(Ansari, S.H.I)
INDONESIA di tengah dinamika perkembangan global maupun
nasional, saat ini menghadapi berbagai tantangan yang membutuhkan perhatian
serius semua pihak. Good Governance atau tata pemerintahan yang balk,
merupakan bagian dari paradigma baru yang berkembang dan memberikan nuansa yang
cukup mewarnai terutama pasca krisis multi dimensi seining dengan tuntutan era
reformasi. Situasi dan, kondisi ini menuntut adanya kepemimpian nasional masa
depan, yang diharapkan marnpu menjawab tantangan bangsa Indonesia mendatang.
1.
Permasalahan
yang semakin kompleks (multi-dimensi)
2.
Perubahan
yang sedemikian cepat (regulasi, kebijakan, dan aksi-reaksi rnasyarakat)
3.
Ketidakpastian yang relatif tinggi (bencana alam yang
silih berganti,
situasi ekonomi yang tak mudah diprediksi,
dan perkembangan politik yang "up and
down".
Kesenjangan
proses komunikasi politik yang terjadi di Indonesia antara pemerintah dengan
rakyatnya mapun partai yang mewakili rakyat dengan konstituennya, menjadikan
berbagai fenomena permasalahan sulit untuk dipahami dengan logika awam masyarakat.
A.
Pengertian Dasar Good and Clean
Governance
Paling
tidak ada empat kata yang harus menjadi perhatian kita kalau membicarakan good
and clean governance, yaitu (1) good government, (2) clean
government, (3) good governance, dan (4) clean governance.
Dari empat pembagian tersebut dilihat bahwa yang menjadi perhatian adalah good
(baik), clean (bersih), government (pemerintahan), dan governance
(penyelenggara pemerintahan). Artinya paradigma yang hendak dikembangkan adalah
pemerintahan yang baik dan bersih yang juga didukung oleh penyelenggara
pemerintahan yang baik dan bersih. Dengan demikian government lebih
memberikan perhatian terhadap sistem, sedangkan governance lebih
memberikan perhatian terhadap sumber daya manusia yang bekerja dalam sistem
tersebut. Tanpa menjaga keseimbangan terhadap dua hal ini akan muncul
ketimpangan dalam praktek peyelenggaraan pemerintahan yang pada akhirnya akan
menimbulkan kehancuran terhadap sistem bernegara.
Governance adalah tata pemerintahan, penyelenggaraan negara,
atau pengelolaan (management) bahwa
kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah.
Kata Governance memiliki unsur kata kerja
yaitu go vernance yang berarti bahwa fungsi oleh pemerintah
bersama instansi lain (LSM, swasta dan warga negara) perlu seimbang/setara dan
multi arah (partisipatif). Governance without government berarti bahwa
pemerintah tidak selalu diwarnai dengan lembaga, tetapi termasuk dalam makna
proses pemerintah.
Good
Governance menurut Bank Dunia (World Bank) adalah cara kekuasaan digunakan dalam mengelola
berbagai sumberdaya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat (The
way state power is used in managing economic and social resources for
development of society).
Good Govanance, bila kita kupas : "Good" rnaknanya adalah
nilai-nilai yg menjunjung tinggi kehendak rakyat dan meningkatkan kemampuannya
dalam pencapaian tujuan serta berdayaguna dan berhasil guna dalam pelaksanaan tugasnya
untuk mencapai tujuan tersebut. "Governance" maknanya
pemerintahan berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan
nasional yang telah digariskan, dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945.
1. Prinsip
Good Governance
Ada sepuluh prinsip good governance, yaitu :
1. Partisipasi : warga
memiliki hak (dan mempergunakannya) untuk menyampaikan pendapat,
bersuara dalain proses petumusan hebijakan publik, balk secara langsung maupun tidak langsung.
2. Penegakan hukum: hukum diberlakukan bagi siapapun
tanpa pengecualian, hak asasi manusia dilindungi, sambil tetap dipertahankannya
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
3. Transparansi: penyediaan
inforinasi tentang pemerintali(an) bagi publik dan dijaminnya kemudahan di
dalam memperolch informasi yang akurat clan memadai.
4. Kesetaraan: adanya peluang yang lama bagi
setiap anggota masyarakat untuk beraktivitas berusaha.
5. Daya tanggap : pekanya para pengclola instansi
publik terhadap aspirasi masyarakat.
6. Wawasan ke depan: pengelolaan masyarakat hendaknya
dimulai dengan visi, misi, dan strategi yang jelas.
7. g.Akuntabilitas: laporan para penentu kebijakan
kepada para warga.
8. h.Pengawasan
publik: terlibatnya warga dalam mengontrol kegiatatn pemerintah,
termasuk parlemen.
9. Efektivitas clan
efisiensi : terselenggaranya Icegiatan instansi publik dengan
menggunakan cumber daya yang tersedia secara optimal clan bertanggnung jawab.
10.
j. Profesionalisme :Meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara
pemerintahan agar mampu memberi pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya
yang terjangkau.
TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BERSIH
Keinginan menjadi good and clean
governance ke dalam norma hukum baru dimulai setelah kita mengalami krisis pada
tahun 1997 yang diikuti dengan kejatuhan rezim otoriter Orde Baru pada bulan
Mei 1998. Upaya ini dapat dilihat dengan adanya Ketetapan MPR No. XI/ MPR/ 1998
tentang Penyelengaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (KKN). Kemudian diikuti dengan pemberlakuan UU No. 28 Tahun
1999 tentang Penyelenngaraan Negara yang Bersih dan (KKN) yang diikuti
dengan empat Peraturan Pemerintah sebagai pelaksana UU No. 28 yaitu PP No. 65/
1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, PP No.
66/ 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan serta Pemberhentian
Anggota Komisi Pemeriksa, PP No. 67/ 1999 tentang Tata Cara Pemantauan
dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Komisi Pemeriksa, dan PP No.
68/ 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam
Peyelenggaraan Negara.
MAKNA KORUPSI
Korupsi (bahasa Latin: corruptio
dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat
publik, baik politikus / politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak
wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada
mereka.
Korupsi selalu diidentikkan dengan
mencuri, mengambil hak orang lain. Korupsi diartikan dengan mark up dana
di luar batas yang seharusnya. Korupsi dimaknai sebagai tindakan mengambil hak
orang. Setidaknya itu sementara pemaknaan orang atas istilah bernama korupsi.
Dalam arti yang luas, korupsi atau
korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi.
Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya
korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh
dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi
berat yang diresmikan, dan sebagainya.
Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi,
yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura
bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Dalam bedah buku NU Melawan
Korupsi Kajian Tafsir dan Fiqh, yang digelar oleh Pimpinan Wilayah
Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur, terungkap makna baru korupsi. KH Mohammad
Masyhuri Naim menyampaikan arti lain korupsi., korupsi memiliki beragam makna,
diantaranya adalah suap. Antara korupsi dengan suap kan berbeda secara
substansial, yakni suap bermakna memberi. Sementara korupsi mengandung makna
mengambil.Akan tetapi, keduanya kini berjalan beriringan. Untuk mendapatkan
sesuatu seringkali orang melakukan suap.
Sementara, menurut Zainuddin Rektor
Universitas Muhammadiyah Surabaya memaknai korupsi sebagai gaya hidup dan
krisis. Korupsi menjadi gaya hidup yang disebabkan oleh krisis diantaranya
mencakup moral, sosial, ekonomi, dan politik.
Makna korupsi, sesungguhnya
bergantung persepsi. Demikian halnya dengan penanganan korupsi. Meminjam
istilah Ali Maschan, harus ada empat hal yang beriringan yakni substansi hukum,
struktur hukum, sumber daya manusia, dan budaya hukum.
Asal Muasal Korupsi Di Negara Berkembang
Korupsi di Negara berkembang berawal
dari ketidak adanya kesadaran masyarakat dalam melakukan suatu hal dengan
transparansi yang berbeda jauh dengan
masyarakat di Negara-Negara maju. Namun ada juga factor-faktor pendukung yang
lain yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan korupsi.
1. Kondisi yang mendukung munculnya korupsi :
a. Konsentrasi kekuasan di pengambil
keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung
b. kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di
rezim-rezim yang bukan demokratik.
c. Kurangnya transparansi di
pengambilan keputusan pemerintah
d. Kampanye-kampanye politik yang
mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan
e. politik yang normal.
f. Proyek yang melibatkan uang rakyat
dalam jumlah besar.
g. Lingkungan tertutup yang
mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
h. Lemahnya ketertiban hukum.
i. Lemahnya profesi hukum.
j. Kurangnya kebebasan berpendapat atau
kebebasan media massa.
k. Rakyat yang cuek, tidak tertarik,
atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian
l. yang cukup ke pemilihan umum.
m. Ketidakadaannya kontrol yang cukup
untuk mencegah penyuapan .
n. Gaji pegawai pemerintah yang sangat
kecil.
Mengenai kurangnya gaji atau
pendapatan pegawai negeri dibanding dengan kebutuhan hidup yang makin hari
makin meningkat pernah di kupas oleh Bpk. Soedarsono yang menyatakan
antara lain " Pada umumnya orang menghubung-hubungkan tumbuh suburnya
korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan adalah kurangnya gaji
pejabat-pejabat. " namun B Soedarsono juga sadar bahwa hal tersebut
tidaklah mutlak karena banyaknya faktor yang bekerja dan saling memengaruhi
satu sama lain. Kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling menentukan, orang-orang
yang berkecukupan banyak yang melakukan korupsi. Namun demikian kurangnya gaji
dan pendapatan pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol dalam arti
merata dan meluasnya korupsi di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh Guy J
Parker dalam tulisannya berjudul "Indonesia 1979: The Record of
three decades (Asia Survey Vol. XX No. 2, 1980 : 123).
Begitu pula J.W Schoorl mengatakan bahwa " Di Indonesia di bagian
pertama tahun 1960 situasi begitu merosot sehingga untuk sebagian besar
golongan dari pegawai, gaji sebulan hanya sekadar cukup untuk makan selama dua
minggu. Dapat dipahami bahwa dalam situasi demikian memaksa para pegawai
mencari tambahan dan banyak diantaranya mereka mendapatkan dengan meminta uang
ekstra untuk pelayanan yang diberikan”.
2. Dampak negatif Yang Ditimbulkan
Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat.
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat.
Secara
umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian
prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan
bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi
pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi (kekacauan ) dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi (kekacauan ) dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.
Walaupun ada yang menyatakan bahwa
korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang
baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan
inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan".
Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai
hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi
(kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek
masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin
menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi,
yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi
pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan
lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan
infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan
pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika
dan Asia, terutama di Afrika, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang
menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri,
bukannya diinvestasikan ke dalam negeri.
Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti
Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok),
namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi
infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain.
Dalam
kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga
kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama
yang sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk
menumpuk kekayaan mereka di luar negeri.
POLITIK
Di arena politik, sangatlah sulit
untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi untuk membuktikan
ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip menyangkut politisi.
Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.
Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan munculnya tuduhan korupsi politis.
Korupsi politis ada dibanyak negara,
dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya. Korupsi politis berarti
kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat
luas.
Satu contoh lagi adalah bagaimana
politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan
perusahaan-perusahaan kecil .Politikus-politikus "pro-bisnis" ini
hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan
sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
Korupsi
berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak.
Baik individual maupun masyarakat
secara keseluruhan. Selain meningkatkan ketamakan dan kerakusan terhadap
penguasaan aset dan kekayaan korupsi juga akan menyebabkan hilangnya
sensitivitas dan kepedulian terhadap sesama.
Rasa saling percaya yang merupakan
salah satu modal sosial yang utama akan hilang. Akibatnya, muncul fenomena
distrust society ( hilangnya kepercayaan masyarakat ), yaitu masyarakat yang
kehilangan rasa percaya, baik antar sesama individu, maupun terhadap institusi
negara. Perasaan aman akan berganti dengan perasaan tidak aman (insecurity
feeling). Inilah yang dalam bahasa Al-Quran dikatakan sebagai libaasul
khauf (pakaian ketakutan).
D. Upaya Membangun Tata Kelola Pemerintahan Yang Bersih
Kesejahteraan masyarakat selama ini
belum mampu terwujud dengan maksimal, karena terkendala prosedur tata kelola
Pemerintahan yang kurang transfaran dan bersih. Tata kelola Pemerintahan yang
transparan dan bersih merupakan dasar mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Namun, kinerja Pemerintah selama ini hanya terfokus dengan urusan politik,
sehingga kesejahteraan masyarakat belum mampu terwujud dengan maksimal.
Pengamat Politik dan Hukum Cokorda
Gede Atmaja mengatakan, kondisi tersebut dibuktikan dengan keberadaan
masyarakat miskin akan tetap miskin, selama prosedur penyelesaian kemiskinan
hanya sebatas bedah rumah. Menurutnya, Pemerintah harus memberikan pendidikan
dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga masyarakat
mampu menciptakan usaha sendiri dan tidak bergantung pada peluang kerja yang
disediakan Pemerintah. Selain itu, prosedur penegakan hukum yang merupakan
dasar Pemerintahan yang transfaran juga belum mampu terlaksana dengan baik.
Cokorda Gede Atmaja menambahkan,
untuk mewujudkan tata kelola Pemerintahan yang bersih dan transfaran, selain
memprioritaskan penegakan hukum dan kesejahteraan masyarakat, komitmen
Pemerintah juga sangat diperlukan, terutama dalam hal perbaikan anggaran APBD.
Sebab, selama ini anggaran dalam APBD lebih diprioritaskan pada anggaran rutin,
sedangkan anggaran pembangunan hanya memperoleh porsi 25% dari APBD. Padahal,
porsi dari anggaran rutin dan anggaran pembangunan seharusnya seimbang, agar
tata kelola Pemerintahan dapat berjalan dengan baik. Untuk itu, masyarakat
turut andil mengawasi kinerja Pemerintah, agar tidak terjadi ketimpangan dalam
pengambilan kebijakan.
TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN KINERJA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
PENGERTIAN
BIROKRASI
Sejauh ini, birokrasi menunjuk pada empat pengertian, yaitu: Pertama, menunjuk pada kelompok pranata atau lembaga tertentu. Pengertian ini menyamakan birokrasi dengan biro. Kedua, menunjuk pada metode khusus untuk pengalokasian sumberdaya dalam suatu organisasi besar. Pengertian ini berpadanan dengan istilah pengambilan keputusan birokratis. Ketiga, menunjuk pada “kebiroan” atau mutu yang membedakan antara biro-biro dengan jenis-jenis organisasi lain. Pengertian ini lebih menunjuk pada sifat-sifat statis organisasi (Downs, 1967 dalam Thoha, 2003). Keempat, sebagai kelompok orang, yakni orang-orang yang digaji yang berfungsi dalam pemerintahan (Castle, Suyatno, dan Nurhadiantomo, 1983).
Pandangan
Masyarakat terhadap Birokrasi
1. Kualitas kerja rendah
2. Biaya mahal dan boros
3. Miskin informasi dan lebih
mementingkan diri sendiri
4. Banyak melakukan pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku à Penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan, KKN
5. Sewenang-wenang
6. Arogan
Permasalahan Utama
a.
Kelembagaan
dan tatalaksana: struktur organisasi, inkonsistensi dan instabilitas peraturan
perundang-undangan, penggunaan TI
b.
Sumberdaya
manusia: kualitas, sistem penggajian
c.
Pengawasan:
akuntabilitas, etika dan moral
d.
Pelayanan
Publik: standar pelayanan Organisasi: struktur besar, tidak sesuai dengan
kebutuhan, bentuk organisasi yang tidak tepat
e.
Personil:
kepangkatan, isu lokalisme, mutasi, peningkatan jumlah pegawai honorer
f.
Keuangan:
anggaran berbasis kinerja, sistem perencanaan yang rumit dan hirarkhis, masalah
SPM dan Standar Analisis Biaya (SAB), politisasi anggaran, transparansi
g.
Perencanaan:
sistem perencanaan, keterlibatan masyarakat
Permasalahan Internal dalam Birokrasi
a.
sistem perekrutan;
b.
sistem penggajian dan pemberian
penghargaan;
c.
sistem pengukuran kinerja;
d.
sistem promosi dan pengembangan karir;
serta
e.
sistem pengawasan
Situasi Problematis Birokrasi
a.
Struktur,
norma, nilai dan regulasi yang ada masih berorientasi pada kepentingan
penguasa/birokrat (power culture)
b.
Masih
belum terbentuk budaya Birokrasi (service delivery culture)
c.
Masih
tingginya ketidakpastian dalam Birokrasi (cost of uncertainty)
d.
Budaya
patron-client dan budaya afiliasi yang mengarah kepada moral hazard
e.
Rendahnya
kompetensi para birokrat
Strategi Utama Reformasi yang dilakukan
1.
merevitalisasi kedudukan, peran dan
fungsi kelembagaan yang menjadi motor penggerak reformasi administrasi, dan
2.
menata kembali sistem administrasi
negara baik dalam hal struktur, proses, sumber daya manusia (PNS) serta relasi
antara negara dan masyarakat
Upaya-Upaya reformasi
Birokrasi
1. Pada level kebijakan, harus diciptakan berbagai
kebijakan yang mendorong Birokrasi yang berorientasi pada pemenuhan hak-hak
sipil warga (kepastian hukum, batas waktu, prosedur, partisipasi, pengaduan,
gugatan)
2. Pada level organisational, dilakukan melalui perbaikan proses
rekrutmen berbasis kompetensi, pendidikan dan latihan yang sensitif terhadap
kepentingan masyarakat, penciptaan Standar Kinerja Individu, Standar Kinerja
Tim dan Standar Kinerja Instansi Pemerintah
3. Pada level operasional, dilakukan perbaikan melalui
peningkatan service quality meliputi dimensi tangibles, reliability,
responsiveness, assurance dan emphaty.
4. Instansi Pemerintah, secara periodik melakukan
pengukuran kepuasan pelanggan dan melakukan perbaikan .
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KIERJA BIROKRASI
Faktor Budaya
a. Budaya dan perilaku koruptif yang
sudah terlembaga (“uang administrasi” atau uang “pelicin”)
b. Budaya “sungkan dan tidak enak” dari
sisi masyarakat
c. Masyarakat harus menanggung biaya
ganda karena zero sum game
d. Internalisasi budaya dalam mekanisme
informal yang profesional
Faktor Individu
a. Perilaku individu sangat bersifat
unik dan tergantung pada mentalitas dan moralitas
b. Perilaku individu juga terkait
dengan kesempatan yang dimiliki seseorang yang memiliki jabatan dan otoritas
c. Perilaku opportunistik hidup subur
dalam sebuah sistem yang korup
d. Individu yang jujur seringkali
dianggap menyimpang dan tidak mendapat tempat
Faktor Organisasi dan Manajemen
a. Meliputi struktur, proses,
leadership, kepegawaian dan hubungan antara pemerintah dan masyarakat
b. Struktur birokrasi masih bersifat
hirarkis sentralistis dan tidak terdesentralisasi
c. Proses Birokrasi seringkali belum
memiliki dan tidak melaksanakan prinsip-prinsip efisiensi, transparansi,
efektivitas dan keadilan
d. Birokrasi juga sangat ditentukan
oleh peran kepemimpinan yang kredibel.
e. Dalam aspek kepegawaian, Birokrasi
dipengaruhi oleh rendahnya gaji, proses rekrutmen yang belum memadai, dan
kompetensi yang rendah.
f.
Hubungan
masyarakat dan pemerintah dalam Birokrasi belum setara; pengaduan dan partisipasi masyarakat masih belum
memiliki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar