(Oleh Ansari, S.H.I )
Guna
menunjang pemikiran dan pengembangan hukum Islam dalam kehidupan masyarakat
sekarang sudah saatnya hukum Islam dikembangkan melalui kerangka filsafat ilmu
dan kerangka sosiologi hukum dengan pendekatan sejarah sosial. Karena hukum
secara sosiologis merupakan refleksi tata nilai
yang diyakini masyarakat sebagai
suatu pranata dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini berarti bahwa muatan hukum
selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang
tumbuh dan berkembang, bukan
hanya bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi
perkembangan sosial, ekonomi dan politik
masa depan. Pemikiran di atas menunjukkan bahwa hukum bukan sekedar norma
statis yang yang mengutamakan kepastian dan ketertiban, melainkan juga norma-norma yang harus mampu mendinamisasikan
pemikiran dan merekayasa perilaku masyarakat dalam mencapai cita-citanya.
Ahli
hukum Islam mendefinisikan hukum Islam dalam dua sisi, yaitu hukum Islam
sebagai ilmu dan hukum Islam sebagai produk ilmu. Sisi terakhir ini hukum Islam
disebut dengan kumpulan hukum-hukum syara’ yang dihasilkan melalui ijtihad.
Hukum Islam sebagai ilmu didefinisikan sebagai ilmu yang mengupayakan lahirnya
hukum syara’ amali dari dalil-dalil rinci. Pengertian hukum Islam sebagai ilmu
ini mengandung unsur hukum Islam sebagai ilmu.
Hukum
Islam sebagai ilmu dibuktikan dengan karakteristik keilmuan, yaitu bahwa hukum
Islam (1) dihasilkan dari akumulasi pengetahuan-pengetahuan yang tersusun
melalui asas-asas tertentu, (2) pengetahuan-pengetahuan itu terjaring dalam
suatu kesatuan sistem, dan (3) mempunyai metode-metode tertentu.
Pengetahuan-pengetahuan
dalam hukum Islam meliputi pengetahuan tentang dalil (nas-nas), perintah dan
larangan, dan lain-lain. Pengetahuan-pengetahuan ini diakumulasikan melalui
asas-asas tertentu sehingga tersusun baik. Asas-asas dimaksud misalnya asas
tasyri’ bertahap, sedikitnya tuntutan syara’, dan meniadakan kesulitan.
Pengetahuan-pengetahuan tersebut dapat diakumulasikan dan disusun dengan baik
karena setiap pengetahuan satu sama lain terkait secara fungsional dalam suatu
sstem tertentu. Karakteristik selanjutnya dari hukum Islam sebagai ilmu ialah
adanya metode-metode tertentu dalam hukum Islam. Metode-metode tersebut
tertuang dalam usul fiqh dan qawa’id fiqhiyah yang dalam operasionalnya melipti
(1) Metode deduktif, yaitu metode penarikan kesimpulan khusus (mikro)
dari dalil-dalil umum.Metode ini dipakai untuk menjabarkan atau
menginterpretasikan dalil-dalil Al-Quran dan Hadis menjadi masalah-masalah usul
fiqh.(2) Metode induktif, adalah metode pengambilan kesimpulan umum yang
dihasilkan dari fakta-fakta khusus. Kesimpulan dimaksud adalah kesimpulan hukum
atas suatu masalah yang memang tidak disebutkan rincian ketentuannya dalam nas
Al-Quran dan Hadis.(3) Metode genetika, adalah metode penelusuran titik
mangsa dalam mengetahui latar belakang terbitnya suatu nas dan kualitas nas.
Metode ini menggunakan pendekatan historis., dan (4) metode dialektika,
yaitu suatu metode yang menggunakan penalaran melalui pertanyaan-pertanyaan
atau pernyataan-pernyataan yang bersifat tesa(tesis-tesis) dan anti tesis.
Kedua pernyataan (tesa dan anti tesa) tersebut kemudian didiskusikan dengan
prinsip-prinsip logika yang logis untuk memperoleh kesimpulan ( sebagai tesa
akhir).
Dari
karakteristik hukum Islam sebagai ilmu di atas menunjukkan bahwa apapun yang
dihasilkan hukum Islam adalah produk penalaran yang berarti pula menerima konsekuensi-konsekuensinya
sebagai ilmu. Di antara konsekuensi-konsekuensi itu adalah (1) Hukum Islam
sebagai ilmu adalah skeptis, (2) hukum Islam sebagai ilmu bersedia untuk
diuji dan dikaji ulang, dan (3) hukum Islam sebagai ilmu tidak kebal
kritik.
Skeptisitas
hukum Islam sebagai ilmu berarti bahwa pernyataan-pernyataan atau
keputusan-keputusan yang dihasilkan hukum Islam melalui metode dan
pendekatan-pendekatannya hanya bernilai relatif. Kapasitas nilai nisbi adalah
mendekati kebenaran ajeg, jadi artinya kapasitas kerelatifan adalah kebenaran
nisbi, yaitu suatu kebenaran yang dihasilkan ijtihad.
Pengertian
tersebut menunjukkan bahwa ijtihad adalah perjuangan(upaya) memperoleh
kepastian hukum dari dalil-dalil. Berarti ijtihad adalah bukan hanya perjuangan
memahami nas saja, sementara ada masalah-masalah yang tidak tercakup dalam nas
karena terjadinya perubahan dan perkembangan peradaban manusia. Kondisi inilah
yang disinyalir oleh al-Syahrastani dengan menyatakan bahwa nas-nas boleh jadi
terhenti, sedangkan peristiwa-peristiwa hukum tak pernah berhenti, sesuatu yang
tidak berhenti tidak diatur oleh sesuatu yang terhenti.
Skeptisitas
hukum Islam seperti disebutkan di atas jelas memberi peluang dikaji ulang. Artinya, kesimpulan-kesimpulan
hukum Islam bersedia untuk diuji. Misalnya pengujian dan pengkajian ulang
terhadap kesimpulan hukum Islam yang dihasilkan dari metode induktif
(istiqra’i) yang pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam menentukan waktu
lamanya menstruasi bagi wanita. Ada kemungkinan generalisasi al-Syafi’i terhadap seluruh wanita berdasarkan sampel
wanita Mesir tidak tepat sebab fisik dan genetik manusia di dunia ini tidak
sama, apalagi bila bioteknologi ikut campur tangan. Akibatnya, kemungkinan bias
dari sample yang ditetapkannya adalah tidak mustahil. Oleh karena itu, tetap
berpeluang terhadap masalah ini untuk dilakukan eksperimen. Demikian pula
kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan oleh metode analogi, bersedia
untuk diuji dan dikaji ulang karena analogi berfokus pada kategori yang kriterianya
nisbi.
Konsekuensi
lebih lanjut dari hukum Islam sebagai ilmu adalah bahwa hasil-hasil kajian dan
metode hukum Islam tidak kebal kritik. Artinya, ketetapan menggunakan metode
dan pendekatan tertentu terhadap suatu masalah dan alasan-alasan tertentu
terhadap suatu keputusan terbuka untuk dikritik. Upaya kritik ini dapat
dilakukan melalui studi perbandingan mazhab, tarjih dan tashih. Konsekuensi
inilah yang menunjukkan bahwa suatu pemikiran hukum Islam bisa jadi benar,
tetapi ada kemungkinan salah. Terhadap adanya kemungkinan benar dan salah
inilah yang memberi peluang untuk dilakukan kritik.
Dari
posisi hukum Islam sebagai ilmu dengan karakteristik, metode-metode, dan
konsekuensi-konsekuensinya seperti tersebut di atas, dapat dipahami bahwa
kitab-kitab fiqh yang disusun oleh ulama-ulama fiqh, di samping
masalah-masalahnya yang menyangkut masalah-masalah furu’iyah fiqhiyah, juga
sebagai hasil ilmu. Sebagai hasil ilmu tentu mempunyai konsekuensi-konsekuensi
tertentu, yaitu bersifat skeptis, bersedia dkaji dan duji ulang, dan tidak
kebal kritik. Dengan kata lain, Hasil-hasil hukum Islam sebagai ilmu yang
termuat dalam kitab-kitab fiqh itu adalah komoditas informasi yang menunjukkan
bahwa para ulama telah membahas masalah fiqhiyah. Dengan konsekuensi-konsekuensi
tersebut juga menunjukkan bahwa hukum Islam tidak pernah berhenti melakukan
tugasnya, bahwa dengan konsekuensi-konsekuensi itu pula hukum Islam
berkemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan situasi dan kondisi
kehidupan manusia, atau menjadi motivasi lahirnya pembaruan peradaban manusia
dan konsep-konsepnya yang prospektif.
Di samping problema-problema akademik hukum Islam
sebagai ilmu di atas, upaya mencari solusi
dan merumuskan metodologi studi dan pemikiran hukum Islam yang
komprehensif yang merupakan kerangka dasar pemikiran hukum Islam , juga sudah
saatnya studi hukum Islam dewasa ini dikembangkan melalui kerangka sosiologi
hukum. Karena itu pula masalah yang dikaji terhadap hukum Islam dengan kerangka
sosiologi adalah (1) faktor-faktor sosial, politik, dan kultural apa yang
melatarbelakangi munculnya suatu hukum Islam itu, (2) bagaimana dampak
ketetapan hukum Islam itu terhadap masyarakat. Kedua aspek tersebut adalah
wilayah kajian sosiologi. Sedangkan pendekatan historisnya adalah dalam rentang
waktu kapan suatu ketetapan hukum Islam itu lahir.
Sedikitnya
ada lima produk pemikiran hukum Islam yang dikenal kaum muslimin dalam sejarah, yaitu
kitab-kitab fiqh, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan, peraturan
perundang-undangan dan kompilasi hukum Islam. Kelima produk pemikiran hukum
Islam tersebut dalam kaitan dengan upaya mereaktualisasikan hukum Islam, perlu
diletakkan pada proporsi yang seharusnya. Proporsi yang dimaksud adalah sebagaimana
dikemukakan oleh N.J. Coulson (1969) bahwa pemikiran hukum Islam tersebut
hendaklah diletakkan dan dipahami sebagai produk pemikiran serta diposisikan
pada keenam pasangan pilihan tarik-menarik yaitu antara kesatuan dan
keragaman, antara universalisme dan partikularisme, antara wahyu dan akal,
antara kemapanan dan perubahan, antara idealisme dan realisme, dan antara
otoritarianisme dan liberalisme.
Dengan
demikian jelaslah bahwa hukum Islam hendaklah dipahami sebagai upaya, hasil
interaksi penerjemahan antara wahyu dan respon yuris muslim terhadap persoalan
sosio-politik, sosio-kultural yang dihadapinya. Karena itu, jika hukum Islam
tersebut tidak lagi responsif terhadap berbagai persoalan umat yang muncul
karena perubahan zaman, hukum Islam tersebut harus direvisi, diperbarui, bahkan
kalau mungkin diganti dengan hukum Islam yang baru sama sekali. Hal ini
menunjukkan bahwa perubahan masa atau
perubahan sosial merupakan salah satu faktor yang menuntut adanya perubahan
hukum.
Kerangka
pemikiran di atas, merupakan pendekatan alternatif dalam studi dan pemikiran
hukum Islam. Dalam kaitan inilah mempergunakan kerangka pendekatan sejarah
sosial dan sosiologis terhadap hukum Islam menjadi signifikan. Yang dimaksud
dengan pendekatan sejarah sosial (social history) dalam pemikiran dan
studi hukum Islam dalam konteks ini adalah bahwa setiap produk pemikiran hukum
Islam pada dasarnya merupakan hasil interaksi si pemikir hukum Islam dengan
lingkungan sosio-kultural atau sosio-politik yang mengitarinya. Oleh karena itu
produk pemikirannya itu sebenarnya bergantung kepada lingkungannya itu.
Pendekatan ini memeperkuat alasan kenyataan sejarah yang menunjukkan bahwa produk-produk
pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnya tidak lebih
dari pada hasil interaksi tersebut. Pendekatan sejarah sosial ini penting
artinya karena (1) untuk meletakkan
produk pemikiran hukum Islam pada tempat yang proporsional, dan (2) untuk
memberikan keberanian kepada para pemikir
hukum Islam agar tidak ragu-ragu, bila merasa perlu melakukan perubahan
suatu produk pemikiran hukum karena sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam
di berbagai penjuru dunia telah melakukannya tanpa sedikitpun merasa keluar
dari hukum Islam. Pendekatan sejarah sosial berfungsi menelusuri bukti-bukti
sejarah itu dan sebagian dari
bukti-bukti itu adalah adanya pengaruh faktor lingkungan sosial budaya dalam
kitab-kitab fiqh, aturan perundang-undangan negeri-negeri muslim, keputusan
pengadilan dan fatwa-fatwa ulama.
Berdasarkan
kerangka acuan di atas, dapat dikemukakan bahwa dari kenyataan sejarah hukum
Islam ternyata faktor sosial budaya mempunyai pengaruh penting dalam mewarnai
produk-produk pemikiran hukum Islam, baik berbentuk kitab fiqh, peraturan
perundang-undangan di negeri muslim, keputusan pengadilan, maupun fatwa-fatwa
ulama. Oleh karena itu, apa yang disebut hukum Islam itu dalam kenyataan
sebenarnya adalah produk pemikiran hukum Islam yang merupakan hasil interaksi
antara yuris muslim sebagai pemikir dengan lingkungan sosialnya. Meskipun
Al-Quran dan Hadis mempunyai aturan yang bersifat hukum , tetapi jumlahnya amat
sedikit dibanding dengan jumlah persoalan hidup yang memerlukan ketentuan
hukumnya. Untuk mengsisi kekurangan itu, para yuris muslim telah menggunakan
akalnya dan hasilnya adalah produk pemikiran hukum yang ada sekarang ini. Apa
warna atau bagaimana dinamika produk pemikiran hukum itu akan tergantung kepada
keberanian para pemikir hukum Islam yang ada sekarang ini.
Setelah
dijelaskan pendekatan sejarah sosial dalam studi dan pemikiran hukum Islam di
atas, kemudian penedekatan sosiologis. Yang dimaksud dengan pendekatan
sosiologis dalam studi dan pemikiran
hukum Islam adalah mempelajari faktor-faktor sosial, politik, dan kultural apa
yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk pemikiran hukum Islam, dan
bagaimana dampak produk pemikiran hukum Islam itu terhadap masyarakat.
Studi
hukum sosiologis pada dasarnya merupakan aktivitas yang belum lama dilakukan
oleh para ahli hukum, tetapi pernyataan ini tidak bermaksud untuk menutupi
pemikiran dan studi yang telah ada mengenai hukum dalam masyarakat. Dalam
hubungan ini, Alan Hunt menyatakan bahwa kegiatan studi secara sosiologis
terhadap hukum dapat dikenali sebagai kecenderungan intelektual yang muncul
pada akhir abad ke-19, dan dapat diikuti sampai pada sosiologi modern, studi
ini juga mempunyai ciri-ciri yang dapat dipergunakan dalam ilmu hukum
kontinental dan dalam teori-teori politik yang menempatkan analisis hukum dalam
konteks social.
Studi Hukum dengan Pendekatan Sosiologis
Sehubungan
dengan studi hukum sosiologis, Roscou Pound menyatakan bahwa di Benua Eropa
dalam abad sekarang telah tumbuh suatu cabang sosiologi yang dinamakan sosiologi
hukum (Sociology of Law), sedangkan di Amerika Serikat telah tumbuh suatu ilmu
hukum sosiologi (Sociological Jurisprudence) (Gurvitch,1963:7). Dengan
demikian, studi hukum sosiologis terdapat dua bentuk, yaitu di satu pihak ada sosiologi
hukum (Sociology of Law), dan di
lain pihak ada ilmu hukum sosiologis (Sociological Jurisprudence).
Adanya
dua bentuk studi hukum sosiologis yang dibangun dan tumbuh dari dua disiplin
ilmu yang berbeda, sudah tentu mempunyai orientasi yang berbeda dengan corak yang
berbeda pula. Untuk melihat pendekatan sosiologis yang dikemukakan dan mungkin
dilakukan terhadap hukum Islam, kedua bentuk studi hukum sosiologis tersebut
perlu dijelaskan.
Pemikiran
dan studi hukum sosiologis model ilmu hukum sosiologis (Sociological
Jurisprudence) tumbuh dan berkembang di Amerika Serikat yang dipelopori
oleh antara Roscou Pound dan Eugen Ehrlich yang berakar dan tumbuh dari tradisi
ilmu hukum. Basis intelektual dari ilmu hukum sosiologis ini secara eksplisit
berorientasi pada filsafat pragmatisme dengan menekankan pentingnya persoalan
praktis. Tema-tema studi hukum sosiologis model ilmu hukum sosiologis adalah
antara lain efektivitas hukum, dampak sosial hukum, dan studi sejarah hukum
sosiologis, dengan menggunakan konsep hukum sebagai lembaga dan doktrin yang
dirumuskan dalam undang-undang.
Sedangkan
studi hukum sosiologis model sosiologi hukum (Sociology of Law) tumbuh
dan berkembang di Benua Erofa, serta dipelopori oleh Emile Durkheim dan Max
Weber yang berakar dari tradisi sosiologi. Basis intelektual dari sosiologi
hukum dengan semata-mata dengan persoalan teoritis. Tema-tema pemikiran atau
studi hukum sosiologis model sosiologi hukum (Sociology of Law) antara
lain adalah identifikasi hukum dari dan
sebagai gejala sosial, dan juga menganalisis hubungan hukum dengan gejala
sosial lainnya, terutama sekali masalah solidaritas dan system hukum. Dengan
demikian, yang menjadi pokok bahasan studi hukum sosiologis model sosiologi
hukum ini adalah masalah identifikasi hukum dan hubungan hukum dengan
gejala-gejala sosial lainnya.
Basis
intelektual dan tema-tema baik studi hukum soaiologis model ilmu hukum
sosiologis maupun model sosiologi hukum jika dikaitkan dengan kerangka dan
tema-tema studi hukum Islam sosiologis adalah dapat mengkombinasikan studi hukum sosiologis model ilmu hukum sosiologis
dan model sosiologi hukum. Hal ini dapat dicermati baik berdasarkan kerangka
dasar berpikir, basis intelektual maupun tema-tema yang mungkin dilakukan untuk
studi hukum Islam pada masa mendatang.
Hukum
hendaklah dipahami sebagai refleksi tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai
pranata dalam kehidupan masyarakat. Hal ini berarti muatan hukum selayaknya
mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya
yang brsifat kekinian, malainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi
perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan. Pemikiran ini
menunjukkan bahwa hukum Islam bukan sekedar norma statis yang mengutamakan
kepastian dan ketertiban, melainkan juga
norma-norma yang harus mampu mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa perilaku
masyarakat dalam mencapai cita-citanya.
Pengembangan
hukum Islam pada masa mendatang akan sangat dipengaruhi bagaimana hukum Islam
dikembangkan dengan kerangka filsafat ilmu. Hukum Islam sebagai ilmu mempunyai
karakteristik keilmuan yang dihasilkan dari akumulasi pengetahuan-pengetahuan
yang tersusun melalui asas-asas tertentu, pengetahuan-pengetahuan tersebut
terjaring dalam satu kesatuan sistem, dan mempunyai metode-metode tertentu.
Dari karakteristik hukum Islam sebagai ilmu tersebut memperlihatkan bahwa apapun
yang dihasilkan dari hukum Islam adalah suatu produk penalaran yang berarti
pula menerima konsekuensi-kosekuensinya sebagai ilmu. Di antara
konsekuensi-konsekuensi itu adalah bahwa hukum Islam sebagai ilmu adalah
skeptis, hukum Islam sebagai ilmu terbuka untuk dikaji ulang dan diuji, dan
hukum Islam sebagai ilmu tidak kebal kritik.
Di
samping itu, untuk mengembangkan pemikiran dan studi hukum Islam dalam
kehidupan masyarakat pada masa yang akan datang, di samping studi normatif
selama ini, sudah saatnya dan sangat
urgen bagi para pakar hukum Islam
mempertimbangkan studi dan pemikiran hukum Islam dalam kerangka sosiologi dengan pendekatan
sejarah sosial. Yang dimaksud dengan kerangka sosiologi tersebut adalah dalam
studi dan pemikiran hukum Islam mempelajari faktor-faktor sosial, politik dan
kultural yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk hukum pemikiran hukum
Islam, dan bagaimana dampak produk pemikiran hukum Islam tersebut terhadap
masyarakat. Sedangkan pendekatan sejarah sosial dalam pemikiran dan studi hukum
Islam adalah bahwa setiap produk pemikiran hukum Islam pada dasarnya adalah hasil interaksi antara
si pemikir hukum dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politik yang
mengitarinya. Oleh karena itu produk pemikirannya tergantung kepada lingkungannya.
Dengan demikian jelaslah bahwa hukum Islam hendaklah dipahami sebagai upaya,
hasil interaksi penerjemahan ajaran wahyu dan respon yuris muslim terhadap
persoalan sosio-politik, sosio-kultural yang dihadapinya. Karena itu, jika
hukum Islam tersebut tidak lagi responsif terhadap berbagai persoalan umat yang
muncul karena perubahan zaman, hukum Islam tersebut harus direvisi, diperbarui,
bahkan kalau mungkin diganti dengan hukum Islam yang baru sama sekali.
Untuk menghasilkan hukum Islam yang
responsif terhadap berbagai persoalan umat seperti yang dimaksud di atas, sudah
tentu tidak dapat dilepaskan dari kajian dan peranan usul al-fiqh. Secara
bahasa, usul merupakan bentuk jamak dari aslun yang berarti
dasar-dasar, pokok-pokok, ataupun landasan-landasan; sedangkan fiqh arti
dasarnya fahm, pemahaman. Dengan demikian secara etimologis usul
al-fiqh dapat diartikan sebagai dasar-dasar pemahaman ajaran Islam.
Berangkat dari pengertian etimologis ini dapat dipahami bahwa usul al-fiqh
merupakan suatu ilmu yang mempelajari dasar-dasar, metode-metode,
pendekatan-pendekatan, dan teori-teori yang digunakan dalam memahami ajaran
Islam. Hal ini berarti menempatkan usul al-fiqh pada posisi sentral dalam studi
keislaman dan seringkali disebut sebagai the queen of Islamic sciences
(Minhaji,1999:15). Dalam bahasa Taha
Jabir al-Alwani, “ usul al-fiqh is rightly considered to be the most
important method of research ever devised by Muslim Thought. Indeed, as the
solid foundation upon which all Islamic disciplines are based, usul al-fiqh not
only benefited Islamic civilization but contributed to the intellectual
enrichment of world civilization as a whole. Jika begitu, semua sarjana
yang menggeluti studi Islam diharapkan mempunyai bekal cukup, paling tidak
mengenal prinsip-prinsip dasar yang dibahas dalam usul al-fiqh, satu ilmu yang
sudah ada sejak masa awal Islam. Sebab, melalui usul al-fiqh para sarjana akan mengetahui, misalnya, bagaimana memahami
Alquran, al-Sunnah, bagaimana jika terjadi pertentangan (ta’arud) antara
kedua sumber tersebut, dan bagaimana pula menyelesaikan persoalan kontemporer
sesuai dengan tuntutan masa dengan tetap berlandaskan ajaran wahyu melalui
proses dan mekanisme ijtihad.
Memang
harus diakui, bahwa selama ini usul al-fiqh hanya selalu dikaitkan dengan persoalan hukum Islam, dan seolah-olah
disiplin ilmu di luar hukum Islam tidak
memerlukan usul al-fiqh. Hal ini terjadi karena beberapa hal; pertama, Syafi’i
seringkali dinobatkan sebagai pendiri usul al-fiqh, sedangkan ia sendiri
dikenal sebagai ahli hukum Islam (fiqh). Kedua, hukum Islam dipandang sebagai
salah satu ajaran pokok dalam Islam-sebagian sarjana mengatakan sebagai ajaran paling inti bahkan pada masa
awal Islam istilah ulama’ identik dengan fuqaha’. Ketiga pada masa pra-modern
hukum Islam, terutama yang terkait dengan persoalan mazhab, dipandang bertanggung jawab atas kemunduran
umat Islam. Karena itu, segala sesuatu yang terkait dengan hukum Islam
(termasuk usul al-fiqh) dipandang sebelah mata oleh mereka yang menggeluti
kajian di luar hukum Islam.
Model-model
Studi Usul al-Fiqh Kontemporer
Sebagai
agama, Islam mendasarkan segala ajarannya kepada wahyu ilahi yang tertuang di
dalam Alquran yang disampaikan dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad sebagaimana
tertuang dalam hadis atau sunnah. Karena itu,
secara doktriner-normatif, setiap individu muslim harus
mendasarkan segala aktifitas hidupnya pada Alquran dan Hadis yang dikenal sebagai sumber ajaran
yang telah disepakati, dan ini merupakan salah satu bagian terpenting dalam
ajaran keimanan Islam. Atas dasar ini wajar jika model-model berpikir deduktif
(pemikiran yang lebih bernuansa atas-bawah) cukup mendominasi dalam menjelaskan
ajaran-ajaran Islam seperti seringkali tergambar dalam ceramah-ceramah dan
karya-karya keagamaan. Biasanya,
pembahasan yang ada dimulai dengan mengutip satu Ayat atau Sunnah Nabi dan dijelaskan arti, makna, dan maksudnya dan ilustrasi lain yang terkait. Tidak
jarang, penjelasan model demikian
terlepas dari realitas sosial yang dihadapi umat. Penerapan al-qawa’id al-usuliyyah dan al-qawa’id al-fiqliyyah merupakan
contoh lain dari model berpikir doktriner deduktif tersebut. Itulah model
pendekatan pertama dalam usul al-fiqh.
Pada waktu yang sama, model empiris-historis-induktif,
sebagai model pendekatan kedua dari usul al-fiqh, juga dibutuhkan dalam rangka
menjelaskan sekaligus menjawab persoalan-persoalan hukum atau lainnya.
Sebab, walaupun umat Islam meyakini
bahwa ayat-ayat Alquran (dan juga
Hadis-hadis Nabi yang sahih) mengandung kebenaran mutlak karena datang dari
yang absolut dan mutlak (Allah) namun pemahaman terhadap ayat-ayat Alquran tidaklah bersifat absolut tetapi relatif
sesuai dengan sifat relatif manusia itu
sendiri. Sifat relatif ini meruakan ciri
pokok dari aktifitas ilmu sosial yang dikenal saat ini. Karena itu, guna
mendapatkan pemahaman ayat-ayat Alquran yang, paling tidak, mendekati kepada
yang dikehendaki Allah maka diperlukan model-model berpikir induktif
sebagaimana dikenal dalam penelitian-penelitian sosial. Model kedua ini memaksa
si pemikir untuk melihat realitas sosial yang berkembang di tengah-tengah
masyarakat dilanjutkan dengan mengidentifikasi masalah sekaligus menawarkan
alternatif solusi yang dibutuhkan.
Dua model pendekatan usul al-fiqh di
atas dapat dijelaskan melalui contoh
berikut. Salah satu pembahasan pokok
dalam usul al-fiqh adalah tentang
masadir al-tasyri’ al-islami (sumber-sumber penetapan ajaran Islam).
Jika mengikuti pola Syafi’i, sumber ajaran
itu terdiri dari Alquran, Sunnah, ijma’,
dan qiyas, atau jika mengikuti pola
Mahmud Syaltut adalah Alquran, Sunnah, dan ijtihad (al-ra’y wa
al-nazar). Secara doktriner-normatif-deduktif kita menerima sumber-sumber
tersebut, apalagi sumber pertama dan
kedua. Namun bagaimana memahami Alquran, memahami Sunnah, hubungan antara keduanya apalagi jika terjadi pertentangan dalil (ta’arud),
sejarah munculnya ijma’, sebagaimana
proses ijtihad dan bagaimana pula memahami hasil-hasil ijtihad itu sendiri, semua
itu membutuhkan penelitian yang mendalam menyangkut persoalan-persoalan seputar
dalil dan hal-hal yang berkaitan dengan proses ijtihad tersebut; dan di sinilah
model pendekatan
doktriner-normatif-deduktif tidak lagi cukup dan harus dikombinasikan
dengan model pendekatan kedua, empiris-historis-induktif. Model pemahaman
Alquran Abu Ishaq al-Syatibi, double movement-nya Fazlur Rahman, konsep nasakh
model Mahmoud Muhammad Taha, Pendekatan yang diperkenalkan Ali Syari’ati,
ijtihad intiqa’i dan insya’i yang ditawarkan Yusuf al-Qardlawi, teori
batas (Theory of limits, hudud) yang diajukan Muhammad Syahrur,
semuanya melibatkan kedua model pendekatan usul al-fiqh di atas.
DAFTAR
PUSTAKA
Afif,
Abdul Wahab. 1991. Fiqh (Hukum Islam ) antara Pemikiran Teoritis dengan Praktis. Bandung: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Gunung Djati.
Ahmad,
Amrullah dkk (Ed.). 1996. Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Th
Prof.Dr.H. Bustanul Arifin, SH. Jakarta: Gema Insani Press.
Alwani, Taha
Jabir al-.1994. Source Methodology in Islamic Jurisprudence (Usul al-Fiqh al
Islami), A New Revised English
Edition by Yusuf Talal DeLorenzo dan Anas S. Al Shaikh-Ali. Herndon, Virginia
USA : International Institute of Islamic Thought.
Coulson,
N.J. 1969. Conflicts and Tensions in
Islamic Jurisprudence. Chicago dan London: the University of Chicago Press.
Gurvitch,
George. Sosiologi Hukum. Alih bahasa Sumantri Mertodipuro, 1963.
Jakarta: Bhratara.
Hunt,
Alan. 1978. The Sociological Movement in Law. Philadelphia: Temple
University Press.
Khallaf,
Abdul Wahhab.Tanpa Tahun. Ilm Usul al-Fiqh. Mesir : Maktabah ad-Dakwah.
Manan,
Abdul.2006.Reformasi Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Minhaji,
Akh..1999. “ Reorientasi Kajian Ushul Fiqh “ dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies State Institute of Islamic
Studies (IAIN) Sunan Kalijaga Jogjakarta Indonesia No.63/VI/1999, hlm.15-17.
Mu’allim,
Amir dan
Yusdani. 1999. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta :
UII-Press.
Mudzhar,
M. Atho.1993. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia : Sebuah Studi Hukum Islam
di Indonesia 1975-1988. Disertasi pada UCLA Terj.Soedarso Soekarno dari
judul Bahasa Inggris Fatwas of The Council of Indonesian Ulama : A Study of
Islamic Legal Thought in Indonesia
1975-1988. Edisi Dwibahasa (Indonesia dan Inggris ). Jakarta :INIS.
----------.
1998a. Pendekatan Studi Islam dalam
Teori dan Praktek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
----------.1998b.
Membaca Gelombang Ijtihad antara
Tradisi dan Liberasi. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
----------.1999.
Studi Hukum Islam dengan Pendekatan
Sosiologi, Pidato Pengukuhan Guru
Besar Guru Besar Madya Ilmu Sosiologi Hukum Islam, 15 September 1999. Yogyakarta : IAIN Sunan
Kalijaga.
Nasuha,
A. Ghozin.1989. “ Epistemologi Kitab Kuning”. Pesantren. Tahun l Vol.
VI. Jakarta : P3M, hlm.16
Rahman,
Fazlur.1970. Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law : Shaikh
Yamani on Public Interest in Islamic Law. International Law and Politic.
----------.1980.
Major Themes of the Quran. Chicago : Bibliotheca Islamic.
Soekanto,
Soerjono.1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum dalam Masyarakat.
Jakarta: C.V. Rajawali.
Syahrastani,
asy-. Tanpa Tahun. Al-Milal wa an-Nihal.
Beirut : Dar al-Fikr.
Taneko,
Soleman B. 1990. Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi
Pembangunan. Jakarta : Rajawali.
----------.1993.
Pokok-pokok Studi Hukum dalam
Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wahjono,
Padmo.1996. “Budaya Hukum Islam dalam Perspektif Hukum di Indonesia Masa
Datang, dalam Amrullah ahmad dkk (Ed.) Dimensi Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Nasional Mengenang 65 TH Prof. Dr. H. Busthanul Arifin SH. Jakarta :
Gema Insani Press. Hlm.167-176.
Yusdani.
2000. Peranan Kepentingan Umum Dalam Reaktualisasi Hukum : Kajian Hukum
Islam Najamuddin At-Tufi. Yogyakarta : UII-Press.
Zahrah,
Muhammad Abu. Tanpa Tahun.Usul al-Fiqh. Mesir : Darul Fikr al-Arabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar