(Oleh
Ansari, S.H.I)
Memperhatikan substansi hukum dalam
konteks Qur’an, maka hukum sebenarnya adalah ketetapan, keputusan, perintah,
kebijakan dan pemerintahan. Allah dan Rasul menetapkan sesuatu sebagai
keputusan dan perintah yang harus dijadikan pegangan dalam
mengambil kebijakan dalam hidup dan menjalankan pemerintahan. Sebagiannya merupakan ketetapan langsung dari Allah dan sebagian lagi merupakan ketetapan yang keluar dari kebijakan manusia berdasarkan rasa keadilan yang ditanamkan Allah dalam dirinya.
mengambil kebijakan dalam hidup dan menjalankan pemerintahan. Sebagiannya merupakan ketetapan langsung dari Allah dan sebagian lagi merupakan ketetapan yang keluar dari kebijakan manusia berdasarkan rasa keadilan yang ditanamkan Allah dalam dirinya.
Ayat-ayat Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad s.a.w. berbicara tentang kebenaran, keadilan, kejujuran, kebaikan,
ketaqwaan, ketulusan, balasan baik, kompensasi, permusyawaratan dan berbagai
norma baik yang mesti ditegakkan. Teks-teks yang sama juga berbicara tentang
norma-norma buruk seperti kebatilan, kezaliman, kebohongan, keburukan,
kefasiqan, balasan jahat, ketimpangan dan lain-lain yang mesti dihindari.
Sebuah ayat yang mencakup kedua jenis norma ini sering dibaca oleh khatib
Jum‘at di akhir khutbahnya: "Allah sesungguhnya memerintahkan berbuat
keadilan, berlaku ihsan dan memberi kepada karib kerabat serta melarang dari
perbuatan keji, mungkar dan kebangkangan. Ia memberi pelajaran kepada kalian
semoga kalian ingat."
[إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ
بِالْعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ
الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ]
(an-Nahl 90)
Norma-norma itu
juga disebut suruhan dan larangan. Sebagai norma, maka suruhan dan larangan
tersebut sangat tergantung kepada ketaatan individu. Ketaatan adalah inti
agama. Agama itu sendiri (ad-dîn) pada dasarnya berarti ketundukan dan
ketaatan. Ketaatan kepada agama bersifat mutlak. Bila bukan demikian, maka
keyakinan keagamaan seseorang patut dipertanyakan. Nabi bersabda: "Demi
Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, seseorang dari kalian tidak dapat
dikatakan beriman sampai hawa nafsunya tunduk mengikuti apa yang aku
bawa."
[وَ الَّذِى
نَفْسِى بِيَدِهِ لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنُ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا
جئْتُ بِهِ].
Orang yang tidak yakin dengan kebenaran agamanya tidak dapat
diharapkan menjadi penganut agama yang taat. Dengan demikian, norma yang berasal
dari agama berperan untuk mendatangkan ketaatan individu.
Ketaatan
bersifat individualistik. Ia adalah suatu yang khas dalam diri manusia yang
dapat berbeda dari orang ke orang. Atas dasar ini, maka tingkat kepatuhan
seorang anak terhadap aturan dalam suatu rumah tangga dapat berbeda dari anak
yang lain dalam keluarga yang sama. Prinsip ini juga terlihat dalam kehidupan
bermasyarakat. Kita menemukan orang yang taat kepada norma masyarakat dan orang
yang tidak taat kepada norma tersebut. Allah berfirman: "Orang yang taat
kepada Allah dan Rasul, maka mereka bersama orang-orang yang mendapat nikmat
dari Allah dari kalangan para nabi, orang jujur, syahid dan saleh. Mereka didampingi dengan baik.
" [وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ
اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ
وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا]
"Orang yang
kafir, maka kekafiran itu menjadi tanggungjawabnya, dan orang yang melakukan
perbuatan baik, maka mereka membentangkannya untuk diri mereka sendiri."
(ar-Rum 44)
[مَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ وَمَنْ
عَمِلَ صَالِحًا فَلأَنْفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ] (an-Nisa’ 69).
Sebenarnya, selama menyangkut
masalah pribadi dan tidak berhubungan dengan kepentingan orang lain, ketaatan
dan ketidaktaatan itu tidak menjadi persolan. Patuh atau tidak patuh adalah
urusannya sendiri dan untuk kepentingannya sendiri. "Katakanlah! Kebenaran itu
dari Tuhan kalian. Barangsiapa yang mau, ia dapat beriman, dan barangsiapa yang
mau, ia dapat menjadi kafir."
[وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ
وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ] (al-Kahf 29).
Persoalan muncul ketika
sikap pribadi tertentu mengancam kepentingan individu yang lain atau masyarakat
secara umum. Bila menyangkut kepentingan banyak orang, maka ketaatan dan
ketidaktaatan itu memasuki wilayah hukum. Hal itu karena inti hukum adalah
mengatur kehidupan bersama sehingga tidak terjadi konflik kepentingan dan
kehidupan bermasyarakat dapat dilalui dengan tenang dan damai.
Berbicara
tentang hukum, maka kita berbicara tentang masalah masyarakat dan negara. Di
sini ketaatan kepada norma moral dibedakan dari ketaatan kepada norma hukum.
Ketaatan kepada norma moral hanya menyangkut hati nurani. Sedangkan ketaatan
kepada norma hukum, di samping hati nurani, juga menyangkut balasan duniawi
atas perbuatan individu terhadap orang lain. Seseorang yang mematuhi norma
hukum mendapat penghormatan dari masyrakat sebagai warga teladan dan orang yang
melanggar hukum mendapat hukuman dari masyarakat. Masyarakat di sini
dilambangkan oleh negara. Hukuman dapat berbentuk badaniyah seperti mati,
penjara, pengasingan dan lain-lain atau berbentuk kebendaan seperti denda,
ganti rugi dan lain-lain. Dalam sistem hukum Islam, terdapat dua jenis ganjaran
terhadap para pelanggar hukum, yaitu ganjaran yang bersifat definitf dari
ketentuan Allah dan Rasul dan ganjaran yang diserahkan kepada masyarakat
melalui pemerintah dan badan legislatif berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ganjaran inilah yang diharapkan dapat
mendorong masyarakat patuh kepada hukum. Bila ganjaran ini berjalan, maka
berarti hukum berjalan dan bila tidak berjalan, maka hukum tidak berjalan.
Masalah bangsa Indonesia pada waktu ini adalah bahwa masyarakat melihat ada
hukum tertulis dan tidak tertulis, tetapi para pelanggar hukum tidak mendapat
hukuman dari para penegak hukum dalam masyarakat.
Hukum dan
negara tidak dapat dipisahkan. Hukum tidak mempunyai arti bila tidak ditegakkan
oleh negara dan negara tidak berwibawa bila tidak menegakkan hukum Motor negara
adalah pemerintah. Dalam perbendaharaan Islam, kata hukum tidak hanya berarti
aturan yang mengatur kehidupan bernegara, tetapi juga kebijakan pemerintah atau
pemerintah itu sendiri. Hakim dalam bahasa Arab dapat berarti pemutus perkara
di pengadilan (qâdhi, judge) dan dapat juga berarti penguasa negara (wâli,
ruler).
Kata hakim yang
bermakna ganda ini, pemutus perkara dan penguasa, merupakan ciri Islam zaman
awal. Nabi Muhmmad s.a.w. selain sebagai penguasa tertinggi masyarakat muslim
juga merupakan hakim yang memutus perkara yang diajukan kepada beliau. Beliau
juga merupakan sumber hukum berdasarkan wahyu yang beliau terima dari Allah.
Qur’an menegaskan: "Tidak! Demi Tuhanmu! Mereka tidak dapat dikatakan
beriman sampai mereka mencari hukum kepadamu (wahai Muhammad) tentang
perselisihan yang terjadi di antara mereka, kemudian mereka tidak menemukan
keberatan dari apa yang kamu putuskan dan mereka betul-betul menerimanya.
"
[فَلاَ
وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا]
(an-Nisâ’ 65).
Posisi ganda ini juga dipegang oleh para wali (gubernur) beliau
di berbagai wilayah di sekitar Semenanjung Arabia. Salah seorang sahabat yang
paling terkenal dalam hal ini adalah Mu‘adz bin Jabal yang khusus mewakili Nabi
untuk wilayah Yaman. Selanjutnya di zaman khulafa‘ Rasyidin, para khalifah
memang mengangkat beberapa hakim pengadilan, tetapi khalifah sebagai penguasa
dan hakim masih merupakan ciri umum negara Islam. Setelah zaman khulafa‘
Rasyidin, khususnya setelah pemangku jabatan khalifah tidak lagi orang yang
menguasai penuh seluk beluk hukum Islam, maka jabatan hakim tidak lagi
dirangkap oleh seorang penguasa negara. Akhirnya kekuasaan kehakiman dalam
praktek kenegaraan Islam terpisah dari kekuasaan eksekutif seperti yang juga
terjadi dalam sejarah dan sistem hukum yang lain.
Berbicara tentang substansi hukum
Islam dalam pemerintahan berarti berbicara tentang penegakan hukum yang berasal
dari Allah dan rasa keadilan dalam penyelenggaraan negara, proses peradilan
serta pembuatan peraturan perundang-undangan. Bila ummat Islam ingin menjadi
penganut agama yang benar, ketiga lembaga modern legislatif, eksekutif dan
yudikatif ini harus berjalan menurut hukum dan spirit ajaran Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar