Makalah Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Study Hadist
Dosen Matakuliah :
Dr. Hj. Umi
Sumbulah, MAg
Disusun Oleh:
ANSARI
NIM: 14781010
PROGRAM PASCASARJANA
JURUSAN AL-AHWAL
AL-SYAKHSIYYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
TAHUN AJARAN 2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat-Mu ya Allah. Berkat rahmat dan hidayah-Nya
serta bimbingan-Nya semata-mata, akhirnya penulisan makalah ini dapat selesai.
Sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan ke pangkuan Nabiyullah
Muhammad, SAW.
Makalah ini penulis susun guna
memenuhi tugas mata kuliah Pendekatan Study Islam. Dan dalam penulisan makalah
ini, penulis menyadari bahwa sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang
terbatas, maka makalah yang berjudul “The Origins Of Muhammadan Jurisprudence “, ini masih jauh dari kata sempurna.
Dan
dalam penulisan makalah ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Hj. Umi Sumbulah, MAg Selaku
dosen pengampu mata kuliah Pendekatan Study Islam. Uneversitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang.
2. Segenap
sahabat-sahabat.
3. Semua
pihak yang telah memberikan motivasi kepada penulis.
Penulis berharap dari
makalah yang penulis susun ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi
penulis maupun pembaca. Demikianlah makalah ini penulis susun, kritik serta
saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk melengkapi makalah ini.
Wallahul Muwafiq Ila Aqwametthoriq
Wasalamu'alaikum
Wr.Wb
Malang, 20 April 2015
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
“Sudah menjadi sebuah aksioma bahwa orientalisme[1]
memiliki dampak yang cukup massif - baik di Barat maupun di Timur (Islam)-,
meskipun keduanya memiliki perbedaan dalam menyikapinya.” Edward Sa’id[2]
“Teori (Projecting Back) yang dikembangkan oleh Joseph
Schacht, suatu saat akan menjadi rujukan atas kajian-kajian keislaman di
seluruh dunia, setidaknya di dunia Barat.” H.A.R.Gibb[3]
Suatu
hal yang lumrah dan wajar jika dipostulasikan bahwa kebudayaan yang mundur akan
belajar dari kebudayaan yang maju. Dan adalah alami jika suatu kebudayaan yang
terbelakang meminjam (mengadopsi) konsep-konsep dari kebudayaan yang lebih
maju. Sebab tidak ada kebudayaan di dunia ini yang berkembang tanpa proses
interaksi dengan kebudayaan asing. Ketika peradaban Islam unggul dari
bangsa-bangsa lain, misalnya Eropa yang meminjam konsep-konsep pentingnya. Akan
tetapi postulat ini tidak berarti bahwa semua kebudayaan dapat mengambil semua
konsep dari kebudayaan lain. Postulat ini lebih menunjukkan bahwa setiap
kebudayaan memiliki identitas, nilai, konsep dan ideologinya sendiri-sendiri
yang disebut dengan pandangan hidup (worldview). Suatu kebudayaan dapat
meminjam konsep-konsep dari kebudayaan lain karena memiliki worldview. Namun
suatu kebudayaan tidak dapat meminjam sepenuhnya (mengadopsi) konsep-konsep
kebudayaan lain, sebab dengan begitu ia akan kehilangan identitasnya.
Peminjaman konsep dari suatu kebudayaan mengharuskan adanya proses integrasi
dan internalisasi konseptual, suatu proses dimana unsur-unsur pokoknya berperan
sebagai filter yang menentukan diterima tidaknya suatu konsep.
Ketika
istilah orientalisme mulai menjamur, maka begitu beragam tanggapan dan opini
publik tentang orientalisme. Ada yang mamandangnya secara bijak, ada yang
mengambil mamfaat darinya, ada juga yang cuek, ada yang anti, ada yang kritis
dan bahkan ada juga yang mengadopsinya secara keseluruhan. Terlepas dari opini
dan tanggapan publik. Disebabkan karena merasa penting dan urgennya kajian
Islam di zaman kontemporer ini, penulis merasa perlu untuk mengkaji salah
seorang tokoh dari orientalisme, dengan harapan adanya suatu orientasi
intelektual dan akademik guna mengenal, mengetahui dan belajar dari orang lain
(others) tentang diri kita (Islam).
Islam
sebagai agama (din), yang muncul di jazirah Arab yang tentunya berbeda dengan
sosio-kultural masyarakat daerah lainnya dan sosio-kultural sekarang, dan Islam
datang ke suatu daerah yang tentunya bukan pada daerah yang kosong dan hampa
tradisi, sejarah dan kultural. Sebagai sebuah agama yang memiliki aturan-aturan
dan ajaran-ajaran, tentunya akan timbul pertanyaan, apakah hukum yang dulu sama
dengan hukum yang sekarang, padahal ‘ilat, sebab dan realitasnya sekarang sudah
berbeda?
Menarik
memang, Islam yang di dalamnya terkandung banyak hukum, tentunya memungkinkan
akan terjadinya perbedaan pandangan dari para kalangan ahli hukum zaman dahulu
dan sekarang. Apalagi permasalahan hukum-hukum ini sangat sensitif sekali, yang
pada realitasnya banyak menimbulkan berbagai konflik, bahkan menyulut korban.
Dan karena hukum dalam Islam merupakan sesuatu yang fundamental dan tidak bisa
dilepaskan dari Islam itu sendiri, sehingga menimbulkan keresahan dan
kegelisahan penulis untuk membahas tentang kajian ini menurut others. Dan pada
kesempatan ini, penulis akan membahas tokoh yang cukup terkenal dan populer
dalam permasalahan hukum Islam di Barat, yaitu Joseph Schacht, yang memilki
kualitas intelektual yang tinggi, dan karya-karyanya menjadi referensi dan
rujukan dalam permasalahan hukum Islam, bahkan dikaji dan dipelajari di
negeri-negeri Islam sendiri. Karena tesis Schacht sempat mengejutkan para
intelektual Barat maupun Timur, sehingga menjadikan penulis ingin membahas
sekilas tentang Schacht.
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, permasalahan pokok yang hendak dikaji dalam
tulisan ini adalah : Siapakah seorang Joseph Schacht, dan bagaimakah pemikiran
dan metodologinya dalam mengkaji hukum Islam. Dan terakhir adalah, apakah yang
bisa diambil pelajaran dan nilai dari seorang Schacht.
Dengan
berbagai kekurangan dan kelemahan disana sini, penulis akan berusaha semaksimal
mungkin untuk mengkaji dan mengulas tentang Joseph Schacht, pemikiran dan
metodologinya dengan sistematis dan menjelaskan dengan sebaik-baiknya.
BAB
II
BIOGRAFI
JOSEPH SCHACHT
A. Biografi
Joseph Scahcht
Joseph
Schacht lahir pada tanggal 15 Mei 1902, di Ratibor, Silesia yang dahulu berada
di wilayah Jerman, dan sekarang masuk Polandia. Di kota ini ia tumbuh
berkembang dan tinggal selama delapan belas tahun pertama dari kehidupannya. Ia
berasal dari keluarga yang relatif agamis dan terdidik. Ayahnya, Eduard Schacth
adalah seorang penganut agama Katolik Roma, dan Ia adalah guru anak-anak bisu
dan tuli. Ia memiliki jiwa religi dan sosial yang tinggi. Sedangkan Ibunya
bernama Maria Mohr. Pada tahun 1945.
Ia
menikah dengan wanita Inggris yang bernama Louise Isabel Dorothy, anak
perempuan Joseph Coleman. Iklim agamis dan pendidikan kelurganya memberikan
kepadanya kesempatan untuk akrab dengan ajaran-ajaran agama Kristen dan juga
dengan bahasa Yahudi. Dan hal-itu terjadi mulai sejak Ia anak-anak, hingga tumbuh
besar dan berkembang. Dan hal ini sangat penting selanjutnya bagi pemahamannya
atas agama-agama besar di Timur Tengah.
B. Latar
Belakang Pendidikan dan Karir Intelektual Joseph Schacht
Schacht
adalah orang yang cerdas, pintar dan tekun. Ia berhasil memperoleh pendidikan
tinggi, setelah Ia terlebih dahulu mempelajari bahasa Yahudi dari seorng Rabbi,
dan setelah menerima gymnasium klasikal pada tahun 1911-1920. Ia melanjutkan
studinya ke Universitas Breslau dan Leipzig, dimana pertama kali ia mengkaji filologi
klasik, semitik dan juga teologi.
Tahun
1922, Ia memenangkan medali Universitas dengan satu risalah tentang perjanjian
lama. Dan memperoleh gelar D. Phill dengan predikat summa cumlaude dari
Universitas Breslau pada tahun 1923. Kemudian Ia juga mendapatkan gelar M.A
pada tahun 1947 dan gelar D. Litt pada tahun 1952. Kedua gelar tesebut ia
dapatkan dari Universitas Oxport. Dan Schacth menulis disertasi doktornya yang
terdiri dari sebuah edisi, dengan terjemahan dan komentar atas sebagian kitab
al-hiyal wa al-makharij karya Khassaf, yaitu sebuah teks arab tentang
perlengkapan hukum.
Dan
Schacht juga menerima pemilihan akademis pertama kali di Universitas Freiburg
di Breisgan pada tahun 1925. Sedangkan pada tahun 1927 dia dipilih sebagai
asisten professor ketika berusia dua puluh lima tahun. Dari perjalanan karirnya
ini, kelihatanlah akan kecerdasan dan tingginya nilai intelektual Schacht.
Bahkan
pada tahun 1929 dia dipromosikan menjadi professor penuh di bidang
bahasa-bahasa ketimuran. Schacht juga sangat memehami dunia barat (Kristen-pen)
dan dunia timur (Islam-pen) dengan baik. Selama tahun 1926 hingga 1933, Ia
melakukan pengembaraan secara luas ke Timur Tengah dan Afrika Utara.
Pada
tahun 1930, Schacht menjadi visiting Professor di bidang bahasa-bahasa semit
dan hukum Islam di Cairo University. Tahun, 1939, Schacth pindah ke Inggris dan
bekerja sebagai seorang ahli dan peneliti masalah-masalah ketimuran di
Departemen Penerangan Inggris. Penelitiannya di Afrika memberinya kesempatan
kontak dengan kehidupan nyata masyarakat muslim, yang pada implikasinya
menjadikannya jauh lebih akrab dengan problematika penerapan hukum Islam dalam
konteks sosial.
C. Pemikiran Joseph
Schacht
Pemikiran
Joseph Schacht mempunyai kepercayaan Tradisional mengenai Hukum Islam yang
telah mapan, sejak abad ke 19 ia dihadapkan oleh berbagai tantangan serius.
Mulai dari kolonialisasi dan Imperialisme pengaruh barat terhadap dunia Islam
yang sangat dominan, sehingga berakibat beberapa aspek ajaran Islam
dipertanyakan dan di gugat. Salah satunya ditujukan terhadap doktrin-doktrin
sumber Hukum Islam. Hal tersebut berbeda dengan pemahaman Tradisional,
kajiannya tidak bersifat Teologis maupun Yuridis, akan tetapi lebih bersifat
Historis dan Sosiologis. Ia menawarkan Islam bukan sebagai seperangkat norma
yang diwahyukan Tuhan, akan tetapi sebagai fenomena Historis yang berhubungan
erat dengan seting sosial dalam artian ia meneliti keaslian sumber Hukum Islam melalui
proses sejarah. Oleh sebab itu bagaimanapun masa lalu yang mempengaruhi masa
kini, dan masa kini mempengaruhi masa yang akan datang. Sehingga tidak di
herankan apabila sebagian besar Hukum Islam, termasuk sumber-sumbernya
merupakan akibat dari sebuah proses perkembangan sejarah.
Salah
satu kementarnya sangat kontracesial dan menggugat keimanan seorang muslim yang
saleh ialah pertanyaan bahwa rujukan hadis-hadis dari para sahabat nabi
merupakan prosedur yang lubih tua, dan teori tentang otoritas hadis-hadis nabi
yang lebih berkuasa ialah inovasi. Dan untuk membuktikan gagasan ini ia menguji
evolusi istilah sunnah sebagaimana telah di pakai pada masa Arab pra Islam
dalam tradisi Lisan. Aliran fikih klasih dari para sahabat nabi sampai
pembukuan hadis pada masa Umar Ibn Abdul Aziz dari dinasti Umayyah, oleh ahli
hukum yang terkenal seprti Syafi’i. Syafi’I sendiri berhasil membuat gagasan
freksibel sunnah sebagai kumpulan praktik yang telah diterima dalam
Madzhab-madzhab awal yang disebut sebagai “Tradisi Hidup” Madzhab-madzhab.[4]
Kemudian
ia merumuskan teori Yurisprudensi hukum Islam dengan Empat sumber Hukum.
Pertama : Al-Qur’an yang dijelskan didalamnya dan diterima. Kedua : As-Sunnah
atau praktik Nabi Muhammad yang dikisahkan Hadis Shahih. Nah kedua sumber hukum
ini tidak seluruhnya bisa menjawab semua persoalan Masyarakat, oleh sebab itu
harus ditambahkan dua sumber Hukum yang lain. Salah satu diantaranya ialah
Qiyas, Analogi atau penalaran Analogi, yaitu persoalan-persoalan yang tidak
ditemukan dalam praktik Nabi Muhammad atau sahabat diselesaikan dengan
menggunakan Analogi. Dan yang terakhir ialah Ijma’ atau Konsesus. Khususnya
bagaimana istilah itu berkembang. Akan tetapi Syafi’i juga sempat terlibat
polemik mengenai masalah ini dan identifikasi ekslusif sunnah dengan spesifik
Nabi Muhammad SAW atau sifat kewahyuan sunnah yang memberikan bukti untuk
memadai akan keberadaan spektrum pendekatan terhadap sunnah sebelum dan sepanjang
karirnya.
Kemudian
ia berpendapat sendiri dari istilah sunnah yang berarti kebiasaan masyarakat
yang diriwayatkan oleh peristiwa lisan dan digunakan pada masa Pra Islam.
Adapun sunnah tersendiri atas praktek kebiasaan prosedur atau tindakan Adat, Norma,
Standar atau cara yang didukung oleh hadis. Al-Qur’an memberikan bukti bahwa
prinsip pembimbing kehidupan moral Pra Islam adalah sunnah Masyarakat Arab yang
diriwayatkan secara lisan dari Nenek moyang mereka. Adapun yang secara
kebiasaan itu benar dan pantas dan telah dilakukan oleh nenek moyang, maka hal
itu patut ditiru. Sehingga ia berkesimpulan bahwa hukum islam memiliki
akar-akar dalam Masyarakat Pra Islam.[5]
Joseph
Schacht termasuk Orientalis yang cukup produktif. Meskipun ia dikenal dengan
kecenderungannya dalam mengkaji dan mendalami fikih, ia juga banyak menulis
karya dalam bidang-bidang yang lain.
Proyek
ktitiknya terhadap Hukum Islam telah meragugan peran penting dari kontribusi
Al-Qur’an terhadap perkembangan Hukum Islam. Bahkan ia secara khusus
berpendapat bahwa Al-Qur’an pada esensinya hanya berisikan hal-hal yang
bersifat etis dan hanya sedikit yang bersifat hukum. Ia juga mengingkari adanya
peran penting Al-Qur’an terhadap perkembangan Hukum Islam yang penting. Ia juga
berkesimpulan bahwa hukum Islam (Muhammadan Law, istilah yang
digunakannya sebagai ganti dari Islamic Law), tidak secara langsung
bersumber dari Al-Qur’an, akan tetapi ia mengembangkan sebuah tradisi umum dan
tersusun di bawah pemerintahan dinasti Umayyah.[6]
Pendapat
yang senada dapat ditemukan dalam karyanya yang lain, yaitu Origins Of
Muhammadan Jurisprudence, sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr. Musthafa
Azami bahwa Joseph menuturkan bukti adanya hadis-hadis hukum yang membawa
kemunduran sekitar tahun 100 H. Pada saat itu pemikiran hukum islam berawal
dari akhir pemerintahan dan praktek popular dari dinasti Umayyah, yang masih
direfleksikan dalam sebuah hadis.[7]
Kritikanya
terhadap hadis-hadis Hukum Islam disebabkan oleh kelangkaan ayat-ayat hukum
dalam Al-Qur’an, serta kebermulaan hukum islam mendapat hujan kritik yang cukup
deras, baik dari orientalis maupun dari sarjana muslim.[8] Sejumlah
orientalis seperti Goitein, Coulson, dan Powers menghujat kritikan terhadap
kesimpulan Joseph Schacht. Goitein merasa bahwa sekian banyak bukti yang ada
sangatlah jelas bahwa persoalan hukum yang telah dihadapkan kepada Nabi
Muhammad saw diputuskan oleh beliau. Dan Prof. Dr. Musthafa Azami Menambah
pendapat Joseph Schacht dengan memaparkan beberapa hal, sebagai berikut :
1.
Aktifitas Yudisial nabi Muhammad saw, sebagai
seorang utusan sekaligus penjelasan atas Al-Qur’an, menjelaskan mengenai
perintah-perintah Allah dalam Al-Qur’an yang masih bersifat Universal. Hal ini
merupakan sebuah data yang akurat dan mematahkan tesis kebermulaan hukum islam
pasca abad pertama hijriah.
2.
Catatan hukum dan keputusan yang didasarkan
pada keputusan atau contoh Nabi Muhammad saw.
3.
Literature hukum abad pertama. Ada beberapa
data yang dapat menguatkan alasan bahwa literatur hukum yang dicetuskan pada
abad pertama hijriah, sebagaimana keputusan Mu’adz 18 H di baca dan
diriwayatkan oleh Thawus 23-101 H di Yaman.
4.
Disamping pembukuan keputusan Mu’adz, atau
hasil Ijtihad yang dilakukan oleh Umar bin Khathab, ibn Mas’ud, Urwah ibn
Zubair, Zaid ibn Tsabit telah dikonfirmasikan dengan baik.
D. Karya-karya
Joseph Schacht
Joseph
Schacht sebagai seorang professor di bidang bahasa ketimuran dan penziarahan
intelektualnya ke dunia timur dan barat, telah berhasil menelurkan karya-karya
yang diperhitungan di kalangan intelektual.[9]
Baik dari dunia Timur maupun dari dunia Barat. Sebagai seorang yang melakukan
observasi langsung menuju lapangan penelitian, Schacht mampu melahirkan
karya-karyanya yang berdasarkan pengalaman, bukti dan data-data yang bisa
dipertanggungjawabkan. Namun, terlepas dari sikap pro dan kontra terhadap tesis
dan karya-karya Schacth. Namun pada kenyataan dan bukti riilnya, karya-karya
Schacth telah mampu membangun paradigma, memunculkan jiwa kritis dan akademis,
bahkan dijadikan referensi dan pegangan dalam studi-studi hukum Islam.
Sebagaimana
yang dikatakan oleh Abdurrahman badawi bahwa karya-karya Joseph Schacht terdiri
dari beberapa disiplin ilmu antara lain ialah:
1. Kajian
Mengenai Ilmu Kalam.
2. Tahqiq
(Menyunting dan Mengedit) atas dasar menuskrip-manuskrip Kitab Fikih.
3. Kajian
mengenai Fikih.
4. Kajian
mengenai Sejarah, Ilmu Pengetahuan, dan Filsafat Islam.
5. Kajian-kajian
keislaman lainnya.
Diantara
karya-karya Schacht yang sangat berpengaruh dan populer adalah:
1.
Origins of Muhammadan Jurisprodence.
2.
An Introduction to Islamic Law.
E. Kajian Sanad Hadis Joseph
Schacht
Dalam mengkaji
hadis Nabi ia lebih banyak menyoroti aspek sanad (transmini, silsilah keguruan)
dari pada aspek matan (materi hadis). Sementara kitab-kitab yang dipakai dalam
penelitiannya ialah kitab Al-Muwaththa’ (Karya Imam
Malik), Al-Muwaththa’ (Karya Imam Muhammad Al-Syaibani), dan
kitab Al-Umm dan Al-Risalah (Karya Imam
Al-Syafi’i).[10] Akan
tetapi menurut Prof. Dr. M. M Azami kitab tersebut lebih layak disebut dengan
kitab-kitab Fikih dari pada kitab-kitab Hadis. Sebab kedua jenis kitab tersebut
memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu dalam meneliti hadis-hadis
yang terdapat pada kitab-kitab fikih hasilnya tidak akan tepat, sebab
penelitian hadis diharuskan dengan kitab-kitab hadis.
Joseph juga
berpendapat bahwa Hukum Islam belum eksis pada masa Al-Sya’bi (w. 110. H).
penegasan tersebut memberikan pengertian bahwa apabila ditemukannya hadis-hadis
yang berkaitan dengan hukum islam, maka hadis tersebut merupakan buatan
orang-orang yang hidup sesuadah Al-Sya’bi.
Sebuah
keputusan hukum yang diberikan oleh Qadhi memerlukan legitimasi dari orang yang
memiliki otoritas lebih tinggi, sebab mereka tidak menisbahkan keputusan itu
kepada diri sendiri, melainkan menisbahkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya.
Misalnya orang Iraq yang menisbahkan pendapat meraka kepada Ibrahim Al-Nakha’I
(95 H). kemudian dalam perkembangan berikutnya pendapat para Qadhi tidak hanya
dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan
kepada tokoh yang lebih dulu, misalnya Masruq. Langkah selanjutnya untuk
memperoleh legitimasi yang lebih kuat lagi, pendapat tersebut dinisbahkan
kepada tokoh yang memiliki otoritas paling tinggi, misalnya Abdullah ibn
Mas’ud, kemudian pendapat mereka dinisbahkan kepada nabi Muhammad saw. Nah
Rekonstruksi Sanad Hadis menurut Joseph, yaitu dengan memproyeksikan pendapat
tersebut kepada tokoh-tokoh yang legitimit yang ada di belakang mereka, dan
disebut teori Projecting Back. Kemudian muncul aliran-aliran fikih klasik yang
membawa konsekuensi Logis, yaitu bermulannya kelompok oposisi yang terdiri dari
Ahli hadis. Pemikiran dasar kelompok ahli hadis ialah hadis yang berasal dari
nabi Muhammad saw. Dan harus mengalahkan aturan yang dibuat oleh kelompok
aliran fikih. Oleh karena itu untuk mencapai tujuan ini, kelompok ahli hadis
membuat penjelasan dan hadis, seraya mengatakan bahwa hal itu pernah dikerjakan
atau diucapkan oleh nabi Muhammad saw. Mereka juga mengatakan bahwa hal
tersebut diterima secara lisan berdasarkan sanad yang bersambung dari para
periwayat hadis yang dapat dipercaya.
Joseph Schacht
berpendapat bahwa kelompok aliran fikih klasik dan ahli hadis adalah pemalsu
Hadis, sebab sebagaimana yang dikutip oleh Mustafa Yaqub,[11] Joseph
Schacht mengetakan “kita tidak akan dapat menemukan satupun hadis nabi yang
berkaitan dengan hukum yang dapat dipertimbangkan sebagai hadis saheh”. Dan
untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis, khsusunya Joseph
Schacht yang telah meneliti aspek sejarah, M Azami membantah teori Joseph
Schaht, khususnya mengenai sejarah hadis. Azami melakukan penelitian khusus
mengenai hadis nabi yang terdapat dalam naskah klasik, diantanya ialah naskah
milik Suhail bin Abi Shaleh (w/138 H). Abu Shaleh (ayah suhail) ialah murid Abu
Hurairah sahabat nabi Muhammad saw.
Adapun naskah
Suhail berisi 49 hadis. Sementara Azami meneliti perawi hadis tersebut sampai
kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-Thabaqah Al-tsalitsah),
termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membutikan bahwa pada jenjang ketiga
jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka
terpencar-pencar dan berjauhan, antaranya india sampai maroko, antara turki
sampai yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.
Azami berkesimpulan bahwa sangat mustahil meneurut ukuran situasi dan kondisi
pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat hadis palsu sehingga
redaksinya sama. Dan sengat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat
hadis, kemudian oleh generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang
mereka buat itu sama. Artinya Azami bertolak belakang dengan kesimpulan Joseph
Schacht, baik mengenai rekontruksi terbentuknya sanad hadis, maupun bunyi teks
(matan) hadis.
Azami
mengemukakan hadis dengan contoh hadis nabi yang artinya:
Nabi Muhammad
bersabda : “Apabila salah seorang di antra kalian bagun dari tidurnya, maka
hendaknya ia mencuci tangannya, karena ia tidak tahu semalam tangannya berada
dimana”.
Hadis ini
dalam sebuah naskah Suhail bin abi Shaleh berada pada urutan nomor 7, dan pada
jenjang pertama (generasi sahabat) diriwayatkan oleh lima orang, yaitu Abu
Hurairah, ibn Umar, Jabir, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib. Abu Hurairah sendiri
kemudian meriwayatkan hadis ini kepada 13 orang Tabi’in (generasi kedua). 13
Tabi’in ini meyebar ke berbagai penjuru negeri Islam. 8 orang menetap di
Madinah, seorang tinggal di Kufah, 2 orang tinggal di Basharah, 1 orang tinggal
di Yaman, dan 1 orang lagi tinggal di Syam.
Kemudian 13
Tabi’in tersebut meriwayatkan lagi kepada generasi berikutnya (Tabi’it
Tabi’in), sehingga jumlah mereka menjadi 16 orang. 6 orang tinggal di
Madinah, 4 orang tinggal di Kufah, 2 orang tinggal di Mekah, 1 orang tinggal di
Yaman, 1 orang tinggal di Khurasa, 1 orang tinggal di Syam. Maka mustahil
apabila 16 orang yang domisilinya terpecah-pecah di tujuh kota yang berjauhan
pernah berkumpul pada satu saat untuk bersama-sama membuat hadis palsu yang
redaksinya sama, atau lebih mustahil pula jika mereka secara sendiri-sendiri di
kediaman masing-masing membuat hadis, dan kemudian diketahui bahwa redaksi
hadis tersebut secara kebetulan sama. 16 perawi di atas hanya dari jalur Abu
Hurairah. Dan apabila jumlah perawi ditambah dengan perawi dari jalur lainnya,
yaitu Ibn Umar, Jubir, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib, maka jumlah perawi akan
menjadi banyak. Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Joseph Schacht
dengan teori Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad hadis
tersebut baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para
Qadhi dalam menetapkan suatu hukum ialah tidak benar, hal ini sudah dibuktikan
oleh persepsi Azami dengan penelitiannya bahwa sanad hadis itu memang mustahil
sampai kepada Rasulullah saw melalui jalur yang disebutkan di atas, akan tetapi
merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari nabi Muhammad saw.
BAB
III
KONSEP
PEMIKIRAN DAN METODOLOGI
A. Konsep
Pemikiran Joseph Schacht
Persoalan
yang tetap hangat didiskusikan di kalangan para ahli keislaman, terutama ahli
hukum Islam di Barat, adalah mengenai eksistensi hukum Islam pada permulaan
abad ke-1 H. Siapa yang bertanggung jawab sebagai agen yang memformulasikan
hukum Islam tersebut ke dalam bentuk buku yang teraplikasikan dalam interaksi
sosial yang bersifat mengikat.
Snouck
Hurgronje, yang terkenal sebagai pendiri pengakajian masalah-masalah hukum
Islam di Barat, merupakan orang pertama yang mempertanyakan eksistensi hukum
Islam dan meragukan peranan Muhammad sebagai orang yang paling bertanggungjawab
terhadap formulasi hukum Islam tersebut.[12]
Ignaz
Goldziher, melalui bukunya yang terkenal Muslim Studies, meragukan keaslian
hadits Nabi dan mengkalaim bahwa hadits-hadits tersebut merupakan produk abad
ke-2 H.
Berdasarkan
kajian yang dikembangkan oleh kedua ahli tersebut, Joseph Schacth , yang terkenal
dengan kedua karya monumentalnya dalam hukum Islam, The Origins of Muhammadan
Jurisprudence dan An Introduction to Islamic Law. Sehingga pada akhirnya
Schacth mengajukan tesisnya bahwa Hukum Islam mulai Eksis pada abad ke-2 H.[13]
Sedangkan orang yang paling berjasa terhadap perkembangan hukum Islam itu,
menurut Schacth bukan Muhammad melainkan para Qadi yang ditunjuk oleh para
gubernur pada masa pemerintahan Umayyah. Para Qadi tersebutlah yang
mentrasformasikan praktik-praktik administrasi yang populer pada masa Umayyah
tersebut ke dalam hukum Islam. Namun tesis ini, tentunya mendapatkan tantangan
yang cukup serius dari kalangan ahli hukum Islam lainnya, baik dari para
orientalis maupun Islam. Seperti SD. Goitein, MM. Al-A’zami, dan Wael B.
Hallaq.
Berbekal
dengan sedikit gambaran di atas, maka disini akan dijelaskan sedikit tentang
konsep pemikiran Joseph Schacht tentang hukum Islam yang pada akhirnya akan
diupayakan untuk mengangkat masalah orisinalitas hukum Islam, yang akan
dibatasi pada timing lahirnya dan peranan Muhammad dalam pembentukannya.
Salah
satu kesimpulan yang paling penting adalah pernyataan bahwa rujukan kepada
hadits dari para sahabat merupakan prosedur yang lebih tua dan teori tentang
otoritas hadits dari Nabi yang lebih berkuasa adalah sebuah inovasi (dari
penulis). Dalam kenyataannya adalah benar bahwa istilah sunnah yang berarti
kebiasaan masyarakat yang diriwayatkan oleh periwayatan lisan berupa praktik
kebiasaan, prosedur atau tindakan adat, norma, standar atau cara yang kesemuanya
itu didukung oleh hadits pada masa pra-Islam. Poligami, yang disetujui oleh
al-Qur’an dan Sunnah Nabi adalah paktik umum orang-orang Arab pra-Islam.
Seperti seorang hakam, orang yang kualifikasi utamanya adalah sifat-siftat
pribadinya, pengetahuannya, kebijaksanaannya, integritasnya, reputasinya dan
kekuatan supranaturalnya, seperti dalam tradisi. Arab pra-Islam, diminta
memberikan saran atau memutuskan perselisihan diantara masyarakat. Berdasarkan
bukti di atas menurut Schacht, Muhammad memelihara tradisi Arab pra-Islam.
Sebagai akibatnya ada kontak nyata antara Islam dan budaya wilayah-wilayah
taklukan. Dimana terdapat beberapa aspek kehidupan yang belum dihadapi oleh
orang-orang muslim di daerah jazirah Arab. Disini Islam terbukti menjadi agama
yang fleksibel.
Schacht
juga berpendapat bahwa Syafi’i adalah orang yang bertang gung jawab atas
perkembangan teori tentang empat sumber pokok hukum Islam: al-Qur’an,
as-Sunnah, Ima’ dan Qiyas. Dia juga mempertahankan bahwa Syafi’i adalah orng
yang pertama menyusun buku tentang teori hukum Islam. Walaupun Schacht mengakui
bahwa berbagai persoalan hukum orang-orang muslim dipecahkan dengan bantuan
sumber-sumber ini secara berurutan, ia mejelaskan bahwa fakta-fakta historis
menunjukkan bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan unsur otoritatif terakhir
dalam perumusan hukum Islam dan bukannya yang pertama.
Tahapan
selanjutnya dari perkembangan hukum Islam terjadi selama periode Umayyah.
Khalifah memilih qudat di masing-masing propinsi untuk memecahkan berbagai
permasalahan hukum. Hukum adat masing-masing propinsi dan praktek populer serta
aturan-aturan administrasi rezim Umayyah yang ditafsirkan para qudat melalui
ra’yu mereka dianggap sebagai sumber-sumber utama yang digunakan untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum. Pada tahap perkembangan
berikutnya bersama dengan para spesialis agama, mereka memunculkan apa yang
kemudian disebut madzhab. Karakteristik geografis aliran-aliran hukum Islam
mentransformasikan diri ke dalam tipe aliran sebelumnya berdasarkan kesetiaan
kepada guru pribadi melalui berbagai perkembangan . Aliran kuffah klasik
misalnya mentrasformasikan diri ke dalam aliran Hanafiyah, dan aliran Madinah
klasik mentransformasikan diri ke dalam aliran Malikiyah. Keterlibatan Syafi’i
dalam proses sistematisasi dan islamisasi hukum membantu doktrin-doktrinya
menjadi dikenal sebagai aliran Syafi’i.[14]
Pada tingkat tertentu doktrin Syafi’i tidak memuaskan kelompok tertentu,
khususnya para ahli hadits, mereka bersikap memusuhi semua pemikiran dan
mencoba mempercayai hadits semata-mata, serta mereka lebih suka kepada hadits
dhoi’f dari pada analogi (qiyas) yang kuat. Para ahli hadits mendasarkan
doktrin mereka kepada seorang ahli hadits terkemuka, Ibnu Hambal yang kemudian
diakui sebagai pendiri aliran Hambali.
B. Metodologi
Joseph Schacth
Dalam
persepsi muslim tradisional, hukum Islam menyajikan sebuah sistem yang
ditakdirkan Tuhan, yang tidak ada kaitannya dengan berbagai perkembangan
historis. Dalam persepsi mereka, Al-Qur’an dan Sunnah Nabi telah memberikan uraian
rinci tentang segala sesuatu. Menurut mereka, hanya ada satu sumber yang
darinyalah berasal aturan-aturan hukum dapat dikembalikan. Dan itulah wahyu
Tuhan.[15]
Namun,
seorang Schacth merupakan orang yang berani meruntuhkan pemahaman tradisional
tentang hukum Islam. Kajian Schacth tentang hal ini tidak bersifat teologis
maupun yuristik. Tetapi lebih kepada bersifat historis dan sosiologis. Ia
menyajikan hukum Islam bukan sebagai seperangkat norma yang diwahyukan, tetapi
sebagai fenomena historis yang berhubungan erat dengan realitas sosial.
BAB
IV
ANALISIS
Suatu
hal yang lumrah dan wajar jika dipostulasikan bahwa kebudayaan yang mundur akan
belajar dari kebudayaan yang maju. Dan adalah alami jika suatu kebudayaan yang
terbelakang meminjam (mengadopsi) konsep-konsep dari kebudayaan yang lebih
maju. Sebab tidak ada kebudayaan di dunia ini yang berkembang tanpa proses
interaksi dengan kebudayaan asing. Ketika peradaban Islam unggul dari
bangsa-bangsa lain, misalnya Eropa yang meminjam konsep-konsep pentingnya. Akan
tetapi postulat ini tidak berarti bahwa semua kebudayaan dapat mengambil semua
konsep dari kebudayaan lain. Postulat ini lebih menunjukkan bahwa setiap
kebudayaan memiliki identitas, nilai, konsep dan ideologinya sendiri-sendiri yang
disebut dengan pandangan hidup (worldview). Suatu kebudayaan dapat meminjam
konsep-konsep dari kebudayaan lain karena memiliki worldview. Namun suatu
kebudayaan tidak dapat meminjam sepenuhnya (mengadopsi) konsep-konsep
kebudayaan lain, sebab dengan begitu ia akan kehilangan identitasnya.
Peminjaman konsep dari suatu kebudayaan mengharuskan adanya proses integrasi
dan internalisasi konseptual, suatu proses dimana unsur-unsur pokoknya berperan
sebagai filter yang menentukan diterima tidaknya suatu konsep.
Postulat
di atas juga berlaku dalam sejarah pemikiran Islam, yaitu ketika Islam meminjam
khazanah pemikiran Yunani, India, Persia dan lain-lain. Pelajaran yang penting
dicatat dalam hal ini adalah bahwa ketika para ulama meminjam konsep-konsep
asing, mereka berusaha mengintegrasikan konsep-konsep asing ke dalam pandangan
hidup Islam dengan asas pandangan hidup Islam. Meskipun harus diakui bahwa
proses ini tidak bisa berlangsung sekali jadi, ia memerlukan proses koreksi
mengoreksi dan itu berlangsung dari generasi ke generasi.
Dalam
era modern dan post-modern, dimana pemikiran dan kebudayaan Barat mengungguli
kebudayaan-kebudayaan lain, termasuk peradaban Islam. Tradisi pinjam meminjam
dalam peradaban Islam telah bergeser menjadi proses adopsi yakni mengambil penuh
konsep-konsep asing, khususnya Barat. Tanpa proses adapsi atau integrasi. Apa
yang dimaksud dengan konsep disini bukan dalam kaitannya dengan sains dan
teknologi yang bersifat eksak. Konsep yang dimaksud disini lebih berkaitan
dengan konsep keilmuan, kebudayaan, sosial, bahkan keagamaan.
Dalam
konteks pembangunan peradaban Islam di zaman sekarang ini, proses adopsi
pemikiran merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Namun sebelum melakukan
hal itu diperlukan suatu kemampuan untuk meguasai pandangan hidup Islam dan
sekaligus Barat. Esensi peradaban Islam dan kebudayaan Barat. Dengan demikian
seorang cendikiawan dapat berlaku adil terhadap keduanya. Adil dalam artian
meletakkan sesuatu pada tempatnya atau dalam hal ini didahului dengan mengambil
sesuatu dari tempat asalnya. Jika ini didasarkn pada asumsi bahwa konsep-konsep
dalam peradaban asing (baca Barat) adalah hikmah Islam yang hilang, maka
seseorang pemikir Muslim harus terlebih dahulu mengetahui tempat asal hikmah
tersebut dan tempat dimana hikmah itu hilang, sebelum mengambilnya kembali.
Begitu
jugalah halnya dengan permasalahan pemikiran dan tesis Schacht di dalam
memandang hukum Islam. Diharuskan adanya sikap bijak dan proporsional dalam
memandang, menilai, menimbang dan menerima pemikiran tersebut. Karena suatu
fakta atau realitas itu hanya bisa diterima jika memiliki bukti pengalaman yang
nyata, data-data yang kongkrit dan bisa dipertanggung jawabkan, argumen-argumen
yang ilmiah dan akademik, serta terlepas dari subyektifitas dan kepentingan-kepentingan.
Sebagaimana
pendapat Schacht yang memandang bahwa rujukan kepada hadits Nabi dari para
sahabat merupakan prosedur yang lebih tua dan teori tentang otoritas hadits
dari Nabi yang lebih berkuasa adalah sebuah inovasi belaka dari penulis. Seandainya
kita ingin berkaca dan kembali berziarah imajinasi ke alam historis, maka kita
akan mendapatkan memang banyak terjadinya pemalsuan dan pembuatan hadits dengan
tendensi-tendensi dan kepentingan-kepentingan tertentu. Dan hal ini memang
sudah masyhur di dalam kitab-kitab sejarah. Namun, walaupun demikian hal itu
tidak berarti semua hadits Nabi itu palsu dan dibuat-buat oleh penulis hadits.
Karena hal itu bisa dibuktikan dengan ilmiah dan akademik melalui mata rantai
kualitas sanad dan matan hadits. Dan di dalam sejarah, bahkan telah
ditemukannya bukti bahwa beberapa orang sahabat seperti Ali bin Abi Thalib,
Abdullah bin Amru bin Ash dan Anas bin Malik telah menulis hadits pada
zamannya. Di dalam buku The History of The Qur’anic Text from Revalation to Compalation
A Comparative Study with the Old and New Testaments, MM Al-A’zami mengatakan
bahwa menurut pakar kritik hadits, penerimaan terakhir suatu riwayat hanya
berpijak semata-mata pada keasliannya, bahkan ketelitian dan keaslian, menurut
para muhadditsin, dirasa belum cukup karena itu, mereka menghendaki tiga syarat
tambahan:
1.
Semua perawi dalam jaringan riwayat mesti
dikenal tsiqah. (terpercaya).
2.
Jaringan riwayat yang utuh (tidak pernah
putus).
3.
Dorongan positif pernyataan dari semua bukti
yang ada adalah suatu kemestian.
Kemudian
yang perlu digaris bawahi dari tesis Schacht yang lainnya, bahwa hukum Islam
bukan berasal dari adat Arab pra-Islam, melainkan hukum Islam menyetujui
kebiasaan masyarakat Arab, yang oleh syari’ah tidak menyimpang dari ketentuan
syara’. Kemudian Syafi’i bukanlah orang yang pertama membuat hukum Islam, akan
tetapi hukum Islam telah ada sejak zaman Nabi, namun berdasarkan perkembangan
zaman, untuk menjawab segala persoalan hukum yang terus berkembang, maka
muncullah apa yang disebut dengan ijma’ dan qiyas.
Memang
menarik, karena tesis yang dikembangkangkan oleh Schacht cukup mengagetkan para
ahli hukum Islam, baik di Barat mupun di Timur. Hal ini dapat dipahami karena
tesis ini baru terdengar pada abad ke-19. Sebelumnya, sudah baku dan mapan
dikalangan umat Islam bahwa sejak zaman Nabi diutus, saat itu juga hukum Islam sebagai
hukum yang berasal dari Allah- telah diturunkan dan sudah mulai diterapkan
secara perlahan-lahan dan bertahap, baik yang bersifat ritual maupun sosial,
seperti hukum pidana dan perdata. Keyakinan tersebut tentu saja berdasarkan
pada fakta-fakta yang termaktub dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Mengapa
Joseph Schacht mencapai kesimpulan yang sangat bertentangan dengan pandangan
umum di kalangan umat muslim? Jawabnya tidak lain adalah karena Schacht
melepaskan dirinya dari kajian yang bersifat teologis maupun juristik, dan
menggantinya dengan kajian yang bersifat historis dan sosiologis. Ia Schacht
memperlakukan hukum Islam, kata Layish, bukan sebagai kesatuan perangkat norma-norma
hukum, tetapi sebagai fenomena sejarah yang berhubungan erat dengan kenyataan
sosial. Ia juga menekankan bahwa hukum Islam, termasuk sumber-sumbernya, adalah
merupakan hasil dari proses perkembangan sejarah.
Sehingga
tesis yang dikembangkan oleh Schacht ini tidak dapat bertahan lama, karena para
sarjana yang melakukan penelitian –baik yang secara langsung maupun tidak-
menemukan banyak kelemahan pada tesis tersebut. Kesalahan metodologi yang
sangat fundamental yang dilakukan Schacht dalam memformulasikan tesisnya,
menurut MM. Al-A’zami adalah ketidak peduliannya terhadap bukti-bukti yang ada
dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan ajaran-ajaran hukum. Padahal bukti-bukti
menunjukkan bahwa para juris dalam mengatasi sejumlah besar pertanyaan yang muncul
selalu bertumpu pada ketentuan-ketentuan al-Qur’an, dan berangkat dari
stimulasi yang ada pada ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Berdasarkan bukti-bukti
tersebut Zafar Ishaq Ansari mengklaim bahwa al-Qur’an sebagai sumber hukum yang
mengikat telah mapan sejak semula.
Terlepas
dari kritik pro kontra terhadap tesis Schacht, sebenarnya banyak hal yang dapat
diambil pelajaran dan hikmah dari kajian dan studi Schacht, diantaranya:
1.
Bahwa pentingnya melakukan kajian-kajian
ilmiah dalam persoalan agama, terlebih permasalahan hukum Islam, karena
tuntutan dari perkemabangan zaman dan berbedanya makaan/ tepat.
2.
Perlunya melihat dari aspek historis dan
sosiologis dalam kajian hukum, bahkan sebaiknya dilakukan studi komparatif,
integratif dan interkonektif.
3.
Melakukan kajian dan penelitian dengan bukti
dan metodologi yang jelas dan ilmiah.
4.
Bahwa dalam melakukan penelitian perlunya
sang peneliti turun langsung ke objek yang diteliti sehingga datanya akurat dan
valid.
5.
Bahwa ilmu sebenarnya hanyalah pengembangan
dari ilmu-ilmu sebelumnya yang telah ada.
Dari
penjabaran dan penggambaran diatas, maka dapatlah kita mengetahui akan penting
dan urgennya suatu kajian dan penelitian. Walaupun itu dari seorang orientalis.
Bahkan ketika kita harus bersikap apresiatif dan bahkan memamfaatkan hasil
karya-karya mereka yang sangat menarik dan bagus. Namun kita juga harus
merespon mereka secara akademis dengan sikap kritis dan mengembangkan framework
kita sendiri.
Oleh
karena itu, untuk mengkaji Islam tidak hanya cukup dengan artikel-artikel,
wacana-wacana lepas di mass media, dialog-dialog, seminar-seminar yang hanya
bersifat gagasan awal yang belum siap secara konseptual. Ia memerlukan suatu
kerja ilmiah yang serius dalam suatu lembaga kajian yang professional akademis,
yang di dalamnya dikaji esensi pandangan hidup Islam, tradisi-trsdisi
intelektualnya yang telah berkembang puluhan abad lamanya, konsep-konsep
pemikiran ulama dalam berbagai bidang yang telah berhasil membentuk bangunan
peradaban yang kokoh. Dari situ dengan sikap kreatif dan progressif dapat
dikembangkan framework pemikiran Islam yang sarat dengan konsep-konsep baru
dalam berbagai bidang yang diinginkan umat Islam. Sehingga jika framework ini
bisa dikembangkan di kalangan cendikiawan Muslim, maka tidak perlu lagi
bersikap anti pemikiran Barat pada dataran emosi, tapi lebih cendrung kritis
pada level intelektual.
BAB
V
PENUTUPAN
A.
KESIMPULAN
Berangkat
dari ulasan dan pembahasan di atas, maka disini dapat ditarik beberapa
kesimpulan:
1.
Bahwa pentingnya melakukan kajian-kajian
ilmiah dalam persoalan agama, terlebih permasalahan hukum Islam, karena
tuntutan dari perkembangan zaman dan berbedanya makaan/ tempat.
2.
Bahwa pentingnya memililki kejelasan
metodologi dalam suatu kajian, karena metodologi sangat berpengaruh terhadap
hasil kajian.
3.
Bahwa hukum Islam sudah ada sejak zaman Nabi,
dan tradisi arab yang masih ada, merupakan tradisi yang tidak bertentang dengan
syara’.
4.
Bahwa semakin banyak pengalaman melihat
dunia, semakin tinggi kesadaran membuka pikiran dan semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, maka akan semakin komprehensif dia melihat suatu masalah
dan menyelesaikannya.
5.
Janganlah kita anti Barat hanya karena
kebencian, karena kebencian hanya akan merusak kehidupan. Padahal nilai-nilai
al-Qur’an adalah perintah bersikap adil walaupun kepada musuh sendiri.
6.
Suatu pemikiran itu sangat berpengaruh
terhadap kultural, lingkungan, pendidikan, dan metodologi
7.
Perlunya melihat dari aspek historis dan
sosiologis dalam kajian hukum, bahkan sebaiknya dilakukan studi komparatif,
integratif dan interkonektif.
8.
Melakukan kajian dan penelitian dengan bukti
dan metodologi yang jelas dan ilmiah.
9.
Bahwa dalam melakukan penelitian perlunya
sang peneliti turun langsung ke objek yang diteliti sehingga datanya akurat dan
valid.
10. Bahwa
ilmu sebenarnya hanyalah pengembangan dari ilmu-ilmu sebelumnya yang telah ada
DAFTAR PUSTAKA
Analisis Rahman mengenai Evolusi Historis
Sunnah terdapat pada Islamic Metodologi in History, (Karachi: Central Institute
of Islamic Research, 1965)
Charles C. Adams, “Islam” dalam A Reader’s
Guide Tothe Great Religion, ed. Charles C. Adam, (New York: The Free Press,
1965)
Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman
tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
1998).
Imam Syafi’i, Ar-Risalah, terj: Ahmadie
Thoha, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus dan Universitas Islam As-Syafi’iyyah,
1992)
Irwand.i
Dekonstruksi Pemikiran Islam (Identitas Nilai dan Realitas Empiris),
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Press, 2003
Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan
Jurisprudence, edisi Indonesia (Yogyakarta: Insan Madani,
2010).
Rasyid,
Daud, Islam dalam Berbagai Dimensi, Jakarta: Gema Insani Press, 1998
M.M. Azami, Menguji Keaslian Hadits-Hadits
Hukum, Sanggahan atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht,
terj: Asrofi Shodri, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004)
Prof.
Ali Musthafa Yaqub, MA, Kritik Hadis (Jakarta ; Pustaka Firdaus, 2004)
cet.4
Orientalisme
adalah kajian tentang ketimuran atau dunia Timur, sedangkan
orientalis adalah para sarjana barat yang “concern” dalam mengkaji
tentang peradaban, agama, sastra, dan ilmu-ilmu ketimuran lainnya. Lihat
Muhamad Hamdi Zaqzuq dalam al-Isytisraq wa al-Khalfiyyah al-Fikriyyah Li
al-Sharra’ al-Hadhari (Qatar : al-Ummah, 1990) cet: I
Edwar
Sa’id, Orientalism, dikutip oleh Muhammad Hamdi Zaqzuq dalam al-Isytisraq.
H.A.R.Gibb,
Journal Of Comparative Legislation and International Law, dikutip dari
Yahya Murad dalam, Rudud ‘Ala Syubhah
al-Mustasyriin,
[1] Orientalisme adalah kajian tentang
ketimuran atau dunia Timur, sedangkan orientalis adalah para sarjana
barat yang “concern” dalam mengkaji tentang peradaban, agama, sastra,
dan ilmu-ilmu ketimuran lainnya. Lihat Muhamad Hamdi Zaqzuq dalam al-Isytisraq
wa al-Khalfiyyah al-Fikriyyah Li al-Sharra’ al-Hadhari (Qatar : al-Ummah,
1990) cet: I hal. 18
[2] Edwar Sa’id, Orientalism,
dikutip oleh Muhammad Hamdi Zaqzuq dalam al-Isytisraq. hal. 13
[3] H.A.R.Gibb, Journal Of
Comparative Legislation and International Law, dikutip dari Yahya Murad
dalam, Rudud ‘Ala Syubhah
al-Mustasyriin, hal. 192
[4]
Irwand.i Dekonstruksi
Pemikiran Islam (Identitas Nilai dan Realitas Empiris), Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media Press, 2003, hal 7-8.
[5]
Irwandi. Dekonstruksi
Pemikiran Islam…hal. 7-8
[6]
Irwandi. Dekonstruksi
Pemikiran Islam…hal. 6-8
[9]
Charles C. Adams, “Islam” dalam A Reader’s
Guide Tothe Great Religion, ed. Charles C. Adam, (New York: The Free Press,
1965), h. 317
[10]
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis,
Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 19
[11]
Prof. Ali Musthafa Yaqub,
MA, Kritik Hadis (Jakarta ; Pustaka Firdaus, 2004) cet.4 hal.23
[12]
Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang
Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1998), h. 6
[13]
M.M. Azami, Menguji Keaslian Hadits-Hadits Hukum, Sanggahan
atas The Origins of Muhammadan Jurisprudence Joseph Schacht, terj: Asrofi
Shodri, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hal. 17
[14]
Imam Syafi’i, Ar-Risalah, terj: Ahmadie
Thoha, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus dan Universitas Islam As-Syafi’iyyah,
1992), h. 128
[15] Analisis Rahman mengenai Evolusi Historis
Sunnah terdapat pada Islamic Metodologi in History, (Karachi: Central Institute
of Islamic Research, 1965), h. 173
Tidak ada komentar:
Posting Komentar