(Ansari, S.H.I)
Semakin menguatnya radikalisasi oleh kalangan Islam
militan setelah runtuhnya Orde baru dan maraknya berbagai peristiwa “bombings”
di Indonesia, mendorong ramainya kembali
diskursus “radikalisasi agama”, “fundamentalisme agama” dan bahasa-bahasa lain
yang senada.
Gerakan ini ditengarai oleh sebagian kalangan intelektual sebagai fenomena baru dari kelanjutan kebangkitan agama di dunia Islam dalam merespon pengaruh globalisasi, yang menurut bahasa mereka “kekuatan hegemonik barat terhadap Islam. sementara beberapa intelektual yang lain beranggapan bahwa gerakan militansi disebabkan oleh pemahaman konsep keagamaan yang terlalu eksklusif, biasanya menyerukan kembali pada ajaran-ajaran murni agama. Fenomena fundamentalisme agama semacam ini tidak hanya terjadi dalam Islam, namun juga terjadi dalam kelompok-kelompok agama lain yang juga memiliki “Kitab Suci” yang biasanya menjadi rujukan legitimasinya, seperti Kristen, Yahudi, Hindu dll.
Gerakan ini ditengarai oleh sebagian kalangan intelektual sebagai fenomena baru dari kelanjutan kebangkitan agama di dunia Islam dalam merespon pengaruh globalisasi, yang menurut bahasa mereka “kekuatan hegemonik barat terhadap Islam. sementara beberapa intelektual yang lain beranggapan bahwa gerakan militansi disebabkan oleh pemahaman konsep keagamaan yang terlalu eksklusif, biasanya menyerukan kembali pada ajaran-ajaran murni agama. Fenomena fundamentalisme agama semacam ini tidak hanya terjadi dalam Islam, namun juga terjadi dalam kelompok-kelompok agama lain yang juga memiliki “Kitab Suci” yang biasanya menjadi rujukan legitimasinya, seperti Kristen, Yahudi, Hindu dll.
Terlepas dari perdebatan diatas, kelompok-kelompok
fundamentalisme Islam di Indonesia; seperti: Majlis Mujahidin, Laskar Jihad,
Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Front Pembela Islam, HAMMAS, Forum Komunikasi
Ahlussunnah wal Jama’ah; menjadi fokus perhatian tidak hanya masyarakat
Indonesia namun juga masyarakat dunia. Tiba-tiba kelompok fundamentalisme radikal
ini menjadi sosok aneh yang membuat penasaran banyak orang. Sebagian orang
takut dan merasa khawatir dengan “imeje” model gerakan keagamaan semacam ini,
sebagian berbondong-bondong ikut dan mendukungnya dan sebagian yang lain
tertarik untuk mengetahui dan mengkaji dari dekat kelompok semacam ini, maka
tidak heran banyak kajian dan penelitian yang sedang marak mengenai gerakan
fundamentalisme ini, khususnya di Indonesia. Menarik untuk disimak, dari
berbagai kelompok tersebut, -meskipun memiliki pola gerakan yang berbeda-
mereka hampir memiliki pandangan yang sama tentang proyek otentifikasi dan
universalisme Islam, hal ini bisa dilihat dalam slogan mereka “kembali pada jejak
salaf ash-shalih”,
klaim “Salafi”, “Islam Murni”, dan “Ahlussunnah” seringkali muncul dalam
gagasan dan dakwah mereka. Sementara pendapat mengatakan bahwa gerakan
fundamentalisme radikal ini berasal dari teologi non-toleransi puritanisme
Salafi.
Islam fundamentalis ini berkembang dengan cepat,
terutama dikalangan masyarakat urban,
professional dan sarjana muslim. Disamping dengan menerbitkan berbagai media, berbagai kelompok diskusi dan halaqah dengan semangat untuk menghidupkan
kembali “ajaran murni” yang diajarkan oleh generasi pertama Islam,
halaqah-halaqah semacam ini berkembang dengan pesat di kampus-kampus umum di
kota besar, seperti Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Universitas Indonesia
Jakarta, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas
Airlangga Surabaya dan lain-lain. Salah satu basis pengetahuan dan kaderisasi
gerakan ini biasanya bertempat di pesantren
dan madrasah, oleh karena itu ada beberapa pesantren seperti Pondok Pesantren
Al Mukmin Ngruki Solo dengan slogan “kembali pada jejak salaf ash-shalih” ,
Pesantren “Ahlussunnah” Kaliurang Yogyakarta (dan mungkin masih ada juga
pesantren lain) dianggap menjadi basis model gerakan keagamaan salafiyah dan
fundamentalisme Islam. Gerakan keagamaan semacam ini banyak dikhawatirkan oleh
masyarakat Indonesia (lebih-lebih masyarakat Barat) karena memiliki karakter
eksklusif dan pandangan tidak toleran terhadap pandangan lain, hal yang sangat
bertentangan dengan pandangan pluralisme yang juga sedang berkembang di
Indonesia.
Persepsi seperti diatas memunculkan beberapa kekhawatiran
di kalangan masyarakat (terutama masyarakat
Barat) terhadap pesantren sebagai basis militansi Islam, seperti komentar yang
pernah dilontarkan oleh Sidney John, Direktur International Crisis Group (ICG),
setelah terjadinya berbagai peristiwa “bombings” di Indonesia, “The militant bombers are mostly young men from Muslim
boarding schools (pesantren) or Islamic high schools” .
Kemudian dalam komentarnya yang lain, Dia berpendapat: “Indonesia's
leaders need to look at the organization's support base. Almost every major
Jemaah Islamiyah bombing since 2000 has involved graduates of a single
pesantren, or Muslim boarding school, in Ngruki, a village near Solo in central
Java. That's disingenuous, just as it is disingenuous for the
government to think that it can contain terrorism without a more systematic
scrutiny of Jemaah Islamiyah-linked schools. Pesantrens have a long and
honorable tradition in Indonesia, and the vast majority of them produce
law-abiding citizens. But a handful are turning out young men committed to a
concept of jihad that involves the use of violence against non-Muslim
civilians”.
Disisi lain berkembang pandangan yang berpendapat bahwa model gerakan keagamaan
yang menganut konsepsi “Salafi” memiliki kecenderungan eksklusif dan intoleran,
dan akan menyemangati militansi dan radikalisme keagamaan.
Pandangan seperti ini akan mengaburkan pandangan lain mengenai konsep
“salafiyah” dan menjadi problem serius bila ternyata ada beberapa pandangan “salafi”
yang mungkin memiliki potensi lebih toleran dan inklusif.
Ironisnya,
slogan-slogan “Salafiyah’ juga telah banyak digunakan di Pesantren-pesantren Islam
Tradisional, ini terbukti dengan banyaknya “Pesantren Salafiyah” yang
berkembang di Indonesia, khususnya Jawa, seperti Pondok Pesantren
As-Salafiyah as-Safi’iyah Asembagus
Situbondo, Pondok Pesantren Al –Falah as-Sunniyah as-Salafiyah Kencong Jember,
dan Pondok Pesantren As-Salafiyah As-Safi’iyah Jakarta dan masih banyak yang
lain. Ada juga beberapa pesantren yang juga dikenal sebagai Pesantren Salaf,
karena mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti pendidikan di
Pesantren, seperti, Pesantren Lirboyo dan Ploso di Kediri, Pesantren Maslakhul
Huda di Pati, dan Pesantren Termas di Pacitan.
Pesantren-pesantren tersebut memiliki ciri-ciri umum model keberagamaan yang
hampir sama yaitu menganut konsep theologi aqidah Ahlussunnah al-Maturidi dan
Asy’ari, akar tasawuf Sunni (yang menggabungkan Syari’at dan Haqiqat) model
Ghazali, dan Orientasi Fiqih empat Madhhab, khususnya Madzhab as-Safi’iy. Dalam
pandangan kelompok ini, “Konsep
Salafiyah” dipahami sebagai “modeling” dengan mencontoh para pendahulu yang
terbaik dengan merujuk pada kitab kuning, mengarifi budaya dan tradisi local
sebagai ciri utama komunitas ini. Bukti
semacam ini bisa dilacak dalam sejarah pesantren di Indonesia yang perkembangannya seiring dan sejalan
dengan perkembangan tarekat dan tasawuf (sesuatu yang justru ditolak oleh model
gerakan “Salafiyah” wahabiyah dengan konsep purifikasinya).
Oleh
karena itu, Konsep “Salafiyah” sebagai model keberagamaan Islam, meskipun
sama-sama sebagai bentuk ‘modelling” terhadap para pendahulu. Namun dalam cara
pandang dan dinamika sejarahnya yang berbeda akan membentuk nalar dan
idiologisasi yang berbeda pula. Dan akibatnya dengan konsep modeling
“Salafiyah” yang berbeda, Pesantren-pesantren tersebut juga memiliki perbedaan
“nalar”, “tradisi” dan bisa juga “ideologi” yang berbeda. Berbeda pensikapannya
terhadap tradisi local, berbeda pandangan dan perilaku politiknya dan perilaku
social budayanya.
POKOK MASALAH
Penelitian
ini ditujukan pada studi mengenai “Nalar Salafi yang berkembang di Pesantren
Indonesia, khususnya Jawa, dengan mengambil representasi Tiga Pesantren di Jawa
yang memiliki perbedaan cara pandang “Salafiyah” yang sangat mencolok. Dan Pertanyaan-pertanyaan
pokok yang akan dikembangkan adalah: 1) bagaimana Pesantren di Jawa memahami
pemikiran “salafiyah” sebagai (model) keberagamaan Islam 2) bagaimana pemikiran
salafiyah mempengaruhi sifat dan karakteristik (kontruksi ) pengetahuan dari
masing-masing model “salafi” di pesantren Jawa. 3) bagaimana karakteristik pengetahuan
mempengaruhi pandangan dan sikap hidup komunitas, serta implikasi politik dan social budayanya terhadap isu-isu yang
berkembang di masyarakat. 4) sebagai
analisa kritis, mungkinkah dengan perbedaan konsep tersebut menciptakan dialog
dan toleransi.
PEMBATASAN
MASALAH
Secara historis, pada awal sejarah Islam terminologi “salaf” sering
digunakan sebagai istilah pembabakan terhadap generasi awal Islam, yaitu:
Periode Salaf yang berarti tiga generasi awal Islam mulai dari generasi pada
masa Nabi Muhammad, Sahabat, dan Para Tabi’in. Dan Periode Khalaf yang berarti
generasi setelah tiga generasi tersebut. Disisi lain, istilah “salaf “
juga dipakai oleh para mufasir dan ahli
hadis dalam klasifikasi kelompok ahli hadis atau tafsir, yaitu: Kelompok
Salaf yang berarti para ahli hadis atau
tafsir yang menafsirkan teks dengan teks, dengan menggunakan metode riwayat.
Dan Kelompok Khalaf yang berarti para ahli hadis dan tafsir yang menafsirkan
teks dengan akal, menggunakan metode ta’wil. Sedangkan di Indonesia, istilah
salaf seringkali muncul dalam membedakan sistem pendidikan di Pesantren, yaitu:
Pesantren salaf yang berarti sistem pendidikan yang mempertahankan kitab-kitab
klasik dengan cara pengajaran klasik “sorogan”, sedangkan madrasah diterapkan
untuk mendukung “sorogan”. Dan Pesantren Khalaf berarti Pesantren yang telah
memasukkan pelajaran-pelajaran umum dalam madrasah yang dikembangkannya, atau
membuka tipe sekolah-sekolah umum dalam lingkungan pesantren.
Dalam
penelitian ini, “salafiyah” dibatasi dalam pengertiannya sebagai konsep atau
model keberagamaan dalam Islam yang mengajak kembali pada ajaran para pendahulu
- baik yang mengajak kembali pada generasi salaf ash-shalih yang melarang
bermadzhab, maupun yang mengajak kembali pada warisan para leluhur atau kitab kuning yang bermadzhab. Dan konsep
salafiyah dalam pengertian ini dapat mempengaruhi pandangan hidup komunitas
masyarakatnya.
STUDI PUSTAKA
Telah banyak kajian tentang
Fundamentalisme Islam, namun focus kajian lebih banyak memperdebatkan tentang
asal usul fundamentalisme dan radikalisme, dari focus tersebut tulisan mengenai
asal usul fundamentalisme yang terbagi dalam dua kelompok. Pertama,
sebagian yang menulis fundamentalisme disebabkan oleh geneologi pengetahuan
yang eksklusif, salah satunya puritanisme salafiyah wahabiyah atau gerakan
militansi Timur tengah, seperti yang ditulis Abul Fadhil, “The Place of
Tolerance”, Beacon Press-Boston, 2002. ; Dr. David Sagiv, “Fundamentalism
and Intellectual in Egypt in 1973-1993”. dan Ghazali Said, “Ideologi
Kaum Fundamentalisme: Pengaruh Pemikiran Politik al-Maududi Terhadap Gerakan
Jama’ah Islamiyah Trans Pakistan-Mesir” Diantama, 2003. Kedua, gerakan
fundamentalisme atau kebangkitan islam lahir karena konteks sejarah sebagai
respons terhadap modernisme dan globalisasi, seperti tulisan-tulisan Eko
Prasetyo, “Membela Agama Tuhan”, dan “ Kiri Islam Menghadapi
Kapitalisme Global”, Insist., Ahmed Rashid, “The Resurgence of Central
Asia: Islam Or Nationalisme, Th. 1994 , “Taliban: Islam and
Fundamentalisme in Central Asia” , Th. 2000, “The Rise of Militant Islam in Central
Asia”, Th. 2002, Yale University Press-London., ; Fazlurahman, “Study of Islamic
Fundamentalisme Revival and Reform in Islam”, Th. 2000, 0ne world
oxford-England. Dan banyak buku yang lain berbicara tentang sejarah
fundamentalisme Islam semacam ini Dan juga beberapa buku lain yang berupa
opini, komentar atau editing berisi tentang sikap dan respon terhadap munculnya
fundamentalisme dan militansi Islam.
Sedangkan
mengenai Pesantren, sudah banyak penelitian atau buku-buku yang ditulis baik
oleh sarjana Indonesia maupun barat. Namun tulisan tentang pesantren banyak
terfokus pada sejarah, sistem pendidikan, struktur, tradisi, pengetahuan dalam
pesantren dan pesantren menghadapi perubahan; itupun lebih banyak perhatiannya
pada pesantren tradisional, seperti tulisan:
Martin Van Bruinessen, “Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat:
Tradisi-tradisi Islam di Indonesia”, cet.III, Mizan-Bandung, Th. 1999. ; Zamakhsari
Dhofier, “Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai”,
Cet.VI, LP3ES-Jakarta; Mastuhu, “Dinamika
Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem
Pendidikan Pesantren”, INIS-Jakarta, Th.1994 ; Dr. Manfred Ziemek, Pesantren
Dalam Perubahan Sosial”, P3M-Jakarta, Th.1986.
Dari Studi Pustaka yang dilakukan,
penulis hanya menemukan satu buku yang secara khusus membahas tentang
“Salafiyah” yaitu tulisan Muhammad Said Ramadhan dalam bahasa Arab, “As-Salafiyatu
Marhalatun Zamaniyatun La Madzhabun Islamiyah”, Beirut., Buku inipun lebih
bersifat sejarah perdebatan teologis mengenai konsep salafiyah sebagai model
gerakan yang tidak bermazhab dan kritik terhadap pemahaman salafiyah yeng
kembali pada romantisisme generasi awal. Oleh karena itu, peneliti menyimpulkan
bahwa belum ada penelitian yang secara khusus mendalami perbedaan nalar
pengetahuan salafiyah yang berkembang di Indonesia, khususnya
pesantren-pesantren sebagai basis pengetahuan dan pendidikan Islam. Dalam
kajian ini, peneliti mencoba mendalami dinamika nalar salafiyah dari geneologi
pengetahuan dan bagaimana nalar salafiyah dikonstruksikan didalam konteks
sejarahnya dan di Indonesia. Kajian ini menjadi penting karena model gerakan
salafiyah seringkali dihubungkan dengan gerakan militansi dan radikalisme
Islam, sehingga peneliti juga akan mencoba memetakan kemungkinan adanya
variable radikalisme dan toleransi dalam
beberapa model gerakan salafiyah.
KERANGKA TEORITIK
Berbicara
Mengenai munculnya aliran atau gerakan dalam Islam ada dua teori yang terkenal,
Pertama; teori kesinambungan dimana munculnya suatu aliran atau gerakan
disebabkan karena garis pengetahuan yang berkesinambungan, teori semacam ini
bisa kita lihat dalam tulisan john O Voll, “Islam and Continuity and Change
in Modern world”, Westview Press- USA, 1982. Kedua, teori konteks sejarah
yang menerangkan munculnya gerakan atau perubahan itu dikarenakan respon sosial
terhadap konteks yang terjadi dalam sejarah. Teori semacam ini bisa kita lihat
dalam gaya penulisan Karen Amstrong, “The Battle of God”.
Khaled
Abul Fadhil, dalm bukunya “The Place Of Tolerance in Islam” dengan model
teori yang pertama mengatakan bahwa Kelompok-kelompok fanatic dan militant di
berbagai tempat berasal dari akar
theologi “intolerance” Puritanism Wahabi dan Salafi, karena metode literal dan
ahistoris menimbulkan konsep “intolerance”. Tentu
saja pendapat in dikritik oleh Abid Ullah Jan, seorang analis politik dan
direktur eksekutif Independent Centre
for Strategic Studies (ICSS) di Pakistan, menurutnya Abul Fadhil perlu
memperhatikan makna “toleransi”, karena frustasi yang terjadi di kalangan umat Islam di dunia tidak hanya
karena kesalahan memaknai Islam, namun lebih dikarenakan kehilangan batas
toleransi terhadap politik standard ganda Barat dan perlakuan mereka terhadap
Muslim sebagai masyarakat kelas kedua.
Menurut Abid Ullah Jan ini, terjadinya kebangkitan Islam itu bukan karena
problem teologi, tapi karena konteks sejarah yang membuat mereka tertekan.
Dari kedua teori tersebut diatas,
peneliti mencoba menggabungkan kedua teori tersebut dalm melihat “Konsep
Salafi” sebagai theologi keberagamaan kelompok dan kesinambungan dan
perubahannya karena konteks sejarah yang sedang dialami. Dengon merujuk model
teori Foucoult “Archeology Of Knowledge” Asad, dalam bukunya “Geneologies
of Religion. Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam” dia
berpendapat: “tidak ada agama tanpa kekuasaan, agama itu bukan hanya teks
tertulis tapi juga kumpulan hubungan yang bisa dilihat dari konsep-konsep dan kompleksitas yang ada,
dan dengan mendalami konteks-konteks wacana kita bisa memahami bagaimana symbol-simbol
dikontruksikan dan mana yang menjadi authoritarian”. Dari
sini bisa kita pahami bahwa konsepsi salafiyah dengan berbagai kompleksitasnya
yang ada dikonstruksikan dalam konteks tertentu maka dengan mendalami
konteks-konteks dimana konsepsi salafiyah dikonstruksikan kita bisa melihat
bagaimana interpretasi dan diskursus dengan segala simbolnya jadi menguasai.
Sehingga dalam konteks yang berbeda akan menyebabkan interpretasi dan diskursus
yang berbeda. Berangkat dari teori seperti ini peneliti berasumsi bahwa
perbedaan nalar salafiyah di pesantren
tidak hanya dikarenakan kesinambungan pengetahuan yang berbeda namun juga
disebabkan karena konsepsi salafiyah tersebut dikonstruksikan dalam konteks dan
pengalaman sejarah yang berbeda.
METODOLOGI
PENELITIAN
Penelitian
ini menggabungkan antara penelitian pustaka dan lapangan dengan pendekatan
kualitatif. Studi Pustaka dilakukan untuk mendalami konsep salafiyah dan dinamika
sejarah perbedaan model pemikiran salafiyah. Studi Pustaka dengan Buku Primer “As-Salafiyatu
Marhalatun Zamaniyatun La Madzhabun Islamiyah”, Beirut. Dan menelusuri
buku-buku yang berkaitan dengan model gerakan salafiyah.
Sedangkan
metode penelitian lapangan, digunakan untuk mengetahui bagaimana karakteristik
pemikiran salafiyah di kontruksikan di tiga pesantren di Jawa, dengan mengambil
studi kasus di tiga pesantren, yaitu: Pesantren As-Salafiyah As-Syafi’iyah
Asembagus SituBondo Jawa Timur, Pesantren Salafiyah Ahlussunnah Kaliurang
Yogyakarta dan Pesantren Modern Al-Mukmin Ngruki Solo. Tiga Pesantren ini
diambil sebagai representasi pesantren induk dan yang punya pengaruh, juga
dengan representasi tiga kategori : pesantren tradisional, modern dan militan. Data
diteliti dengan cara observasi lapangan, dokumentasi dan interview. Metode
interview digunakan untuk mewawancarai para ahli, tokoh-tokoh salafiyah, dan
tokoh pesantren salafiyah, Khhususnya di tiga pesantren tersebut. Sedangkan
observasi lapangan dan dokumentasi dilakukan dengan cara melihat langsung
perilaku dan aktifitas santri pesantren salafiyah dan mengumpulkan
dokumen-dokumen model pemikiran salafiyah, seperti kurikulum, buku sejarah
pesantren, kepustakaan, dan media-media yang berkaitan dengan pemikiran
Pesantren.
SISTEMATIKA
TESIS
Dengan
merujuk pada pokok masa;ah, pembahasan dalam tesisi ini secara sistematis akan
dibagi dalam lima Bab.
1)
Pendauhuluan, menerangkan konteks penelitian ini dengan mengelaborasi perbedaan
“salafiyah” di Indonesia. Secara umum juga mendeskripsikan pokok masalah,
pembatasan masalah dan metode penelitian.
2)
mendeskripsikan tentang sejarah, tokoh dan dinamika tiga pesantren secara umum.
3)
Menerangkan tentang bagaimana pemikiran tentang salafiyah dipahami di
pesantren, dengan mendeskripsikan tiga unsur yang sering menjadi karakteristik
pemikiran salafiyah yaitu: ide salfiyah, imajinasi social, dan seruan kembali
pada Qur’an dan Sunnah, yang sering menjadi slogan-slogan salafiyah.
3)
Menjelaskan bagaimana pengaruh pemikiran salafiyah terhadap struktur pengetahuan
dan tradisi di pesantren. Juga menerangkan sumber pengetahuan, tema-tema yang
sering dikaji, tokoh-tokoh sentral atau madhab, tradisi dan sistem yang
membentuk masyarakat pesantren.
4)
Memaparkan bagaimana karakteristik pengetahuan dan tradisi di pesantren
mempengaruhi pandangan hidup dan sikap komunitas pesantren. Dan bagaimana implikasi
pandangan dari masing-masing model salafiyah terhadap wacana sosial, politik
dan budaya yang berkembang di masyarakat.
4) Analisa, mencoba menjawab mengapa perbadaan
pemikiran itu terjadi dan apa yang menyebabkan kecenderungan dari masing-masing
pemikiran, baik yang berpotensi radikal maupun toleran. Serta mencoba mengkritisi
klaim-klaim kebenaran dengan mengagungkan masa lalu dalam konteks masa lalu
pula. Dan mencari kemungkinan alternatif dengan perbedaan konsep tersebut
menciptakan dialog dan toleransi.
5) Kesimpulan yaitu menyimpulkan
semua pembahasan tesis ini dengan menjawab pokok masalah secara ringkas dan
padat.
Pada
pertengahan abad ke-19 banyak para ulama dari Jawa yang memperdalam pengetahuan agama ke makkah dan
madinah dan banyak dari mereka turut aktif dalam intelektualisme dan
spiritualisme Islam yang berpusat di Timur Tengah, hal ini mempengaruhi perubahan watak Islam di Jawa yang semakin
kehilangan sifat-sifat lokalnya dan titik beratnya pada aspek tarekat. Menurut Zamakhsari
Dhofier, pada masa ini Islam di Jawa tidak sama sekali kehilangan watak
lokalnya, namun Islam tradisional di Jawa semakin kuat terikat dengan pikiran
Islam tradisional yang telah mapan dan
paling banyak pengikutnya di dunia Islam.
DAFTAR PUSTAKA
SEMENTARA
Abdurrahman, Moeslim, Islam
Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. III, 1997)
Ahmed, Leila, Women and
Gender in Islam; Historical Roots of a Modern Debate, terj. M. S. Nasrulloh
(Jakarta: PT. Lentera Basritama, cet. I, 1992)
Azra, Azyumardi, Jaringan
Ulama timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII, (Bandung:
Mizan, cet. III, 1995)
Baidan, Nashruddin, Tafsir bi
Al-Ra’yi, Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, cet. I, 1999)
Baidhawy, Zakiyuddin
(ed.), Wacana Teologi Feminis, (Yogyakarta; pustaka Pelajar, cet. I,
1997)
Bawami, Imam, Tradisionalisme
Dalam Pendidikan islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1993)
Berger, Peter L., The Sacred
Canopy, terj. Hartono (Jakarta: LP3ES, cet. II, 1994)
Bruinessen, Martin Van, Kitab
Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia”, (Bandung:
Mizan-Bandung, cet. III., 1999)
Bryan S. Turner, Religion and
Social Theory, terj. Inyiak ridwan Muzir, (yogyakarta: IRCiSoD, cet. I,
2003)
Dhofier, Zamakhsari, Tradisi
Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, Cet. VI,
1994)
Enginer, Asghar Ali, Islam
and Liberation Theology; Essay on Liberative Elements in Islam, terj. Agung
Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 1999)
Fakih, Mansour, Analisa
gender dan Transformasi Sosial,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 1996)
Hathout, Hassan, Revolusi
seksual Perempuan ; Obstetri dan Ginekologi dalam tinjauan Islam,
(Bandung ; Mizan, cet. IV, 1997)
Ilyas, Yunahar, Feminisme
dalam Kajian Tafsir al-Qur’an: Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, cet I, 1997)
Kartodirdjo, Sartono, Kepemimpinan
Dalam Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: BPA UGM, 1974)
Khadduri, Majid, The Islamic
Conception of Justice, terj. Mochtar Zoerni (Surabaya: Risalah Gusti, cet.
I, 1999)
Koentjaraningrat, Sejarah Teori
Antropologi I, (Jakarta; UI-Press, cet. II, 1987)
Madjid, Nurcholish, Bilik-bilik
Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: PARAMADINA, 1997)
Manfred Ziemek, Pesantren
Dalam Perubahan Sosial”, (Jakarta: P3M, 1986)
Mas’udi, Masdar F., Islam dan Hak-hak
Reproduksi Perempuan, (bandung: Mizan, cet. I, 1997)
Mastuhu, Dinamika
Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem
Pendidikan Pesantren, (Jakarta: Seri INIS, 1994)
Mernissi, Fatima, Menengok
Kontroversi Peran Wanita dalam Politik, terj. M. Masyhur Abadi (Surabaya:
Dunia Ilmu, cet. I, 1997)
Muthahhari, Murtadha, The Rights
of Women in Islam, terj. M. Hashem (bandung: Penerbit Lentera, cet. III,
1995)
Nasr, Seyyed Hossein, Traditional
Islam in the Modern World, terj. Lukman Hakim, (Jakarta: Pustaka, cet I,
1994)
Noer, Deliar, Gerakan Modern
Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, cet. VIII, 1996)
Prasodjo,
Sudjoko, Profil Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1975)
Rahardjo, Dawam (ed.), Pergulatan Dunia pesantren ; Membangun dari
Bawah, (Jakarta : P3M, cet. I, 1985)
Raines, John C., The
Justice Men Owe women, Positive Resources from World Religions,
(Minneapolis: Fortress Press, 2001)
Robertson, Roland, (ed.), Agama: dalam Analisa dan
Interpretasi Sosiologis, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, cet 4, 1995)
Sindu, Galba, Peran Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, (Jakarta:
Depdikbud, Cet. II, 1995).
………,.Dinamika Pemikiran Pesantren”,
IAIN Wali Songo Semarang.
Shihab, Alwi, Islam Inklusif,
Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan, cet. IX, 2001)
Tibi, Bassam, Islam, Kebudayaan
dan Perubahan sosial, terj. Misbah Zulfa Ellizabet dkk. ,(Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana, cet I, 1999)
Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan
Tradisi: Esai-Esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, cet. I, 2001)
Zaenab, Siti, Nyai, Kyai dan Pesantren, (Yogyakarta: Yayasan
Kesejahteraan Fatayat, 2002)
Zayd, Nasr Hamid Abu,
Dekonstruksi Gender; Kritik Wacana Perempuan dalam Islam, terj. Moch. Nur
Ichwan (Yogyakarta: Samha, 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar