Rekonstruksi Definisi Sunnah
Sebagai Pijakan Kontekstualitas
Ansari
Jurusan Al Ahwal Asyah Siyah
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Pendahuuan
Permasalahan-permasalahan
yang ada sekarang ini tentunya berbeda dengan permasalahan pada masa dulu. Oleh
karena itu problem-problem baru sekarang tentunya membutuhkan metode dan konsep
yang baru juga, yang tidak dapat diselesaikan dengan sebagian seperangkat
metode klasik. Hal ini, diperkuat oleh pernyataan Amin Abdullah yang mengatakan
bahwa perubahan situasi social politik, budaya, ilmu pengetahuan dan revolusi
informasi turut memberi andil dalam usaha memaknai kembali teks-teks keagamaan.
Pada abad ke-2
dan ke-3 hijriyah keberadaan sahabat, tabi’in dan tabi’ al tabi’in yang
mengerti secara persis bagaimana cara hidup dan perilaku Nabi amatlah langka,
serta banyaknya hadits palsu yang muncul, mendorong generasi-generasi
intelektual pada masa itu untuk membuat teori, konsep dan metode guna
menyeleksi hadits-hadits yang dapat dipastikan dari Nabi dan yang bukan dari
Nabi. Proses ini yang sering kali diabaikan oleh sebagian umat islam. Kenyataan
ini dibuktikan dengan pernyataan sebagian tokoh intelektual muslim yang
melarang adanya kritik terhadap hadits-hadits yang sudah dibukukan pada masa
kodifikasi.
Fazlurrahman
mengemukakan sebuah teori perkembangan hadits. Dalam perkembangannya, hadits
mengalami tiga fase, informal, semiformal dan formal. Sunnah pada fase informal
terjadi pada masa Nabi masih hidup, pembicaraan perihal Nabi hanyalah bagian
dari peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari para sahabat. Proses
periwayatan (transmisi verbal) tentang Nabi bukanlah suatu kesengajaan untuk
sebuah orientasi praktis.
Fase semiformal
terjadi setalah Nabi wafat, tepatnya pada masa sahabat dan tabi’in senior. Pada
fase ini, penyebaran hadits Nabi mempunyai tujuan praktis, yakni sesuatu yang
dapat dikembangkan menjadi praktek masyarakat muslim, peyebaran hadits menjadi
sebuah kesengajaan. Dampak dari perkembangan hadits secara semiformal adalah
munculnya perbedaan praktek yang aktual di berbagai daerah dalam imperium
islam, bahkan terkadang saling bertentangan.
Fase formal.
Fase ini menuntut adanya keseragaman dan standarisasi di seluruh Dunia Islam.
Gerakan ini, dipelopori oleh al Syafi’i yang mempunyai tujuan menjaga
stabilitas hukum dan menumbangkan hadits-hadits palsu yang pada waktu itu
merajalela. Melalui kajian ini diharapkan pemahaman terhadap hadits Nabi yang
kaku, baku dan tekstual kembali semula menjadi sunnah yang luwes, lentur, dan
kontekstual, dengan begitu baik hadits maupun sunnah akan selalu eksis dan shalih
li kulli zaman wa makan.
Hadits dan Sunnah dalam Perspektif Pemikir Klasik-Kontemporer
a.
Definisi Hadits.
Kata ‘hadits’
disebutkan dalam al Quran sebanyak 28 kali dengan rincian 23 kali dalam bentuk
mufrad dan 5 kali dalam bentuk jama’. Kata ‘hadits’ dalam al Quran maupun
kitab-kitab hadits secara literal mempunyai beberapa arti:
a.
Komunikasi religius,
pesan atau al Quran. Sebagaimana yang tercantum dalam surat al Zumar ayat 23.
b.
Cerita duniawi
atau kejadian alam yang wajar, sebagaimana yang tercantum dalam surat al An’am
ayat 68.
c.
Cerita sejarah,
sebagaimana yang tercantum dalam surat Taha ayat 9.
d.
Rahasia,
percakapan atau cerita yang masih hangat, sebagaimana yang tercantum dalam
surat al Tahrim ayat 3.
Dari
keempat makna yang telah dikemukakan tadi, semuanya terangkum dalam pengertian
cerita dan percakapan. Ignaz Goldziher mengatakan bahwa hadits secara literal
mempunyai makna lebih dari satu, yaitu tale (kisah atau cerita), communication
(berita atau kabar), historical information (informasi sejarah), baik
bersifat sekuler (duniawi) maupun religious (keagamaan), baik berhubungan
dengan peristiwa yang sudah lampau maupun yang baru saja terjadi.
Hadits mempunyai
makna segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi, baik berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan serta sifat-sifat fisik dan suri tauladan Nabi. Istilah sunnah.
Berdasarkan definisi tersebut, bentuk-bentuk hadits dapat dibedakan menjadi
empat :
a.
sabda,
b.
perbuatan,
c.
taqrir,
d.
hal ihwal Nabi,
yaitu segala sifat dan keadaan beliau.
Menurut
Nuruddin ‘Itr, definisi tersebut masih dirasa kurang sempurna, karena dalam
kitab-kitab hadits banyak dijumpai perkataan-perkataan yang tidak bersumber
dari Nabi, melainkan dari sahabat dan tabi’in.
Hadits sering
juga disinonimkan dengan khabar dan atsar. Al Shahrawy mengatakan bahwa
sebagian ulama masih menganggap hadits sama dengan khabar sebagai apa saja yang
disandarkan kepada Nabi atau selain Nabi. Sementara itu, ada sebagian kelompok
ulama yang menyatakan bahwa khabar adalah sesuatu yang disandarkan kepada
selain Nabi. Dari sini, dapat dibedakan antara orang yang menekuni hadits dan
khabar. Orang yang mendalami bidang hadits disebut sebagai muhaddith, sedangkan
yang menekuni bidang sejarah atau sejenisnya disebut akhbari.
Maka dari itu
setiap haditsadalah khabar, dan tidak setiap khabar adalah hadits. ‘Ajaj al
Khatib menjelaskan bahwa atsar merupakan sinonim khabar, yakni segala sesuatu
yang disandarkan pada Nabi, sahabat dan tabi’in. Tetapi menurut Fuqaha
Khurasan, khabar adalah sinonim hadits, sedangkan atsar hanya terbatas pada
perkataan sahabat.
b.
Definisi Sunnah.
Sunnah secara
bahasa mempunyai beragam arti, yaitu mengalir atau berlalunya sesuatu dengan
mudah, jalan, tradisi, praktek yang diikuti, arah, model perilaku, ketentuan
dan juga dapat diartikan sebagai jalan tengah. Ketika Abu Hanifah menulis surat
kepada ‘Uthman al Batti, yang di dalamnya berisi keterangan mengenai
pendapatnya tentang seorang muslim yang melakukan dosa, sekaligus bantahan atas
pandangan kaum Khawarij tentang orang yang berbuat dosa.
Al Quran
menggunakan istilah sunnah untuk beberapa konteks, yang secara garis besar
berkenaan dengan dua hal.
a.
ketetapan
orang-orang terdahulu (sunnah al awwalin), yang dimaksud dalam
konteks ini adalah kejadian-kejadian yang menimpa mereka akibat dari
perbuatan yang telah mereka lakukan.
b.
ketetapan Allah
(sunnatullah) yang dimaksud disini adalah cara atau aturan Allah yang berlaku
bagi semua hambanya.
Mustafa Azami
yang mengatakan bahwa dalam kitab-kitab hadits, kata sunnah disebutkan tidak
kurang dari sepuluh redaksi hadits yang selalu berarti tata cara dan tingkah
laku hidup yang menjadi anutan.
Ulama ahli
hadits mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi,
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, karakteristik fisik dan etik, atau
sejarah, baik sebelum kenabian seperti khalwat Nabi di Gua Hira’. Sedangkan
ulama ahli usul atau ushuliyyun, memberikan pengertian sunnah sebagai segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi selain al Quran, berupa perkataan, perbuatan,
atau ketetapan yang menghasilkan dalil bagi hukum syariat. Di sisi lain, ulama
ahli fiqh mengartikan sunnah sebagai segala sesuatu yang telah ditetapkan Nabi,
yang tidak termasuk kategori fardhu atau wajib (Khatib, 1989: 19).
Terjadinya
perbedaan pandangan ulama dalam memaknai sunnah, dipengaruhi oleh perbedaan
sudut pandang mereka dalam memahami kedudukan Nabi Muhammad SAW. Ulama
muhadditsun memandang Nabi sebagai sosok pemimpin dan pemberi teladan yang
baik, sehingga wajar bila mereka mengambil apa saja yang berkaitan dengan Nabi.
Sedangkan ulama ushuliyyunmemandang Nabi sebagai sosok legislator syariah yang
menetapkan dasar-dasar hukum bagi mujtahid sesudah beliau dan yang menjelaskan
kaidah-kaidah hidup untuk manusia. Sehingga wajar bila ulama ushuliyyun hanya
memperhatikan sabda, perilaku dan persetujuan Nabi dalam konteks legislasi
hukum dan pengukuhannya.
Keterkaitan Makna Hadits dan Sunnah
Dalam
pembahasan sebelumnya, sebagian ulama berpendapat bahwa antara hadits dan
sunnah mempunyai makna yang sama. Tetapi penelusuran terhadap
literatur-literatur klasik akan menghasilkan temuan bahwa antara hadits dan
sunnah mempunyai makna dan penggunaan yang berbeda. Diantara mereka ada yang
menjadi pakar dalam sunnah, tetapi tidak dalam hadits. Dan diantara mereka ada
yang pakar di bidang hadits, tetapi tidak dalam sunnah.
Abu Yusuf dalam
salah satu statemenya mendesak agar mengikuti hadits yang memiliki kesesuaian
dengan al Quran dan sunnah. Ahmad ibnu Hanbal pernah mengatakan: “dalam hadits
ini terdapat lima sunnah”. Demikian juga ‘Aisyah ketika mengomentari hadits
tentang Barirah, beliau mengatakan: “dalam masalah Barirah terdapat tiga sunnah
(Hasan, 1994: 87). Subhi Saleh menulis bahwa ulama’ hadits terkadang
mengatakan: “hadits ini menyalahi qiyas, sunnah dan ijma’”. Dalam kaitan ini,
terdapat sebuah kitab yang berjudul al Sunnah bi Shawahid al Hadits, yang
mengupas tentang sunnah yang di dukung oleh hadits.
Menurut Hasbi,
hadits adalah segala sesuatu yang diceritakan oleh Nabi, sedangkan sunnah
adalah sesuatu yang telah biasa dilakukan oleh kaum muslimin sejak dahulu, baik
diceritakan ataupun tidak sedangkan hadits adalah hukum-hukum yang tetap dan
pasti yang diucapkan oleh Nabi.
Adapun sunnah
merupakan amaliyah yang terus menerus dilaksanakan Nabi beserta sahabatnya,
setelah itu dilakukan dan dilestarikan secara terus menerus oleh generasi
berikutnya. Sebagai konsekwensinya, sunnah mempunyai satu tingkat lebih tinggi
daripada hadits dari segi kekuatan hukumnya. Dengan dasar inilah mayoritas ahli
hadits menganggap tidak ada perbedaan antara hadits dan sunnah.
Fazlur Rahman
mendefinisikan hadits sebagai tradisi verbal, sedangkan sunnah sebagai tradisi
praktikal Dengan kata lain hadits merupakan bentuk verbal dari sebuah tradisi
praktikal Nabi, sahabat dan juga tabi’in. Satu-satunya karakteristik yang sama
antar keduanya adalah kedua pengetahuan tersebut berakar pada tradisi.
Perkembangan dan Evolusi Sunnah
a.
Perkembangan
Makna Sunnah.
Setelah Islam
datang, sunnah digunakan untuk menyebut segala sesuatu yang bersumber dari
perilaku-perilaku Nabi dan sahabat, juga idealitas sunnah orang Arab pra Islam
berakhir. Oleh Imam Syafi’i, sunnah hanya diartikan dan dibatasi pada sunnah
Rasul.
Gagasan
Goldziher tersebut ditentang oleh Azami. Menurut Azami, umat muslim mentaati
dan meneladani perilaku Nabi, dikarenakan mengikuti perintah Allah dan juga
rasulnya, dan bukan seperti halnya orang Arab yang menyembah berhala mentaati
tradisi nenek moyangnya. Maka dari itu ada pemisah antara sunnah masyarakat
jahiliyyah dengan sunnah masyarakat Islam, yaitu perintah Allah dan perintah
Rasulnya.
b.
Perkembangan
Makna Hadits
Pada akhirnya
hadits secara eksklusif digunakan untuk menunjukkan cerita-cerita tentang Nabi
Muhammad saw, hadits mengalami perubahan dan penyempitan arti dari konteks
umumnya menjadi khusus digunakan untuk perkataan yang bersumber dari Nabi.
Terjadinya pergeseran makna hadits ini menurut Azami disebabkan pada masa
permulaan kemunculan Islam. Sampai pada akhirnya, seiring dengan berjalannya
waktu, perkataan hadits menjadi khusus digunakan untuk segala informasi dan komunikasi
yang datang dari Nabi.
c.
Evolusi Sunnah
ke Hadits/Hadits ke Sunnah
Meskipun ada sebagian
ulama yang menegaskan tidak adanya perbedaan antara keduanya. Sunnah merupakan
sebuah bentuk perilaku yang bersifat situasional. Karena dalam prakteknya tidak
ada dua buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya, secara
moral, psikologis dan material. Maka dari itu sunnah harus dapat dikembangkan,
diinterpretasikan, dan diadaptasikan. Dalam hal ini sunnah dengan sendirinya
secara terus menerus mengalami evolusi dari generasi ke geneasi.
Gagasan mereka
ini berseberangan dengan Jaladuddin Rahmat, ia mengatakan bahwa yang beredar
pertama kali di kalangan kaum muslimin adalah hadits, bukan sunnah sebagaimana
yang telah diungkapkan oleh Fazlurrahman dan Ignaz. Asumsi ini didasari oleh
data historis bahwa ada sahabat yang menghafal dan menulis ucapan Nabi, hadits
sudah ada sejak masa Nabi hidup.
Kedua
model pemikiran diatas, sebenarnya bisa di kompromikan. Karena pada
kenyataannya tradisi hadits dan sunnah terjadi secara bersamaan. Dalam sebuah
riwayat yang disampaikan oleh Abu Hurairah, Nabi pernah memerintahkan salah
satu sahabat untuk menuliskan khutbah yang baru saja disampaikannya, atas
permohonan dari Abu Syah Kebutuhan terhadap formulasi sunnah Nabi, termasuk
‘sunnah yang hidup’ ke dalam bentuk hadits menjadi suatu kebutuhan yang sangat
mendesak dan mendasar. Karena dalam jangka panjang struktur ideology-religious
masyarakat muslim akan terancam kekacaun tak berujung jika tidak ada pangkal
rujukan yang otoritatif. Pada tahap ini muncullah gerakan baru yang dipelopori
oleh Imam Syafi’i yang menyebarkan dogma bahwa sunnah yang harus dipegang
adalah sunnah yang berasal dari Nabi. Yakni sunnah yang memiliki keabsahan
sebagai sumber hukum islam adalah sunnah yang dapat dibuktikan berasal dari
Nabi melalui mekanisme transmisi verbal (hadits). konsekwensinya adalah sunnah
dalam bentuknya sebagai laporan dan cerita tentang generasi terdahulu harus
dilakukan dengan penyaringan, mana yang berasal dari Nabi dan mana yang hanya
diklaim berasal dari Nabi.
Simpulan
Hadits
yang disebut Fazlurrahman sebagai tradisi verbal sudah ada sejak masa Nabi. Demikian
juga sunnah, tetap dilestarikan dan dijaga oleh generasi-generasi sesudah Nabi
wafat. Kebutuhan terhadap formulasi sunnah Nabi, termasuk ‘sunnah yang hidup’
ke dalam bentuk hadits menjadi suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan
mendasar. Karena dalam jangka panjang struktur ideology-religious
masyarakat muslim akan terancam kekacaun tak berujung jika tidak ada pangkal
rujukan yang otoritatif. Dengan mengacu pada pemahaman bahwa hadits merupakan
sunnah yang diverbalkan, menurut penulis akan menjadikan hadits atau sunnah
selalu relevan dengan konteks zaman, dengan begitu, pemahaman yang anti
humanisme, bias dan ekstreme dapat dihindari.
Daftar Pustaka
Abbas,
Hasyim. 2004. Kritik Matan
Hadits Versi Muhaddisin dan Fuqaha
Yogyakarta: Teras.
Abdullah,
Amin. 2000. Kajian Ilmu Kalam di IAIN: Menyongsong Perguliran Paradigma
Keilmuan Keislaman pada Era Milenium Ketiga”, dalam
Jurnal Al Jami’ah: Journal of Islamic Studies IAIN
SUKA. Nomor
65/VI
Abdullah,
Amin. 2012. Islamic Studies di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Al Asfahani, Al Raghib. tt. Mu’jam
Mufradat al Faz al Quran. Libanon: Dar al Fikr.
Al
Sarakshy, Muhammad ibn Ahmad Abi Sahl. 1372 H. Ushul al Sarakshy. Heiderabad:
Ihya’ al Ma’arif al Nu’maniyyah.
Al
Shahrawi, Ibrahim Dasuqi, 1971. Mushthalah al Hadits: Shirkat al
Thaba’at al Fanniyyat al Muttahidah.
Al
Siba’i, Musthafa. 1994. al Sunnah wa Makanatuha fi al Tashri’ al Islami.
Kairo: Dar al Qawmiyyat li al Thaba’ah wa al Nashr.
Al
Siddiqie, M Hasbi. 1991. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Jakarta:
Bulan bintang
Amal,
Taufik Adnan. 1989. Islam dan Tantangan Modernis: Studi Atas Pemikiran Fazlur
Rahman. Bandung: Mizan.
Azami,
Muhammad Mustafa. 1977. Studies in Hadits Methodology and Literature. Indianapolish:
Islamis Teaching Center.
Azami,
Muhammad Musthafa, 1994. Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj.
Ali Mustafa Ya’kub, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Baqi, Muhammad Fuad. 1992. ‘Abdul
al Mu’jam al Mufahras li al Faz al Quran.
Libanon: Daar al Fikr.
Al
Fairuzzabadi. 1983. Majdu al Din Muhammad Ibnu Ya’qub. Al Qamus al Muhith
Bairut: Dar al Fikr.
Goldziher,
Ignaz. 1971. Muslim Studies. London: George Allen & Unwin.
HAM,
Musahadi, 2000. Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya Pada Perkembangan Hukum
Islam. Semarang: Aneka Ilmu.
Hasan, Ahmad,
|
1994. The Early Development of Islamic Jurisprudence.
India:
|
Adam Publisher &
distribution.
|
|
Ibnu al
Mandhur,
|
Jamal al Din. Tt. Lisan al Arab. Mesir: Dar al
Misriyyah.
|
Ibrahim,
Muhammad Ismail. Tt. Mu’jam al Alfaz wa al A’lam al Quraniyyah. Kairo:
Dar al Fikr.
‘Itr,
Nur al Din. 1992. Manhaj al Naqd fi ‘Ulum al Hadits. Damaskus: Dar al
Fikr.
Ismail, Syuhudi.
1994 Pengantar Ilmu Hadits. Bandung: Agkasa.
Ismail, Syuhudi.
1988. Kaedah Kesahehan Sanad Hadits.
Jakarta: Bulan
Bintang.
Khatib, Muhammad
‘Ajaj. 1989. Ushul al Hadits. Bairut: Dar al Fikr.
Mahmudunnaser.
1981. Islam It’s Concept and Historiy. New Delhi: Nusrat ‘Ali Nasri.
Hukum
Islam, Kata Pengantar dalam Muhammad Ibnuu Idris al Syafi’i, al Risalah Imam
Syafi’I, Terjemahan oleh: AhmdieThoha. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Al Qadir, ‘Ali Hasan ‘Abd. 1942. Nazharat al ‘Ammah fi Tarikh al Islamy.
Kairo: Ulum Pres.
Rahman,
Fazlur. 1965. Islamic Methodology in History. Karachi: Central Institute
of Islamic Studies.
Rahman,
Fazlur. 1987. Islam, Terjemahan oleh: Senoaji Saleh. Jakarta:
Bumi Aksara.
Rahmat, Jalaluddin. 1995. Dari Sunnah Ke Hadits
Atau Sebaliknya, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah.
Jakarta: Paramadina.
Al
Razi, ‘Abd al Rahman Ibnu Abi Hatim. Tt. Taqaddumat al Ma’rufah li Kitab al
Jarh wa al Ta’dil. Hyderabat: Dairah al Ma’arif al ‘Uthmaniyyah, t, tp.
Shalih,
Subhi Shalih. 1989. ‘Ulum al Haadith wa Musthalahuh. Bairut: Dar al ‘Ilmi
li al Malayin.
Sabbaq, Muhammad. 1972. Al Hadits al
Nabawy. Al Maktab al Islamy.
Schacht, Yoseph. 1959. The Origin of Muhammaden
Jurisprudence. London:
Oxford
Tidak ada komentar:
Posting Komentar