(Oleh
Ansari, S.H.I)
Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang
hidup di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup berarti dalam masa
kemerdekaan. Perkembangan tersebut antara lain dapat dilihat dari kewenangan
yang dimiliki oleh Peradilan Agama (PA) sebagai peradilan Islam di Indonesia. Dulunya, putusan PA murni berdasarkan fiqh para fuqaha‘, eksekusinya harus dikuatkan oleh Peradilan Umum, para hakimnya hanya berpendidikan Syari‘ah tradisional dan tidak berpendidikan hukum, organisasinya tidak berpuncak ke Mahkamah Agung, dan lain-lain.
yang dimiliki oleh Peradilan Agama (PA) sebagai peradilan Islam di Indonesia. Dulunya, putusan PA murni berdasarkan fiqh para fuqaha‘, eksekusinya harus dikuatkan oleh Peradilan Umum, para hakimnya hanya berpendidikan Syari‘ah tradisional dan tidak berpendidikan hukum, organisasinya tidak berpuncak ke Mahkamah Agung, dan lain-lain.
Sekarang keadaan sudah berubah. Salah
satu perubahan mendasar akhir-akhir ini adalah penambahan kewenangan PA dalam
UU Peradilan Agama yang baru, antara lain bidang ekonomi Syari‘ah. Makalah ini
membicarakan perubahan tersebut dan tantangan yang dihadapi PA di masa depan
sebagai sebuah kekuasaan kehakiman yang modern di Indonesia.
Ekonomi Syari‘ah
Istilah ekonomi syari‘ah atau
perekonomian syari‘ah hanya dikenal di Indonesia, dan di negara-negara lain
dikenal dengan nama ekonomi Islam (Islamic economy, al-iqtishâd al-islâmî)
dan sebagai ilmu disebut ilmu ekonomi Islam (Islamic economics ‘ilm
al-iqtishâd al-islâmî).
Ekonomi atau ilmu ekonomi Islam berbeda
dengan ekonomi atau ilmu ekonomi konvensional yang berkembang di dunia dewasa
ini, karena yang pertama terikat kepada nilai-nilai Islam dan yang kedua
memisahkan diri dari agama sejak negara-negara Barat berpegang kepada
sekularisme dan menjalankan politik sekularisasi.
Sungguhpun demikian, tidak ada ekonomi yang terpisah dari nilai atau tingkah
laku manusia, tetapi pada ekonomi konvensional, nilai yang digunakan adalah
nilai-nilai duniawi semata (profane, mundane). Kajian ilmu ekonomi
secara umum sebenarnya menyangkut sikap tingkah laku manusia terhadap masalah
produksi, distribusi, konsumsi barang-barang komoditi dan pelayanan. Kajian
ilmu ekonomi Islam dari segi ini tidak berbeda dari ekonomi sekular, tetapi
dari segi lain ia terikat dengan nilai-nilai Islam,
atau dalam istilah sehari-hari, terikat dengan ketentuan halal-haram.
Tulisan ini tidak membicarakan ekonomi
syari‘ah dari sudut disiplin ilmu ekonomi, yang jauh dari tujuan penulisan
makalah ini. Perhatian kita sebagai hakim dan lembaga peradilan adalah terhadap
ilmu hukum ekonomi dari sudut pandangan Islam atau lembaga keuangan dalam
Islam. Kebetulan, kajian hukum ekonomi banyak mendapat perhatian fuqaha‘ dari
dahulu sampai sekarang. Masalah halal-haram memang menyangkut kajian hukum, dan
dalam hal ini tidak lepas dari al-ahkâm al-khamsah (lima kaedah hukum).
Setiap sikap atau perbuatan individu, mesti terikat kepada salah satu kaedah
tersebut, yaitu harâm (dilarang sama sekali), wâjib (harus
dilakukan), makrûh (sebaiknya ditinggalkan), nadab atau sunnat
(sebaiknya dilakukan), atau mubâh (pada dasarnya boleh
dilakukan).
Yang dimaksud dengan kata syari‘ah
dalam ekonomi syari‘ah sebenarnya adalah fiqh para fuqaha‘. Hal itu karena
salah satu pengertian syari‘ah yang berkembang dalam sejarah adalah fiqh dan
bukan ayat-ayat dan/atau hadits-hadits semata sebagai inti agama Islam atau
ayat-ayat dan/atau hadits-hadits hukum saja secara khusus. Pemakaian kata
syari‘ah sebagai fiqh tampak secara khusus pada pencantuman syari‘ah Islam sebagai
sumber legislasi di beberapa negara muslim (dan juga pada 7 kata dalam Piagam
Jakarta), perbankan syari‘ah, asuransi syari‘ah, ekonomi dan keuangan syari‘ah
secara umum di Indonesia, serta Pengadilan Syari‘ah (Mahkamah Syar‘iyah) di
Propinsi NAD. Inilah yang diistilahkan dalam bahasa Barat sebagai Islamic
law, de Mohamadan wet/recht, la loi islamique dan lain-lain.
Bangsa Indonesia kemudian menerjemahkan kata ini dengan hukum Islam.
Hukum ekonomi atau lembaga keuangan
syari‘ah di Indonesia tampak sekali berhubungan dengan fiqh para fuqaha‘. Di
bidang perbankan syari‘ah, misalnya, memang telah disinggung dalam beberapa
pasal undang-undang seperti UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 dan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia sebagai diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004. Sungguhpun demikian, belum
ada undang-undang khusus yang mengatur bank syari‘ah apalagi hukum ekonomi
syari‘ah secara umum. Pengaturan satu-satunya hanya melalui Peraturan Bank
Indonesia (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI). Misalnya adalah PBI No.
6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syari‘ah, PBI No. 6/9/PBI/DPM Tahun 2004 tentang Penyisihan Penghapusan
Aktivitas Produktif bagi Bank Perkreditan Rakyat Syari‘ah, PBI No. 3/9/PBI/2003
tentang Penyisihan Penghapusan Aktivita Produktif bagi Bank Syari‘ah dan Surat
Edaran BI No. 6/9/DPM Tahun 2004 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas
Pembiayaan Jangka Pendek bagi Bank Syari‘ah.
Hubungan hukum ekonomi syari‘ah secara
umum, dan perbankan syari‘ah secara khusus di Indonesia, dapat dilihat dari
pengakuan atas fatwa Dewan Syari‘ah Nasional, sebagai hukum materiil ekonomi
syari‘ah, untuk kemudian sebagiannya dituangkan dalam PBI dan SEBI. RUU
Perbankan Syari‘ah yang sedang dipersiapkan oleh Pemerintah dan DPR sekarang
diharapkan akan mengisi kekosongan perundang-undangan dalam bidang perbankan
Syari‘ah. Untuk bidang asuransi, reasuransi, reksadana, obligasi, pasar modal
dan lain-lain yang berdasarkan syari‘ah tentu juga memerlukan undang-undang
tersendiri di masa depan, dan ini di samping ujndang-undang yang sudah ada yang
mengatur bidang-bidang ini secara umum. Bahan baku semua RUU ini tentu adalah
fiqh para fuqaha‘ yang diajarkan di berbagai perguruan menengah dan tinggi
Islam di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Pada waktu ini, sebagian dari
fiqh ini telah dirumuskan dalam bentuk fatwa Dewan Syari‘ah Nasional.
Ini adalah sebuah perkembangan baru
hukum Islam di Indonesia di mana fatwa para ulama sebagai legal opinion
yang bersifat tidak mengikat diakui mengikat dalam batas-batas tertentu oleh
lembaga keuangan resmi negara seperti Bank Indonesia. Pembicaraan hukum Islam
dari sudut ini cukup menarik. Misalnya adalah tentang pembentukan lembaga fatwa
yang konstitusional di masa depan, kualifikasi yang harus dimiliki oleh para
mufti dalam merumuskan produk hukum Islam untuk kebutuhan resmi negara,
metodologi yang digunakan dalam memformulasikan fatwa dan lain-lain, yaitu
topik-topik khusus yang tidak dibicarakan dalam makalah ini.
Fatwa Dewan Syari‘ah Nasional
Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah
sebuah institusi di bawah Majelis Ulama Indonesia yang dibentuk pada awal tahun
1999. Lembaga ini “memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk
dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan Kegiaan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syari‘ah.” MUI dipilih barangkali karena lembaga inilah pertama
kali yang melahirkan bank Syari‘ah.
Anggota lembaga ini terdiri dari para
ahli dalam bidang syari‘ah Islam serta praktisi ekonomi, terutama sektor
keuangan, baik bank maupun non bank yang berfungsi untuk menjalankan
tugas-tugas Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pasal 2 Keputusan DSN No. 02 Tahun
2000 antara lain menyatakan sebagai berikut:
(1) DSN
beranggotakan para ulama, praktisi dan para pakar dalam bidang-bidang yang
terkait dengan perekonomian dan mu‘amalah syari‘ah serta memiliki akhlak
karimah.
(2) Anggota DSN
ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4 (empat) tahun. Setelah jangka
waktu tersebut, yang bersangkutan dapat dipertimbangkan untuk diangkat kembali
selama-lamanya dua periode.
Dalam pelaksanaannya, lembaga ini
dibantu oleh Badan Pelaksana Harian DSW (BPH-DSN) yang melakukan penelitian,
penggalian dan pengkajian. Kemudian setelah dianggap cukup memadai, hasil
kajian itu dituangkan dalam bentuk rancangan fatwa DSN. Rancangan fatwa ini
selanjutnya dibawa dalam rapat pleno pengurus DSN untuk dibahas. Kemudian
diputuskan menjadi fatwa DSN. Finalisasi fatwa ini terutama dari aspek
redaksional, ditangani oleh tim penyusun dari BPH-DSN.
DSN berwenang untuk:
a. Memberikan
atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai anggota Dewan
Pengawas Syari‘ah (BPS) pada suatu lembaga keuangan syari‘ah, dengan
memperhatikan pertimbangan PBH-DSN.
b. Mengeluarkan
fatwa yang mengikat DPS di setiap lembaga keuangan syari‘ah dan menjadi dasar
tindakan hukum pihak terkait.
c. Mengeluarkan
fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang, seperti Bank Indonesia dan BAPEPAM.
d. Memberikan
peringatan kepada lembaga keuangan syari‘ah untuk menghentikan penyimpangan
dari fatwa yang dikeluarkan oleh DSN.[5]
Untuk memastikan bahwa semua produk
bank syari‘ah sesuai dengan syari‘ah, maka setiap bank syari‘ah memiliki Dewan
Pengawas Syariah (DPS). Sebagai contoh, DPS tersebut pada Bank Syari‘ah Mandiri
berfungsi:
1.
Mengawasi kegiatan usaha bank agar sesuai dengan ketentuan syari‘ah.
2.
Sebagai penasehat dan pemberi saran mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek
syari‘ah.
3.
Sebagai mediator antara bank dengan Dewan Syari‘ah Nasional (DSN), terutama
dalam hal kajian produk yang memerlukan kajian dan fatwa DSN.[6]
Salah satu masalah dalam penerapan
fatwa DSN adalah tentang sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh bank
Syari‘ah, terutama bila bank Syari‘ah tertentu tidak berjalan sesuai dengan
fatwa DSN dan DPS yang ada di setiap bank Syari‘ah. Faktor utama sebagai
penyebab di sini adalah karena tidak adanya perundang-undangan yang tersedia
dan bentuk hukuman memaksa yang harus diberikan kepada pelanggaran yang
dilakukan oleh pihak bank atau nasabah.
Revisi UU Peradilan Agama
Pasal 49 huruf (i) Revisi UUPA
menyatakan bahwa PA bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara dalam bidang ekonomi syari‘ah. Penjelasan huruf (i) pasal ini
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi syari‘ah” adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari‘ah, antara lain
meliputi:
a. bank
syari‘ah;
b. lembaga
keuangan makro syari‘ah;
c. asuransi
syari‘ah;
d. reasuransi
syari‘ah;
e. reksadana
syari‘ah;
f. obligasi
syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari‘ah;
g. sekuritas
syari‘ah;
h. pembiayaan
syari‘ah;
i. pegadaian
syari‘ah;
j. dana pensiun
lembaga keuangan syari‘ah; dan
k. bisnis
syari‘ah.
Pengelompokan ekonomi syari‘ah seperti
di atas sebenarnya tidak tepat. Huruf (b), (c), (d), (e), (f), (g) dan (h)
revisi undang-undang tersebut, yaitu tentang waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq dan shadaqah, adalah juga bagian dari ekonomi syari‘ah.
Memperhatikan 49 fatwa yang telah
diterbitkan oleh DSN sejak dari tanggal 1 April 2000 sampai tanggal 25 Februari
2005, ternyata tidak semua dari 11 item sekonomi syari‘ah yang dijelaskan oleh
Undang-Undangan Peradilan Agama yang baru direvisi tersebut telah ditetapkan
oleh DSN. Juga patut dicatat bahwa sebagaian kecil saja dari fatwa-fatwa
tersebut yang telah terserap dalam PBI dan SEBI.
(1) Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No. 01/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Giro
(2) Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No. 02/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Tabungan
(3) Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No. 03/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Deposito
(4) Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No. 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murabahah
(5) Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No. 05/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Saham
(6) Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No. 06/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual Beli Istishna’
(7) Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
(8) Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No. 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah
(9) Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No. 09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Ijarah
(10) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 10/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Wakalah
(11) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 11/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Kafalah
(12) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 12/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Hawalah
(13) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 13/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Uang Muka dalam
Murabahah
(14) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 14/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sistem Distribusi Hasil
Usaha dalam Lembaga Keuangan Syari’ah
(15) Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No. 15/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Prinsip Distribusi Hasil Usaha
dalam Lembaga Keuangan Syari’ah
(16) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 16/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Diskon dalam Murabahah
(17) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi atas Nasabah
Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran
(18) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 18/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Pencadangan Penghapusan
Aktiva Produktif dalam Lembaga Keuangan Syari’ah
(19) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 19/DSN-MUI/IX/2000 Tentang al-Qardh
(20) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 20/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Pedoman Pelaksanaan
Investasi untuk Reksa Dana Syari’ah
(21) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi
Syari’ah
(22) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 22/DSN-MUI/III/2002 Tentang Jual Beli Istishna’
Paralel
(23) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 23/DSN-MUI/III/2002 Tentang Potongan Pelunasan
dalam Murabahah
(24) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 24/DSN-MUI/III/2002 Tentang Safe Deposit Box
(25) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn
(26) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang RAHN Emas
(27) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 27/DSN-MUI/III/2002 Tentang al-Ijarah al-Muntahiyah
Bi al-Tamlik
(28) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 28/DSN-MUI/III/2002 Tentang Jual Beli Mata Uang
(al-Sharf)
(29) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 29/DSN-MUI/VI/2002 Tentang Pembiayaan Pengurusan
Haji Lembaga Keuangan Syari’ah
(30) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 30/DSN-MUI/VI/2002 Tentang Pembiayaan Rekening
Koran Syari’ah
(31) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 31/DSN-MUI/VI/2002 Tentang Pengalihan Hutang
(32) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 32/DSN-MUI/IX/2002 Tentang Obligasi Syari’ah
(33) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 33/DSN-MUI/IX/2002 Tentang Obligasi Syari’ah
Mudharabah
(34) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 34/DSN-MUI/IX/2002 Tentang Letter of Credit (L/C)
Impor Syari’ah
(35) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 35/DSN-MUI/IX/2002 Tentang Letter of Credit (L/C)
Ekspor Syari’ah
(36) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 36/DSN-MUI/X/2002 Tentang Sertifikat Wadi’ah Bank
Indonesia (SWBI)
(37) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 37/DSN-MUI/X/2002 Tentang Pasar Uang Antarbank
Berdasarkan Prinsip Syari’ah
(38) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 38/DSN-MUI/X/2002 Tentang Sertifikat Investasi
Mudharabah Antarbank (Sertifikat IMA)
(39) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 39/DSN-MUI/X/2002 Tentang Asuransi Haji
(40) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 40/DSN-MUI/X/2003 Tentang Pasar Modal dan Pedoman
Umum Penerapan Prinsip Syari’ah di Bidang Pasar Modal
(41) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 41/DSN-MUI/III/2004 Tentang Obligasi Syari’ah
Ijarah
(42) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 42/DSN-MUI/V/2004 Tentang Syari’ah Charge Card
(43) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi (Ta’widh)
(44) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 44/DSN-MUI/VII/2004 Tentang Pembiayaan Multijasa
(45) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 45/DSN-MUI/II/2005 Tentang Line Facility
(at-Tashilat)
(46) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 46/DSN-MUI/II/2005 Tentang Potongan Tagihan
Murabahah (al-Khashm Fi al-Murabahah)
(47) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 47/DSN-MUI/II/2005 Tentang Penyelesaian Piutang
Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar
(48) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 48/DSN-MUI/II/2005 Tentang Penjadwalan Kembali
Tagihan Murabahah
(49) Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional No. 49/DSN-MUI/II/2005 Tentang Konversi Akad Murabahah
Pengalaman Badan Atbitrase Syari‘ah Nasional
Pengalaman Badan Arbitrase Syari‘ah
Nasional (BASYARNAS) dalam menyelesaikan sengketa antara bank Syari‘ah dan
nasabahnya dapat dijadikan pelajaran bagi Peradilan Agama dalam menyelesaikan
sengketa ekonomi Syari‘ah di masa depan. Sebenarnya BASYARNAS dapat
mengembangkan Lembaga Tahkim yang sudah ada dalam khazanah hukum Islam, tetapi
itu tidak dilakukan karena berbagai hambatan. Pengalaman yang sama mungkin saja
akan terulang dalam praktek Peradilan Agama di masa depan, bila sengketa
ekonomi Syari‘ah tidak ditangani secara hati-hati dan tidak murni diselesaikan
menurut prinsip Syari‘ah.
Sebuah hasil penelitian S3 ilmu hukum
di Universitas Sumatera Utara menyimpulkan bahwa sengketa antara bank Syari‘ah
tidak murni diselesaikan berdasarkan prinsip Syari‘ah (fiqh), tetapi juga
mengikutsertakan pasal-pasal KUHPerdata. Hal itu antara lain karena tidak
tersedianya hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan dan adanya peraturan
perundang-undangan nasional yang mengatur masalah arbitrase secara umum, yaitu
UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif.
Hambatan lainnya kurangnya tenaga ahli yang menguasai hukum arbitrase Islam.
Melihat kasus-kasus arbitrase Syari‘ah
yang diajukan kepada BASYARNAS, tampak dengan jelas bahwa persoalan inti adalah
tentang akad atau kontrak antara penyedia dana sebagai investor, bank sebagai
pengelola dana, dan nasabah sebagai pengguna dana, atau antara bank sebagai
investor dan sekaligus juga sebagai pengelola dana di satu pihak dan nasabah
sebagai pengguna dana di pihak lain. Kontrak yang paling umum dilakukan adalah
akad mudhârabah, akad musyârakah, akad murâbahah dan
lain-lain yang selama ini diatur secara luas dalam fiqh berbagai mazhab. Tidak
mengherankan bila akad pembiayaan tersebut dibuat berdasarkan dua hukum, yaitu
fiqh Islam sebagai syari‘ah atau hukum Islam dan hukum perjanjian KUHPerdata
warisan Belanda. Kemungkinan besar sengketa mengenai sebelas item ekonomi
syari‘ah di atas diatur berdasarkan hukum perjanjian dan pasal-pasal perjanjian
tersebutlah yang menjadi konstitusi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam
perjanjian. Kedua belah pihak juga sepakat pada pasal-pasal terakhir
perjanjian, ke lembaga mana mereka akan membawa penyelesaian masalah ini bila
terjadi sengketa di kemudian hari. Selama ini lembaga yang disepakati
pihak-pihak adalah BASYARNAS dan/atau Peradilan Umum. Setelah berlakunya UU PA
yang baru, tentu para pihak akan menyepakati penyelesaian sengketa ke BASYARNAS
atau PA.
Adanya akad atau kontrak sebagai dasar
hukum ekonomi Syari‘ah adalah untuk menghindari hal-hal yang dilarang Islam
dalam transaksi ekonomi, terutama sekali adalah larangan riba, monopoli,
wanprestasi dan lain-lain. Qur’an mensitir dalam al-Baqarah 275-279 bahwa riba
yang bernilai plus secara ekonomi dalam pandangan manusia tidak bernilai plus
di sisi Allah. Sejak zaman jahiliyah telah banyak penantang yang menyamakan
antara transaksi jual-beli dan transaksi berdasarkan riba, tetapi Qur’an
menyatakannya berbeda. Transaksi pertama dibolehkan, tetapi yang kedua
diharamkan. Larangan tersebut antara lain karena sahamnya dalam meningkatkan
sifat egoisme dalam diri manusia, memperjarak jurang antara orang kaya dan
miskin dan lain-lain.
Untuk menghindari transaksi-transaksi yang dilarang Islam, maka transaksi
keuangan syari‘ah berdasarkan kontrak bagi hasil dengan nisbah yang disepakti
dan sama-sama menanggung resiko untung atau rugi.
Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
beberapa hal seperti berikut:
(1) Ekonomi Syari‘ah di luar Indonesia
terkenal dengan nama ekonomi Islam, yaitu ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip
Syari‘ah, seperti diformulasikan oleh para fuqaha’ sepanjang masa dari
nilai-nilai Islam. Ekonomi Syari‘ah berbeda dari ekonomi konvensional yang
berkembang di dunia dewasa ini yang hanya berdasarkan nilai-nilai sekular yang
terlepas dari agama.
(2) Ekonomi Syari‘ah dibahas dalam dua
disiplin ilmu, yaitu ilmu ekonomi Islam dan ilmu hukum ekonomi Islam. Ekonomi
Syari‘ah yang menjadi salah satu kewenangan baru Peradilan Agama berdasarkan
revisi UU PA berhubungan secara khusus dengan ilmu hukum ekonomi. Kewenangan
tersebut menyangkut kewenangan mengadili 11 jenis perkara seperti dijelaskan
oleh penjelasan Pasal 49 huruf (I).
(3) Selain beberapa pasal dalam UU
Perbankan dan UU Bank Indonesia serta beberapa PBI dan SEBI, belum ada
undang-undang khusus yang mengatur tentang hukum acara dan hukum materiil bank
Syari‘ah. Pengaturan yang ada sekarang pada umumnya berdasarkan fiqh para
fuqaha’ dan sebagian kecilnya, terutama berhubungan dengan masalah perbankan,
mengandalkan fatwa yang diterbitkan oleh DSN.
(4) Melihat kasus-kasus yang diajukan
kepada Badan Arbitrase Syari‘ah Nasional (BASYARNAS) menyangkut sengketa antara
bank Syari‘ah dan nasabahnya, ternyata semuanya berdasarkan akad atau kontrak
antara kedua belah pihak, baik akad mudharabah, musyarakat atau murabahah.
Dalam penyelesaian sengketa-sengketa yang ada, BASYARNAS menggunakan dua hukum
yang berbeda, yaitu hukum Islam seperti diformulasikan oleh DSN dan pasal-pasal
KUHPerdata. Hal itu dilakukan karena ketiadaan peraturan perundang-undangan
tentang perbankan Syari‘ah secara khusus dan ekonomi Syari‘ah secara umum.
Sebelum lahirnya undang-undang khusus ekonomi syari‘ah dalam 11 item di atas,
maka kemungkinan besar para hakim PA akan mengadili perkara ekonomi syari‘ah
berdasarkan hukum perjanjian, baik berdasarkan fiqh para fuqaha‘ maupun
KUHPerdata.
[1] Khurshid
Ahmad (ed.), Studies in Islamic Economics (Leicester: The Islamic
Foundation, 1983), hal. xiii-xvii.
[2] Monser Kahf, diterjemahkan oleh Rifyal Ka‘bah, Deskripsi
Ekonomi Islam (Jakarta: Penerbit Minaret, 1987), hlm. 11.
[4] Pasal 1, ayat (9) Peraturan Bank
Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum Yang Melaksaama Usaha Berdasarkan
Prinsip Syari‘ah.
[7] Irfan Ul Haq dalam disertasinya, Economic
Doctrines of Islam, misalnya, memasukkan infaq, shadaqah dan zakat, sebagai
bagian dari ekonomi Islam. Ia menyebutnya sebagai “Fiscal and Distributional
Principles in Islam”. Irfan Ul Haq, Economic Doctrines of Islam
(Herndon, Virginia: IIIT, 1416/1996), hal. 167-203.
[8] Ichwan Sam (et.al), Himpunan
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (edisi kedua). Jakarta: Dewan Syari’ah
Nasional Majelis Ulama Indonesia & Bank Indonesia, 2003, berisikan 40 fatwa DSN, ditambah 9 fatwa lagi yang
belum dipublikasi.
[9] Utary Maharany Barus, Penerapan
Hukum Pejanjian Islam Bersama-sama dengan Hukum Perjanjian Menurut KUHPerdata:
Studi Mengenai Akad Pembiayaan Antara Bank Syari‘ah dan Nasabahnya di
Indonesia. Disertasi Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara,
dipertahankan tanggal 13 Januari 2006, hal. v-vii, 290-292.
[10] Rifyal Ka‘bah, Risalah Hari Raya
(Jakarta: DDII, 2006), hal. 44-45, 57, 62, 69, 110, 160, 179, 246-248.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar