sangat penting dan mulia.
d.
Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui
sepenuhnya.
e.
Para
menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam
pemerintah.
Selanjutnya periode II, III, IV, kekuasaan
Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik
sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil)
sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat, kecuali pengakuan politik saja. Panglima
di daerah sudah berkuasa di daerahnya, dan
mereka telah mendirikan atau membentuk
pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya daulah-daulah kecil, contoh
daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah.
Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah
ada 2 tindakan yang dilakukan oleh para Khalifah Daulah Bani Abbasiyah
untuk mengamankan dan mempertahankan
dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan yaitu : pertama,
tindakan keras terhadap Bani Umayah dan
kedua, pengutamaan orang-orang keturunan Persia[7].
Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah
Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh seorang wazir (perdana mentri) atau
yang jabatanya disebut dengan wizaraat.
Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu:
1.
Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan
presidentil) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atasnama
Khalifah.
2.
Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabinet).
Wazirnya
berkuasa penuh untuk memimpin
pemerintahan. Sedangkan, Khalifah sebagai lambang saja. Pada kasus lainnya
fungsi Khalifah sebagai pengukuh
Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah.
Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam
menjalankan tata usaha negara diadakan
sebuah dewan yang bernama
diwanul kitaabah (sekretariat
negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara).
Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan
(menteri departemen-departemen). Tata usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul idary al-markazy.
Lalu, dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan
angkatan perang, amirul umara, baitul maal, organisasi kehakiman. Selama
Dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan
yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya.
Berdasarkan perubahan tersebut, para
sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi 3 periode, yaitu :
1. Periode Pertama (750-847 M)
Pada periode ini, seluruh kerajaan Islam
berada dibawah kekuasaan para Khalifah kecuali di Andalusia.[8]
Adapun para Khalifah yang memimpin pada ini sebagai berikut:
a.
Abul Abbas as-saah (750-754 M)
b.
Abu Ja’far al mansyur (754- 775 M)
c.
Abu Abdullah M. Al-Mahdi bin Al Mansyur
(775-785 M)
d.
Abu Musa Al-Hadi (785-786 M)
e.
Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid (786-809 M)
f.
Abu Musa Muh. Al Amin (809-813 M)
g.
Abu Ja’far Abdullah Al Ma’mun (813-833 M)
h.
Abu Ishak M. Al Muta’shim (833-842 M)
i.
Abu Ja’far Harun Al Watsiq (842-847 M)
j.
Abul Fadhl Ja’far Al Mutawakkil (847-861)
2. Periode kedua (232 H/847 M - 59 H/1194 M)
Pada periode ini, kekuasaan bergeser dari
sistem sentralistik pada sistem
desentralisasi, yaitu ke dalam tiga negara otonom:
a.
Kaum Turki (232-590 H)
b.
Golongan
Kaum Bani Buwaih (334-447 H)
c.
Golongan
Bani Saljuq (447-590 H)
Dinasti-Dinasti di atas pada akhirnya
melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada
masa Khalifah Abbassiyah.
3. Periode ketiga (590 H/1194 M - 656 H/1258 M)
Pada periode ini, kekuasaan berada kembali
ditangan Khalifah, tetapi hanyadi Baghdad
dan kawasan-kawasan sekitarnya[9].
Sedangkan para ahli kebudayaan Islam
membagi masa kebudayaan Islam di zamandaulah Abbasiyah kepada 4 masa, yaitu :
1.
Masa Abbasy I, yaitu semenjak lahirnya Daulah
Bani Abbasiyah tahun 750 M, sampai
meninggalnya Khalifah al-Wasiq (847 M).
2.
Masa Abbasy II, yaitu mulai Khalifah
al-Mutawakkal (847 M), sampai berdirinyadaulah Buwaihiyah di Baghdad (946 M).
3.
Masa Abbasy III, yaitu dari berdirinya daulah
Buwaihiyah tahun (946 M) sampai masuk
kaum Seljuk ke Baghdad (1055 M).
4.
Masa Abbasy IV, yaitu masuknya orang-orang
Seljuk ke Baghdad (1055 M), sampai jatuhnya Baghdad ke tangan Tartar di bawah
pimpinan Hulako (1268 M).
Dalam versi yang lain yang,
para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima
periode:
1. Periode pertama (750-847 M)
Pada periode pertama pemerintahan Bani
Abbasiyah mencapai masa keemasannya.Secara politis, para Khalifah betul-betul
tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di
sisi lain, kemakmuran masyarakat
mencapai tingkat tertinggi.[10]
Periode ini juga berhasil menyiapkan
landasan bagi perkembangan filsafat dan
ilmu pengetahuan dalam Islam.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri
Dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu,
pembina sebenarnya dari Daulah Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754-775
M). Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk
lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu,
al-Mansur memindahkan ibu kota negara ke
kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia,
Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat
pemerintahan Dinasti bani Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa
Persia.
Di ibu kota yang baru ini al-Mansur
melakukan konsolidasi dan penertiban
pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekuti dan
yudikatif. Di bidang pemerintahan dia
menciptakan tradisi baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen.[11]
Jabatan wazir yang menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri
dalam negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga terpandang
berasal dari Balkh, Persia (Iran). Wazir yang
pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian digantikan oleh anaknya,
Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini
kemudian mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Sedangkan
anaknya yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi Gubernur Persia Barat dan kemudian
Khurasan. Pada masa tersebut persoalan-persoalan administrasi negara lebih
banyak ditangani keluarga Persia itu. Masuknya keluaraga non Arab ini ke
dalam pemerintahan merupakan unsur
pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang berorientasi ke Arab.[12]
Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga
protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara di samping membenahi
angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada
lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani
Umayyah ditingkatkan peranannya dengan
tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat, pada masa
al-Mansur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di
daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para
direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku Gubernur setempat kepada
Khalifah.
Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan
kembali daerah-daerah yang sebelumnya
membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan keamanan di daerah
perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan
selama genjatan senjata 758-765 M,
Bizantium membayar upeti tahunan.
Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah
kembali berubah. Konsep khilafah dalampandangannyadan berlanjut ke generasi sesudahnya
merupakan mandatdari Allah, bukan dari
manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi sebagaimana pada masa al Khulafa’ al-Rasyidin.
Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai
puncaknya di zaman
Khalifah Harun al-Rasyid (786-809
M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak, dimanfaatkan Harun al-Rasyid
untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi
didirikan.Tingkat kemakmuran paling
tinggi terwujud pada zaman Khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan
serta kesusasteraan berada pada zaman
keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.
Dengan demikian telah terlihat bahwa pada
masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam dari pada perluasan
wilayah yang memang sudah luas.[13]
Orientasi kepada pembangunan peradaban
dan kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah
dan Dinasti Umayyah.
Selanjutnya, Al-Makmun, pengganti al-Rasyid,
dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan
buku-buku asing digalakkan.Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya
besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan
yang berfungsi sebagai perguruan tinggi
dengan perpustakaan yang besar. Pada masa
al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.
Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842
M) memberi peluang besar kepada orang- orang Turki untuk masuk dalam
pemerintahan. Demikian ini di
latar belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia
pada masa al-Ma’mun dan sebelumnya.
Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara
pengawal. Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah
mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang Muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara
dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit pro esional. Dengan demikian,
kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.
Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan
politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri
maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Dinasti Umayyah
dan kalangan intern Bani Abbas dan
lain-lain semuanya dapat dipadamkan.Dalam kondisi seperti itu para Khalifah
mempunyai prinsip kuat sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Apabila tidak, seperti pada periode
sesudahnya, stabilitas tidak lagi dapat
dikontrol, bahkan para Khalifah sendiri berada dibawah pengaruh
kekuasaan yang lain.
2. Periode kedua (847-945 M)
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta
kemajuan besar yang dicapai Dinasti
Abbasiyah pada periode pertama telah
mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok.
Kehidupan mewah para Khalifah ini
ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Demikian ini menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan
rakyat menjadi miskin.Kondisi ini
memberi peluang kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh
Khalifah al-Mu’tasim untuk mengambil alih kendali pemerintahan.[14] Usaha
mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan
mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar, dan ini merupakan
awal dari keruntuhan Dinasti ini,
meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari empat ratus
tahun.
Khalifah Mutawakkil (847-861M) yang
merupakan awal dari periode ini adalahseorang
Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat.
Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat, merekalah yang memilih dan mengangkat Khalifah. Dengan
demikian kekuasaan tidak lagi berada di
tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan Khalifah. Sebenarnya
ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu, tetapi selalu
gagal. Dari dua belas Khalifah pada
periode kedua ini, hanya empat orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau
bukan dibunuh, mereka diturunkan dari tahtanya dengan paksa. Wibawa Khalifah merosot tajam. Setelah tentara Turki lemah
dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat yang kemudian
memerdekakan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-Dinasti kecil. Inilah
permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.[15]
Adapun
faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini adalah sebagai
berikut:
a.
Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang
harus dikendalikan, sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat
saling percaya di kalangan para penguasa
dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
b.
Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan
kepada mereka menjadi sangat tinggi.
c.
Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan
tentara sangat besar. Setelah Khalifah merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa
pengiriman pajak ke Baghdad.
3. Periode ketiga (945 -1055 M)
Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada
di bawah kekuasaan Bani Buwaih. Khalifah pada masa ini tidak lebih sebagai
pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaannya
kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan
untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk wilayah Al-Ahwaz, Wasit dan
Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat
pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di masa berkuasa Ali bin Buwaih
yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.
Meskipun demikian, dalam bidang ilmu
pengetahuan Daulah Abbasiyah terus
mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir
besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok
studi Ikhwan as-Shafa. Bidang ekonomi,
pertanian, dan perdagangan juga mengalami kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti
dengan pembangunan masjid dan rumah sakit. Pada masa Bani Buwaih berkuasa di
Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan aliran antara Ahlussunnah danSyi’ah,
pemberontakan tentara dan sebagainya.
4. Periode keempat (1055-1199 M)
Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk
atas Daulah Abbasiyah. Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah
untuk melumpuhkan kekuatan Bani Buwaih
di Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik, paling tidak karena kewibawaannya dalam bidang
agama kembali setelah beberapa lama dikuasai oleh orang- orang Syi’ah.[16]
Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu
pengetahuan juga berkembang pada
periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan Malikhsyah, mendirikan Madrasah
Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah di Baghdad. Cabang-cabang Madrasah
Nizamiyah didirikan hampir di setiap
kota di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi
dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan dalam
berbagai disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan dan
berkembang pada periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-Din
(teologi), Al-Qusyairi dalam bidang
tafsir, al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam dan tasawwuf, dan Umar
Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan.
Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga
tidak terletak di kota Baghdad. Mereka membagi wilayah kekuasaan menjadi
beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk mengepalai masing-masing
propinsi tersebut. Pada masa pusat
kekuasaan melemah, masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri.
Konflik-konflik dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka
sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali,
terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah
pada tahun 590 H/ 1199 M.
5. Periode kelima (1199-1258 M)
Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas
Baghdad atau khilafah Abbasiyah
merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak
lagi berada di bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang
terbanyak adalah Dinasti kecil.[17]
Para Khalifah Abbasiyah sudah merdeka
dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah
kekuasaan Khalifah yang sempit ini
menunjukkan kelemahan politiknya.
Pada masa inilah tentara Mongol
dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa
perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini
awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi
khilafah Abbasiyah, masa kemunduran
dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran
ini tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode
pertama, hanya karena Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu
tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa
apabila Khalifah kuat, para menteri
cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika Khalifah
lemah, mereka akan berkuasa mengatur
roda pemerintahan.
C. Kemajuan
Dinasti Abbasiyah
Setiap dinasti atau rezim mengalami fase-fase yang
dikenal dengan fase pendirian, fase pembangunan dan kemajuan, fase kemunduran
dan kehancuran. Akan tetapi durasi dari masing-masing fase itu berbeda-beda
karena bergantung pada kemampuan penyelenggara pemerintahan yang bersangkutan. Pada
masa pemerintahan, masing-masing memiliki berbagai kemajuan dari beberapa
bidang, diantaranya bidang politik, bidang ekonomi, bidang social-budaya. Pada
masing-masing bidang memiliki kelebihan dan kekurangan.
1. Kemajuan dalam Bidang Sosial Budaya
Sebagai sebuah dinasti, kekhalifahan Bani
Abbasiyah yang berkuasa lebih dari lima abad, telah banyak memberikan sumbangan
positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam. Dari sekitar 37
orang khalifah yang pernah berkuasa, terdapat beberapa orang khalifah yang
benar-benar memliki kepedulian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam, serta berbagai bidang lainnya, seperti bidang-bidang sosial
dan budaya.
Di antara kemajuan dalam bidang sosial-budaya
adalah terjadinya proses akulturasi dan asimilasi masyarakat. Keadaan sosial
masyarakat yang majemuk itu membawa dampak positif dalam perkembangan dan
kemajuan peradaban Islam pada masa ini. Hal itu terjadi karena dengan ilmu
pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki, dapat dipergunakan untuk memajukan
bidang-bidang sosial budaya lainnya yang kemudian menjadi lambang bagi kemajuan
bidang sosial budaya dan ilmu pengetahuan lainnya. Diantara kemajuan ilmu
pengetahuan sosial budaya yang ada pada masa Khalifah Dinasi Abbasiyah adalah
seni bangunan dan arsitektur, baik untuk bangunan istana, masjid, bangunan kota
dan sebagainya. Seni asitektur yang dipakai dalam pembangunan istana dan
kota-kota, seperti pada istana Qashrul dzahabi, dan Qashrul Khuldi, sementara
bangunan kota seperti pembangunan kota Baghdad, Samarra dan sebagainya.[18]
Kemajuan juga terjadi pada bidang sastra bahasa
dan seni musik. Pada masa inilah lahir seorang sastrawan dan budayawan
terkenal, seperti Abu Nawas, Abu Athahiyah, Al Mutanabby, Abdullah bin Muqaffa
dan lain-lainnya. Karya buah pikiran mereka masih dapat dibaca hingga kini,
seperti kitab Kalilah wa Dimna. Sementara tokoh terkenan dalam bidang musik
yang kini karyanya juga masih dipakai adalah Yunus bin Sulaiman, Khalil bin
Ahmad, pencipta teori musik Islam, Al farabi dan lain-lainnya.
Selain bidang-bidang tersebut di atas, terjadi
juga kemajuan dalam bidang pendidikan. Pada masa awal pemerintah Dinasti
Abbasiyah, telah banyak diushakan oleh para khalifah untuk mengembangkan dan
memajukan pendidikan. Oleh karena itu, mereka kemudian mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi.
Di masa Bani Abbassiyah berkembang corak
kebudayaan, yang berasal dari beberapa
bangsa. Apa yang terjadi dalam unsur bangsa, terjadi pula dalam unsur kebudayaan. Dalam masa sekarang ini
berkembang empat unsur kebudayaan yang mempengaruhi kehidupan akal/rasio yaitu
Kebudayaan Persia, Kebudayaan Yunani,
Kebudayaan Hindi dan Kebudayaan Arab dan berkembangnya ilmu pengetahuan.[19]
1.
Kebudayaan Persia, Pesatnya perkembangan
kebudayaan Persia di zaman ini karena 2 faktor, yaitu :
a.
Pembentukan lembaga wizarah
b.
Pemindahan ibukota
2.
Kebudayaan Hindi, Peranan orang India dalam
membentuk kebudayaan Islam terjadi dengan dua cara:
a.
Secara langsung, Kaum muslimin berhubungan langsung
dengan orang-orang India seperti lewat perdagangan dan penaklukan.
b.
Secara tak langsung,penyaluran kebudayaan India
ke dalam kebudayaan Islam lewat
kebudayaan Persia.
3.
Kebudayaan Yunani
Sebelum dan sesudah Islam, terkenallah di
Timur beberapa kota yang menjadi pusat kehidupan kebudayaan Yunani. Yang paling
termasyur diantaranya adalah :
a)
Jundaisabur, Terletak di Khuzistan, dibangun
oleh Sabur yang dijadikan tempat pembuangan
para tawanan Romawi.
Setelah jatuh di bawah
kekuasaan Islam. Sekolah-sekolah tinggi kedokteran yang
asalnya diajar berbagai ilmu Yunani dan
bahasa Persia, diadakan perubahan-perubahan dan pembaharuan.
b)
Harran, Kota yang dibangun di utara Iraq yang
menjadi pusat pertemuan segala macam kebudayaan. Warga kota Harran merupakan pengembangan kebudayaan Yunani terpenting di zaman Islam, terutama
dimasa Daulah Abbassiyah.
c)
Iskandariyyah, Ibukota Mesir waktu menjadi
jajahan Yunani.
Dalam kota Iskandariyyah ini lahir aliran
falsafah terbesar yang dikenal “Filsafat Baru Plato” (Neo Platonisme).[20] Dalam masa Bani Abbassiyah hubungan alam
pemikiran Neo Platonisme bertambah erat dengan alam pikiran kaum muslimin.
4.
Kebudayaan Arab
Masuknya kebudayaan Arab ke dalam
kebudayaan Islam terjadi dengan dua jalan utama, yaitu :
a.
Jalan Agama, Mengharuskan mempelajari Qur’an,
Hadist, Fiqh yang semuanya dalam bahasa Arab.
b.
Jalan Bahasa, Jazirah Arabia adalah sumber
bahasa Arab, bahasa terkaya diantara rumpun bahasa samy dan tempat lahirnya
Islam.
2. Kemajuan dalam Bidang Politik dan Militer
Di antara perbedaan karakteristik yang sangat
mencolok antara pemerintah Dinasti Bani Umayyah dengan Dinasti Bani Abbasiyah,
terletak pada orientasi kebijakan yang dikeluarkannya. Pemerintah Dinasti Bani
Umayyah, yaitu orientasi kebijakan yang dikeluarkannya selalu pada upaya
perluasan wilayah kekuasaanya. Sementara, pemerintah Dinasti Bani Abbasiyah,
lebih menfokuskan diri pada upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan peradaban
Islam, sehingga masa pemerintahan ini dikenal sebagai masa keemasan peradaban
Islam. Meskipun begitu, usaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan tetap
merupakan hal penting yang harus dilakukan. Untuk itu, pemerintahan Dinasti
Bani Abbasiyah memperbaharui sistem politik pemerintahan dan tatanan
kemiliteran.
Agar semua kebijakan militer terkoordinasi dan
berjalan dengan baik, maka pemerintah Dinasti Abbasiyah membentuk departemen
pertahanan dan keamanan, yang disebut diwanul jundi. Departemen inilah yamg
mengatur semua yang berkaiatan dengan kemiliteran dan pertahanan keamanan. Pembentukan
lembaga ini berdasarkan pada kenyataan politik-militer bahwa pada masa
pemertintahan Dinasti Abbasiyah, banyak terjadi pemebrontakan dan bahkan
beberapa wilayah berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Dinasti Abbasiyah.
3. Kemajuan dalam Bidang Ilmu Pengetahuan
Keberhasilan umat Islam pada masa pemerintahan
Dinasti Abbasiyah dalam pengembangan ilmu pengetahuan, sains, dan peradaban
Islam secara menyeluruh, tidak terlepas dari berbagai faktor yang mendukung.[21]
Di antaranya adalah kebijakan politik pemerintah Bani Abbasiyah terhadap
masyarakat non Arab (Mawali), yang memiliki tradisi intelektual dan budaya
riset yang sudah lama melingkupi kehidupan mereka. Mereka diberikan fasilitas
berupa materi atau finansial dan tempat untuk terus melakukan berbagai kajian
ilmu pengetahuan melalui bahan-bahan rujukan yang pernah ditulis atau dikaji
oleh masyarakat sebelumnya. Kebijakan tersebut ternyata membawa dampak yang
sangat positif bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sains yang
membawa harum dinasti ini.
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi
mencapai puncak kejayaan pada masa
pemerintahan Harun ar-Rasyid,[22]
kemajuan intelektual pada waktu itu setidaknya dipengaruhi oleh dua hal yaitu:
1.
Terjadinya Asimilasi antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa
lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam ilmu pengetahuan. Pengaruh Persia pada saat itu sangat penting
dibidang pemerintahan. selain itu
mereka banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Sedangkan
pengaruh Yunani masuk melalui terjemah-terjemah dalam banyak bidang ilmu,
terutama Filsafat.
2.
Gerakan Terjemah pada masa daulah ini usaha
penerjemahan kitab-kitab asing dilakukan dengan giat sekali. Pengaruh gerakan
terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum terutama di
bidang astronomi, kedokteran, filsafat,
kimia dan sejarah. Dari gerakan ini muncullah tokoh-tokoh Islam dalam ilmu
pengetahuan, antara lain :
a.
Bidang filsafat: al-Kindi, al-Farabi, Ibnu
Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Sina,
al-Ghazali, Ibnu Rusyd.
b.
Bidang kedokteran: Jabir ibnu Hayan , Hunain
bin Ishaq, Tabib bin Qurra ,Ar-Razi.
c.
Bidang Matematika: Umar al-Farukhan,
al-Khawarizmi.
d.
Bidang astronomi: al-Fazari, al-Battani, Abul
watak, al-Farghoni dan sebagainya.
Dari hasil ijtihad dan semangat riset, maka
para ahli pengetahuan, para alim ulama, berhasil menemukan berbagai keahlian
berupa penemuan berbagai bidang-bidang
ilmu pengetahuan, antara lain[23] :
1. Ilmu Umum
a. Ilmu Filsafat
1)
Al-Kindi (809-873 M) buku karangannya sebanyak
236 judul.
2)
Al Farabi (wafat tahun 916 M) dalam usia 80
tahun.
3)
Ibnu Bajah (wafat tahun 523 H)
4)
Ibnu
Thufail (wafat tahun 581 H)
5)
Ibnu Shina (980-1037 M). Karangan-karangan yang
terkenal antara lain: Shafa, Najat, Qoman, Saddiya dan lain-lain.
6)
Al-Ghazali (1085-1101 M). Dikenal sebagai
Hujjatul Islam, karangannya: AlMunqizh Minadl-Dlalal, Tahafutul Falasifah, Mizanul
Amal, Ihya Ulumuddin dan lain- lain.
7)
Ibnu Rusd (1126-1198 M). Karangannya :
Kulliyaat, Tafsir Urjuza, Kasful Afillah dan lain-lain
b. Bidang Kedokteran
1)
Jabir bin Hayyan (wafat 778 M). Dikenal sebagai
bapak Kimia.
2)
Hurain bin Ishaq (810-878 M). Ahli mata yang
terkenal disamping sebagai penterjemah
bahasa asing.
3)
Thabib bin Qurra (836-901 M)
4)
Ar-Razi atau Razes (809-873 M). Karangan yang
terkenal mengenai cacar dancampak yang diterjemahkan dalam bahasa latin.
c. Bidang Matematika
1)
Umar Al Farukhan: Insinyur Arsitek Pembangunan
kota Baghdad.
2)
Al
Khawarizmi: Pengarang kitab Al Gebra (Al Jabar), penemu angka (0).
d. Bidang Astronomi
Berkembang subur di kalangan umat Islam,
sehingga banyak para ahli yang terkenal dalam perbintangan ini seperti :
1)
Al Farazi : pencipta Astro lobe
2)
Al
Gattani/Al Betagnius
3)
Abul wafat : menemukan jalan ketiga dari bulan
4)
Al Farghoni atau Al Fragenius
e. Bidang Seni Ukir
Beberapa seniman ukir terkenal: Badr dan
Tari (961-976 M) dan ada seni musik, seni tari, seni pahat, seni sulam, seni
lukis dan seni bangunan.
2. Ilmu Naqli
a.
Ilmu Tafsir, Para mufassirin yang termasyur:
Ibnu Jarir ath Tabary, Ibnu Athiyah al Andalusy (wafat 147 H), As Suda, Mupatil
bin Sulaiman (wafat 150 H), Muhammad bin Ishak dan lain-lain.
b.
Ilmu Hadist, Muncullah ahli-ahli hadist ternama
seperti: Imam Bukhori (194-256 H), Imam Muslim (wafat 231 H), Ibnu Majah (wafat 273 H),Abu Daud (wafat 275 H), At-Tarmidzi,
dan lain-lain
c.
Ilmu Kalam, Dalam kenyataannya kaum Mu’tazilah
berjasa besar dalam menciptakan ilmu kalam, diantaranya para pelopor itu
adalah: Wasil bin Atha’, Abu Huzail al Allaf, Adh Dhaam, Abu Hasan Asy’ary,
Hujjatul Islam Imam Ghazali.
d.
Ilmu Tasawuf, Ahli-ahli dan ulama-ulamanya
adalah: Al Qusyairy (wafat 465 H).
Karangannya: ar Risalatul Qusyairiyah,
Syahabuddin (wafat 632 H). Karangannya : Awariful Ma’arif, Imam Ghazali
: Karangannya al Bashut, al Wajiz dan lain-lain.
e.
Para Imam Fuqaha, Lahirlah para Fuqaha yang
sampai sekarang aliran mereka masih mendapat tempat yang luas dalam masyarakat
Islam. Yang mengembangkan faham atau mazhabnya
dalam zaman ini adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad
bin Hambal dan Para Imam Syi’ah.
4. Perkembangan Peradaban di Bidang Fisik
Perkembangan peradaban pada masa daulah
Bani Abbasiyah sangat maju pesat, karena upaya- upaya dilakukan oleh para
Khalifah di bidang fisik. Hal ini dapat kita lihat dari bangunan -bangunan yang
berupa:
a.
Kuttab, yaitu tempat belajar dalam tingkatan
pendidikan rendah dan menengah.
b.
Majlis Muhadharah, yaitu tempat pertemuan para
ulama, sarjana, ahli pikir dan pujangga
untuk membahas masalah-masalah ilmiah.
c.
Darul Hikmah, adalah perpustakaan yang
didirikan oleh Harun Ar-Rasyid. Ini merupakan perpustakaan terbesar yang di
dalamnya juga disediakan tempat ruangan belajar.
d.
Madrasah, Perdana menteri Nidhomul Mulk adalah
orang yang mula-mula mendirikan sekolah dalam bentuk yang ada sampai sekarang
ini, dengan nama Madrasah.
e.
Masjid, Biasanya dipakai untuk pendidikan
tinggi dan tahassus.
Pada
masa Daulah Bani Abbassiyah, peradaban di bidang fisik seperti kehidupan
ekonomi pertanian, perindustrian, perdagangan berhasil dikembangkan oleh
Khalifah Mansyur.
5. Kehidupan Perekonomian Daulah Bani Abbasiyah
Permulaan masa kepemimpinan Bani
Abbassiyah, perbendaharaan negara penuh dan
berlimpah-limpah, uang masuk lebih banyak daripada pengeluaran. Yang
menjadi Khalifah adalah Mansyur.Dia betul-betul telah meletakkan dasar-dasar
yang kuat bagi ekonomi dan keuangan negara. Dia mencontohkan Khalifah Umar bin
Khattab dalam menguatkan Islam.[24] Dan keberhasilan kehidupan ekonomi maka
berhasil pula dalam :
1.
Pertanian, Khalifah membela dan menghormati
kaum tani, bahkan meringankan pajak hasil bumi mereka, dan ada beberapa yang
dihapuskan sama sekali.
2.
Perindustrian, Khalifah menganjurkan untuk
beramai-ramai membangun berbagai
industri, sehingga terkenallah beberapa kota dan industri-industrinya.
3.
Perdagangan, Segala usaha ditempuh untuk
memajukan perdagangan seperti:
a)
Membangun sumur dan tempat-tempat istirahat di
jalan-jalan yang dilewati kafilah
dagang.
b)
Membangun armada-armada dagang.
c)
Membangun armada : untuk melindungi
parta-partai negara dari serangan bajak laut.
Usaha-usaha
tersebut sangat besar pengaruhnya dalam meningkatkan perdagangan dalam dan luar
negeri.Akibatnya kafilah-kafilah dagang kaum muslimin melintasi segala negeri
dan kapal-kapal dagangnya mengarungi tujuh lautan.[25]
Selain
ketiga hal tersebut, juga terdapat peninggalan-peninggalan yang memperlihatkan kemajuan pesat Bani
Abbassiyah.
1.
Istana Qarruzzabad di Baghdad
2.
Istana di kota Samarra
3.
Bangunan-bangunan sekolah
4.
Kuttab
5.
Masjid
6.
Majlis
Muhadharah
7.
Darul
Hikmah
8.
Masjid
Raya Kordova (786 M)
9.
Masjid
Ibnu Taulon di Kairo (876 M)
10. Istana Al Hamra di Kordova
11. Istana Al Cazar, dan lain-lain (Ma’ruf,1996:39-40).
D.
Kemunduran Dinasti
Abbasiyah
Berakhirnya kekuasaan dinasti Seljuk atas Baghdad atau
khalifah Abbsiyah merupakan awal dari periode kelima.Pada periode ini, khalifah
Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun
banyak sekali Dinasti Islam berdiri. Ada diantaranya dinasti yang cukup besar,
namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah
merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad sekitarnya.Wilayah
kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukan kelemahan politiknya. Pada masa
inilah tentara Mongol dan tatar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan
dihancurluluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat
serangan tentara Mongol ini adalah awal babak baru dalam sejarah islam, yang
disebut masa pertengahan.
Sebagaimana dalam periodisasi khalifah Abbasiyah, masa
kemunduran dimulai sejak periode kedua, namun demikian factor-faktor penyebab
kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba, benih-benihnya sudah terlihat
pada periode pertama, hanya khalifah pada saat periode ini sangat kuat,
benih-benih ini tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas
terlihat bahwa apabila kalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai
pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda
pemerintahan.
Di samping kelemahan khalifah, banyak factor yang menyebabkan khalifah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing factor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
Di samping kelemahan khalifah, banyak factor yang menyebabkan khalifah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing factor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Persaingan
Antarbangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang
bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh
persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa, keduanya
sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyyah berdiri, dinasti Bani Abbas
tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska, ada dua sebab dinasti
Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit
bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka
merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah
dengan adanya Ashabiyyah kesukuan.Dengan demikian, khilafah Abbasiyyah tidak
ditegakkan di atas `ashabiyyah tradisional.[26]
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas.
Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara
itu, bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah
darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia
Islam.
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyyah pada periode
pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko,
Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa
Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut
elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, disamping
Fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan
gerakan syu`ubiyah.
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi
kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyyah berdiri. Akan tetapi,
karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan
kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah Al-Mutawakkil, seorang
khilafah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi.[27] Sejak
itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya telah berakhir. Kekuasaan berada di tangan
orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia
pada periode ketiga dan selanjutnya beralih kepada dinasti Saljuk pada periode
keempat.
2. Kemerosotan
Ekonomi
Khalifah Abbasiyyah juga mengalami kemunduran di bidang
ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama,
pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih
besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan
dana yang besar diperoleh dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan
Negara menurun, sementara pengeluaran meningkat lebih besar.Menurunnya
pendapatan Negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan,
banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya
pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi
membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh
kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin
beragam, dan para pejabat melakukan korupsi.
3. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan
kebangsaan.Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan
mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan
Mazdakisme. Gerakan ini dikenal dengan gerakan Zindiq yang menyebabkan menurut
para khalifah dan orang-orang yang beriman harus diberantas, sehingga
menyebabkan konflik diantara keduanya, mulai polemik tentang ajaran hingga
berlanjut kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah dari kedua belah
pihak.[28]
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali
mengatakan:
“Agama Muhammad Saw. seperti juga Agama Isa as, terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia soal kehendak bebas manusia telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah mustahil berbuat salah menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga”.
“Agama Muhammad Saw. seperti juga Agama Isa as, terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam lingkungan pengetahuan manusia soal kehendak bebas manusia telah menyebabkan kekacauan yang rumit dalam Islam pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah mustahil berbuat salah menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga”.
4. Ancaman dari luar
Apa yang disebutkan di atas adalah factor-faktor
internal. Di samping itu, ada pula factor-faktor eksternal yang menyebabkan
khalifah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur.[29] Pertama,
perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak
korban.Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.Sebagaimana
telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang
setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu
juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah
kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya
Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan dengan Perang Salib dan
melibatkan diri dalam tentara Salib itu.
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara
Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci
Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen
Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang
anti-Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol,
setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.
Berbagai faktor yang telah menyokong tegaknya imperium
Abbasiyah, yakni kalangan elite imperium dan bentuk-bentuk kulturnya, sekaligus
juga menyokong kehancuran dan transformasi imperium tersebut.Bahkan kemerosotan
Abbasiyah telah berlangsung disaat berlangsung konsolidasi. Ketika rezim ini
sedang memperkuat militernya dan institusi pemerintahan, dan sedang mendorong
sebuah kemajuan ekonomi dan kultur, terjadi beberapa peristiwa yang pada
akhirnya mengharubirukan nasib imperium Abbasiyah.[30]
Semenjak awal pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809)
problem suksesi menjadi sangat kritis.Harun telah mewasiatkan tahta
kekhalifahan kepada putra mertuanya, al-Amin, dan kepada putranya yang lebih
muda yang bernama al-Makmun, seorang gubernur Khurasan dan orang yang berhak
menjabat tahta khilafah sepeninggal kakaknya. Setelah kematian Harun, al-Amin
berusaha mengkhianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya sebagai
penggantinya kelak.Akibatnya pecahlah perang sipil. Al-amin didukung oleh
militer Abbasiyah di Baghdad, sementara al-Makmun harus berjuang untuk
memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari pasukan
perang Khurasan. Al-makmun berhasil mengalahkan saudara tuanya, al-Amin , dan
mengklaim khilafah pada tahun 813.
Namun, peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan
kekuatan militer Abbasiyah melainkan juga melemahkan warga iraq dan sejumlah
propinsi lainnya. Al-Makmun berusaha menghadapi musuh-musuhnya dan sejumlah
warga yang tidak mau berdamai dengan sebuah kebijakan ganda. Satu sisi
kebijakan tersebut bertujuan untuk mempertahankan legitimasi kekhilafan dengan
menguasai seluruh urusan keagamaan. Kebijakan ini, sebagaimana yang telah kita
lihat, tidak membawa hasil dan gagal. Kebijakan ini justru menghilangkan
dukungan masyarakat umum terhadap sang khalifah. Al-Makmun juga mengambil
sebuah kebijakan politik, untuk menguasai kekhilafahan secara mutlak, al-Makmun
menggantungkan dukungan seorang panglima khurasan, yang bernama Thahir, yang
diberikan imbalan sebagai gubernur khurasan (820-822) dan menjadi jenderal
militer Abbasiyah diseluruh imperium dan disertai janji bahwa jabatan-jabatan
tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya, selain mendatangkan manfaat yang
bersifat sementara konsesi atas sebuah jabatan gubernur yang dapat diwariskan
menggagalkan tujuan Abbasiyah untuk menyatukan sebuah wilayah propinsi besar
menjadi sebuah system pemerintahan politik yang memusat ditangan pemerintahan
pusat. Upaya untuk menyatukan kalangan elit di bawah arahan khalifah tidak akan
terwujud dan sebagai gantinya imperium dikuasai oleh sebuah persekutuan
khalifah dengan kuasa gubernuran besar.
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Daulah Abbasiyah merupakan lanjutan dari
pemerintahan Daulah Umayyah. Dinamakan
Daulah Abbasiyah karena para pendirinya adalah keturunan Abbas, paman
Nabi.Daulah Abbasiyah didirikan oleh Abdullah as-Safah. Kekuasaannya berlansung
dari tahun 750-1258 M. Di dalam Daulah
Bani Abbasiyah terdapat ciri-ciri yang menonjol yang tidak terdapat di zaman
bani Umayyah, antara lain :
1.
Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan
Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan Dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab.
2.
Dalam penyelenggaraan negara, pada masa bani
Abbas ada jabatan Wazir, yang membawahi
kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani
Umayyah.
3.
Ketentaraan profesional baru terbentuk pada
masa pemerintahan Bani Abbas.
Islam
mengalami zaman keemasan pada masa Bani Abbasiyyah. Hal ini merupakan
sumbangsih Dinasti Abbasiyah yang termaktub dalam Sejarah Peradaban Islam. Pada
masa ini, kegiatan pendidikan dan pengajaran mencapai kemajuan yang signifikan.
Mayoritas Khalifah dari Bani Abbasiyah merupakan orang yang berpendidikan. Selain
itu, masa pemerintahan dinasti Abbasiyah membuka era baru dalam bidang ilmu
pengetahuan dan kesusastraan. Pada masa awal era Abbasiyah telah tercipta
karya-karya kebudayaan yang sangat berpengaruh dalam mendorong lahirnya ilmu
dan peradaban muslim.
Kontribusi
umat Islam pada masa ini sangat besar dalam bidang kedokteran, filsafat, kimia,
matematika, geografi, hukum, teologi, dan filologi. Sesungguhnya, dalam hal
ini, peradaban Barat berhutang budi kepada umat Islam, sama halnya seperti
Islam yang berhutang budi terhadap peradaban Yunani.
Namun, sangat
disayangkan Khalifah Abbasiyah periode akhir lebih mementingkan urusan pribadi
dan melalaikan tugas dan kewajiban mereka terhadap Negara. Mereka menjalani
kehidupan dengan bermegah-megahan dan bermewah-mewahan. Selain itu, supremasi
bangsa Turki pada periode akhir Abbasiyah menyebabkan jatuhnya Dinasti Abbasiyah.
Hal itu karena kelompok Arab dan Persia menaruh kecemburuan atas ketinggian
posisi mereka. Sikap anti Turki ini pada akhirnya melatarbelakangi timbulnya
gerakan penglepasan diri sejumlah dinasti yang membawa akibat fatal pada
keutuhan Imperium Abbasiyah.
Lampiran
Berikut
ini silsilah Bani Abbasiyah yang berkuasa pada masa pemerintahan Daulah Bani
Abbasiyah di Bagdad, yaitu:
1. Khalifah Abu Abbas As-Safah (750-754 M)
2. Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M)
3. Khalifah Al-Mahdi (775-785 M)
4. Khalifah Al-Hadi (785-786 M)
5. Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M)
6. Khalifah Al-Amin (809-813 M)
7. Khalifah Al-Makmun (813-833 M)
8. Khalifah Al-Muktasim (833-842 M)
9. Khalifah Al-Wasiq (842-847 M)
10. Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M)
11. Khalifah Al-Muntasir (861-862 M)
12. Khalifah Al-Mustain (862-866 M)
13. Khalifah Al-Muktazz (866-869 M)
14. Khalifah Al-Muhtadi (869-870 M)
15. Khalifah Al-Muktamid (870-892 M)
16. Khalifah Al-Muktadid (892-902 M)
17. Khalifah Al-Muktafi (902-908 M)
18. Khalifah Al-Muktadir (908-932 M)
19. Khalifah Al-Kahir (932-934 M)
20. Khalifah Ar-Radi (934-940 M)
21. Khalifah Al-Mustaqi (940-944 M)
22. Khalifah Al-Muktakfi (944-946 M)
23. Khalifah Al-Mufi (946-974 M)
24. Khalifah At-Tai (974-991 M)
25. Khalifah Al-Kadir (991-1031 M)
26. Khalifah Al-Kasim (1031-1075 M)
27. Khalifah Al-Muqtadi (1075-1084 M)
28. Khalifah Al-Mustazhir (1074-1118 M)
29. Khalifah Al-Mustasid (1118-1135 M)
30. Khalifah Ar-Rasyid (1135-1136 M)
31. Khalifah Al-Mustafi (1136-1160 M)
32. Khalifah Al-Mustanjid (1160-1170 M)
33. Khalifah Al-Mustadi (1170-1180 M)
34. Khalifah An-Nasir (1180-1224 M)
35. Khalifah Az-Zahir (1224-1226 M)
36. Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M)
37. Khalifah Al-Muktasim (1242-1258 M)
1. Khalifah Abu Abbas As-Safah (750-754 M)
2. Khalifah Abu Jakfar al-Mansur (754-775 M)
3. Khalifah Al-Mahdi (775-785 M)
4. Khalifah Al-Hadi (785-786 M)
5. Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M)
6. Khalifah Al-Amin (809-813 M)
7. Khalifah Al-Makmun (813-833 M)
8. Khalifah Al-Muktasim (833-842 M)
9. Khalifah Al-Wasiq (842-847 M)
10. Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M)
11. Khalifah Al-Muntasir (861-862 M)
12. Khalifah Al-Mustain (862-866 M)
13. Khalifah Al-Muktazz (866-869 M)
14. Khalifah Al-Muhtadi (869-870 M)
15. Khalifah Al-Muktamid (870-892 M)
16. Khalifah Al-Muktadid (892-902 M)
17. Khalifah Al-Muktafi (902-908 M)
18. Khalifah Al-Muktadir (908-932 M)
19. Khalifah Al-Kahir (932-934 M)
20. Khalifah Ar-Radi (934-940 M)
21. Khalifah Al-Mustaqi (940-944 M)
22. Khalifah Al-Muktakfi (944-946 M)
23. Khalifah Al-Mufi (946-974 M)
24. Khalifah At-Tai (974-991 M)
25. Khalifah Al-Kadir (991-1031 M)
26. Khalifah Al-Kasim (1031-1075 M)
27. Khalifah Al-Muqtadi (1075-1084 M)
28. Khalifah Al-Mustazhir (1074-1118 M)
29. Khalifah Al-Mustasid (1118-1135 M)
30. Khalifah Ar-Rasyid (1135-1136 M)
31. Khalifah Al-Mustafi (1136-1160 M)
32. Khalifah Al-Mustanjid (1160-1170 M)
33. Khalifah Al-Mustadi (1170-1180 M)
34. Khalifah An-Nasir (1180-1224 M)
35. Khalifah Az-Zahir (1224-1226 M)
36. Khalifah Al-Mustansir (1226-1242 M)
37. Khalifah Al-Muktasim (1242-1258 M)
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maududi, Abul a ‘la, Khilafah dan Kerajaan : Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam,
Bandung : Mizan, 1998.
Ali, K, Sejarah
Islam (Tarikh Pramodern), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Esposito, John L. (ed), The Oxford History of Islam, New York, Oxford University Press,
1999.
Hitti, Philip K., History
of The Arabs, London : Mac Millan, 1970.
Koentjaraningrat, Kebudayaan,
Mentalitas, dan Pembangunan, Gramedia : Jakarta, 1985.
Lapidus, Ira M, Sejarah
Sosial Ummat Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1999.
Mubarok, Jaih, Sejarah
Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, Cet. 1, 2004.
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam,
Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2009.
Musyrifah, Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada
Media, 2004.
Nasution, Harun, Islam
Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung : Mizan, 1995.
Watt, W. Montgomery, Politik
Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : P3M, 1988.
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT. Grafindo Persada,
2006.
[1]Istilah “peradaban Islam”
merupakan terjemahan dari kata Arab, yaitu al-Hadharah al-Islamiyyah. Istilah
Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “kebudayaan
Islam”. Padahal, istilah kebudayaan dalam bahasa arab adalah al-Tsaqafah. Di
Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang
mensinonimkan dua kata: “kebudayaan” (Arab al-saqafah dan culture/Inggris) dengan
“peradaban” (civilization/Inggris dan al-hadharah/Arab) sebagai istilah baku
kebudayaan. Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu
dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu
masyarakat. Sedangkan, manifestasi-manifestasi kemajuan tekhnis dan teknologis
lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak di reflesikan
dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik,
ekonomi dan teknologi. Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan paling tidak
mempunyai tiga wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya,
(2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas
kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu
wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.
[2]Kelompok
Mawalli adalah orang-orang non Arab yang telah memeluk agama Islam.Mereka
diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara itu bangsa Arab menduduki
kelas bangsawan. Mereka tersingkir
dalam urusan pemerintahan dan dalam kehidupan sosial, bahkan para penguasa Arab
selalu memperlihatkan permusuhan dengan mereka.
[3]
Prof. K..Ali, Sejarah Islam (Tarikh
Pramodern), hlm. 347.
[5]
Nasution, Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran,
Bandung : Mizan, 1995. Hal 65-89
[6]
Nasution, Harun, Islam
Rasional Gagasan dan Pemikiran..65-89
[7] Watt, W. Montgomery, Politik
Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : P3M, 1988. Hal. 78
[8]
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT. Grafindo Persada,
2006. hal. 203
[9]
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam..hal. 206
[10]
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam.. hal. 207
[11] Al-Maududi, Abul a ‘la, Khilafah dan Kerajaan : Evaluasi Kritis Atas Sejarah Pemerintahan Islam,
Bandung : Mizan, 1998. hal. 90
[12]
Al-Maududi, Abul a ‘la, Khilafah dan Kerajaan…hal.91
[13]
Ali, K, Sejarah
Islam (Tarikh Pramodern), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003.hal. 65
[14] Esposito, John L. (ed), The Oxford History of Islam, New York, Oxford University Press,
1999. hal. 110
[15]
Hitti, Philip K., History of The Arabs, London : Mac
Millan, 1970. hal. 270
[16] Lapidus, Ira M, Sejarah
Sosial Ummat Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1999. hal 117
[17] Lapidus, Ira M, Sejarah
Sosial Ummat Islam, hal. 117
[18]
Musyrifah, Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada
Media, 2004. hal. 67
[19]
Musyrifah, Sunanto, Sejarah Islam Klasik, hal. 67
[20]
Nasution, Harun, Islam
Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung : Mizan, 1995. hal. 90
[21]
Nasution, Harun, Islam
Rasional Gagasan dan Pemikiran…hal. 90
[22]
Nasution, Harun, Islam
Rasional Gagasan dan Pemikiran…hal. 90
[23]
Lapidus, Ira M, Sejarah
Sosial Ummat Islam…hal. 117
[24]
Koentjaraningrat, Kebudayaan,
Mentalitas, dan Pembangunan, Gramedia : Jakarta, 1985. hal. 45
[25]
Koentjaraningrat, Kebudayaan,
Mentalitas, dan Pembangunan…hal. 46
[26]
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II…hal. 209
[27]
Yatim, Badri, Sejarah
Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II…hal. 209
[28]
Ali, K, Sejarah
Islam (Tarikh Pramodern)…hal. 76
[29]
Ali, K, Sejarah
Islam (Tarikh Pramodern)…hal.76
[30]
Lapidus, Ira M, Sejarah
Sosial Ummat Islam…117
Tidak ada komentar:
Posting Komentar