(Oleh Ansari, S.H.I)
Perkawinan
menyangkut banyak segi yang melibatkan kedua belah pihak (suami-isteri),
keturunan mereka dalam garis lurus ke bawah dan ke atas, harta benda, hubungan
masyarakat melalui
kontak sosial, hubungan hukum melalui kontak negara, dan lain-lain. Tidak mengherankan bila perkawinan melahirkan berbagai masalah hukum, baik perdata maupun pidana, yang tidak mungkin dicakup secara kesuluruhan dalam kesempatan seperti ini.
kontak sosial, hubungan hukum melalui kontak negara, dan lain-lain. Tidak mengherankan bila perkawinan melahirkan berbagai masalah hukum, baik perdata maupun pidana, yang tidak mungkin dicakup secara kesuluruhan dalam kesempatan seperti ini.
Tulisan
ini tidak membahas semua permasalahan perkawinan, tetapi membatasi diri untuk
masalah perkawinan yang berhubungan dengan agama penduduk di Indonesia.
Dasar
Hukum Perkawinan
Hampir
dalam semua tradisi hukum, baik civil law, common law, maupun Islamic
law, perkawinan adalah sebuah kontrak berdasarkan persetujuan sukarela yang
bersifat pribadi antara seorang pria dan wanita untuk menjadi suami-isteri.
Dalam hal ini, perkawinan selalu dipandang sebagai dasar bagi unit keluarga
yang mempunyai arti penting bagi penjagaan moral atau akhlak masyarakat dan
pembentukan peradaban.
Secara
tradisional, suami dalam semua sistem tersebut bertugas menyiapkan tempat
tinggal, memenuhi kebutuhan rumah tangga dan melindungi keluarga secara umum.
Sementara itu, isteri berkewajiban mengurus rumah tangga, tinggal di rumah,
melakukan hubungan seksual dengan suami dan memelihara anak-anak. Konsep
perkawinan sebagai kontrak yang sah seperti ini sampai sekarang belum berubah,
tetapi karena perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat mengikuti hukum
kehidupan, maka kewajiban-kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak
tersebut tidak lagi persis seperti pada masa lalu.
Di
antara faktor penting yang menyebabkan terjadinya perubahan hukum adalah campur
tangan negara dalam mengatur masalah perkawinan menerapkan teori Rescue Pond
tentang “law as a tool of social engeenering”. Dulunya kontrak perkawinan
dilakukan berdasarkan murni hukum agama atau hukum adat, tetapi di zaman modern
karena dinamika kehidupan yang semakin berkembang, maka negara merasa perlu
membuat berbagai aturan yang diharapkan dapat menjaga ketertiban masyarakat sehingga
moral atau akhlak masyarakat tetap terjaga dan peradaban tetap berlangsung.
Aturan-aturan hukum tersebut ada yang merupakan pengembangkan hukum perkawinan
yang sudah ada di masa lalu dan ada juga yang merupakan hukum baru sama sekali.
Salah
satu permasalahan dalam hal perkawinan sebagai kontrak adalah tentang status
kontrak itu sendiri, apakah sama dengan perjanjian lain yang bersifat sekular
(terlepas dari agama), atau perjanjian suci bersifat keagamaan yang berbeda
dengan kontrak sekular biasa, atau kontrak suci agama yang dikuatkan dengan
kontrak sekular. Permasalahan ini erat hubungannya dengan tabiat sebuah negara.
Dalam negara yang menerapkan sekularisasi seperti pada negara-negara Barat pada
umumnya, maka kontrak perkawinan tak obahnya seperti kontrak-kontrak lain yang
bersifat sekular, yang dapat diatur berdasarkan kemauan bebas para pihak sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam sebuah negara sekular,
perkawinan sekular terpisah dari perkawinan agama, dan negara hanya mengakui
perkawinan sekular oleh negara dan tidak mengakui perkawinan agama. Sebaliknya
dalam negara yang ikut membawa peran serta agama, seperti Indonesia dan
negara-negera berpenduduk mayoritas muslim, maka perkawinan adalah sebuah
kontrak suci agama yang dapat dikukuhkan dengan kontrak sekular keduniaan.
Heboh beberapa RUU Perkawinan yang diajukan oleh Pemerintah sebelum UU No 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat UUP/1974) pada dasarnya
adalah karena perkawinan dianggap sebagai kontrak sekular biasa yang dapat
terlepas dari agama.
Perkawinan
di Indonesia
Sebelum
kedatangan penjajah Belanda, perkawinan secara umum dilaksanakan berdasarkan
hukum agama atau hukum adat (yang juga bercampur dengan hukum agama).
Perkawinan yang tertua di Indonesia adalah berdasarkan hukum agama Hindu,
Budha, Islam dan hukum adat untuk suku-suku yang tidak menganut agama Hindu,
Budha dan Islam. Setelah kedatangan pejajah Barat, karena kaum penjajah
beragama Kristen dan administrasi penjajahan melindungi para missi dan zending
yang menyebarkan agama Kristen di pelosok Nusantara, maka perkawinan juga
dilaksanakan berdasarkan agama Kristen. Sungguhpun demikian, karena agama Islam
kemudian dianut oleh mayoritas penduduk, maka hukum perkawinan yang banyak
diikuti adalah hukum Islam.
Dari
kenyataan tersebut, maka pembuat UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” [Pasal 2 ayat (1)]. Agama yang
dimaksud merujuk kepada Pasal 29 ayat (2) UUD 1945: “Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan kepercayaannya itu.”
Agama
dan kepercayaan melahirkan dua interpretasi. Pertama, agama dan kepercayaan
adalah satu kesatuan; agama sebagai bentuk ketaatan dan kepercayaan sebagai
sistem kepercayaan dalam agama tersebut. Ini adalah tafsir yang umumnya
dipegang oleh para pembuat UUD 1945. Kedua, agama sebagai satu kesatuan dan
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai satu kesatuan yang lain, dan keduanya
merupakan entitas yang berbeda. Tafsiran ini menginginkan pengakuan tersendiri
kepada aliran kepercayaan di Indonesia. Bagaimanapun, tafsiran resmi yang
dipegang sampai sekarang adalah tafsiran yang pertama.
Jadi
pada dasarnya, perundang-undangan Indonesia tetap meneruskan hukum perkawinan
berdasarkan agama yang sudah berlaku sejak lama di Indonesia. Campur tangan
negara hanyalah dalam bidang pencatatan sehingga ayat (2) Pasal 2 UUP/1974
menyatakan: “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”
Permasalahan
yang dilahirkan dari praktek Pasal 2 UUP/1974 antara lain:
Pertama: Sebagian
kecil masyarakat tidak melaksanakan perkawinan menurut hukum agamanya.
Permasalahan ini timbul antara lain karena adaya pasangan yang melangsungkan
perkawinan berbeda agama (walaupun persentasenya sangat kecil), sementara itu
UUP/1974 tidak mengatur perkawinan beda-agama.
Praktek
yang ditempuh, biasanya salah satu pihak pindah ke agama pihak lain. Ini memang
banyak terjadi, tetapi bila salah satu pihak tidak mau dimurtadkan ke agama
calon suami atau isteri, maka perkawinan batal dilaksanakan. Kasus yang
terkenal untuk yang terakhir ini adalah rencana perkawinan Christine Hakim
dengan teman pria beda agamanya yang telah membina hubungan selama
bertahun-tahun.
Atau
jalan keluar yang ditempuh adalah melaksanakan perkawinan di luar negeri, yaitu
di salah satu negara sekular yang tidak mengharuskan perkawinan berdasarkan
hukum agama, misalnya Singapura, lalu perkawinan tersebut dicatatkan di Kantor
Catatan Sipil (KCS). Pada masa lalu, perkawinan jenis ini ada yang berhasil
dicatat di KCS, tetapi pada masa akhir-akhir ini KCS menolak pencatatannya.
Jalan
keluar ketiga adalah perkawinan beda-agama melalui “penghulu liar” seperti yang
dilaporkan oleh sebuah majalah ibu kota: “Pesulap Deddy Corbuzier Menikahi
Karlina. Pemeluk Katolik dan Islam itu dinikahkan Zainun Kamal, doktor UIN yang
juga penghulu pribadi. Kali ini Deddy tidak sedang bermain sulap, lo.”
Perkawinan jenis ini di samping mendapat penolakan dari para ahli hukum Islam
dan teman-teman dekat Zainun Kamal sendiri,
juga merupakan perkawinan yang tidak sesuai dengan UUP/1974.
Jalan
keluar keempat adalah seperti yang ditempuh oleh sebuah putusan MA pada tahun
1990
yang mensahkan perkawinan beda agama berdasarkan hukum antar golongan yang
berlaku di zaman penjajahan Belanda. Putusan tersebut sebenarnya merupakan
sebuah langkah mundur karena dua hal. Pertama, dengan berlakunya UUP/1974, maka
hukum perkawinan yang ada sebelum undang-undang ini tidak berlaku lagi (Pasal
66 UUP/1974). Kedua, hukum perkawinan antar golongan yang diberlakukan Belanda
bertolak dari pandangan bahwa perkawinan adalah sebuah kontrak sekular.
Sementara itu, Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang
Esa, dan Ketuhanan Yang Maha Esa tidak mungkin dipahami di luar ajaran agama.
Kedua: Sejumlah
cukup bararti masyarakat melaksanakan perkawinan berdasarkan hukum agama,
tetapi tidak mencatatkannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Perkawinan agama tanpa pencatatan ini, misalnya, dapat dilihat dari
jumlah kasus yang cukup perarti di berbagai Pengadilan Agama tentang permohonan
itsbat nikah (penetapan perkawinan), yang diajukan oleh salah satu
pasangan yang pernah menikah secara agama atau ahli waris mereka guna untuk
mendapatkan harta warisan. Bila perkawinan yang pernah dilakukan oleh pemohon
dapat dibuktikan di PA dan disahkan, maka harta almarhum dapat dibagi kepada
ahli warisnya.
Bentuk
lain pernyataan mengakhiri perkawinan adalah melalui iklan di surat kabar.
Sebagai contoh, pasangan suami-isteri bernama H. Yahya Brik (38 tahun) dan
Dania/Meta/Aming (31 tahun) di depan seorang ulama bernama Yusuf A.R. (55
tahun) yang disampaikan oleh kuasa hukum mereka, Yanto Jaya, S.H. & Rekan,
mengumumkan perceraian melalui sebuah iklan surat kabar ibu kota.Ini jelas suatu bentuk perceraian liar karena tidak dilakukan di depan
pengadilan. Pemutusan perkawinan seperti ini dilakukan barangkali dalam rangka
mendapatkan harta bersama atau warisan.
Penyebab
perkawinan seperti ini adalah keyakinan masyarakat bahwa perkawinan adalah
hukum agama murni yang tidak perlu dicampuri oleh negara. Praktek seperti ini
telah berjalan selama berabad-abad di Indonesia sehingga menjadi keyakinan
masyarakat. Selama perkawinan sudah sah secara agama, mereka berpendapat, untuk
apa diperlukan pencatatan, apalagi bila pencatatan tersebut memberatkan mereka
dari segi biaya dan urusan birokrasi.
Kemungkinan
penyebab kedua adalah kurangnya penyuluhan hukum dari pemerintah c.q.
institusi-institusi terkait tentang pentingnya pencatatan perkawinan dan tidak
adanya sanksi hukum untuk perkawinan yang tidak dicatatkan.
Ketiga: Adanya
gejala samen leven, terutama di daerah perkotaan, yaitu pasangan
pria-wanita yang hidup bersama tanpa perkawinan agama dan pencatatan negara.
Gejala ini antara lain adalah akibat dampak samping proses modernisasi di
Indonesia yang diikuti dengan menurunnya pegangan hidup kepada nilai-nilai
moral dan agama.
Segi
lain adalah kurangannya pengawasan masyarakat dan akibat ketiadaan norma hukum
yang melarang dan mempidanakan perbuatan tersebut. Di kalangan anak muda sering
terdengar ungkapan: Do it; everybody does! Salah satu jalan keluarnya
adalah revisi perundang-undangan dengan memidanakan perbuatan pasangan hidup
bersama tanpa tali perkawinan yang sah.
Keempat: Adanya
dua pencatat perkawinan yang berbeda, (1) PPN (Pegawai Pencatat Nikah pada
Kantor Urusan Agama) dan (2) Kantor Catatan Ssipil (KCS). Menurut PP RI No. 9
Tahun 1975 [Pasal 2 ayat (1) dan (2)], perkawinan Islam dicatatkan di PTN dan
perkawinan non-Islam di KCS. Ini jelas tidak efisien dari segi administratif
pencatatan dan cita-cita penyatuan hukum nasional. Jalan keluar untuk dualisme
pencatatan ini tentu adalah revisi peraturan perundang-undangan tentang catatan
sipil dan perundang-undangan tentang PPN.
Hukum
perkawinan berhubungan langsung dengan hukum kewarisan. Salah satu penyebab
kewarisan adalah adanya perkawinan sehingga melahirkan keluarga, dan bila salah
seorang meninggal dunia dan meninggalkan harta, maka harta peninggalan tersebut
dibagi di antara ahli warisnya. Permasalahan yang ditimbulkan sekitar hukum
kewarisan dalam hubungannya dengan agama penduduk antara lain adalah:
Kelima: Sesuai UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sengketa kewarisan antara penduduk
beragama Islam diselesaikan melalui Peradilan Agama [Pasal 49 ayat (1) huruf
(b)]. Sungguhpun demikiran, perkara kewarisan ummat Islam masih diperiksa,
diputus dan diselesaikan di Peradilan Umum. Sebuah penelitian doktor di
Universitas Diponegoro atas nama Afdhal menemukan bahwa kebanyakan perkara
kewarisan ummat Islam di wilayah Jawa Timur diadili di Peradilan Umum.
Permasalahan timbul, pertama karena Peradilan Umum masih menerima perkara
sengketa ummat Islam tentang perkawinan secara umum dan kewarisan secara
khusus. Kedua, adanya celah hukum bagi pencari keadilan untuk memilih Peradilan
Agama atau Peradilan Umum, bila salah satu dari dua pengadilan menguntungkan
dirinya.
Keenam. Sebagai
kelanjutan dari permasalahan keenam di atas, bila perkara perkawinan pangadilan
tingkat pertama dan kedua sampai kasasi atau peninjauan kembali di Mahkamah
Agung, maka terdapat kemungkinan bahwa perkara yang tadinya diputus berdasarkan
hukum Islam di Pengadilan Agama akan ditolak atau dikabulkan oleh MA
berdasarkan hukum adat, atau sebaliknya perkara ummat Islam yang diputus
berdasarkan hukum adat di Pengadilan Umum akan ditolak atau dikabulkan di MA
berdasarkan hukum Islam. Jalan keluar untuk permasalahan ini, bahwa perkara
kasasi dan peninjauan kembali tentang perkawinan diperiksa oleh satu tim di MA (misalnya
Tim E) sehingga tidak melahirkan dualisme yurisprudensi di MA.
Penutup
Diakhir
tulisan ini dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, perkawinan
berdasarkan agama penduduk adalah bagian dari sejarah dan budaya hukum bangsa
Indonesia, sebagai hukum yang hidup (the living law). Karena itu, agar
hukum perkawinan nasional memperoleh kepatuhan umum dari masyarakat, asas ini
masih perlu dipertahankan dalam hukum perkawinan nasional.
Kedua,
perkawinan beda-agama mempunyai resiko yang lebih tinggi dibanding dengan
perkawinan dalam agama yang sama, terutama terhadap keturunan dan hubungan
keluarga serta masyarakat, karena itu sebaiknya dihindari. Perkawinan model ini
merupakan praktek minoritas yang sangat kecil. Bagi pasangan yang terpaksa
melakukan perkawinan berbeda agama harus melangsungkan perkawinan menurut salah
satu agama yang dianut oleh pasangan, dengan resiko salah satu harus rela
mengorbankan keyakinan agamanya.
Ketiga,
pencatatan perkawinan harus selalu dibudayakan melalui pendidikan formal dan
pendidikan masyarakat. Salah satu bentuk pembudayaannya adalah melalui
pemberian sanksi pidana bagi pelaku perkawinan liar dan hidup bersama tanpa
tali perkawinan dalam UU Perkawinan yang akan datang.
Keempat,
perkawinan adalah salah satu bagian kehidupan manusia yang terpenting, karena
itu sengketa perkawinan harus mendapat perhatian khusus dari negara melalui
pembentukan peradilan khusus Hukum Keluarga (semisal Peradilan Niaga, Peradilan
Anak, Peradilan HAM dan lain-lain pada Peradilan Umum), yang dilanjutkan dengan
tim khusus Hukum Keluarga pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali di MA.
Sebaiknya Peradilan Keluarga tersebut merupakan bagian Peradilan Agama yang
selama ini banyak mengurus masalah keluarga. Peradilan Keluarga di berbagai
negara di dunia merupakan peradilan khusus yang berdiri sendiri yang mendapat
penanganan khusus pula, dan ini adalah sebuah contoh yang baik yang dapat
diikuti di Indonesia.
Kelima, guna
efisensi dan kesatuan administrasi, maka pencatatan perkawinan seharusnya hanya
dilakukan oleh satu badan saja, baik bagi penduduk beragama Islam atau pun yang
tidak beragama Islam.
â Disampaikan
dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung di Denpasar, Bali, 18 s/d 22
September 2005.
[1] Perkawinan
disebut juga pernikahan, dari kata nikâh yang berarti `aqd
(kontrak), tetapi kemudian berarti jimâ’ (persetubuhan). Di Indonesia
kontrak atau perjanjian disebut akad nikah (perjanjian pernikahan atau
perkawinan). Sebagai perjanjian atau kontrak, maka pihak-pihak terikat dengan
perjanjian atau kontrak berjanji akan membina rumah tangga yang bahagia
lahir-batin dengan melahirkan anak-cucu yang meneruskan cita-cita mereka. Bila
ikatan lahir dan batin tidak lagi dapat diwujudkan dalam perkawinan, misalnya
tidak lagi dapat melakukan hubungan seksual, atau tidak dapat melahirkan
keturunan, atau masing-masing sudah mempunyai tujuan yang berbeda, maka
perjanjian dapat dibatalkan melalui pemutusan perkawinan (perceraian) atau
paling tidak ditinjau kembali melalui perkawinan kembali setelah terjadi
perceraian.
[2] “Marriage: An
Overview”, website LII (Legal Information Institute),
http://straylight.law.cornell.edu/topics/marriage.html.
[3] Tempo
Magazine, November 6-12, 2001, atau lihat:
http//www.expat.or.id/info/interreligious marriages.html.
[5] Ketika
13 alumni universitas Mesir/Timur tengah, penyandang gelar S1, S2 dan S3 dalam
bidang Islamic studies, penulis minta untuk memberikan pendapat tentang liputan
majalah Forum Keadilan di atas melalui pesan sms, semuanya
berpendapat tanpa kecuali bahwa perkawinan yang dipenghului oleh sdr. Zainun
Kamal tersebut tidak benar menurut hukum Islam. Ketigabelas orang ini mengenal
sdr. Zainun dari dekat sejak dari zaman belajar di Mesir dulu.
Harrah's Resort Atlantic City - JSH Hub
BalasHapusGet to 공주 출장마사지 know Harrah's Resort Atlantic City, New Jersey. This Atlantic City resort features 수원 출장마사지 1,706 의정부 출장샵 guestrooms, 경주 출장마사지 suites and villas. · With a stay at Harrah's 원주 출장샵 Resort