(Oleh Ansari,
S.H.I)
Sistem
hukum Indonesia mengikuti tradisi hukum yang diwarisi dari Belanda, dan Belanda
karena pernah dijajah oleh Perancis mewarisi tradisi civil law, terutama
kode Napoleon. Ciri utama cicil law adalah peraturan perundang-undangan
yang terkodifikasi.
Sementara itu, hukum Islam walaupun mempunyai sumber-sumber tertulis pada Qur’an, Sunnah dan pendapat para fuqaha’, pada umumnya tidak terkodifikasi dalam bentuk buku perundang-undangan yang mudah dirujuki. Para hakim sejak zaman Nabi Muhammad tidaklah memutus perkara yang dihadapkan kepada mereka berdasarkan pasal-pasal yang jelas dari kitab undang-undang yang sudah baku, tetapi berdasarkan hukum umum yang disarikan dari tiga sumber tertulis di atas. Karena itu, dari sudut ini, sistem peradilan Islam lebih mirip dengan tradisi common law (hukum umum) yang berlaku di Inggeris dan negara-negara Commonwealth. Bahkan di zaman Raffles, peradilan Islam di Jawa, yaitu peradilan surambi yang mengambil tempat di serambi masjid agung, pernah menggunakan sistem jury, tetapi setelah pemerintahan kembali ke tangan Belanda, sistem jury yang menjadi ciri pengadilan common law ditiadakan.
Sementara itu, hukum Islam walaupun mempunyai sumber-sumber tertulis pada Qur’an, Sunnah dan pendapat para fuqaha’, pada umumnya tidak terkodifikasi dalam bentuk buku perundang-undangan yang mudah dirujuki. Para hakim sejak zaman Nabi Muhammad tidaklah memutus perkara yang dihadapkan kepada mereka berdasarkan pasal-pasal yang jelas dari kitab undang-undang yang sudah baku, tetapi berdasarkan hukum umum yang disarikan dari tiga sumber tertulis di atas. Karena itu, dari sudut ini, sistem peradilan Islam lebih mirip dengan tradisi common law (hukum umum) yang berlaku di Inggeris dan negara-negara Commonwealth. Bahkan di zaman Raffles, peradilan Islam di Jawa, yaitu peradilan surambi yang mengambil tempat di serambi masjid agung, pernah menggunakan sistem jury, tetapi setelah pemerintahan kembali ke tangan Belanda, sistem jury yang menjadi ciri pengadilan common law ditiadakan.
Selanjutnya
dalam alam Indonesia merdeka, kepastian hukum terus ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan. Dengan lahirnya UU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, ditetapkan bahwa Organisasi,
Administrasi dan Keuangan Pengadilan dilakukan oleh Departemen terkait (untuk
Pengadilan Agama adalah Deprtemen Agama), dan pembinaan teknis yudisial oleh
Mahkamah Agung. Undang-undang ini baru dapat dilaksanakan oleh Departemen Agama
pada tahun 1983 setelah penandatanganan 4 SKB Ketua Mahkamah Agung dan Menteri
Agama. Selama pembinaan teknis oleh Mahkamah Agung dirasakan segi-segi
kelemahan dalam penerapan hukum Islam di Pengadilan Agama, terutama karena
beragamnya pendapat tentang suatu masalah dalam fiqh Islam. Dari sini kemudian
muncul gagasan untuk membukukan hukum yang diterapkan di Pengadilan Agama dalam
bahasa perundang-undangan, yang akhirnya melahirkan tiga buku Kompilasi Hukum
Islam.
Hukum Islam sebagai Hukum Yang Hidup
di Indonesia
Hukum
Islam adalah hukum yang hidup di Indonesia. Seminar Masuk dan Berkembangnya
Islam di Indonesia yang diselenggarakan di Medan pada tahun 1963 menyatakan
bahwa agama ini telah masuk ke Indonesia sejak abad pertama Hijrah atau
ketujuh/kedelapan Masehi. Beberapa abad kemudian, Islam telah dianut oleh
berbagai suku bangsa di Indonesia,[1]
dan sejak masa itu hukum Islam sudah menjadi bagian yang tidak terpisah dari
perjalanan hidup sebagian besar bangsa Indonesia.
Hukum
adalah bagian terpenting agama Islam. Sebagai bagian dari agama, maka hukum
Islam bersifat diyânî. Disebut demikian karena pelaksanaannya sangat
tergantung kepada ketaatan individu penganutnya di mana inti agama (dîn)
antara lain adalah tunduk dan patuh kepada aturan yang dibawa oleh agama. Hukum
Islam sebagai hukum agama mempunyai cakupan yang lebih luas dari hukum dalam
pemahaman Barat yang mengaitkan hukum hanya dengan institusi negara. Hukum
Islam dalam pengertian Barat (yang sempit ini) di samping bersifat diyâni,
juga bersifat qadhâ’î (judicial, berhubungan dengan penegakan
sistem peradilan). Disebut qadhâ’î, karena agama (dîn) di samping
mengandung pengertian tunduk dan patuh, juga mengandung pengertian balasan (jazâ’)
yang bersifat duniawi dan ukhrawi. Balasan duniawi atas pelanggaran hukum agama
ditetapkan oleh pengadilan (qadhâ’) dan balasan akhirat ditetapkan oleh
Allah sehingga hari akhirat dalam Qur’an disebut sebagai hari agama (yawm
ad-dîn) atau hari pembalasan atas pelanggaran dan kepatuhan kepada hukum
Allah di dunia.
Hukum Islam dalam pengertian luas dapat diklasifikasikan
kepada tiga kelompok. Pertama sekali adalah hukum yang berhubungan dengan
kewajiban thahârah (tentang bersuci dan mandi) dan ibadah-ibadah formal
seperti salat, puasa, zakat dan haji (sebagiannya seperti zakat dan haji
mempunyai penekaan pada hukum yang bersifat qadhâ’í). Bidang-bidang ini
tidak termasuk hukum dalam pemahaman Barat. Kedua adalah hukum yang berhubungan
dengan perkawinan seperti pertunangan, pernikahan, perceraian, perwalian, waris
dan lain-lain (penekananya pada hukum yang bersifat qadhâ’î).
Bagaimanapun kecilnya komunitas muslim, maka hukum Islam dalam bidang yang
kedua ini dijalankan dalam komunitas tersebut, baik oleh komunitas sebagai unit
terkecil masyarakat, maupun oleh negara. Dalam bahasa perundang-undangan kita,
bagian ini disebut perdata khusus. Ketiga adalah hukum yang berhubungan dengan
kehidupan publik seperti pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat, kejahatan
terhadap diri, harta dan hak-hak asasi manusia, sengketa antara pihak-pihak
dalam berbagai hal, pengawasan atas pasar, keadaan perang, hubungan antar
negara dan lain-lain (penekanan pada qadhâ’î). Pelaksanaan hukum bidang
ketiga ini lebih banyak tergantung kepada kekuatan negara, administrasi
pemerintahan dan aparat penegak hukum. Karena itu, ia bersifat qadhâ’í di
mana diperlukan lembaga-lembaga di bawah sebuah negara berdaulat yang
memberikan penilaian dan kata akhir tentang terlaksana atau diabaikannya hukum
dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga bagian hukum ini merupakan hukum yang
hidup dalam masyarakat Indonesia dengan berbagai variasi dalam pelaksanaannya,
baik dari segi ruang lingkup wilayah maupun dari segi priodesasi sejarahnya.
Pada waktu VOC datang ke Indonesia untuk berdagang, dan
kemudian dilanjutnya dengan penguasaan wilayah, mereka tidak memahami tentang
hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Pada mulanya mereka hanya
menerapkan hukum Belanda di kapal-kapal dan koloni-koloni mereka dan membiarkan
anak negeri berjalan sesuai dengan hukum mereka sendiri.[2]
Setelah Belanda
mengikutsertakan kaum orientalis dalam mempelajari agama dan budaya Indonesia,
barulah mereka mengetahui bahwa hukum Islam adalah hukum yang hidup dalam
masyarakat. Pemahaman ini didahului dengan usaha kompilasi oleh beberapa orang
orientalis di beberapa daerah seperti kompilasi Muharrar, Freijer dan
lain-lain.[3]
Usaha kompilasi kemudian dihentikan tanpa alasan yang
jelas setelah dalam penelitian ditemukan bahwa hukum yang hidup pada umumnya
berasal atau bersumber dari hukum Islam. Bila usaha ini dilanjutkan secara
tulus, tidak mustahil yang terhimpun kemudian adalah kompilasi hukum Islam dari
berbagai bidang. Puncak dari pengakutan Belanda ini adalah penerapan teori receptio
in complexu oleh van den Berg yang intinya adalah bahwa untuk orang Islam
berlaku hukum Islam sekalipun terdapat variasi dalam pemahaman dan
pengamalannya. Akhirnya keluarlah Koniklijk Besluit No. 24 (Staatblad
No. 152/1882) yang menjadi dasar pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan
Madura dengan sebutan Bepaling Betreffende de Priesterraaden op Java en
Madoera.[4]
Sekalipun
keputusan ini lebih bersifat administratif dan prosedural dan tidak didukung
oleh pengembangan hukum Islam secara sistematis, tetapi ia telah merupakan
pengakuan yang kuat atas keberlakuan hukum Islam di Indonesia. Dengan cerdiknya
teori ini kemudian diubah oleh Snouck Hurgronje yang melakukan penelitian
terhadap hukum Islam di Aceh. Selanjutnya van Vallenhoven memasyhurkan teori
resepsi yang mengatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan bila telah
diterima oleh hukum adat. Pada hal dalam penelitian yang dilakukan di zaman
kemerdekaan, ternyata sebaliknya yang benar, bahwa hukum adat baru dapat
diterima bila telah diserap oleh hukum Islam. Inilah yang disebut oleh Suyuti
Thalib sebagai receptio a contrario dengan pengertian "hukum adat
baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam."[5] Inilah yang terjadi di banyak daerah
di Indonesia seperti Aceh, Minangkabau, Jambi, Palembang, Bengkulu, Lampung dan
lain-lain. Pertanyaan yang belum terjawab dalam sejrah hukum Indonesia adalah
tentang alasan kenapa Belanda berpihak kepada hukum adat yang belum jelas
formatnya sebagai hukum yang berlaku untuk warga bumi putera daripada hukum
Islam sendiri atau hukum Belanda yang sudah mempunyai format yang jelas. Alasan
yang dikemukakan oleh para pengamat hukum antara lain adalah politik devide
et empera, trauma Perang Salib atau tulus kepada budaya hukum warga bumi
petera sendiri.
Latar belakang
penyusunan KHI
Hukum Islam sebagai hukum yang hidup di Indonesia
didukung oleh pemahaman hukum ahli hukum, literatur hukum dan pendidikan hukum
formal dan non formal. Semuanya saling berhubungan dengan dunia Islam yang
lain. Sekalipun ummat Islam Indonesia sering disebut bermazhab Syafi‘ie,
pemikiran hukum Islam yang berkembang di tengah masyarakat juga mencakup
mazhab-mazhab yang lain.
Begitu banyak pendapat dalam suatu mazhab sehingga
melahirkan putusan yang tidak seragam dalam praktek hukum Islam yang berlaku di
pengadilan. Putusan yang sangat bervarisi mengancam kepastian hukum bagi
pencari keadilan di mana kasus yang sama memungkinkan adanya putusan yang lebih
dari satu. Pendapat yang berbeda-beda dalam fiqh Islam sudah barang tentu
membawa kepada putusan yang berbeda-beda pula di lembaga peradilan, dan
selanjutnya akan memperjauh kesatuan persepsi dalam penerapan hukum.
Putusan yang mengandalkan pendapat hukum kepada buku-buku
fiqh yang beraneka ragam membutuhkan hakim dan pejabat pengadilan yang
mempunyai keahlian tinggi dan penguasaan prima terhadap berbagai pendapat
hukum. Mereka dibutuhkan mempunyai kualitas mujtahid yang dapat memutuskan
perkara yang dihadapkan kepada mereka berdasarkan pendapat berbagai ahli dan
pendapat mereka sendiri.
Di segi lain pendidikan hukum yang memungkinkan seorang
hakim mendapatkan kualifikasi yang demikian tinggi semakin berkurang.
Pendidikan hukum Islam yang ada, baik di Indonesia maupun di tempat lain di
dunia Islam, masih bersifat tradisional dan pengajarannya tidak secara sistematis
diarahkan sebagai hukum yang berlaku di pengadilan. Sejak berdirinya sekolah
hukum (Rechtschool) pertama di Jakarta pada tahun 1909 dan sekolah
tinggi hukum (Rechthoogesschool) pada tahun 1928[6] untuk pendidikan hakim dan pejabat
kehakiman, tidak pernah ada usaha dari Belanda untuk mendirikan pendidikan yang
sama untuk para hakim dan pejabat kehakiman di Peradilan Agama. Bahkan hakim
dan pejabat kehakiman di Pengadilan Agama, dengan alasan tidak ikut campur
dalam urusan agama, tidak mendapat gaji dari pemerintah.[7]
Politik etis
Belanda hanya berdampak pada pendidikan hukum umum dan tidak pada hukum Islam
sebagai hukum yang hidup. Kesempatan ini baru mulai ada setelah Indonesia
merdeka dan berdirinya Departemen Agama yang antara lain mengurus masalah
peradilan. Mulai dari Hazairin sampai kepada ahli-ahli yang menjadi
murid-muridnya, para ahli hukum Islam tidak lagi berpegang kepada teori
resepsi, tetapi kepada produk perundang-undangan yang menyatakan tentang
keberlakuan hukum Islam. Arahnya adalah kodifikasi dan kompilasi. Arah ini juga
sudah tampak jauh sebelum ini di Malaysia, Turki dan negara-negara Arab.[8]
Dengan perjalanan waktu, kitab-kitab fiqh yang dipakai di
Pengadilan Agama juga mulai tersaring dengan sendirinya sehingga tidak lagi
tidak terbatas seperti sebelumnya. Penyaringan tersebut barangkali terjadi
secara alami mengingat keterbatasan pengetahuan hakim yang bertugas di
peradilan dan buku-buku yang mereka pelajari di lembaga-lembaga pendidikan
seperti di pondok, pesantren dan madrasah. Akhirnya Surat Edaran Biro Peradilan
Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksanaan PP No. 45 Tahun
1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari‘iyah di luar Jawa dan
Madura menganjurkan hakim agama menggunakan sebanyak 13 kitab fiqh sebagai
pedoman.[9]
Kitab-kitab tersebut adalah:
1. Al-Bajuri;
2. Fathu al-Mu‘în
3. Asy-Syarkawî ‘alâ at-Tahrîr;
4. Al-Qalyûbî/al-Mahallî;
5. Fathu al-Wahhâb wa Syarhuh;
6. At-Tuhfah;
7. Targhîb al-Musytâq;
8. Al-Qawânîn asy-Syar‘iyyah li Sayyid bin Yahyâ;
9. Al-Qawânîn asy-Syar‘iyyah li Sayyid Shadaqah Dachlan;
10. Asy-Syamsûrî fi al-Farâ’id;
11. Bughyah al-Mustarsyidîn;
12. Al-Fiqh
‘ala al-Madzâhib al-Arba‘ah;
13. Al-Mughnî al-Muhtâj.
Walaupun rujukan di pengadilan sudah
disederhanakan, tetapi mengingat kemampuan hakim agama zaman sekarang yang
tidak banyak di antara mereka yang memahami bahasa Arab dan kitab-kitab klasik
berbahasa Arab, maka ternyata penyederhanaan itu masih memberatkan bagi
kebanyakan hakim. Keadaan rujukan dalam bahasa Arab juga menyulitkan para
pengacara dan pihak-pihak yang terlibat dalam perkara untuk memahami
dalil-dalil hukum yang digunakan.
Penegakan hukum sangat tergantung
kepada aparat penegak hukum, peraturan hukum dan kesadaran masyarakat terhadap
hukum. Pembenahan aparat dan kesadaran masyarakat memerlukan pendidikan dan
pembudayaan yang akan memakan waktu lama. Sedangkan paraturan hukum dapat
diwujudkan melalui kodifikasi dan kompilasi. Idealnya adalah membuat kodifikasi
hukum berbagai bidang melalui proses pembuatan hukum yang normal di DPR, tetapi
hal itu belum dapat dilakukan karena berbagai faktor antara lain kemauan
politik. Sementara itu, sebuah peraturan hukum Islam yang baku sudah merupakan
kebutuhan mendesak di pengadilan. Masalah sebenarnya bukanlah masalah tidak
adanya peraturan hukum. Peraturan-peraturan hukum sudah ada dan sudah
diterapkan di pengadilan selama beratus-ratus tahun, tetapi belum dihimpun
dalam sebuah buku hukum yang sistematis dan mudah dirujuki. Karena itu,
kebijakan yang ditempuh adalah menuliskan kembali peraturan-peraturan hukum
yang sudah ada itu dalam sebuah buku, atau karangan, atau susunan (compilation).
"To compile" dalam bahasa
Inggeris berarti "to collect into one work" (menghimpun menjadi satu
karya) atau "to compose out of materials from other documents"[10] (menyusun
bahan-bahan dari dokumen-dokumen yang lain). Sedangkan kompilasi menurut
Black's Law Dictionary adalah "penghimpunan peraturan-peraturan hukum yang
ada sebelumnya dalam bentuk peraturan-peraturan tersebut dibuat menjadi hukum
dengan pembuangan bagian-bagian yang telah dibatalkan dan penggantian
amandemen-amandemen dalam sebuah penyusunan yang bertujuan untuk memudahkan
penggunaannya."[11] Bila
dihubungkan dengan kitab-kitab fiqh yang pernah digunakan sebelum ini di
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar‘iyah, atau secara khusus 13 kitab yang kemudian
disederhanakan, maka kitab-kitab tersebut adalah kitab-kitab yang mengandung
peraturan-peraturan hukum yang kemudian disederhanakan melalui sebuah usaha
kompilasi sesuai kebutuhan dan praktek-praktek yang berlaku sehingga menjadi
sebuah buku peraturan hukum yang mudah dirujuki.
Metode/pendekatan penyusunan KHI
Kompilasi Hukum Islam dimulai dari
penandatanganan Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama
RI tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui
Yurisprudensi No. 07/KMM/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1955 di
Yogyakarta.[12] Landasan
yuridisnya adalah UU No. 14/1970 Pasal 20 ayat (1): ”Hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup dalam masyarakat.”[13]
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
terdiri dari tiga buku: Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum
Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan. Semuanya terdiri dari 229
pasal. Kompilasi ini didasarkan pada Instruksi Presiden Republik Indonesia No.
1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan dilaksanakan berdasarkan Keputusan
Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.[14]
Penyusunannya dimulai dengan membuat
daftar masalah di bidang hukum Islam yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.
Setelah tahap penyeleksian, didapatkan 102 masalah pokok. Pengumpulan data
dilakukan melalui 4 jalur; yaitu jalur ulama, jalur kitab-kitab fiqh, jalur
Yurisprudensi Peradilan Agama, dan jalur studi perbandingan di negera-negara
lain.[15]
Pengumpulan data pertama dilakukan
melalui wawancara dengan 193 alim ulama dari berbagai wilayah Indonesia.
Wawancara yang mengambil tempat di 10 lokasi Pengadilan Tinggi Agama ini (Banda
Aceh, Medan, Padang, Palembang, Bandun, Surakarta, Surabaya, Banjarmasin, Ujung
Pandang dan Mataram) berkisar sekitar 102 masalah yang sudah diseleksi oleh
Panitia.
Pengumpulan data dari kitab-kitab
fiqh dilakukan oleh 7 IAIN; yaitu dari kitab-kitab yang banyak atau sering dipakai
di Indonesia. IAIN yang mendapat bagian adalah IAIN Banda Aceh, Padang,
Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Ujung Pandang dan Banjarmasin.
Penelitian Yurisprudensi Pengadilan
Agama dilakukan terhadap 16 buku yang merupakan yurisprudensi dari tahun 1976
sampai tahun 1984. Sementara itu, studi perbandingan dilakukan di Maroko (2
hari), Turki (2 hari) dan Mesir (2 hari). Studi perbandingan ini tampaknya
hanya bersifat simbolis sekedar untuk memberikan legalitas. Para peneliti yang
dikirim untuk tujuan ini ke luar negeri hanya bertemu para pejabat di tiga
negara dalam tempo yang sangat singkat (dua hari untuk setiap negara). Karena
keterbatasan waktu, dan mungkin juga kesulitan bahasa, para peneliti barangkali
tidak sempat membandingkan Rancangan KHI dengan kompilasi atau kodifikasi
serupa di negara-negara tersebut. Hasil dari studi banding itu juga tidak
pernah dipublikasikan.
Selain 4 jalur yang sudah
disebutkan, informasi juga didapatkan dari 3 kali sidang Bahts al-Masâ’il NU di
3 pesantren NU di Jawa Timur dan dari seminar Kompilasi Hukum Islam yang
diadakan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Data yang diperoleh dari
sumber-sumber di atas kemudian diolah oleh Tim Besar Proyek Pembinaan Hukum
Islam. Hasil rumusan tim ini diolah lagi oleh sebuah tim inti yang terdiri dari
9 orang. Setelah 20 kali pertemuan, tim inti berhasil merumuskan 3 naskah buku
Rancangan Kompilasi Hukum Islam (RKHI) tentang Perkawinan, Kewarisan dan
Kewakafan.
3 naskah buku RKHI dibahas kembali
dalam sebuah lokakarya di Jakarta dari 2-6 Februari 1988 yang dihadiri oleh 124
alim ulama dan cendikiawan muslim. Setiap buku dibahas dalam sebuah komisi
khusus. Hasil rumusan tiga komisi dirapatkan kembali oleh Panitia Besar untuk
penghalusan bahasa. Hasil akhir kerja Tim Besar disampaikan oleh Menteri Agama dalam surat No.
MA/123/1988 kepada Presiden R.I. sehingga akhirnya keluar Instruksi Presiden
No. 1 Tahun 1991 supaya menyebarluaskan KHI dan melaksanakan isntruski itu
dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, Menteri Agama mengeluarkan Surat Keputusan No.
154 Tahun 1999 tanggal 22 Juni 1991. Isi surat keputusan tersebut adalah (1)
agar Departemen Agama serta lembaga-lembaga pemerintah lainnya menyebarluaskan
KHI, (2) agar Departemen Agama dan lembaga-lembaga terkait sedapat mungkin
menggunakan KHI dalam menyelesaikan masalah perkawinan, kewarisan dan
kewakafan, di samping peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya, dan (3)
agar Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam dan Urusan Haji
mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri Agama ini di bidang
masing-masing.
Kedudukan KHI
sebagai hukum terapan di PA
Sejak keluarnya
Instruksi Presiden dan Surat Keputusan Menteri Agama tersebut, maka KHI secara
praktis telah menjadi hukum materil terapan di Peradilan Agama yang digunakan
oleh para hakim, pengacara dan pencari keadilan di samping kutipan kepada ayat
Qur’an, Hadits Nabi atau pendapat tertentu dari buku-buku fiqh serta
peraturan-peraturan perundang-undangan yang lain.
Sandaran
yuridis formal KHI adalah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, dan Instruksi
Presiden tidak ditemukan dalam hirarki perundang-undangan Indonesia. Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966 menyatakan bahwa tata urutan perundang-undangan Indonesia
adalah UUD 1945, Tap MPR, Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden dan seterusnya, dan Tap MRP No. III/2000 menyatakan bahwa tata
urutannya adalah UUD 1945, Tap MPR, Undang-Undang, Perpu, Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden dan Peraturan Daerah. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa
KHI tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Dari sudut ini,
maka KHI masih merupakan kelanjutan dari kitab-kitab fiqh yang menjadi rujukan
Pengadilan Agama sebelum ini dan sekarang telah disederhanakan menjadi buku
hukum berdasarkan ijmâ‘ jamhûr al-‘ulamâ’ al-indonîsiiyîn (konsensus
moyoritas ulama Indonesia). Sungguhpun demikian, menurut Ismail Suny, hukum
materil yang diatur dalam KHI dapat saja berbentuk Instruksi Presiden; hal itu
karena hukum perkawinan, kewarisan dan kewakafan yang berlaku sejak lama adalah
hukum Islam. Sandaran hukumnya adalah Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa Kekuasaan Presiden untuk memegang kekuasaan permintahan negara."[16]
Terlepas dari
perbedaan pendapat tentang status yuridis formalnya, KHI dalam kenyataannya
telah menjadi pedoman di Peradilan Agama, Peradilan Tinggi Agama dan Mahkamah
Aung. Kompilasi atau kodifikasi hukum bagaimanapun lengkapnya tidak akan pernah
memuaskan semua pihak. Kekurangan dapat diatasi bila disertai dengan kearifan
para pemakainya, terutama para hakim di pengadilan, dengan menggali semangat
yang ada di balik KHI dan hukum yang hidup dalam masyarakat.[17]
Sebagai produk
usaha manusia, KHI memerlukan penyempurnaan dari waktu ke waktu. Dari segi
legal formal, di samping penyempurnaan dan pengembangan, KHI harus ditingkatkan
statusnya menjadi undang-undang sehinga masuk secara jelas dalam hirarki
perundang-undangan Indonesia.
Ada beberapa
keberatan yang dikemukan terhadap KHI. Antara lain adalah dari segi penamaan. KHI hanya mencakup
hukum Islam tentang tiga hal menyangkut Perkawinan, Kewarisan dan Kewakafan,
padahal hukum Islam sebenarnya mencakup semua bidang yang dicakup oleh hukum
umum, bahkan lebih luas dari hukum umum, seperti disinggung di awal tulisan
ini. Di negara-negara lain dunia Islam peraturan hukum seperti yang dimuat
dalam KHI disebut Qanûn al-Ahwâl asy-Syakhshiyyah. Karena itu, nama yang
tepat untuk KHI sebenarnya adalah Kompilasi Hukum Perkawinan, Kewarisan dan
Kewakafan Islam (KHPKKI), dan bila dapat ditingkatkan menjadi undang-undang,
maka ia dapat bernama Kitab Undang-undang Hukum Perkawinan, Kewarisan dan
Kewakafan Islam (KUHPKKI).
Keberatan
lainnya adalah, bila KHI ditingkatkan statusnya menjadi undang-undang, maka
dikhawatirkan pembuat undang-undang Indonesia telah membatasi sifat universal
hukum Islam, mengurangi kreatifitas para hakim, dan selanjutnya menghambat
pengembangan hukum Islam melalui ijtihad dan pendapat baru. Kekhawatiran
seperti ini dapat dipahami mengingat keluasan dan keluesan hukum Islam
sepanjang sejarahnya yang panjang sehingga masyarakat mempunyai banyak opsi
untuk memilih pendapat yang lebih cocok dengan kondisi dan zaman mereka. Bahkan
sebagian besar para fuqaha’ terkenal di masa lalu enggan menuliskankan mazhab
mereka untuk menjadi hukum materil di suatu negara. Dengan diberlakukan satu
mazhab, mereka khawatir akan menutup pintu kepada mazhab atau pendapat lain
yang mungkin saja lebih benar dan lebih tepat dari pendapat mereka. Mengingat kesalehan
dan kerendahan hati para imam mujtahidin ini, kita dapat memahami alasan
mereka. Sungguhpun demikian, keberatan seperti ini tidak lagi dapat
dipertahankan pada waktu ini. Sebagian besar perundang-undangan modern telah
mengantisipasi keberatan ini, misalnya, dengan membuat klausal tertentu yang
memungkinkan undang-undang tertentu direvisi, disempurnakan dan bahkan
dibatalkan di masa depan bila tidak lagi cocok dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Perundang-undangan Indonesia, termasuk UUD 1945 yang disakralkan
pada masa Orde Baru, sudah banyak yang mengalami revisi, penyempurnaan dan
pembatalan seperti ini.
Penutup
Hukum Islam di
samping sebagai hukum yang bersifat diyânî (keagamaan), juga bersifat qadhâ’î
(yudisial) sehingga memerlukan lembaga peradilan untuk menyelesaikan
sengketa dan memutus perkara pelanggaran hukum oleh warga masyarakat. Kenyataan
ini mendapat pengakuan resmi dari pemerintah jajahan Belanda sejak tahun 1882
melalui pembentukan Priesterraad (Pengadilan Agama). Di Pengadilan Agama
para hakim memutuskan perkara berdasarkan hukum Islam seperti termaktub dalam
kitab-kitab fiqh, berbeda dengan Pengadilan Negeri (Landraad) di mana
para hakim memutus perkara berdasarkan hukum Adat. Pada tahun 1937, beranjak
dari teori resepsi yang diusulkan oleh Snouck Hurgronje, pemerintah jajahan
membatasi wewenang Pengadilan Agama. Sungguhpun demikian, hukum Islam seperti
termaktub dalam kitab-kitab fiqh tetap merupakan sandaran untuk memutus perkara
di Pengadilan Agama. Kitab-kitab ini oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1957
disederhanakan menjadi hanya 13 kitab. Untuk memudahkan tugas para hakim agama
dan untuk lebih memberikan kepastian hukum kepada pencari keadilan, maka
pemerintah melalui Mahkamah Agung dan Departemen Agama merintis proyek
Kompilasi Hukum Islam berdasarkan hukum Islam yang hidup dalam masyarakat.
Kompilasi ini didasarkan pada Instruksi Presiden dan dijalankan berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Agama pada tahun 1991, dan sejak itu KHI telah menjadi hukum
terapan di Pengadilan Agama.
Disampaikan pada Pendidikan Calon Hakim Pengadilan Agama di
Komplek PPPG Keguruan, Parung, Bogor, 20 Agustus 2001.
[1]
A. Hasymy, Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam Di Indonesia (Bandung: PT Alma‘arif, 1981), hlm. 7.
[4]
Istilah "Priesterraaden"
atau Pengadilan Paderi tidak tepat untuk Pengadilan Islam karena agama ini
tidak mengenal sistem kepaderian atau kepastoran seperti pada agama-agama lain.
Priesterraad diterjemahkan dengan Rad Agama atau Landjrat Agama atau Pengadilan
Surambi, dan kemudian Pengadilan Agama. Notosusnato, Peradilan Agama Islam
di Djawa dan Madura (Yogyakarta: tanpa penerbit, 1953, hlm. 7.
[5]
Sajuti Thalib, Receptio A
Contrario: Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam. Jakarta: Penerbit
Academia, 1980.
[6]
Soetandyo Wignjosoebroto, Dari
Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional (Jakarta: Rajawali Press, cetakan kedua,
1995), hlm. 153.
[7]
Daniel S. Lev, Islamic Court in
Indonesia (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1972),
hlm. 14, 15.
[9]
Instruksi Presiden R.I. Nomor 1
Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama R.I., 1996/97),
hlm. 124.
[11]
"A bringing together of preexisting
statutes in the form in which they were enacted, with the removal of sections
which have been repealed and the substitution of amendments in an arrangement
designed to facilitate their use." Black's Law Dictionary (St.
Paul: West Publishing Co., 1990, 11th reprint, 1997), hlm. 284.
[15]
Busthanul Arifin, "Pelaksanaan
Kompilasi Hukum Islam", pidato penyerahan 3 buku Kompilasi Hukum Islam
kepada Menteri Agama dan Ketua Mahkamah Agung R.I., Jakarta tanggal 26 Desember
1987, hlm. 28.
[16]
Ismail Suny, "Kompilasi Hukum
Islam Ditinjau Dari Sudut Pertumbuhan Teori Hukum di Indonesia" dalam Mimbar
Hukum No. 4 Tahun II/1991.
[17]
Salah seorang yang terlibat dalam
Panitia KHI menyatakan: "Jangan mimpi seolah-olah KHI sudah final dan
sempurna. Jangan tergoda oleh bayang-bayang kepalsuan untuk menganggap KHI
sebagai karya sejarah yang monumental dan agung. Keliru sekali impian dan
khayalan seperti itu. Yang benar, terima dan sadarilah KHI dengan segala
kekurangan dan ketidaksempurnaannya. Pengkaji dan perumusnya adalah manusia
biasa dengan segala sifat "empemiral" yang melekat pada diri mereka.
Oleh karena yang membuatnya terdiri dari manusia-manusia yang bersifat
empemiral; sudah pasti KHI banyak sekali mengandung kelemahan dan
ketidaksempurnaan." M. Yahya Harahap, "Materi Kompilasi Hukum
Islam" dalam Dadan Muttaqien et. al. (eds.), Peradilan Agama
& Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia (Yogyakarta: UII
Press, Edisi 2, 1999), hlm. 120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar