(Oleh Ansari, S.H.I)
Tafsir ayat-ayat al-Qur’an telah terkenal sejak zaman
permulaan Islam. Di samping banyak ayat yang tidak memerlukan tafsir atau
ditafsirkan oleh ayat atau ayat-ayat lain, sebagian ayat ditafsirkan oleh Nabi
Muhammad sendiri berdasarkan pemahaman yang diberikan Allah kepada beliau
selaku Nabi. Sebagian besar Sunnah atau Hadits beliau sebenarnya adalah
tafsiran terhadap al-Qur’an. Sisanya adalah tafsir oleh para mufassir
berdasarkan konteks, maksud-maksus syari‘ah secara umum, bahasa dan lain-lain.
Sejak munculnya apa yang disebut hari ini Islamic
studies, berbagai penafsiran dari berbagai latar belakang telah diberikan
kepada al-Qur’an, tetapi tafsir ayat-ayat sosial politik, apalagi dalam konteks
disiplin ilmu-ilmu modern, tergolong sangat baru. Tidak dapat diragukan bahwa
al-Qur’an adalah buku petunjuk bagi orang yang bertaqwa dalam kehidupan ini
[al-Baqarah 2], termasuk dalam bidang sosial politik. Sungguhpun demikian,
tidak mudah menemukan ayat-ayat sosial politik dalam kitab-kitab tafsir klasik
yang beredar sampai hari ini.
Masalah pertama adalah karena perkembangan yang
dilalui oleh dunia Islam dalam bidang sosial politik. Islamic studies yang
sekarang dikembangkan dalam tiga fakultas tradisional ushuluddin, syari‘ah dan
bahasa Arab pada mulanya adalah semacam pelarian dari dunia politik yang
dimonopoli oleh para penguasa. Dari permulaan yang tidak normal ini, pengkajian
yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah ini akhirnya mengalami perkembangan
yang sangat pesat sehingga melahirkan cabang-cabang ilmu yang jumlahnya
puluhan, tetapi sayang sekali tidak banyak menyentuh bidang sosial politik.
Warisan ilmu Islam hanya meninggalkan segelintir kecil orang yang tertarik
membahas masalah sosial politik secara independen. Bila para ilmuwan misalnya
berbicara tentang syûrâ, keadilan atau pemerintahan menurut hukum Allah
dan Rasul, maka mereka akan berhadapan dengan kekuasaan yang tidak sepenuhnya
berdasarkan syûrâ, keadilan atau pemerintahan Islam yang sebenarnya.
Para ilmuwan yang membangkang akan mendapat resiko pengucilan, pengejaran dan
bahkan kematian, bila mempunyai keberanian berbicara tentang sistem sosial
politik di luar dari sistem yang sedang berjalan. Bila ada pemerintahan yang
berjalan sesuai syûrâ, keadilan dan hukum yang benar, maka itu lebih banyak
sebagai pantulan pribadi penguasa sebagai individu yang mempunyai kepribadian
Islam yang tangguh, tetapi bukan karena lembaga sosial politik yang dikembangkan
berdasarkan pandangan Islam dan ilmu yang benar.
Banyak ilmuwan yang mencari jalan yang aman dengan
tidak menghindari bidang sosial politik. Kita hanya mengenal orang semacam
al-Mawardi, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun yang berbicara tentang politik hukum
(siyâsah syar‘iyyah), dan itu
pada umumnya dalam konteks pemerintahan khilafah yang bersifat turun-temurun
sejak zaman Mu‘awiyah bin
Abi Sofyan. Pikiran sosial politik yang diwarisi oleh berbagai Islamic
movements hari ini, yang ingin menegakkan sistem sosial politik Islam
beranjak dari otoritas murni al-Qur’an dan as-Sunnah di luar pemahaman para
penguasa tidak mendapat tempat yang wajar dalam sejarah Islam.
Karena itu, tidak mengherankan bila dalam kitab-kitab
Islamic studies hari ini, hampir-hampir tidak ditemukan konsep-konsep yang
rinci tentang syûrâ (permusyawarahan), ulu al-amr (pemimpin
negara), al-‘adl (keadilan),
al-mulk (kedaulatan), ad-dawlah (negara), as-sulthah
(kekuasaan), al-amr bi al-ma‘rûf wa an-nahy ‘an
al-munkar (amar ma‘ruf nahi munkar), al-qadhâ’
(sistem peradilan), ahl al-hill wa al-‘aqd, (lembaga
permusyawaratan),al-hukm (pemerintahan, hukum), al-ukhuwwah
(persaudaraan), al-ummah (bangsa, ummat) al-musâwâ
(persamaan), asy-syu‘ûb (rakyat),
al-qabâ’il (suku bangsa) dan lain-lain dari pandangan ilmu yang benar.
Padahal konsep-konsep dan teori-teori yang berasal dari istilah-istilah ini
sangat menentukan dalam melihat pandangan sosial politik Islam. Sementara itu,
negara-negara nasional Islam di abad modern atau berpenduduk mayoritas Islam
secara umum belum mempunyai minat yang cukup untuk mengembangkan lembaga sosial
politik beranjak dari konsep-konsep murni Islam. Ini adalah masalah kedua.
Karena itu, konsep-konsep Islam dalam bidang ini tidak hanya miskin wacana,
tetapi juga praktek sejarah.
Memperhatikan pendahuluan ringkas di atas, maka
menulis sebuah tafsir ayat-ayat sosial politik dalam konteks modern merupakan
sebuah terobosan besar. Karya Syu‘bah Asa dapat kita masukkan ke dalam
katagori ini. Syu‘bah
barangkali adalah orang kedua di Indonesia setelah Dawam Rahardjo dengan Ensiklopedi al-Qur’an-nya
yang memulai usaha dalam bidang ini. Kepada beliau patut diberikan dukungan dan
penghargaan.
Sebelum Syu‘bah dan Dawam telah dilakukan
berbagai usaha, misalnya, oleh Sayyid Quthb dalam Fî Zhilâl al-Qur’an,
Mawdudi dalam Tarjuman al-Qur’an (The
Meaning of the Qur’an) serta beberapa karya beliau yang lain tentang
politik hukum, Tim Penafsir Majelis Tinggi Urusan Islam Mesir dalam al-Muntakhab fi Tafsîr
al-Qur’an dan Muhammad Asad dalam The Message of the Qur’an.
Asad sebelumnya juga sudah mencoba
mengembangkan teori politik Islam dalam The Principles of State and Government
in Islam.
Terakhir, Fathi Osman
dalam Concepts of the Qur’an: A Topical Reading juga membuat tafsir
sosial politik beranjak dari wawasan lama dan baru. Kecuali Sayyid Quthb, semua
tafsir modern yang disebutkan terdahulu belum tercantum dalam rujukan Syu‘bah.
Dengan jelas dapat dilihat bahwa Syu‘bah lebih mengandalkan tafsir-tafsir
klasik yang memang tidak mungkin diandalkan untuk sebuah tafsir sosial politik
dalam konteks ilmu-ilmu sosial dan politik yang berkembang hari ini. Dalam hal
ini, Syu‘bah juga tidak mengambil perbandingan kepada rujukan-rujukan utama
disiplin ilmu-ilmu sosial dan politik dalam membahas masalah bangsa,
kemerdekaan, keadilan, pemerintahan, krisis, kekuasaan, pengkhiantan (treason),
agama dan lain-lain yang menjadi topik-topik utama bahasan buku. Selain itu,
Syu‘bah tampaknya juga belum menjamah pemikiran sosial politik para pendukung
islamisasi ilmu pengetahuan, misalnya IIIT Amerika Serikat dan International
Islamic Universities di Kuala Lumpur dan Islamabad.
Penyertaan
sumber-sumber tafsir modern dan disiplin ilmu modern dalam bidang sosial
politik tentu menjadi cita-cita Syu‘bah, tetapi buku ini dari semula memang
tidak dirancang untuk itu. Topik-topik yang disusun dalam buku ini pertama kali
disiapkan untuk konsumsi pembaca majalah Panji Masyarakat. Sebagai
majalah berita dan kebudayaan, topik-topik yang ditulis tidak terlepas dari
kondisi ruang dan waktu tentang di mana dan kapan tulisan-tulisan tersebut
dibuat. Tampak sekali ada keinginan dari penulis untuk berpartisipasi dalam
menanggapi isu-isu politik semasa yang sedang berkembang. Inilah salah satu
alasan kenapa penulis bersikeras untuk tetap mencantumkan tanggal di akhir
setiap tulisan agar pembaca dapat melihat konteksnya. Penulis sebenarnya
dihadapkan kepada dua hal antara menanggapi isu-isu yang berkembang dan mengembangkan
konsep-konsep sosial politik dari ayat-ayat al-Qur’an. Untuk mengejar dead-line,
karena masalah waktu dan lain-lain, maka kedua target itu tidak bisa dicapai
sekaligus dengan memuaskan.
Setiap
"gayung" memang perlu "disambut", tetapi penyambutan yang
diberikan tidak semuanya dapat memperhatikan kedalaman tafsir mawdhû‘î
(tafsir tematik) untuk topik sosial politik yang dibahas. Karena itu, kita
dapat memahami kenapa Syu‘bah dalam metodologinya tidak membuat klasifikasi
ayat-ayat dengan topik yang sama dalam bidang sosial politik. Pada umumnya
tafsir yang disajikan hanya beranjak dari satu ayat tertentu dan tidak
menelusuri semua ayat yang berhubungan dengan topik tersebut dalam seluruh
al-Qur’an. Ini dapat dilihat, misalnya, dari pembahasan tentang masalah
agama-agama (hlm. 9-14), penganut agama yang selamat di akhirat (hlm. 15-22)
dan Yahudi serta Nasrani (hlm. 23-28).
Untuk
membahas masalah agama-agama dalam al-Qur’an seorang penafsir tidak hanya cukup
mengutip ayat tentang perubahan kiblat saja (al-Baqarah 148) seperti dilakukan
oleh Syu‘bah. Paling tidak semua entry tentang dîn, millah, islâm
dan semua derivasi serta yang berhubungan dengan ketiga kata ini perlu diteliti
dari sudut konteks setiap ayat dan setelah itu pengertian umumnya. Pembicaraan
tentang penganut agama yang selamat di akhirat juga tidak menelusuri semua ayat
tentang Yahudi, Nasrani dan Shâbi‘ah, tetapi hanya mengandalkan al-Baqarah 62.
Begitu juga pembicaran tentang Yahudi dan Nasrani tidak dihubungkan kepada
istilah ahlu Kitab yang banyak sekali disebut dalam al-Qur’an, tetapi hanya
menukik kepada al-Baqarah 120. Dengan pengambilan ayat secara acak tersebut
dalam ketiga contoh di atas, kita tidak dapat melihat konsep al-Qur’an secara
utuh tentang masalah agama-agama, agama yang benar dan agama-agama Yahudi,
Nasrani dan Shâbi‘ah secara khusus. Padahal penggambaran konsep utuh itu
merupakan salah satu tugas tafsir tematis al-Qur’an.
Dampak
tanggapan terhadap isu semasa dan mengejar dead-line layaknya sebuah
penerbitan pers dapat menimbulkan kesan akomodatif untuk topik yang dibahas.
Ini memang masalah yang sukar dihindari. Tiga topik dari tiga contoh di atas
tampaknya bertujuan untuk membangun kerukunan ummat Islam dengan penganut
agama-agama lain di Indonesia (tidak ada yang salah mengenai hal ini) dan
secara khusus membuka hubungan dengan negara Yahudi Israel. Hubungan Indonesia
yang mayoritas Islam dan Israel yang beridiologi Zionisme Yahudi tidak sempat
dibahas Syu‘bah, tetapi beliau memberi kesan mendukung pendapat Gus Dur bahwa bangsa
Yahudi bagaimanapun adalah "bangsa beragama, ahlul kitab, lagi,
tidak seperti orang Soviet atau RRC yang komunis." [hlm. 36] Itu betul,
tetapi Negara Yahudi Israel masih mempunyai masalah dengan negara-negara Islam
tetangganya, melakukan teror atas nama negara, masih teguh dengan sifat-sifat
buruk Yahudi yang disebutkan berulang-ulang dalam al-Qur'an dan lain-lain.
Seterusnya tanpa analisis, Syu‘bah kemudian menjadi persis sama dengan Gus Dur,
yang mengatakan bahwa hubungan tersebut bukan menyangkut problema agama dan
"sama sekali bukan problema akidah." Permasalahan akan menjadi lain
bila Syu‘bah juga sempat membahas dari pandangan al-Qur’an bahwa agama (ad-dîn)
di samping berarti kepatuhan (ath-thâ‘ah), ketundukaan (al-inqiyâd)
dan pembalasan (al-jazâ’), juga berarti pemerintahan dan hukum (al-hukm,
asy-syarî‘ah) seperti dalam surah Yûsuf 76. Begitu juga akidah, yang bukan
berasal dari istilah al-Qur’an, di samping berarti articles of faith, doctrine
atau creed, juga berarti idiology. Selain itu, tidak memasukkan
hubungan antar negara sebagai masalah agama dan akidah, dalam hal ini hubungan
Indonesia yang mayoritas Islam dan Yahudi Israel, juga bertentangan dengan tema
buku secara keseluruhan, bahwa masalah sosial politik adalah bagian dari agama,
karena itu Syu‘bah menulis Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik.
Bagaimanapun,
Syu‘bah telah membuka sebuah wawasan baru di Indonesia bahwa kitab Allah juga
berbicara tentang masalah sosial politik, yang hari ini menjadi urusan negara
dan pusat perhatian masyarakat. Secara tidak langsung, Syu‘bah sebenarnya juga
menjawab pernyataan kelompok tertentu di negeri ini sejak lama bahwa
"Islam, yes, politics, no", dan secara khusus Gus Dur yang tampaknya
cenderung memisahkan urusan agama dari urusan negara.
[1]
Disampaikan dalam acara bedah buku:
Syu‘bah Asa, Dalam Cahaya Al-Qur’an: Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik. Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Utama, 2000 (482+xxii halaman). Wisma Kodel, Jakarta, Rabu
malam, 24 Mei 2000.
[2]
‘Abd al-Hamîd Abû Sulaimman, alih bahasa
Rifyal Ka‘bah, Krisis Pemikiran Islam (Jakarta: IIIT/MD, 1994), terutama
hlm. 118-124.
[3]
Karena penulis tidak menetapkan
sistem transliterasi Arab-Indonesia, maka pertanyaan pertama adalah tentang
cara penulisan nama penulis buku sendiri, apakah Syu’bah [شعبةةة] (dengan ’ seperti tertulis) ataukah dengan Syu‘bah [شؤبة] (dengan tanda ‘). Yang jelas, dalam buku
ini penulisan huruf ‘ayn [ع]
dan huruf hamzah [ء] dalam tulisan Latin
tidak dibedakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar